Mosehe (pensucian) adalah tradisi suku Tolaki yang dilaksanakan dalam skala besar dan diikuti oleh seluruh masyarakat.
Mosehe berasal dari dua kata yaitu Mo dan Sehe yang memiliki arti melakukan sesuatu yang suci, sehingga tradisi ini bertujuan untuk mensucikan daerah dan menolak bencana dan akan dilaksanakan apabila ada suatu peristiwa yang menimpa negeri atau fenomena alam yang merugikan manusia, misalnya terjadi bencana alam, gagal panen, timbulnya wabah penyakit, keributan antar kehidupan manusia yang menimbulkan permusuhan dan kekacauan.
Pada zaman dahulu, fungsi tradisi
Mosehe itu sendiri adalah sebagai salah satu bentuk penyelesaian konflik pada masyarakat Tolaki yang dipengaruhi oleh pombetudaria (sumpah) oleh nenek moyang mereka. Selain itu ritual adat
Mosehe adalah harapan bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa (Ombu) berkenan menerima upacara ini untuk kepentingan keselamatan dan kemaslahatan orang banyak.
Suku Tolaki dan Mekongga memiliki salah satu tradisi
Mosehe yaitu ‘
Mosehe Wonua’ atau Pensucian kampung yang telah dilakukan sejak abad ke-13 di masa Kerajaan Mekongga. Ritual
Mosehe Wonua dilakukan saat dua kerajaan melakukan peperangan dan untuk menyucikan situasi atau semua dosa dari pertikaian dan dendam maka raja di Mekongga melakukan upacara
Mosehe Wonua. Tradisi ini terus dipertahankan hingga raja-raja berikutnya yang bertahta.
Sejarah
Tradisi
Mosehe telah berlangsung secara turun temurun sejak abad ke-XIII pada zaman pemerintahan kerajaan dan dilanjutkan oleh raja Rumbalasa, setelah usai perang melawan Kerajaan Konawe. Setelah dua kerajaan tersebut berdamai, maka akan dilakukan upacara
Mosehe bersama-sama dan bersepakat untuk menikahkan putra-putri mereka, yaitu Sangia Lombo-Lombo, putra dari Raja Larumbalasa mempersunting Wungabae putri dari Buburanda Saa I Wawo Latoma.
Adapun Sangia Lomba-lomba juga pernah melaksanakan
Mosehe, yaitu pada saat terjadinya peristiwa Kolombia. Pada awal abad XVII, Sangia Nilulo (Teporambe) juga mengadakan
Mosehe, setelah beliau sembuh dari sakit yang berkepanjangan, dan dari sinilah awalnya sehingga
Mosehe dipadukan dengan Lalo Sangia yaitu acara ritual permohonan/penyembuhan kepada Sang Dewa atau Sangia agar supaya raja yang sakit dapat sembuh.
Sejarah paling tua yang diketahui terkait
Mosehe adalah yang terjadi dalam ritual Moseheine pepakawia (ritual
Mosehe dalam perkawinan) antara seseorang dari kecamatan Lambuya dengan seseorang dari kecamatan Konawe, berdasarkan sejarah di masa lampau yang melibatkan nenek moyang orang Tolaki di kedua wilayah tersebut.
I Wekasapu dan Laliasa adalah dua saudara yang berasal dari Konawe. Kemudian mereka berpisah, Wekasapu pergi ke Konawe, Laliasa pergi ke Asaki untuk mencari sagu, lalu mereka bertengkar hebat, akibat pertengkaran tersebut Wekasapu berkata bahwa selamanya anaknya tidak akan ada yang tinggal di Konawe dan selamanya pula anak cucunya tidak akan minum air dari Konawe. Wekasapu lalu ke Mowila. Namun dalam perjalanan kehidupan, terjadilah pernikahan antara kedua wilayah ini. Dengan terjadinya pernikahan itu maka sumpah tersebut harus ditawarkan melalui upacara
Mosehe.
