• Source: Museum Multatuli
  • Museum Multatuli adalah museum umum yang menempati bekas Wedana Rangkasbitung yang telah digunakan sejak tahun 1923. Kepemilikan Museum Multatuli dipegang oleh Pemerintah Kabupaten Lebak dan pengelolaannya diserahkan kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lebak. Museum Multatuli memiliki tujuh ruangan yang memamerkan koleksi sejarah yang berhubungan dengan antikolonialisme, Multatuli dan novel buatannya, sejarah Lebak, Banten, dan Rangkasbitung. Nama Multatuli berasal dari nama pena Eduard Douwes Dekker yang merupakan asisten Residen Lebak. Peresmian Museum Multatuli diadakan pada 11 Februari 2018 oleh Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Hilmar Farid dan Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya.


    Penamaan


    Nama Museum Multatuli diperoleh dari nama pena seorang penulis yang bernama Eduard Douwes Dekker. Ia adalah seorang asisten residen Lebak yang bermukim di Rangkasbitung pada bulan Januari hingga Maret 1856. Pada tahun 1860, Dekker menulis sekaligus menerbitkan sebuah novel yang diberinya judul Max Havelaar. Novel ini menjadi salah satu karya penting yang membahas sejarah Banten dan Lebak, sehingga pemerintah Kabupaten Lebak memutuskan untuk mendirikan sebuah museum yang diberi nama Museum Multatuli.


    Lokasi


    Museum Multatuli berada di Jalan Alun-alun Timur No. 8, Rangkasbitung, Lebak, Banten. Terletak di bagian timur alun-alun Rangkasbitung dan berdampingan dengan Perpustakaan Saidjah Adinda.
    Secara keseluruhan, Museum Multatuli memiliki luas tanah 1.934 m². Menempati sebuah bangunan peninggalan Hindia Belanda yang saat ini berstatus sebagai cagar budaya dan sempat beberapa kali beralih fungsi. Bangunan cagar budaya ini selesai dikerjakan pada 1930, yang kemudian digunakan sebagai kantor kawedanan. Pada tahun 1950 menjadi kantor Markas Wilayah (Mawil) Hansip. Terakhir berfungsi sebagai kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Lebak. Baru pada tahun 2016, berlangsung pemugaran bangunan ini untuk menjadi Museum Multatuli.


    Desain


    Gedung Museum Multatuli dibuat dalam bentuk huruf “T” dan memiliki pendopo yang dipakai sebagai tempat perkumpulan. Desain dalam ruangan gedung bergaya modern fraktal yang tidak simetris dengan bantuan pencahayaan ruangan. Museum Multatuli terbagi menjadi tujuh ruangan dan empat tema. Tema pertama khusus mengisahkan sejarah awal penjajahan di Indonesia, sedangkan tema kedua membahas tentang pribadi tokoh Multatuli dan novelnya yang berjudul Max Havelaar. Adapun tema ketiga mengisahkan tentang sejarah Banten dan Lebak. Sedangkan tema keempat mengisahkan sejarah Rangkasbitung.


    Koleksi


    Koleksi Museum Multatuli yang utama adalah novel berjudul Max Havelaar yang berbahasa Prancis yang dicetak dengan tahun cetakan 1868, ubin bekas tempat tinggal Multatuli, litografi Multatuli, dan peta Rangkasbitung pada abad ke-20. Museum Multatuli juga mengoleksi patung-patung hasil karya Dolorosa Sinaga, kumpulan foto sejarah Kabupaten Lebak, surat Eduard Douwes Dekker untuk Raja Willem III dan surat Soekarno kepada Samuel Koperberg.
    Museum Multatuli memberikan koleksi informasi sejarah dengan menggunakan multimedia berupa audio dan video yang ditampilkan melalui layar monitor. Di ruangan keempat terdapat video singkat mengenai Multatuli dari hasil wawancara dengan narasumber yaitu Pramoedya Ananta Toer. Ruangan keenam mengisahkan tentang sejarah Lebak serta video singkat tentang tokoh-tokoh sejarah Rangkasbitung. Rekaman suara penyair asal Indonesia yaitu W.S. Rendra yang membacakan sajak “Demi Orang-orang Rangkasbitung” dapat ditemukan di ruangan ketujuh.


    Referensi




    Pranala luar


    Yuk Tambah Wawasan Sejarah di Museum Multatuli Banten

Kata Kunci Pencarian: