- Source: Petambakan, Madukara, Banjarnegara
Petambakan adalah desa di kecamatan Madukara, Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia. Petambakan merupakan lokasi Kadipaten Banjar Petambakan sebelum dipindahkan ke Banjar Watulembu yang terletak di sebelah barat Desa Petambakan, di seberang kali Merawu.
Wilayah
Desa Petambakan dengan luas 220.373 hektar terletak pada ketinggian 322 meter di atas permukaan laut dan lokasinya pada garis lintang 7.3730 dan garis bujur 109.6935. Desanya dibatasi oleh Desa Rakitan di sebelah utara, Desa Blitar di sebelah Timur, Kelurahan Rejasa di sebelah selatan dan [[Kali Merawu]] di sebelah barat.
Pembagian Wilayah
= Rukun Warga
=Desa Petambakan dibagi ke dalam RT dan RW sebagai berikut:
RW I terdiri dari RT 1 -5 terletak di bagian selatan desa
RW II terdiri dari RT 1-4 terletak di bagian tengah selatan desa
RW III terdiri dari RT 1-4 terletak di bagian utara timur
RW IV terdiri dari RT 1-4 terletak di bagian barat dan utara desa
= Padukuhan
=Pada masa lalu, desa terdiri dari padukuhan-padukuhan
Pungkuran,
terletak pada RT 3 dan 4 RW III. Nama Pungkuran mengandung arti, lokasinya terletak di belakang pendopo Kadipaten Banjar Petambakan. Di Pungkuran ini terdapat makam Kuburan Keramat.
Patoman,
terletak pada RT 1 dan 2 RW III. Patoman dulunya merupakan nama desa dimana terletak lokasi Kadipaten Banjar Petambakan. Di sebelah utara Musholla Nurul Hilal (RT 1 RW III) terletak tanah Tabetan, yaitu lokasi pemeliharaan kuda-kuda milih Adipati.
Bapak Sarmo adalah ketua RT 1 RW III penerus pemimpin di Patoman yang legendaris.
Sarean / Pasarean,
terletak di RT 4 RW IV. Di Sarean ini terdapat makam / kuburan dimana Adipati Seda Loji dimakamkan.
Magangan,
terletak di RT 3 RW IV. Magangan mengandung arti, tempat menghadang atau pemberhentian bagi orang yang melewati jalan.
Dukuh,
lokasi di RT 1 dan 2 RW 1.
Baturgedhe
lokasi di RT 5 dan 2 RW 1. Baturgedhe aslinya merupakan tanah persawahan, yang kemudian dijadikan lokasi perumahan dan gedung pendidikan.
Pemerintahan
Desa Petambakan dipimpin oleh seorang Kepala Desa (kades). Kades yang menjabat saat ini adalah Hery Setyo Pranadi, SE sebelumnya Kades Yadi sebelum Kades 'Abbas (ayah kades sekarang) sebelum Imam Hadiyono sebelum Ahmad Yusro.
Sekdes = Khairuman menggantikan Khaerul Anwar, S.Ag. sebelumnya Main (mertua Khairuman)
Kadus 1 = Sofiati
Kadus 2 = Sutarman
Kadus 3 = M. Yunus
Kadus 4 = Resiam Dyah Untari menggantikan Subagyo
Kaur keuangan Suriman
Kependudukan
Jumlah penduduknya ada 3091 jiwa, laki-laki 1540 jiwa dan perempuan 1551 jiwa.
Pasar Hewan
Pasar Tradisional Petambakan diresmikan pada tanggal 14 Oktober 2011 terletak selatan desa, di barat jalan dekat perbatasan Kelurahan Rejasa. Pasar hewan ini sebelumnya terletak di selatan Lapangan Petambakan di seberang barat jalan Banjarnegara - Karangkobar menjadi di dekat perbatasan dengan Desa Rejasa, sekitar 200 meter dari pasar lama. Lokasi pasar lama ini kemudian dijadikan POM Bensin. Dengan luas lahan 16.000 m2, pasar ini lebih luas dibandingkan pasar lama yang hanya 2000 m2. Untuk daya tampung lahan parkir pasar mampu menampung 300 kendaraan truk dan sejenisnya.