Mosehe pada orang Tolaki terdiri dari lima macam yaitu :
Mosehe ndiolu (upacara pensucian diri dengan memakai telur sebagai korbannya),
Mosehe manu (upacara pensucian diri dengan memakai ayam sebagai korbannya),
Mosehe dahu (upacara pensucian diri dengan memakai anjing sebagai korbannya),
Mosehe ngginiku (upacara pensucian diri dengan memakai kerbau putih sebagai korbannya), dan
Mosehe ndoono (upacara pensucian diri dengan memakai manusia sebagai korbannya).
Namun, setelah masuknya agama Islam maka
Mosehe dahu dan
Mosehe ndoono tidak lagi dilaksanakan. Selain itu juga ada beberapa jenis
Mosehe lain seperti:
Mosehe wonua yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mensucikan sebuah daerah dari segala perbuatan tercela yang dilakukan oleh anggota masyarakat daerah tersebut dan sebagai upaya tolak bala dari musibah. Hewan yang dikurbankan dalam Mosehewonua adalah kerbau putih ata kerbau biasa.
Mosehe ndau/ndinau dilaksanakan pada saat ladang/kebun baru pertama kali dibuka dengan harapan agar padi ataupun sayuran yang ditanam di ladang baik hasilnya.
Mosehe umoapi/saolowa dilaksanakan karena ada salah satu pihak dari pasangan suami istri yang melakukan perselingkuhan dengan orang lain. Sehingga untuk melaksanakan perdamaian baik antara suami isteri maupun dengan orang yang telah mengganggu rumah tangga, harus dilaksanakan
Mosehe.
Mosehe ine pepakawia atau
Mosehe dalam perkawinan umumnya disebabkan karena sumpah (pombetudari) yang pernah diucapkan oleh nenek moyang mereka.
Mosehen depokono dilaksanakan jika terdapat dua belah pihak yang terlibat konflik baik antara dua individu maupun dua keluarga. Dalam konflik kemudian terjadi mombetudari (sumpah-menyumpah) yang diucapkan oleh salah satu atau kedua belah pihak.
Mosehe mobeli dilaksanakan pada saat peletakan batu pertama dalam pembangunan sebuah bangunan baru.
Mosehe ine mate'a /
Mosehe dalam upacara kematian yang diadakan jika ada ucapan sumpah di masa lalu oleh seseorang ataupun dua orang yang terlibat konflik. Jika salah satunya ada yang lebih dahulu meninggal maka sebelum pengurusan pemakaman terlebih dahulu diadakan
Mosehe.
Prosesi
Adapun dalam pelaksanaan
Mosehe ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, seperti:
= Waktu
=
Waktu pelaksanaan
Mosehe hanya dapat digelar pada pagi hari yakni dari pukul 06.00 hingga pukul 9.00. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa pagi hari masih sejuk dan tujuan
Mosehe itu sendiri adalah mendinginkan apa yang dianggap panas, menawarkan segala sumpah dan mendamaikan orang yang berkonflik.
= Tempat
=
Untuk tempat pelaksanaan
Mosehe, dapat dilaksanakan baik di dalam maupun di luar rumah tergantung jenis
Mosehe yang akan dilaksanakan. Zaman dahulu
Mosehe pada masyarakat Tolaki yang dilaksanakan di dalam rumah, yakni
Mosehe inematea (
Mosehe dalam upacara kematian). Sedangkan jenis
Mosehe yang dilaksanakan di luar rumah, adalah
Mosehe umoapi dan
Mosehe ndepokono,di mana jenis
Mosehe tersebut melibatkan orang banyak seperti pada kasus konflik antar kampung atau antar kelompok.
