• Source: Pendidikan bahasa di Singapura
  • Singapura menerapkan sistem pendidikan dwibahasa berbasis bahasa Inggris. Para siswa diajarkan kurikulum mata pelajaran dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, sementara bahasa ibu resmi diajarkan sebagai bahasa kedua sesuai akar budaya masing-masing siswa: Mandarin untuk orang Tionghoa, Melayu untuk orang Melayu, dan Tamil untuk orang India Selatan. Selain itu, Bahasa Ibu Tingkat Lanjut (Higher Mother Tongue Language, HMTL) ditawarkan sebagai mata pelajaran pilihan bagi siswa yang memiliki minat dan kemampuan untuk memenuhi standar lebih tinggi yang dituntut oleh HMTL. Mata pelajaran HMTL memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dan memberikan pemahaman yang lebih mendalam untuk membantu siswa mencapai kemahiran dalam bahasa ibu mereka masing-masing. Pilihan untuk mengambil HMTL ditawarkan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Selanjutnya, pada tingkat maktab rendah, siswa yang telah mengambil HMTL di tingkat menengah memiliki opsi untuk sepenuhnya tidak mengikuti kelas bahasa ibu.


    Latar belakang


    Singapura adalah negara kota yang majemuk secara ras dan bahasa, dengan empat bahasa resmi: Inggris, Mandarin, Melayu, dan Tamil. Selama masa penjajahan Inggris (1819-1942), berbagai sistem pendidikan diterapkan, dan sebagian besar sekolah hanya mengajarkan salah satu dari empat bahasa tersebut. Setelah Perang Dunia II, pengelolaan sekolah secara bertahap diambil alih oleh pemerintah, yang menyadari perlunya sebuah basantara untuk memfasilitasi komunikasi di antara berbagai kelompok ras dan dialek. Bahasa Melayu sempat dipertimbangkan untuk mengisi peran ini, mengingat rencana penyatuan dengan Malaysia. Namun, pada akhirnya Inggris dipilih sebagai bahasa bersama. Dengan status bahasa Inggris sebagai bahasa dunia dan keinginan agar warga Singapura tetap menjaga budaya mereka, pemerintah mendorong warga untuk menguasai bahasa Inggris dan bahasa ibu mereka secara bersamaan. Dalam konteks ini, bahasa ibu bagi warga Singapura mengacu pada bahasa resmi yang ditentukan berdasarkan kelompok ras mereka (Mandarin untuk orang Tionghoa, Melayu untuk orang Melayu, dan Tamil untuk sebagian besar orang India), terlepas dari bahasa yang digunakan di rumah.


    Dampak dan tanggapan


    Hingga saat ini, banyak kampanye dan program telah diluncurkan untuk mempromosikan pembelajaran dan penggunaan bahasa ibu di Singapura. Di satu sisi, kampanye pemerintah untuk mendorong penggunaan bahasa ibu resmi ini cukup berhasil dalam mempertahankan penggunaannya. Di sisi lain, kebijakan ini telah meminggirkan berbagai bahasa ibu rumahan (yang tidak diakui secara resmi) dari setiap kalangan sukubangsa, termasuk di antaranya bahasa-bahasa Tionghoa selain Mandarin seperti Hokkien dan Hakka. Kini, bahasa Inggris tampaknya menjadi bahasa dominan di sebagian besar rumah tangga.
    Pendidikan bahasa di Singapura telah menjadi topik kontroversial. Meskipun masyarakat Singapura semakin dominan menggunakan bahasa Inggris, banyak yang tidak memiliki penguasaan yang baik atas bahasa ibu resmi. Hal ini memunculkan perdebatan terkait bobot nilai bahasa ibu dalam ujian nasional seperti PSLE (Primary School Leaving Examination, Ujian Kelulusan Sekolah Dasar) dan GCE Ordinary Level, karena orang tua khawatir bahwa anak-anak yang diajarkan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama dan dibesarkan dalam keluarga yang berbicara bahasa Inggris akan dirugikan karena tidak menguasai bahasa ibu mereka dengan baik.


    Rujukan




    Pranala luar


    Kementerian Pendidikan Singapura
    Kampanye "Speak Mandarin" yang mengutamakan ragam tersebut di atas ragam Tionghoa lainnya
    Majelis Bahasa Melayu Singapura

Kata Kunci Pencarian: