- Source: Pembunuhan Joanna Yeates
Joanna Clare "Jo" Yeates (19 April 1985 – 17 Desember 2010) adalah seorang arsitek landskap 25 tahun asal Hampshire, Inggris, yang menghilang pada 17 Desember 2010 di Bristol. Pada 25 Desember 2010, suasana ceria Natal pagi hari di Somerset Utara, Bristol, Inggris, berubah menjadi menegangkan ketika sepasang suami istri menemukan jasad seorang perempuan di bawah timbunan salju di sebuah jalanan sepi.
Ketika itu mereka sedang berjalan-jalan bersama anjing, di dekat hutan kota di Longwood Lane di dekat lapangan golf. Jasad perempuan itu tergeletak dengan kaos warna pink yang tersingkap ke atas hingga memperlihatkan bra yang ia pakai. Tubuhnya tertutupi dedaunan dan lapisan salju tebal, di bawah pepohonan yang rimbun. Polisi tak menemukan tanda-tanda kekerasan fisik yang kelihatan dengan mata telanjang. Tak ada juga bukti pemerkosaan.
Dari keterangan penduduk sekitar, polisi tak sulit menemukan identitas perempuan itu. Joanna Clare Yeates, 25 tahun, arsitek, master lulusan Bristol University, yang dilaporkan hilang seminggu sebelumnya. Flat tempat tinggal Yeates hanya berjarak 5 km dari lokasi ia ditemukan.
Greg Reardon, teman kencan Yeates yang juga teman kuliahnya, menjadi orang pertama yang dimintai keterangan oleh polisi. Reardon, yang telah menjalin hubungan dengan Yeates selama dua tahun, mengaku kehilangan kontak dengan Yeates sejak 17 Desember. Reardon sudah menghubungi Yeates lewat telepon tapi tak ada balasan. Yang membuat ia curiga, ponsel, jaket, dan tas Yeates yang biasa dibawa saat berpergian masih ada di rumah.
Reardon mengaku, ia terakhir menghubungi Yeates saat pacarnya itu sedang berpesta bersama teman-temannya di sebuah bar pada tanggal 17 Desember malam.
Polisi lalu memeriksa bar yang diceritakan Reardon. Dari rekaman kamera CCTV supermarket Tesco di dekat bar, tampak Yeates, berjaket warna krem, bercelana hitam, dangan rensel hitam di pundaknya, meninggalkan tempat itu pukul 20.10. Jaket dan tas ini ditemukan dalam kondisi utuh di flatnya. Berarti pada malam itu, Yeates pulang kerumah dalam keadaan baik-baik. Dan kematiannya terjadi setelah ia masuk kedalam rumah.
Reardon juga menemukan kejanggalan lain. Satu anting-anting Yeates ia temukan di lantai kamar mandi. Satunya lagi ditemukan di balik selimut. Padahal biasanya Yeates menyimpan perhiasannya ini di meja dekat tempat tidurnya.
Rebecca Scott, teman perempuan Yeates, memberi kesaksian tambahan. Pada pukul 20.30, ia mengaku ditelepon oleh Yeates, untuk merencanakan acara malam Natal. Di supermarket Tesco, polisi juga menemukan bukti transaksi pembelian pizza atas nama Yeates pada pukul 20.40, sepuluh menit setelah ia menelepon Rebecca. Tapi setelah itu. tak ada petunjuk.
Mati tercekik
Polisi tidak menemukan tanda kekerasan fisik yang kelihatan mata di jasad Yeates. Tapi mereka mencurigai kematiannya sebagai pembunuhan karena mirip dengan beberapa kasus pembunuhan sebelumnya. Semua korbannya perempuan muda, korban ditemukan mati dalam kondisi seperti mayat Yeates, dan sampai hari itu pembunuhnya belum ditemukan.
Karena curiga terhadap pacarnya sebagai pelaku pembunuhan, polisi menyita laptop dan ponsel Reardon. Dari operator telepon genggam, mereka mendapat data komplet mengenai komunikasi yang dilakukan Reardon. Tak ada satu pun yang mengindikasikan dia sebagai pelakunya. Teman-teman Yeates maupun Reardon bahkan memberi kesaksian, mereka berdua adalah "pasangan sempurna" yang tak punya masalah berarti.
