• Source: Maturidiyah

Maturidiyah (bahasa Arab: الماتريدية, translit. al-Māturīdiyyah) adalah salah satu mazhab akidah dalam Islam Sunni, yang didirikan oleh ulama Persia, fakih Hanafi, pembaharu (mujaddid), dan teolog skolastik, Abu Mansur al-Maturidi pada abad ke-9 hingga ke-10.
Al-Maturidi mengkodifikasi akidah Islam di antara kelompok mazhab Hanafi di Balkh dan Transoksiana dalam satu mazhab akidah berlandaskan ilmu kalam; ia menekankan penggunaan akal pikiran dan rasionalisme teologis terkait penafsiran kitab suci Islam. Mazhab akidah Maturidiyah dianggap sebagai salah satu mazhab akidah ortodoks Sunni, bersama Atsariyah dan Asy'ariyah, dan diterapkan di mazhab Hanafi.
Awalnya Maturidiyah berkembang di Transoksiana di Asia Tengah serta menjadi mazhab akidah yang dominan di kalangan Muslim Sunni Persia sebelum Dinasti Safawiyah memaksa warga Persia masuk Syiah pada abad ke-16, serta Ahlur-Ra'y. Mazhab akidah ini berkembang diKesultanan Utsmaniyah dan Mughal India. Di luar kekaisaran Utsmaniyah dan Mughal, masyarakat MuslimTurkik, Hui, Asia Tengah, dan Asia Selatan juga mengikuti mazhab akidah Maturidiyah. Ada juga ulama Arab yang Maturidiyah.




Keyakinan dan akidah



Abu Mansur al-Maturidi, yang merupakan pengikut mazhab Hanafi, mendasarkan pendapat teologis dan perspektif epistemologisnya pada ajaran pendiri mazhab tersebut, Abu Hanifah (abad ke-8 M).
Mazhab akidah Maturidiyah berpendapat bahwa:

Sifat-sifat Allah bersifat kekal dan tidak terpisah dari Allah.
Eksistensi etika bersifat objektif dan manusia mampu mengenalinya cukup dengan akal.
Meski manusia mampu menyadari adanya Allah, manusia membutuhkan wahyu dan bimbingan para nabi dan rasul, karena keinginan manusia dapat mengalihkan akal dan karena pengetahuan tertentu tentang Allah telah diberikan secara khusus kepada para nabi (misalnya Al-Qur'an diturunkan kepada Muhammad menurut Islam, yang diyakini Muslim diberi pengetahuan khusus ini dari Allah dan hanya melalui Muhammad pemahaman ini dapat diakses oleh orang).
Manusia bebas menentukan tindakannya dalam ruang lingkup kemungkinan yang diberikan Allah. Dengan demikian, Allah telah menciptakan segala kemungkinan, tetapi manusia bebas untuk memilih.
Enam rukun iman.
Otoritas agama membutuhkan argumen yang masuk akal untuk membuktikan klaim mereka.
Mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat.
Pengikut Maturidiyah menyatakan bahwa iman tidak bertambah atau berkurang bergantung pada perbuatan seseorang; melainkan takwa yang bertambah dan berkurang.
Maturidiyah menekankan monoteisme.
Mengenai akidah, tidak seperti ulama penganut Atsariyah (teologi tradisionalis), al-Maturidi tidak berpendapat bahwa malaikat itu pasti sempurna. Merujuk pada ayat Surah al-Baqarah, al-Maturidi mencatat bahwa malaikat juga telah diuji. Merujuk pada Surah al-Anbiyāʼ, ia menunjukkan, malaikat yang mengeklaim sifat-sifat Ketuhanan untuk diri mereka sendiri akan diazab di neraka. Tentang Iblis, juga disebut sebagai Setan, memperdebatkan bahwa Iblis termasuk malaikat atau jin tidak berguna, karena yang lebih penting untuk diketahui, dia telah menjadi musuh manusia.
Maturidiyah meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang diberi akal, sehingga berbeda dari binatang. Hubungan antara manusia dan Allah berbeda dengan hubungan alam dan Allah; karena manusia diberkahi dengan kehendak bebas, tetapi karena kedaulatan Tuhan, Tuhan menciptakan tindakan yang berhak dipilih manusia, sehingga manusia dapat melakukannya. Etika dapat dipahami hanya dengan pemikiran rasional dan tidak memerlukan tuntunan kenabian. Al-Maturidi juga menganggap hadis tidak dapat diandalkan jika bertentangan dengan akal. Lebih lanjut, teologi Maturidiyah menentang antropomorfisme (tasybih) dan keserupaan, tetapi tidak mengingkari sifat-sifat ketuhanan.
Maturidiyah membela gagasan bahwa Surga dan Neraka hidup berdampingan dengan dunia yang fana, berbeda dengan pernyataan Muktazilah bahwa Surga dan Neraka akan diciptakan hanya setelah Hari Penghakiman. Sifat-sifat surga dan neraka sudah berlaku di dunia. Abul-Laith as-Samarqandi (944–983 M) menyatakan bahwa tujuan keberadaan kedua alam akhirat tersebut secara bersamaan adalah agar mereka memahami pentingnya takut kepada Allah.:168 




Konsep iman


Doktrin al-Maturidi, berdasarkan teologi dan mahzab fikih Ḥanafī, menegaskan kemampuan dan kehendak manusia di samping pengagungan Allah dalam tindakan manusia, memberikan kerangka doktrinal untuk fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi yang lebih besar. Maturidiyah berkembang dan menyebar di antara populasi Muslim di Asia Tengah sejak abad ke-10 dan seterusnya.
Menurut Maturidiyah, iman tidak bertambah atau berkurang, bergantung pada pengamatan hukum agama. Sebaliknya, perbuatan selalu mengikuti keimanan. Berdasarkan Surah Ṭā Hā (ayat 112), jika seorang Muslim tidak melakukan perbuatan yang ditentukan oleh hukum Islam (syariat), dia tidak dianggap keluar dari agama selama dia tidak menyangkal kewajibannya. Menurut al-Maturidi, iman berasal dari hati, bukan perbuatan atau tindakan. Ia mendukung ajarannya dengan mengacu pada Surah Ali ʿImrān (ayat 3:22): "Mereka itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya di dunia dan di akhirat, dan mereka tidak punya penolong." Orang dalam ayat ini adalah orang yang melaksanakan ibadah tanpa iman yang benar di dalam hati mereka. Oleh karena itu, tindakan harus berlandaskan iman untuk dapat diterima Allah. Maturidiyah dikenal dengan posisinya yang tertutup tentang takfir: Berdasarkan Surah Al-Baqarah 30, Kitāb al-ʿĀlim menyatakan bahwa manusia maupun malaikat tidak dapat mengetahui isi hati manusia, sehingga tidak dapat dikatakan siapa yang di dalam hatinya adalah seorang Muslim atau tidak, kecuali pelaku kekafiran. Seseorang yang melakukan dosa belum tentu kafir, tetapi kafir adalah orang yang secara terang-terangan menjauhkan diri dari Allah.
Dikatakan pula bahwa ketaatan kepada Allah yang dipantau oleh para malaikat dan nabi berasal dari pengetahuan orang tentang sifat Allah dan bukan hasil dari penciptaan mereka. Abū al-Qāsim al-Ḥakīm as-Samarqandī (abad ke-9 hingga ke-10 M) menjelaskan tentang kisah Harut dan Marut, yang dianggap berdosa tetapi bukan kafir dalam tradisi Islam. As-Samarqandī lebih lanjut menyatakan bahwa anak-anak tidak dapat dianggap kafir dan semuanya masuk surga. Menurut al-Maturidi, akal manusia harus mengakui keberadaan Tuhan yang menciptakan (bāriʾ) semata-mata berdasarkan pemikiran rasional dan lepas dari wahyu ilahi. Ia berbagi keyakinan ini dengan guru dan pendahulunya Abu Hanifah an-Nu'man (abad ke-8 M), sedangkan ulama abad ke-10 Abū al-Ḥasan al-Asyʿarī tidak pernah memiliki pandangan seperti itu. Meskipun penganut Maturidiyah, seperti kaum Muktazilah, pada realisme etis, yang pertama berpendapat bahwa objek moral pada akhirnya diciptakan oleh Tuhan, sehingga Tuhan tidak terikat olehnya, tetapi akal manusia dapat mendeteksi kebenaran moral itu sendiri.
Yohei Matsuyama menjelaskan kata-kata al-Maturidi tentang iman, merujuk pada kewajiban untuk beriman pada satu pencipta (bāriʾ) atau pembuat (sanī), tidak semata-mata kepada Allah, dan menyimpulkan, keselamatan diperlukan untuk membangun keimanan kepada pencipta, tidak serta merta menerima formulasi teologis atau doktrinal Islam. Toshihiko Izutsu juga berpendapat bahwa "beriman pada Islam" mengacu pada ketundukan kepada sang pencipta, dengan secara sukarela tunduk pada kehendak-Nya, tanpa harus menerima rumusan agama.
Akan tetapi, al-Maturidi tidak memandang semua agama setara. Ia mengkritik orang Kristen, Yahudi, Zoroastrian, dan ateis atau materialis (dahriyah). Namun, ia membuat perbedaan antara agama monoteistik Abrahamik lainnya dan agama non-monoteistik non-Abrahamik, serta mengkritik Yahudi dan Kristen tentang masalah nubuatan dan nabi individu, bukan tentang Ketuhanan. Agama-agama dualistik dikritik al-Maturidi mengenai konsepsi mereka tentang Tuhan, dengan alasan bahwa Tuhan Yang Maha Baik, yang hanya menciptakan kebaikan, saling berlawanan dengan iblis, yang melambangkan kejahatan, mengingkari kemahakuasaan Tuhan dan tidak sesuai dengan kesempurnaan sifat Tuhan.




