- Source: Njonja Tjoa Hin Hoei
Njonja Tjoa Hin Hoei (ca 1907–1990), lahir dengan nama Kwee Yat Nio (Hanzi: 郭悅娘) dan juga dikenal dengan nama Visakha Gunadharma, dulu adalah seorang jurnalis, penulis, tokoh Buddha, dan aktivis politik berlatar belakang Tionghoa Indonesia selama periode akhir kolonial dan awal kemerdekaan Indonesia. Ia terutama dikenal sebagai penerbit dan editor dari majalah wanita Maandblad Istri yang terbit mulai dekade 1930-an hingga awal dekade 1950-an.
Biografi
Ia lahir dengan nama Kwee Yat Nio pada pertengahan dekade 1900-an di Buitenzorg, Hindia Belanda (kini Bogor, Indonesia). Ia adalah anak sulung dari Kwee Tek Hoay, seorang jurnalis, penulis, dan penerjemah multibahasa berlatar belakang Tionghoa Peranakan. Ia bersekolah di Buitenzorg. Awalnya di sebuah sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) dan kemudian di sebuah sekolah Methodist yang berbahasa Inggris. Ia akhirnya lulus dari sekolah Methodist pada tahun 1924 dan kemudian menjadi guru di sana. Saat masih bersekolah, ayahnya telah mendorongnya untuk membaca, menulis, dan menerjemahkan berita berbahasa Inggris untuk koran berbahasa Melayu, seperti Sin Po. Pada awal dekade 1920-an, ia pun mendirikan sebuah organisasi wanita dengan nama Chie Mey Hui untuk menyatukan para wanita Peranakan yang belum menikah serta meningkatkan pendidikan dan pengembangan mereka. Pada tahun 1925, ia menikahi Tjoa Hin Hoei asal Lampung, Sumatra yang juga pernah bersekolah di sekolah THHK di Buitenzorg. Ia lalu berhenti menjadi guru di sekolah Methodist agar dapat pindah ke Batavia, di mana ia mengajar di sebuah sekolah berbahasa Inggris.
Ia mulai menulis pada dekade 1930-an dan menerbitkan tulisannya di Moestika Romans. Ia menerbitkan tulisannya dengan nama Nyonya Tjoa Hin Hoei. Selama dekade 1930-an, ia juga menerbitkan artikel di bagian wanita dari sejumlah koran Tionghoa Indonesia, seperti Keng Po, Sin Tit Po, Mata Hari, dan di majalah milik ayahnya, Moestika Dharma.
Sebelum perang, ia sangat aktif di organisasi-organisasi politik Tionghoa di Jawa. Mulai tahun 1934 hingga 1938, ia menjadi sekretaris di Asosiasi Penganut Buddha di Jakarta. Mulai tahun 1932 hingga 1940, ia juga menjadi pemimpin Asosiasi Wanita Tionghoa di Batavia.
Pada bulan September 1935, setelah didorong oleh keluarga dan pembacanya, ia meluncurkan majalahnya sendiri, yakni Maandblad Istri, atau biasa dikenal sebagai Istri. Majalah tersebut dicetak dalam bahasa Melayu (Indonesia) dan ditujukan untuk wanita Tionghoa Peranakan, terutama yang tidak dapat berbahasa Belanda. Pada akhirnya, majalah tersebut juga populer di kalangan wanita pribumi, sehingga ia juga mengadvokasi hubungan baik antara wanita pribumi dan Tionghoa, serta mengadvokasi kesadaran mengenai situasi mereka. Istri berisi konten fiksi, ulasan film, resep, mode, serta pendidikan mengenai kesehatan anak dan status wanita, yang sebagian besar ditulis sendiri olehnya. Editorialnya tidak selalu radikal. Ia percaya bahwa wanita harus rendah hati dan mengikuti nilai tradisional Tionghoa, serta bahwa pendidikan bermanfaat untuk menghasilkan istri dan anak yang ideal. Anggota dewan editorial Istri salah satunya adalah Thung Sin Nio, seorang dokter berpendidikan Belanda. Hal lain yang membuat Istri berumur panjang adalah karena tersebut didukung oleh komunitas Peranakan di Batavia, termasuk THHK dan Chung Hwa Hui. Dukungan tersebut juga memungkinkan Tjoa dan penulis lain untuk menerbitkan tulisan dengan namanya sendiri, karena saat itu masih umum bagi penulis wanita di Hindia Belanda untuk menerbitkan tulisan dengan pseudonim.
Pada tahun 1940, Tjoa menghadapi masalah hukum, karena dituduh telah mencetak tulisan fitnah yang melanggar hukum sensor di Hindia Belanda. Pengadilan kemudian memutuskan bahwa tuduhan tersebut tidak dapat diterima. Istri berhenti terbit selama pendudukan Jepang dan Revolusi Nasional Indonesia. Istri baru kembali terbit setelah Indonesia merdeka. Pada awal atau pertengahan dekade 1950-an, Istri akhirnya ditutup, karena mengalami kesulitan keungan dan kekurangan kertas. Kematian suaminya pada tahun 1956 kemungkinan juga menjadi salah satu faktor penyebab penutupan Istri.
Pasca Indonesia merdeka, ia juga aktif di sejumlah organisasi Tionghoa dan Buddha. Mulai tahun 1952, ia menjadi direktur di Tri Budaja yang diterbitkan oleh federasi Sam Kauw Indonesia (Hanzi: 三教文化). Ia juga memimpin bagian wanita dari Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia mulai tahun 1956 hingga 1964.
Pasca Transisi ke Orde Baru, sejumlah organisasi Tionghoa Indonesia ditutup oleh pemerintah, sehingga ia lebih fokus pada penerbitan tulisan keagamaan dan tetap aktif di organisasi Buddha lokal di Jakarta. Pada tahun 1973, ia menjadi wakil ketua di Wanita Buddhis Indonesia. Pada periode ini, ia juga mulai memakai nama Visakha Gunadharma.
Ia akhirnya meninggal pada tanggal 26 September 1990. Ia meninggalkan sebuah otobiografi yang belum sempat diterbitkan, yakni Visakha Gunadharma: Otobiografi Kwee Yat Nio.
Keluarga
Kwee dan Tjoa memiliki lima anak, yakni Lenny Tjoa Keng Yin, Effie Tjoa Keng Loan, Yenny Tjoa Keng Lan, Tjoa Keng Pen, dan Tjoa Keng Hok. Lenny dan Effie dikenal sebagai musisi klasik selama periode pasca kemerdekaan Indonesia.