= Bahan dan peralatan
=
Dalam pelaksanaan
Mosehe wanua diperlukan perlengkapan ritual yaitu Kalo sara, kerbau putih, telur, air, lilin, o kati (kain putih), tawa bite, o wua inea (buah pinang), o wule (kapur), o piso (pisau), watambundi (batang pisang) dan daun sirih. Pengadaan berbagai peralatan dan bahan tersebut mengandung makna-makna tertentu,adalah sebagai berikut:
Bite Kasu (daun sirih hutan), Owule (kapur sirih) dan Inea (pinang)
Daun sirih hutan digunakan karena dari rasanya yang pedas dan pahit sebagai perlambang betapa pedis dan pahitnya dosa yang telah dilakukan manusia. Perpaduan daun sirih, kapur dan pinang ini bermakna sebagai simbol kekeluargaan dan persatuan yang merupakan warisan dari nenek moyang suku Tolaki.
Batang Pisang
Bagi masyarakat Tolaki batang pisang merupakan tumbuhan yang mengandung air sehingga batang pisang tersebut selalu dirasakan dingin. Terdapat pendapat dari salah satu Mbusehe (pemimpin upacara
Mosehe) yang mensyaratkan penggunaan pundikia/ pundi hada (pisang kera/pisang hutan), ada pula Mbusehe yang tidak mempermasalahkan jenis pisang apa saja yang akan digunakan.
Hewan kurban
Ada beberapa jenis hewan yang digunakan sebagai kurban dalam ritual
Mosehe yaitu kerbau putih yang kemudian dapat diganti dengan kerbau hitam atau sapi, ayam dan telur. Ada pula jenis
Mosehe yang hanya mensyaratkan penggunaan satu jenis hewan kurban saja. Misalnya, Moseheumoapi mensyaratkan hewan ngginiku (kerbau)sebagai kurban.
Penggunaan kerbau putih hanyaada pada zaman dahulu ketika kerbau tersebut masih banyak populasinya. Adapun pemaknaan dari hewan kurban ini tidak berubah, sekalipun diganti dengan sapi, karena yang terpenting adalah darah hewan kurban yang dimaknai sebagai simbol pengganti darah dari mereka yang berkonflik. Sedangkan penggunaan ayam putih sebagai kurban dalam
Mosehe, mengandung makna putih, suci, dan bersih. Artinya setelah
Mosehe, hati mereka yang terlibat suatu konflik akan menjadi putih, bersih, dan suci, tidak lagi menyimpan dendam dan konflik.
Ada pula kurban yang berupa telur ayam kampung yang mempunyai makna bahwa dalam cangkang telur terdapat bakal ayam, kemudian dipecahkan dan bermakna bahwa ayam yang ada di dalam telur kemudian terbang dan membawa pergi segala dendam, sakit hati, dan konflik.
Oduku (Nyiru)
Oduku atau nyiru adalah sebagai tempat untuk sesajian di atas, termasuk telur. Dahulu oduku yang dipakai terbuat dari daun pandan, bambu, atau rotan dan bukan plastik. Penggunaan oduku memiliki makna, bahwa masyarakat Tolaki adalah satu kesatuan yang utuh. Sekarang oduku bisa diganti dengan kapara (dari bahan logam).
Iwoi dan Osere (Air dan Cerek)
Air digunakan untuk menyiram seluruh bahan
Mosehe, karena mereka meyakini bahwa air sifatnya dingin, sejuk dan melarutkan serta membawa segala yang dilaluinya.
Taawu (Parang Tolaki) dan Opiso (Pisau)
Peralatan
Mosehe lainnya yang dibutuhkan adalah parang khusus yang oleh orang Tolaki menyebutnya sebagai taawu.
= Pondotono (doa)
=
Pondotonao (doa) dalam
Mosehe merupakan unsur yang penting karena merupakan suatu permohonan Yang Maha Kuasa agar konflik yang terjadi dapat didamaikan. Doa-doa ini diucapkan oleh mbusehe.
= Pihak yang terlibat
=
Pada tahap pra
Mosehe, pihak yang terlibat adalah orang-orang yang melakukan proses mediasi namun pihak yang paling berperan adalah para tokoh adat/toono motuo (orang yang dituakan di kampung), serta para keluarga dari pihak yang terlibat konflik. Proses mediasi yang dilakukan oleh tokoh adat adalah dengan memberikan nasehat agar dapat kembali terjalin silaturahmi.
Referensi