Menurut Spence (1989), lobster terdiri dari kepala dan thorax yang tertutup oleh karapas dan memiliki abdomen yang terdiri dari enam segmen. Karakteristik yang paling mudah untuk mengenali lobster adalah adanya capit (chelae) besar yang pinggirnya bergerigi tajam yang dimiliki lobster untuk menyobek dan juga menghancurkan makanannya.
Udang karang mudah dikenal karena bentuknya yang besar dibanding dengan udang niaga lainnya. Isnansetyo dan Yuspanani (1993) memberikan gambaran morfologi udang karang, yaitu mempunyai bentuk badan memanjang, silindris, kepala besar ditutupi oleh capace berbentuk silindris, keras, tebal dan bergerigi. Mempunyai antenna besar dan panjang menyerupai cambuk, dengan rostum kecil. Pada udang barong betina endopod pada pleopod II tanpa appendix interna/stylamblys.
Muljanah et. al. (1994) menyatakan bahwa, lobster secara umum memiliki tubuh yang berkulit sangat keras dan tebal, terutama di bagian kepala, yang ditutupi oleh duri-duri besar dan kecil. Mata lobster agak tersembunyi di bawah cangkang ruas abdomen yang ujungnya berduri tajam dan kuat. Lobster memiliki dua pasang antena, yang pertama kecil dan ujungnya bercabang dua, disebut juga sebagai kumis. Antena kedua sangat keras dan panjang dengan pangkal antena besar kokoh dan ditutupi duri-duri tajam, sedangkan ekornya melebar seperti kipas. Warna lobster bervariasi tergantung jenisnya, pola-pola duri di kepala, dan warna lobster biasanya dapat dijadikan tanda spesifik jenis lobster.
Habitat dan Distribusi
Udang karang (
Panulirus sp) hidup pada beberapa kedalaman tergantung pada jenis spesies dan lingkunga yang cocok. udang karang (
Panulirus sp) dapat hidup pada kedalaman 5 – 30 meter (Subani, 1977 in Hasrun, 1996).
Udang karang berduri mempunyai penyebaran yang sangat luas mulai dari daerah temperate hingga daerah tropik (45O lintang utara sampai 45O lintang selatan). Hidup mulai dari daerah intertidal sampai perairan yang dalam. Banyak spesies yang hidup pada substrat yang berbatu-batu, lumpur atau pasir dan membuat lubang. Palinuridae menyukai hidup pada lubang atau celah-celah batu karang serta dasar dari terumbu karang. Jenis-jenis udang ini menyebar dari daerah litoral sampai kedalaman 400 m di daerah tropik dan sub tropik.
Genus-genus dari panulirudae dalam pengelompokan taksonominya menggunakan ciri morfologi dan berhubungan erat dengan letak geografis atau garis lintang dan juga kedalaman air. Sebagai contoh, untuk perairan dangkal di daerah equator akan dijumpai genus
Panulirus (Kanciruk, 1980). Keanekaragaman jenis
Panulirus sp di perairan daerah tropika lebih besar daripada di daerah sub-tropika, tetapi kelimpahannya relatif rendah.
Lobster Hijau (
Panulirus versicolor)
Hidup pada perairan terumbu karang sampai pada kedalaman beberapa meter. Biasanya mendiami tempat-tempat yang terlindung di antara batu-batu karang dan jarang ditemukan dalam kelompok yang berjumlah besar. Banyak terdapat diperairan barat Sumatra, selatan Jawa, perairan Nuasa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Halmahera.
Adaptasi dan Pertumbuhan
Hampir sepanjang hidupnya udang karang (pukennus bawalnus sp) memilih tempat-tempat yang berbatu karang, di balik batu karang yang hidup maupun batu karang yang mati, pada pasir berbatu karang halu, di sepanjang pantai dan teluk-teluk. Karena itulah organisme ini dikenal dengan nama udang karang atau lobster.
Udang karang (
Panulirus sp) kurang menyukai tempat-tempat yang sifatnya terbuka dan terlebih arus yang kuat. Tempat-tempat yang disukai adalah perairan yang terlindung. Berdasarkan pengalaman nelayan, udang karang banyak terdapat di tempat-tempat yang memiliki kedalaman perairan 10 – 15 m. Kebiasaan hidupnyamerangkak di dasar laut berkarang, di antara karang-karang, di gua-gua karang, dan di antara bunga karang. Berdasarkan kebiasaannya merangkak, maka udang karang dapat dikatakan tidak pandai berenang, walaupun memiliki kaki renang (Subani, 1978).