Dari pemeriksaan flat yang di sewa oleh Yeates, polisi menemukan kejanggalan, salah satu kaus kaki perempuan itu ternyata hilang. Kaus kaki ini tidak ditemukan di flat maupun di lokasi penemuan jasadnya. Sebuah kaus kaki panjang hingga lutut. Cukup panjang jika digunakan untuk mencekik leher Yeates.
Dugaan pembunuhan ini semakin kuat setelah dua orang tetangga Yeates di flat memberi laporan yang sama. Pada malam yang dinyatakan hilang, keduanya mengaku mendengar jeritan perempuan minta tolong dari arah flat Yeates sekitar pukul 21.00.
Pemeriksaan forensik terhadap pembuluh darah Yeates juga menunjukkan ia mati karena tercekik. Pemeriksaan lambung dan ususnya menunjukkan, ia tidak makan pizza yang dibelinya, dan ia sudah mati beberapa hari saat jasadnya ditemukan.
Tanggal 27 Desember 2010 polisi mengeluarkan peringatan resmi kepada para warga, terutama perempuan dan anak-anak, agar tidak keluar rumah sendirian di malam hari. Kepolisian Avon-Somerset Inggris sampai membentuk tim investigasi yang dinamai Operation Braid. Tim yang dipimpin oleh detektif kawakan Phil Jones ini menjadi salah satu tim investigasi terbesar yang pernah dibentuk oleh kepolisian Inggris, melibatkan 80 orang detektif dan investigator.
Kepolisian juga membuat kampanye besar-besaran lewat televisi, Facebook, dan Youtube, mengajak semua warga inggris membantu investigasi. "Ini masalah keamanan negara. Kami berharap semua warga sipil ikut terlibat membantu investigasi ini lewat Crime Stoppers," kata Phil Jones dalam pernyataan resmi.
Crime Stoppers adalah layanan publik lewat telepon yang memberi kesempatan siapa saja untuk memberi informasi yang membantu investigasi kriminalitas. Mereka bisa memberikan informasi tanpa menyebutkan identitas diri alias anonim. Ada imbalan sebesar 10.000 poundsterling (sekitar Rp 140 juta) buat pelapor yang bisa memberi petunjuk mengungkap pembunuhan ini.
Koran berita The Sun milik konglomerat Rupert Murdoch bahkan ikut membuat sayembara serupa hadiah lebih tinggi, 50.000 poundsterling (sekitar Rp 700 juta).
Sayembara ini membuat polisi kewalahan menerima laporan warga. Seorang laki-laki mengaku telah menemukan pizza yang dibeli oleh Yeates. Seorang kakek mengaku menemukan kaus kaki yang dicari polisi. Total terkumpul 300 ton barang-barang yang diharapkan memberi petunjuk investigasi. Tapi pemeriksaan lanjutan membuktikan bahwa benda-benda itu bukan barang bukti yang mereka cari. Para pelapor itu hanya tergiur oleh hadiah yang ditawarkan.
Sisa air liur di dada korban
Dua hari setelah sayembara itu di umumkan, Crime Stoppers menerima telepon dari seorang pria bernama Vincent Tabak yang mengaku tetangga Yeates di blok yang sama. Ia bercerita, pada hari Yeates mati, ia melihat pemilik flat yang disewa Yeates, Chris Jefferies, melakukan sesuatu yang mencurigakan. Ia keluar dari flat malam-malam sambil menggotong sebuah tas besar. Tapi pemeriksaan terhadap Jefferies yang dilakukan selama empat hari tidak membuktikan dia pelakunya.
Polisi mengumpulkan informasi dari orang-orang yang berada disekitar tempat ditemukannya mayat Yeates. Dari investigasi ini, mereka mendapat petunjuk awal adanya mobil mencurigakan yang melewati jalan itu pada malam ketika Yeates diduga dibuang disitu. Daerah sekitar lapangan golf itu bukan daerah yang ramai sehingga para warga masih bisa mengingat kejadian yang mencurigakan. Tapi orang-orang tak mencatat nomor polisi mobil itu. Mereka hanya ingat, warna mobil itu cerah.
