- Source: Perang Saudara Armagnak-Burgundi
Perang Saudara Armagnac–Bourgogne merupakan suatu perang saudara Prancis yang terjadi di antara faksi Armagnac dan Burgundia sejak 1407-1435. Perang ini terjadi ketika Prancis sedang dilanda Perang Seratus Tahun melawan Inggris dan peperangan karena Skisme Barat kepausan.
Penyebab
Asal usul perang tersebut berakar semasa pemerintahan Charles VI dari Prancis dan sebuah konfrontasi di antara dua perbedaan sistem ekonomi, sosial dan keagamaan. Di satu sisi adalah Prancis, yang sangat kuat di dalam bidang pertanian, dengan sistem feodal dan keagamaan yang kuat, dan di sisi lain adalah Inggris, sebuah negara yang iklim hujannya disukai oleh padang rumput dan domba pertanian dan tempat di mana para pengrajin, kelas menengah dan kota-kota yang penting berasal. Masyarakat Bourgogne lebih menyukai model Inggris (lebih-lebih karena Flandria, yang perdagangan kainnya merupakan pasar utama untuk wol Inggris, yang merupakan milik kadipaten Bourgogne), sedangkan Armagnac membela model Prancis. Dengan cara yang sama, Skisma Barat menginduksi pemilihan pendukung Armagnac antipaus yang berbasis di Avignon, Paus Klemens VII, yang bertentangan dengan pendukung Inggris Paus dari Roma, Paus Urbanus VI.
Dengan Charles VI yang sakit mental dari tahun 1393, istrinya Isabeau dari Bayern-Ingolstadt memerintah atas namanya. Pamanda Charles VI, Philippe si Pemberani, Adipati Bourgogne, yang bertindak sebagai wali ketika raja masih di bawah umur (tahun 1380-1388), yang berpengaruh besar atas ratu (ia merencanakan pernikahan kerajaan pada saat perwaliannya). Pengaruh ini digantikan oleh Louis I dari Orléans, saudara raja dan dicurigai pula sebagai kekasih ratu. Setelah kematian Philippe II, putranya Jean sans Peur (yang tidak dekat hubungannya dengan Isabeau) sekali lagi kehilangan pengaruhnya di dalam istana. Pamanda lainnya Charles VI kurang berpengaruh selama masa perwalian, Louis II dari Napoli dinyatakan terlibat di dalam mengelola Kerajaan Napoli dan Jean dari Berry, bertindak sebagai penengah di antara faksi Orléans (yang akan menjadi Armagnac) dan faksi Bourgogne, yang persaingannya sedikit demi sedikit dan pada akhirnya mengakibatkan perang saudara sesungguhnya.
Untuk menentang perluasan wilayah keadipatian Bourgogne (yang kepemilikannya termasuk Flandria), adipati Orléans memperoleh Luksemburg pada tahun 1402.
Sementara Louis dari Orléans mendapatkan 90% penghasilannya dari perbendaharaan kerajaan, pembelian wilayah dan benteng di timur marche kerajaan yang dianggap pihak Bourgogne berburu wilayah pribadi mereka, Jean sans Peur (yang kurang semangat prestise dari ayahandanya) melihat sumbangan kerajaan untuknya mengering (Philippe menerima 200,000 livres per tahun, tetapi Jean hanya mendapatkan 37,000).
Adipati Orléans dan menantu John Galéas Visconti dan memegang gelar selama kurang lebih hipotesis wilayah feodalnya di semenanjung itu, ingin agar Charles VI ikut campur di dalam militer untuk kepentingannya. Terlebih lagi, tampaknya ia ingin membiarkan gencatan senjata Anglo-Prancis berhenti, bahkan menantang Henry IV dari Inggris untuk berduel, yang tidak disetujui oleh Jean sans Peur, karena industri Flemish tergantung sepenuhnya pada wol Inggris yang diimpor dan akan dirusak oleh embargo barang-barang Inggris.
Pertengkaran itu pada awalnya dimulai dengan sopan: Jean sans Peur memilih jelatang sebagai lambangnya, sementara Louis dari Orléans memilih tongkat keriput dan adipati Bourgogne ketam atau rabot (mendistribusikan "rabotures", atau lencana kepada para pendukungnya).
Pecahnya Perang
Saudara raja, Louis I dari Orléans, "yang meringkik seperti kuda jantan kepada hampir seluruh wanita cantik", dituduh ingin merayu atau yang lebih hina lagi, "esforcier", Margaret dari Bayern, duchess dari Bourgogne. Selain itu, jika hal tersebut hanya merupakan sebuah rumor, penggoda ini adalah kekasih Ratu dan – sebagai propaganda Bourgogne, ayah kandung Charles, calon ahli waris (calon Charles VII). Louis pastinya akrab dengan Ratu dan memanfaatkan kebajikan saudara raja, pada saat ia mengalamai situasi krisis; ia kemudian berhasil mengusir Bourgogne di dalam perundingan.
Digulingkan dari kekuasaan dan dipermainkan oleh Louis menjadi keterlaluan bagi Jean sans Peur. Mengambil kesempatan dari kemarahan para pembayar pajak yang selalu berada di bawah tekanan pada masa damai, dan mencatat bahwa pajak yang mereka bayar adalah untuk membiayai perayaan di istana, Jean mulai berkampanye untuk mendapatkan dukungan, membiayai demagoguery (yang menjanjikan misalnya, pemotongan pajak dan reformasi negara, yaitu mengendalian monarki). Dengan demikian, ia memenangkan suara dari para pedagang, rakyat kecil dan universitas.
Jean mengancal Paris pada tahun 1405 dengan mendemonstrasikan kekuasaannya, tetapi hal tersebut tidak cukup untuk membuktikan pemulihan pengaruhnya. Ia kemudian memutuskan untuk menyingkirkan saingan beratnya, dan membunuhnya di rue Vieille du Temple, Paris pada tanggal 23 November 1407, ketika ia meninggalkan kediaman ratu di Hôtel Barbette, beberapa hari setelah ia melahirkan anaknya yang kedua belas. Thomas de Courteheuse kemudian mengirimkan kabar kepada Louis bahwa raja, Charles VI dari Prancis, memerlukannya segera hadir di hôtel Saint-Paul. Meninggalkan Hôtel Barbette, Louis ditikam oleh lima belas orang bandit yang dipimpin oleh Raoulet d'Anquetonville, pelayan adipati Bourgogne. Pengawal Louis tidak berdaya dan gagal untuk melindunginya. Jean memiliki dukungan dari rakyat dan universitas Paris, yang dimenangkannya dengan menjanjikan untuk membuat peraturan seperti pada tahun 1357. Dengan demikian agar mampu mengambil kekuasaan, ia dapat secara terbuka mengakui pembunuhan – jauh dari menyembunyikannya, ia mempublikasikannya di dalam sebuah elegi pujian tyrannicide oleh teolog Universitas Sorbonne Jean Petit. Sehingga pembunuhan itu akhirnya meletuskan sebuah perang sipil yang akan berlangsung selama tiga puluh tahun.
Perang Sipil
Dengan tujuan untuk membalas dendam ayahandanya, Charles dari Orléans mendukung musuh adipati Bourgogne semampunya namun pada tahun 1409, sebuah perjanjian yang dibuat di Chartres tampaknya mengakhiri pertempuran. Namun pada tanggal 15 April 1410, pada pernikahan Charles (putra Louis) dan Bonne d'Armagnac di Gien, Adipati Orléans, ayah mertuanya dan para pejabat Prancis membentuk suatu liga melawan Jean dan para pendukungnya. Pernikahan tersebut membuat faksi Orléans seorang pemimpin baru untuk menggantikan Louis (ayah mertua Charles yang baru, Bernard VII dari Armagnac, yang menjadi pelindung alami dari Adipati dan ibundanya, Valentina Visconti) dan sebuah nama baru (faksi Armagnac). Angota-anggota liga lainnya termasuk juga beberapa adipati Berry, Bourbon dan Bretagne, dan juga beberapa comte Alençon dan Clermont.
Bernard VII merekrut para pejuang di Midi yang bertempur dengan ganas. Ia menjarah Paris dan maju sampai kepinggiran kota Saint-Marcel. Sebuah perjanjian baru, yang ditandatangani di Bicêtre pada tanggal 2 November 1410 menangguhkan pertempuran, tetapi kedua belah pihak telah mengangkat senjata pada awal musim semi tahun 1411. Pada bulan Oktober 1411, dengan pasukan sebesar 60,000 orang, adipati Bourgogne memasuki Paris dan menyerang rakyat Breton bersekutu dengan rakyat Armagnac, yang telah dihentikan di La Chapelle. Akhirnya ia terpaksa mundur namun pada suatu malam tanggal 8 atau 9 November, ia pergi melalui porte Saint-Jacques, berbaris menyeberangi Saint-Cloud dan dengan telak mengalahkan Écorcheurs. Kemudian Jean sans Peur mengejar beberapa pangeran Orléans dan sekutu mereka ke Bourges, di mana Orléans dikepung, tetapi pasukan kerajaan muncul didepan kota pada tanggal 11 Juni 1412. Perdamaian lain ditandatangani di Bourges pada tanggal 15 Juli 1412 dan dikonfirmasikan di Auxerre pada tanggal 22 Agustus.
Inggris mengambil keuntungan dari situasi itu dengan tepat waktu mendukung dua pihak atau membeli netralitas mereka. Rakyat Armagnac menyimpulkan perjanjian dengan Henry V dari Inggris pada tahun 1412, untuk mencegah aliansi Anglo-Bourgogne, sehingga mereka menyerahkan Guyenne kepadanya dan mengakui kedaulatannya atas Poitou, Angoulême dan Périgord. Jean sans Peur mengendalikan Inggris dengan baik, karena embargo wol Inggris dapat merusak penghasilan para pedagang kain dari Flandria.
Pada tahun 1413, Jean sans Peur mendukung Revolusi Cabochien yang melakukan sejumlah pembantaian di Paris. Rakyat Paris yang ketakutan meminta bantuan kepada Armagnac. Pasukan mereka merebut kota pada tahun 1414. Ketika Henry V dari Inggris memperbaharui perselisihan pada tahun 1415, adipati Bourgogne tetap netral, menjadikan Henry dapat mengalahkan pasukan Prancis (pada dasarnya dibuat oleh Armagnac) pada Pertempuran Agincourt pada bulan Oktober 1415.
Pada tanggal 29 Mei 1418, berkat pemberontakan dari seseorang yang bernama Perrinet Leclerc dan dukungan dari universitas dan para pengrajin, Paris diserahkan kepada Jean de Villiers de L'Isle-Adam, kapten pasukan yang membela adipati Bourgogne. Pada tanggal 12 Juni, Bernard VII dan orang-orang Armagnac dibantai oleh massa. Jean kemudian menjadi pemimpin Paris sekali lagi, lalu ia bernegosiasi dengan Inggris di mana ia tampaknya berniat untuk menerima tuntutan raja Inggris atas takhta Prancis. Peristiwa tersebut penting bagi Dauphin untuk menegosiasikan pemulihan dukungan dengan rakyat Bourgogne, yang kembali menghindari aliansi Anglo-Bourgogne. Jean sans Peur dipihaknya telah menjadi pemimpin dari sebagian besar kerajaan setelah ia merebut Paris, tetapi keuangannya menipis. Jean dengan demikian menemui Dauphin, Charles VII dari Prancis, untuk menandatangani perdamaian yang lebih menguntungkan dan mengorganisasikan beberapa pertemuan.
Namun setelah menetapkan preseden bagi pembunuhan, pada tanggal 10 September 1419, Jean sendiri tewas terbunuh di atas jembatan Montereau-Fault-Yonne, pada saat berada dikota untuk sebuah wawancara dengan Charles. Para pelaku pembunuhan tersebut berasal dari faksi Armagnac, yang khawatir bahwa Charles akan mendukung bentuk-bentuk dan pandangan-pandangan politik Bourgogne. Tindakan ini mencegah seluruh peredaan, dan dengan demikian memungkinkan kelanjutan keberhasilan militer Inggris.
Philippe III dari Prancis, adipati Bourgogne yang baru, kemudian beraliansi dengan Inggris (yang selalu menghindari ayahandanya), yang menghasilkan traktat Troyes. Traktat tersebut mendeklamasi Charles VII sebagai anak haram Louis dari Orléans daripada ahli waris Charles VI, yang meninggalkan Charles VI dengan keturunan laki-laki yang sah dan menikahi putri Charles VI, Catherine dari Valois, kepada Henry V. Raja Inggris kemudian menerima mahkota Prancis dan Charles VI kembali mendapatkan kekuasaan yang sama seperti pada tahun 1392, sebelum ia terjangkit penyakit gila. Traktat tersebut menyatakan Henry menjadi bupati atas sisa wilayah-wilayah Charles VI di Prancis bagian tenggara sampai kematian Charles. Calon cucu laki-lakinya yang sah akan menjadi penguasa Prancis dan Inggris. Seperti yang diharapkan, traktat itu dikecam oleh bangsa Armagnac, yang beralasan "bahwa raja adalah milik takhta dan dan bukan sebaliknya". Namun, Henry V meninggal terlebih dahulu pada bulan Agustus 1422 dan intervensi Jeanne d'Arc dengan demikian diperlukan untuk Charles VII yang akan dilegitimasikan oleh Roh Kudus dan dimahkotai di Reims pada tanggal 17 Juli 1429, lebih dari setahun sebelum penobatan ahli waris Henry V (Henry VI dari Inggris yang berusia sembilan tahun) pada tanggal 16 Desember 1430 di Notre Dame de Paris.
Akhir Perang
Terlibat di dalam penaklukan wilayah Prancis, Charles VII berharap untuk mengisolasikan Inggris dari Bourgogne. Pada tahun 1435, ia menyimpulkan Traktat Arras dengan Philippe III dari Prancis, mengakui kemerdekaan Bourgogne. Perjanjian tersebut secara resmi mengakhiri perang dan membuat Charles VII dapat merebut kembali hampir seluruh wilayah kekuasaan Inggris, meninggalkan mereka pada tahun 1453 hanya dengan Calais.
Catatan kaki
Referensi
Bertrand Schnerb, Les Armagnacs et les Bourguignons. La maudite guerre, Paris, 1988.
Jacques d'Avout, La Querelle des Armagnacs et des Bourguignons, 431 pages, Paris, Librairie Gallimard Editeur, 1943
Nicolas Offenstadt, « Armagnacs et Bourguignons. L’affreuse discorde », L’Histoire, 311, July–August 2006, n° spécial La guerre civile, pp. 24–27.