PBB
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB ) TAHUN 2015 untuk Desa Petambakan sejumlah Rp. 70.369.485,- dengan jumlah SPPT : 1.886 Lembar.
Pendidikan
SD Negri Petambakan
TK Pertiwi Tambak Arum Petambakan
MTs Muhammadiyah Petambakan
MI Muhammadiyah Petambakan
Bustanul Athfal Aisyiah Petambakan
Ponpes Yaqutun Nafis Banjarnegara
Ponpes Al Madani Petambakan
KB Aisyiah Petambakan
KB Qurrota A'yun Petambakan
SMP IT Permata Hati Banjarnegara
SD IT Permata Hati Banjarnegara
Sejarah
Desa Petambakan merupakan lokasi Kadipaten Banjar Petambakan sebelum dipindahkan ke Banjar Watulembu yang terletak di sebelah barat Desa Petambakan, di seberang kali Merawu.
= Kyai Ageng Maliu pendiri Desa Banjar
=Disebutkan, Kyai Maliu sangat tertarik akan keindahan alam di sekitar Kali Merawu, Desa Petambakan sebelah barat atau sebelah selatan jembatan Clangap (sekarang). Keindahan tersebut antara lain karena tanahnya berundak, berbanjar sepanjang kali. Kyai Maliu mendirikan pondok/rumah sebagai tempat tinggalnya yang baru. Setelah Kyai Maliu tinggal di tempat barunya tersebut, dalam waktu singkat disusul pula dengan berdirinya rumah-rumah penduduk yang lain di sekitar pondok Kyai Maliu sehingga kemudian membentuk suatu perkampungan. Perkampungan tersebut terus berkembang waktu-demi waktu yang akhirnya menjadi sebuah desa.
Desa baru tersebut kemudian dinamakan “Banjar” sesuai dengan daerahnya yang berupa sawah yang berpetak-petak. Atas dasar musyawarah penduduk desa baru tersebut Kyai Maliu diangkat menjadi pertinggi (Kepala Desa), sehingga kemudian dikenal dengan nama “Kyai Ageng Maliu Pertinggi Banjar”.
Keramaian dan kemajuan desa Banjar di bawah kepemimpinan Kyai Ageng Maliu semakin pesat dengan kedatangan Kanjeng Pengeran Giri Wasiat, Panembahan Giri Pit dan Nyai Sekati yang sedang berdakwah menyiarkan Islam. Ketiganya merupakan putera Sunan Giri, Raja di Giri Gajah Gresik yang bergelar Prabu Satmoko.
Sejak kedatangan Pangeran Giri Pit, desa Banjar menjadi pusat pengembangan Agama islam. Kyai Ageng Maliu semakin bertambah kemampuannya dalam hal agama Islam dan dalam hal memimpin Desa Banjar. Karena kepemimpinannya itulah Desa Banjar semakin berkembang dan semakinn ramai.
Desa Banjar yang didirikan oleh Kyai Ageng Maliu inilah pada akhirnya menjadi cikal bakal Kabupaten Banjarnegara.
= Awal Pemerintahan Kabupaten Banjarnegara
=Setelah wafatnya Adipati Wargo Utomo I (Adipati Wirasaba) dalam perjalanan pulang setelah menghadap Sultan Hadiwijaya (Sultan Pajang) akibat adanya kesalahpahaman Utusan (Gandek) dari Kerajaan Pajang dalam mengartikan perintah Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang, yang diperkuat dengan fitnah Demang Toyareka (Adik Adipati Wargo Hutomo), pucuk pimpinan Kadipaten Wirasaba mengalami kekosongan. Untuk selanjutnya Wirasaba dipimpin oleh Patih yang telah mewakili Adipati sejak menghadap Sultan.