Di Somerset ada ribuan mobil berwarna cerah. bagaimana polisi bisa menemukannya ? "periksa rekaman kamera CCTV di Jembatan Clifton," kata Detektif Phil Jones kepada anak buahnya. Jembatan ini merupakan akses utama yang menghubungkan flat Yeates dan tempat mayatnya dibuang. Logikanya, mobil yang digunakan oleh pembunuh itu tentu melewati jembatan ini pada malam ia dibunuh. Tapi rupanya investigasi ini tak mudah. Kualitas rekaman CCTV jembatan ini di malam hari tak begitu bagus sehingga tak bisa melihat dengan jelas mobil yang lewat.
Pemeriksaan lanjutan atas jasad Yeates menghasilkan fakta baru. Dari sampel kulit dada Yeates, polisi menemukan DNA orang lain! Sangat mungkin itu berasal dari air liur penjahat yang mereka cari. Tapi bagaimana mencocokkan DNA pemilik liur itu dengan pelaku ?
Pemerintah inggris belum memiliki data komplet DNA dari semua warganya. Pada tahun 1995, kepolisian Somerset pernah melakukan pemeriksaan DNA massal saat investigasi sebuah kasus pembunuhan. Tapi tak ada satu pun DNA yang cocok DNA pemilik liur itu.
Hingga perayaan Tahun Baru 2011, polisi masih belum menemukan petunjuk pasti ke arah pembunuh. Ahli forensik psikologi yang menjadi konsultan tim investigasi, Glenn Wilson, menyarankan polisi mempersempit investigasi pada dugaan kriminalitas bermotif seksual.
HIngga hari itu polisi menduga Yeates dicekik menggunakan kaus kakinya. Tapi Wilson punya analisis sendiri. Ia menduga penjahatnya adalah seorang kriminal seksual yang menyimpan kaus kaki korban sebagai kenang-kenangan. Ini kebiasaan di kalangan para penjahat bermotif seksual. Apalagi di dada korban juga ditemukan sisa air liur. Atas saran Wilson, polisi kemudian memeriksa data-base DNA samua pelaku kejahatan seksual yang pernah ditangkap polisi Inggris. Tapi tetap tak ada satu pun DNA yang cocok.
Investigasi di Internet
Glenn Wilson menyarankan polisi kembali mempersempit pemeriksaan. Ia tetap pada dugaannya bahwa orang yang membunuh Yeates yang cantik itu adalah pengindap kelainan perilaku seksual. Ini adalah motif yang paling mungkin. Sebab, investigasi atas kehidupan pribadi Yeates menyimpulkan bahwa ia perempuan baik tak punya masalah serius dengan orang lain.
Bisa jadi pelaku mengenal Yeates lewat internet. Ini kemungkinan pertama. Kemungkinan kedua, pembunuh Yeates adalah tetangga di flatnya. Sebab, pemeriksaan terhadap pintu dan jendela menunjukkan tak ada bukti pembunuh masuk flat dengan paksa. Pintu flat terkunci dengan baik.
Polisi lalu memusatkan investigasi pada teman-teman Yeates di internet serta komunikasi semua penghuni blok tempat flat Yeates berada. "Saya yakin, penjahat ini setiap hari memantau perkembangan investigasi lewat internet," kata Wilson. Beberapa ahli forensik digital pun didatangkan untuk membantu menganalisis semua kagiatan telepon, SMS, dan akses internet teman dan tetangga Yeates.
Dari data ini, polisi menemukan aktivitas online mencurigakan yang dilakukan oleh salah seorang tetangga Yeates bernama Vincent Tabak. Di awal investigasi, pria ini melapor kepada polisi, ia menduga pelaku pembunuhan adalah Chris Jefferies, pemilik flat.
Sejak kematian Yeates, Tabak adalah penghuni flat yang paling rajin membuka situs web polisi yang berisi berita-berita terbaru investigasi pembunuhan. Persis seperti gambaran yang dikatakan Wilson. Catatan aktivitasnya di Google memberi informasi yang lebih mencurigakan. Di situs pencari ini, ia banyak mencari informasi mengenai perbedaan lamanya hukuman atas pembunuhan yang disengaja dan yang tidak disengaja.
Di malam pembunuhan Yeates, Tabak mencari informasi lewat Google tentang lamanya jasad manusia terurai di alam terbuka. Ia juga tercatat berkali-kali membuka Google Maps dan melihat koordinat di mana jasad Yeates ditemukan polisi. Pada tanggal ketika polisi mengumumkan bahwa Yeates tidak makan pizza yang ia beli, Tabak juga mencari informasi tentang segala hal mengenai pizza. Di luar itu, Tabak tercatat sering sekali membuka situs-situs porno.
