Praktik
Pemotongan kelamin di Indonesia tidak hanya berlaku untuk laki-laki tetapi juga
perempuan. Dalam dunia medis kegiatan ini dikenal dengan istilah sirkumsisi. Istilah tersebut berasal dari bahasa Latin, yakni circum yang artinya memutar dan caedere berarti memotong. Sementara itu
di dunia internasional sirkumisi pada
perempuan dikenal dengan kata Female Genital Mutilation (FGM) atau Female Genital Cutting (FGC). Kedua istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan kegiatan operasi alat
kelamin pada anak
perempuan, gadis dan kaum
perempuan. Istilah lain yang kerap digunakan WHO adalah Genital cutting. Istilah ini mengacu pada
Pemotongan genital yang lebih umum. Berlaku bagi praktik sirkumisi laki-laki ataupun
perempuan.
Masyarakat
Indonesia lebih akrab dengan istilah sunat dibandingkan sirkumisi ataupun FGM dan FGC. Sementara itu selain sunat, praktik ini juga dikenal dengan istilah
Pemotongan/pelukaan genitalia
perempuan (P2GP). Istilah ini merujuk pada seluruh praktik
Pemotongan atau pelukaan pada alat
kelamin perempuan di luar kepentingan medis atau pengobatan.
di Indonesia praktik ini dilakukan sejak abad ke 18. Praktik P2PG telah menjadi tradisi bagi orang-orang Jawa, Aceh,Gorontalo, suku Sunda, Bugis, dan Minangkabau. Pada Suku Dayak pada tahun 1840 praktik P2GP dilakukan untuk mensucikan
perempuan yang ‘dibeli atau ‘dirampas’ dan diIslamkan. Seiring berjalannya waktu praktik ini menjadi sebuah tradisi turun temurun. Sekitar 70 persen
perempuan yang tinggal
di Jawa dan Madura mengaku telah disunat pada usia kurang dari 1 tahun dan sebagian lainnya pada usia 7-9 tahun, tanda menjelang dewasa. Umumnya para ibu
di Indonesia menyunatkan anak
perempuan mereka 40 hari setelah dilahirkan. Kegiatan ini dilakukan bersamaan dengan
Pemotongan rambut bayi,dan tindik telinga. Pada abad 20 praktik ini masih berlangsung, bahkan
di pulau-pulau terluar.
Para orang tua biasanya menyunatkan anak
perempuan mereka ke bidan, dukun bayi, dokter, istri dari seorang Kiyai atau Bu Nyai.
Pemotongan kelamin perempuan atau sunat
perempuan dilakukan dengan melukai pada bagian luar
kelamin atau ujung klitoris. Terdapat beberapa cara melukai klitoris
di Indonesia. Ada yang dilakukan dengan simbolis, yakni menggoreskan kunyit yang telah diruncingkan pada ujung klitoris. Ada juga yang menggunakan senjata tajam, atau bahkan batu permata untuk menggores bagian klitoris.
Praktik berdasarkan daerah
Jenis
Praktik sunat
perempuan tidak hanya dilakukan
di Indonesia. Ada banyak Negara
di dunia yang juga melakukan tindakan tersebut. Terdapat beberapa metode dalam melakukan praktik P2PG. WHO pun mengelempokan dalam 4 tipe P2PG yang sering dilakukan
di berbagai belahan dunia.
Berikut Tipologi P2PG menurut WHO:
1. Klitoridektomi, yaitu sunat
perempuan yang dilakukan dengan memotong sebagian klitoris. Atau dalam kondisi tertentu hanya bagian kulit tipis sekitar klitoris. Bagian ini disebut juga prepuce.
2. Excision,yaitu sunat
perempuan pada jenis ini melakuka pengangkatan klitoris dan labia minora. Biasanya dilanjutkan dengan memotong atau tidak pada bagian labia mayora.
3. Infibulasi atau pharaonic circumcission merupakan praktik sunat
perempuan yang dilakukan dengan mengangkat klitoris dan labia mayora. Tindakan ini diikuti dengan menempelkan kedua sisi vagina dengan menjahitnya. Dengan kata lain menyatukan kulit yang telah terluka dengan media usus kucing, duri atau benang sutera. Pada vagina hanya diberi lubang kecil untuk mengeluarkan darah saat
perempuan menstruasi. Cara ini tergolong ekstrim dan merusak organ intim
perempuan.
4. Berbagai macam cara bertujuan untuk melukai
kelamin perempuan. Dalam hal ini termasuk, menyayat,menusuk, menggores, menggesek klitoris atau bahkan memasukan tumbuhan yang bertujuan
di luar pengobatan.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2013 setidaknya terdapat 51 persen anak
perempuan di Indonesia yang mengalami P2PG berusia 0-11 tahun.
di Indonesia praktik P2PG dilakukan dengan metode tipe 1 dan 4. Praktik sunat
perempuan di Indonesia sekitar 61,4 persen dilakukan oleh tenaga tradisional atau orang yang bukan berkecimpung
di dunia medis, dan sisanya 38,5 persen dilakukan oleh tenaga medis.