Para Putera Adipati tidak ada yang berani menggantikan kedudukan ayahnya sebelum mendapat izin dari Kanjeng Sultan di Pajang.
Menyadari kesalahannya yang menyebabkan wafatnya Adipati Wargo Utomo I, Sultan Hadiwijaya mengutus Tumenggung Tambakbaya mengirimkan surat kepada keluarga Adipati Wargo Utomo I di Wirasaba yang isinya mengharapkan kehadiran salah satu putera Adipati Wargo Utomo I menghadap Sultan. Namun demikian tak satu pun putera Adipati Hargo Utomo I yang bersedia menghadap. Hal ini karena, disamping duka yang belum hilang, ada kekhawatiran akan mendapat perlakuan yang sama.
Akhirnya Tumenggung Tambakbaya meminta Joko Kaiman (menantu Adipati) untuk memenuhi panggilann Sultan menghadap ke Pajang. Atas persetujuan saudara-saudara iparnya, berangkatlah Joko Kaiman menghadap.
Di Pajang, Sultan menjelaskan duduk permasalahan sehingga Adipati Hargo Hutomo terbunuh dan menyempaikan permohonan maaf kepada semua putera Adipati dan masyarakat Wirasaba. Dalam kesempatan itu pula, Sultan mengangkat Joko Kaiman menjadi Adipati Wirasaba menggantikan Adipati Wargo Hutomo I, bergelar Adipati Wargo Hutomo II.
Menyadari statusnya hanya sebagai putera menantu, maka demi menjaga keutuhan keluarga, setelah diangkat menjadi Adipati, Joko Kaiman (Wargo Hutomo II) mengeluarkan kebijakan yaitu membagi Kadipaten Wirasaba menjadi 4 (empat) Kadipaten kecil untuk saudara-saudara iparnya, yaitu:
1. Kadipaten Wirasaba diserahkan kepada Kyai Ngabei Wargo Wijoyo;
2. Kadipaten Merden, diserahkan kepada Kyai Ngabei Wiro Kusumo;
3. Kadipaten Banjar Petambakan diserahkan kepada Kyai Ngabei Wiroyudo, dan
4. Kadipaten Banyumas di Daerah Kejawar dipimpin sendiri oleh Wargo Hutomo II.
Kebijakan ini disetujui semua saudara iparnya dan mendapatkan izin dari Sultan Pajang. Karena kebijakannya membagi Daerah Wirasaba menjadi 4(empat) Kadipaten ini, Kyai Adipati Wargo Hutomo II mendapat julukan Adipati Mrapat.
Peristiwa tersebut merupakan awal adanya pemerintahan Kadipaten Banjar Petambakan, cikal bakal Kabupaten Banjarnegara, sehingga kini peringatan HUT Kabupaten Banjarengara diubah menjadi tanggal 26 Pebruari, yang dihitung semenjak menghadapnya Joko Kaiman kepada Sultan Pajang yang diperkirakan terjadi pada tanggal 1 Syawal, atau 26 Pebruari 1571.
Perubahan efektif mulai berlaku sejak ditandatanganinya Peraturan Daerah pada sidang Paripurna DPRD bulan Maret 2019.
Sedangkan Peringatan Hari Jadi tahun 2019 tatap dilaksanakan tanggal 22 Agustus dengan agenda Kegiatan Sarasehan dan Sosialisasi Peraturan Daerah No:6 Tahun 2019 Tentang Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara, di Pendopo Dipayudha Adhi Graha.
Perubahan Hari Jadi Kab. Banjarnegara dari tanggal 22 Agustus 1831 menjadi 26 Februari 1571, mendasar pada Babad Kalibening yang merupakan sumber sejarah Banyumas dimana disebutkan bahwa pada Hari Senin Pon tanggal 1 Syawal 978 H. bertepatan dengan tanggal 26 Februari 1571, setelah Sultan Pajang menobatkan menantu Adipati Wirasaba yaitu Raden Joko Kaiman kemudian membagi wilayah Kadipaten Wirasaba menjadi 4 Kadipaten yaitu: Kadipaten Banyumas Kadipaten Pamerden, Kadipaten Wirasaba dan Kadipaten Banjar Petambakan. [1]
= Kabupaten Banjar Petambakan
=Kyai Ngabehi Wiroyudo merupakan Adipati Banjar Petambakan pertama yang memerintah pada ± Tahun 1582 (melihat Pendopo Kabupaten Banyumas di Kejawar oleh Wargo Hutomo II, yang merupakan salah satu pecahan dari Kabupaten Wirasaba tercatat tahun 1582).
Namun siapa pengganti Kyai Ngabehi Wiroyudo sampai R. Ngabehi Banyakwide diangkat sebagai Kliwon Banyumas yang bermukim di Banjar Petambakan tidak diketahui, karena tidak ada/belum ditemukan sumber/catatan tertulis. Ada kemungkinan Kabupaten Banjar Petambakan di bawah Kyai Ngabehi Wiroyudo tidak berkembang (tidak lestari) seperti halnya Kabupaten Merden yang diperintah R. Ngabei Warga Wijaya dan Kabupaten Wirasaba yang diperintah R. Ngabei Wirakusuma. Tidak demikian halnya dengan Kabupaten Banyumas R. Adipati Wargo Hutomo II yang dapat bertahan dan terus berkembang.
R. Banyakwide adalah putera R. Tumenggung Mertoyudo (Bupati Banyumas ke-4). Dari sini terlihat bahwa selama 3 (tiga) periode kepemimpinan Bupati di Kabupaten Banyumas (setelah Wargo Hutomo II) sampai dengan Bupati ke-4 (R.T. Mertoyudo), Kabupaten Banjar Petambakan tidak tercatat ada yang memerintah.
Karena cukup lama tidak ada yang memerintah, maka setelah diangkatnya R. Banyakwide sebagai Kliwon Banyumas tetapi bermukim di Banjar Petambakan, ada yang menyebut Banyak wide adalah Bupati Banjar Petambakan Pertama setelah Pemerintahan Ngabehi Wiroyudo.
R. banyak wide mempunyai 4 (empat) putera, yaitu:
1. Kyai Ngabehi Mangunyudo;
2. R. Kenthol Kertoyudo;
3. R. Bagus Brata;
4. Mas Ajeng Basiah.
Sepeninggal R. banyakwide Kabupaten Banjar Petambakan diperintah oleh R. Ngabehi Mangunyudo I yang kemudian dikenal dengan julukan Hadipati Mangunyudo Sedo Loji (Banteng), karena beliau gugur di loji saat perang melawan Belanda di Kartosuro.
Perlawanannya terhadap Belanda ditunjukkan sewaktu ada perang Pracino (Pecinan) yaitu pemberontakan oleh Bangsa Tionghoa kepada VOC saat Mataram dipimpin Paku Buwono II.
R. Ngabehi Mangunyudo I sebagai Bupati manca minta izin untuk menghancurkan Loji VOC di Kartasura. Paku Buwono II mengizinkannya dengan suatu permintaan agar R. Ng Mangunyudo tidak membunuh pasangan suami isteri orang Belanda yang berada di loji paling atas.
Akhirnya perang sengit pun terjadi antara prajurit Mangunyudo I dengan pasukan VOC (tahun 1743). Melihat prajuritnya banyak yang tewas, Adipati Mangunyudo I sangat marah, seluruh penghuni loji dibunuhnya, bahkan beliau lupa pesan Sri Susuhunan Pabu Buwono II. Melihat masih ada orang Belanda yang masih hidup di bagian paling atas loji, R. Mangunyudo I mengejarnya dan berusaha membunuh pasangan suami isteri orang Belanda, yang sebenarnya adalah Pakubuwono II dan Permaisuri yang sedang menyamar. Merasa terancam jiwanya, Pakubuwono II akhirnya membunuh Adipati Mangunyudo I yang sedang kalap di loji VOC. Sebab itulah kemudian Adipati Mangunyudoo I dikenal dengan sebutan Adipati Mangunyudo Sedo Loji.