Berbekal data internet ini, investigator kembali membawa Tabak kembali ke kantor polisi. Sekalipun bertetangga satu blok, Tabak dan Yeates ternyata tidak saling mengenal secara pribadi. Keduanya juga bukan teman di internet, baik di Facebook maupun Twitter.
Saat polisi memeriksa laptop milik Tabak, mereka menemukan folder tersembunyi yang berisi materi pornografi. Sebagian di antaranya berupa gambar dan video porno dengan kekerasan. Video-video itu menggambarkan laki-laki melakukan hubungan seksual sambil menyiksa si wanita.
Yang lebih mengejutkan, salah satu pemeran wanita dalam gambar yang ditemukan itu berambut pirang pendek, menggunakan tank top warna pink yang tersingkap ke atas sampai memperlihatkan bra yang ia pakai. Mirip sekali dengan kondisi tubuh Yeates saat ditemukan.
Psikolog forensik Glenn Wilson menduga kuat, ini adalah penjelasan yang paling masuk akal atas motif pembunuhan Yeates. Kejahatan seksual. Ketika polisi memeriksa sampel DNA dari air liur Tabak, semua misteri seketika terjawab. Tabak tidak bisa mengelak. DNA-nya cocok dengan DNA yang ditemukan di sisa air liur yang ditemukan di dada Yeates.
20 detik cukup lama
Pada 22 Januari 2011, setelah menjalani pemeriksaan hampir 100 jam, Tabak akhirnya mengaku, dia membunuh Yeates. Tapi ia mengaku tidak merencanakan pembunuhan itu. Menurut pengakuan Tabak, kejadian bermula ketika ia dan Yeates berpas-pasan di flat. Perempuan itu mempersilahkan Tabak masuk ke flatnya.
Masih menurut cerita Tabak, dari obrolan di flat itu ia menangkap kesan Yeates menyukai dirinya. Ketika Tabak berusaha memeluknya, Yeates berontak dan menjerit. Ia lalu mendekap perempuan itu, membungkam mulut serta hidungnya, dan mencekik lehernya. Karena Yeates terus berontak, Tabak, yang tubuhnya lebih tinggi 30 cm daripada Yeates, membekapnya terus sampai sekitar 20 detik. ketika Tabak melepaskan tangannya, Yeates lunglai dan jatuh ke lantai. "Waktu 20 detik itu cukup lama untuk membunuha seseorang," kata dokter yang menjadi saksi ahli persidangannya. Tabak kemudian membuang jasad Yeates menggunakan mobilnya yang seperti keterangan para saksi di awal investigasi, berwarna cerah.
Berita penangkapan Tabak ini mengegerkan semua orang, terutama pacar dan keluarganya. Vincent Tabak, 32 tahun, seorang insinyur asal belanda, lulusan program S-2 Eindhoven University of Technology, Belanda, selama ini dikenal sebagai orang baik. "Dia orang yang sangat menyenangkan," kata pacarnya, Tanja Morson. "Itu bukan hal aneh," kata Glenn Wilson mengomentarinya.
Seorang penderita kelainan perilaku seksual tidak selalu menunjukkan tanda-tanda kriminal yang terlihat oleh orang-orang di sekitarnya. Wilson menduga, Tabak sudah lama terobsesi dengan tetangganya yang cantik dan sering ia lihat di flat itu. Saat awal investigasi, dia berusaha mengalihkan perhatian polisi dengan melaporkan Chris Jefferies sebagai tertuduh.
Hingga persidangan terakhir digelar, masih banyak rahasia yang belum terungkap, seperti ke mana perginya pizza dan kaus kaki Yeates. Tabak mengaku tidak mengambilnya dari korban. Pada persidangan tanggal 28 Oktober 2011, Vincent Tabak, yang tak sadar bahwa internet adalah polisi yang merekam semua aktivitasnya, divonis penjara 20 tahun.
Pranala luar
Help Find Jo
Jo Yeates tribute at the Building Design Partnership
Joanna Yeates murder / video reconstruction at BBC Crimewatch
Full statement by Jo Yeates' boyfriend at the Southern Daily Echo
Full statement by Jo Yeates' family at the Southern Daily Echo
Christopher Jefferies: How I was hounded BBC News, 10 January 2014.