Sebaran geografis


Secara khusus dan tak terpisahkan, Maturidiyah spesifik sebagai mazhab akidah bagi pengikut mazhab Hanafi. Maturidiyah semula tersebar di dunia Islam belahan timur, khususnya di Samarkand dan Transoksiana, serta tersebar luas di antara orang Turkik di Asia Tengah dan diperkenalkan ke Timur Tengah dengan munculnya Seljuk. Juga populer di kalangan orang Persia yang telah di-Arabisasi di Khurasan timur dan merupakan mazhab orang Asia Tengah dan Turki Ottoman. Dari asal-usulnya di Asia tengah, Maturidiyah menyebar ke seluruh negeri Islam, dari Mesir di barat hingga Tiongkok dan India di timur. Dalam kapasitas ini, setidaknya selama Puncak Abad Pertengahan. Wilferd Madelung menjelaskan hubungan antara Turki Seljuk, mazhab Hanafi, dan akidah Maturidiyah:

Sebagai akhir dari ekspansi Turki, mazhab teologis Hanafiyyah dan Maturidiyyah tersebar di seluruh Persia, Irak, Anatolia barat, Suriah, dan Mesir. Banyak ulama Transoksiana dan Hanafi timur lainnya bermigrasi ke wilayah ini dan mengajar di sana dari akhir abad ke-5/11 hingga abad ke-8/14. Doktrin Maturidi secara bertahap menjadi dominan di kalangan komunitas Hanafi di seluruh dunia.
Saat ini, penganut Maturidiyah tersebar di Afganistan, Asia Tengah, Turki, India, Pakistan, Bangladesh, Balkan (terutama Bosnia, Albania, Kosovo, dan Skopje), Tiongkok barat laut, Levant/Syam (terutama Suriah, Lebanon, dan Palestina), Kaukasus, Tatarstan, dan Bashkortostan.




Lihat pula


Muktamar Internasional Maturidiyah 2020
Muktamar Internasional Islam Sunni Chechnya 2016
Atsariyah
Mazhab dan cabang Islam
Daftar Asy'ari dan Maturidi
Muktazilah




Referensi






Pranala luar


Artikel dari situs Turki
(Prancis) Biografi Imam Al-Maturidi (oleh at-tawhid.net)
Tempat akal dalam teologi al-Maturidi dan al-Asy'ari (Disertasi)

Kata Kunci Pencarian:

• Maturidiyah
• Sunni
• Mazhab teologi Islam
• Atsariyah
• Muktamar Internasional Islam Sunni Chechnya 2016
• Asy'ariyah
• Muhammad bin Jarir ath-Thabari
• Pesantren Salaf
• Khulafaur Rasyidin
• Akidah Islam
• Maturidism
• Islamic philosophy
• Predestination in Islam