Udang karang termasuk hewan nokturnal yang aktif pada malam hari keluar meninggalkan sarangnya untuk mencari makan dan pasif di siang hari. Hewan nokturnal memiliki memiliki aktivitas yang tinggi pada permulaan menjelang malam dan berhenti beraktivitas dengan tiba-tiba ketika matahari terbit (Cobb and Phillips, 1980).
Udang karang (
Panulirus sp) mengonsumsi moluska dan echinodermata sebagai makanan yang paling digemarinya, selain ikan dan protein hewan lainnya, terutama yang mengandung lemak, serta jenis algae (Subani, 1978).
Pada mulanya diperkirakan bahwa udang karang adalah scavenger, hal ini dikarenakan lebih banyak dari udang karang memakana umpan yang terpasang pada perangkap. Tetapi setelah dilakukan analisis isi lambing dan pengamatan di laboratorium, ternyata pendapat tersebut tidak benar. Makanan dari udang karang adalah hewan yang masih hidup atau baru saja dibunuhnya, dan lobster cukup selektif dalam memilih makanannya (Kanciruk, 1980).
Menurut Subani, 1984 in Utami 1999, lobster dapat digolongkan sebagai binatang yang mengasuh dan memelihara keturunannya walaupun sifatnya hanya sementara. Lobster betina yang sedang bertelur melindungi telurnya dengan cara meletakkan atau menempelkan butir-butir telurnya di bagian bawah badan (abdomen) sampai telur tersebut dibuahi dan menetas menjadi larva udang. Menjelang akhir periode pengeluaran telur dan setelah dibuahi, lobster akan bergerak menjauhi pantai dan menuju ke perairan karang yang lebih dalam untuk penetasan
Nontji (1993) menyatakan bahwa, jumlah telur yang dihasilkan setiap ekor betina lobster dapat mencapai lebih dari 400.000 butir. Telur-trlur tersebut akan menetas dan berubah menjadi larva pelagis. Selanjutnya dikatakan pula bahwa, udang karang (lobster) mempunyai daur hidup yang kompleks. Telur yang telah dibuahi menetas menjadi larva dengan beberapa tingkatan (stadium). Larva lobster memiliki bentuk yang sangat berbeda dari yang dewasa. Larva pada stadium filosoma misalnya, mempunyai bentuk yang pipih seperti daun sehingga mudah terbawa arus.
Semenjak telur menetas menjadi larva hingga mencapai tingkat dewasa dan akhirnya mati, maka selama pertumbuhannya, lobster selalu mengalami pergantian kilit (moulting). Pergantian kulit tersebut lebih sering terjadi pada stadia larva. (Subani, 1984 in Utami, 1999)
Secara umum dikenal adanya tiga tahapan stadia larva, yaitu “naupliosoma”, ”filosoma”, dan “puerulus”. Perubahan dari stadia satu ke stadia berikutnya selalu terjadi pergantian kulit yang diikuti perubahan-perubahan bentuk (metamorphose) yang terlihat dengan adanya modifikasi-modifikasi terutama pada alat geraknya. Pada stadia filosoma yaitu bagian pergantian kulit yang terakhir, terjadi stadia baru yang bentuknya sudah mirip lobster dewasa walaupun kulitnya belum mengeras atau belum mengandung zat kapur. Pertumbuhan berikutnya setelah mengalami pergantian kulit lagi, terbentuklah lobster muda yang kulitnya sudah mengeras karena diperkuat dengan zat kapur. Bentuk dan sifatnya sudah mirip lobster dewasa (induknya) atau disebut sebagai juvenile. Lama hidup sebagai stadia larva untuk lobster berbeda-beda untuk setiap jenisnya. Lobster yang hidup di perairan tropis, prosesnya lebvih cepat dibanding dengan yang hidup di daerah sub-tropis. Waktu yang diperlukan untuk mencapai stadia dewasa untuk lobster torpis antara 3 sampai 7 bulan (Subani, 1984 in Utami, 1999).
Pranala luar