Resiko Praktik
Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Pada
kelamin perempuan
Berbeda dengan sunat pada
kelamin laki-laki yang memiliki manfaat , sunat pada
perempuan justru sebaliknya. Sunat pada
perempuan dapat membahayakan jiwa
perempuan itu sendiri. Tidak digunakannya obat bius atau anestesi pada saat dilakukannya P2PG membuat kegiatan tersebut menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Pada organ genitalia
perempuan yang sering menjadi lokasi sunat tersebut memiliki pembuluh darah yang banyak. Sehingga tindakan P2PG bisa berisiko menimbulkan pendarahan hebat. Jika luka yang diakibatkan tidak dirawat secara baik dapat menyebabkan infeksi, pembengkakan dan bahkan sulit berkemih. Pada jangka panjang glan klitoris dan labia minora merupakan organ yang sensitif. Tindakan P2PG bisa mengurangi kepuasan seksual. Pada
perempuan yang disunat dalam jangka panjang berisiko mengalami nyeri pada saat berhubungan seksual.
Gerakan Penghapusan P2PG
di Indonesia
Indonesia termasuk dalam tiga Negara teratas yang melakukan praktik sunat pada
perempuan. Berdasarkan survei kesehatan dasar nasional pada tahun 2013, sekitar 51,2 persen
perempuan mengaku pernah
di sunat.
di Indonesia anak-anak disunat
di rentang usia 0-11 tahun.[6] Pada tahun 2008 WHO menyerukan untuk menghapuskan praktik P2PG yang telah dilakukan banyak Negara
di dunia, termasuk
di Indonesia. Hal ini dikarenakan praktik tersebut dianggap membahayakan dan melanggar hak kesehatan pada
perempuan. Kegiatan ini juga dinilai menyebabkan trauma jangka pendek pada anak
perempuan dan jangka panjang pada kehidupan
perempuan. Gerakan penghapusan ini masuk dalam agenda MDGs tahun 2030. Dimana pada butir 5.3 menyatakan penghapusan atas segala bentuk praktik membahayakan termasuk perkawinan anak dan P2PG.
Hukum Yang Mengatur Praktik P2GP
Praktik P2GP
di Indonesia diatur dalam peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 1663, tahun 2010. PERMEN tersebut menyatakan sunat
perempuan dilakukan sesuai dengan ketentaun agama, merujuk pada standar pelayanan dan profesi. Demi keamanan dan keselamatan anak
perempuan yang disunat. Selanjutnya dalam pelaksanaannya sunat
perempuan hanya boleh dilakukan oleh tenaga medis tertentu dan atas izin orang tua atau wali.[1] Pada tahun 2014 melalui peraturan Menteri juga Permen nomor 1663 dicabut. Secara resmi permen yang mengatur sunat
perempuan tersebut dinyatakan tak lagi berlaku, tepatnya pada tanggal 7 februrai 2014. Alasan pencabutan peraturan Menteri tersebut lantaran praktik sunat
perempuan dilakukan bukan karena indikasi medis. Indikasi medis sendiri diartikan sebagai suatu kondisi yang memerlukan sebuah pelayanan Kesehatan kuratif, berupa penyembuhan, pengurangan serta pengendalian penyakit.
Selain itu alasan dihapusnya peraturan pengatur sunat
perempuan, karena dinilai tak sejalan dengan Suistainable Development Goals 5.3 yang menyatakan semua praktik berbahaya seperti perkawinan usia anak, perkawinan dini dan paksa, serta sunat
perempuan harus dihapuskan. Sunat
perempuan juga dinilai sebagai tindak kekerasan pada
perempuan, yakni termasuk dalam kategori perusakan
kelamin perempuan atau female genital mutilation.
Hak kesehatan reproduksi semestinya dapat diberikan secara inklusif terhadap setiap individu termasuk untuk anak
perempuan maupun anak laki-laki. Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat melindungi anak
perempuan dari praktik P2GP. Undang-undang Kesehatan pasal 133 ayat 2 menyatakan bahwa pemerintah, pemerintah Daerah dan masyarakat berkewajiban menjamin terselenggaranya kemanan bagi bayi dan anak
perempuan. Jika anak
perempuan mengikuti agama orangtuanya yakni beragama Islam, pelayanan kesehatan terhadap pelaksana sunat
perempuan merupakan kebutuhan. Undang-undang ini didukung dengan adanya Undang-undang Kesehatan pasal 134, yang berbunyi bahwa pemerintah berkewajiban menetapkan standar dan atau kriteria Kesehatan yang sesuai dengan moral, nilai agama, juga peraturan perundang-undangan.