= Kadipaten Banjar Watu Lembu
=a. Berdasarkan sumber/buku “Inti Silsilah dan Sejarah Banyumas”
Setelah Adipati Mangunyudo I wafat, disebutkan bahwa pengganti Bupati Banjar Petambakan adalah puteranya yang bergelar R. Ngabehi Mangunyudo II, yang dikenal dengan R. Ngabehi Sedo Mukti.
Di era kepemimpinannya, kadipaten dipindahkan ke sebelah barat Sungai Merawu dengan nama Kabupaten Banjar Watu Lembu (Banjar Selo Lembu).
R. Ngabehi Mangunyudo II merupakan Bupati Banjar Watu Lembu pertama, yang kemudian digantikan oleh puteranya, bergelar R. Ngabehi Mangunyudo III yang kemudian berganti nama menjadi Kyai R. Ngabehi Mangunbroto, Bupati Anom Banjar Selolembu. Masih dari sumber yang sama, R. Ngabehi Mangunbroto wafat karena bunuh diri.
Penggantinya adalah R.T. Mangunsubroto yang memerintah Kabupaten Banjar Watu Lembu sampai Tahun 1831.
Karena Kabupaten Banjar Watu Lembu sangat antipati terhadap Belanda, maka setelah Perang Diponegoro dimana kemenangan dipihak Belanda, Kadipaten Banjar Watu Lembu diturunkan statusnya menjadi distrik dengan dua penguasa yaitu R. Ngabehi Mangunsubroto dan R. Ng. Ranudirejo.
b. Berdasarkan sumber “Register sarasilah Keturunan R. Ngabehi Banyakwide dan Register Catatan Legenda Riwayat Kanjeng Sunan Giri Wasiat, Kyai Panembahan Giri Pit, Nyai Ageng Sekati”
Dalam sumber tersebut disebutkan bahwa yang menggantikan Mangunyudo I adalah R. Ngabehi Kenthol Kertoyudo yang kemudian bergelar R. Ngabehi Mangunyudo II. Dalam Perang Diponegoro lebih dikenal dengan R. Tumenggung Kertonegoro III atau Mangunyudo Mukti.
Pada masa pemerintahannya, kadipaten dipindahkan ke sebelah barat Sungai Merawu dan kemudian dinamakan Kabupaten “Banjar Watulembu”.
Sikap Adipati Manyunyudo II yang sangat antipasti terhadap Belanda dan bahkan turut memperkuat pasukan Diponegoro dalam perang melawan Belanda (dimana perang tersebut berakhir dengan kemenangan di pihak Belanda), berakibat R. Ngabehi Mangunyudo II dipecat sebagai Bupati banjar Watu Lembu. Dan pada saat itu pula status Banjar Watu Lembu diturunkan menjadi distrik dengan dua penguasa yaitu R. Ngabehi Mangun Broto dan R. Ngabehi Ranudirejo.
Terlepas sumber mana yang benar, para pemimpin/Bupati Banjar mulai dari Mangunyudo I sampai Mangunsubroto atau Mangunyudo II, semuanya anti penjajah Belanda.
= Kabupaten Banjarnegara
=Atas jasanya mengalahkan prajurit Banjarwatulembu (pengikut Pangeran Diponegoro) dan dianggap berjasa kepada Kerajaan Mataram (pada waktu itu terdapat ikatan perjanjian dengan Belanda), Raden Tumenggung Dipoyudho IV oleh Belanda diusulkan kepada Sri Susuhunan Paku Buwono VII untuk ditetapkan menjadi Adipati Banjar (Banjar Watu Lembu), setelah sebelumnya pernah menjabat Ngabehi di Purbalingga dan kemudian menjadi Tumenggung Ayah (Kecamatan di Kabupaten Kebumen) selama 25 tahun.
Setelah mendapat izin, maka berdasarkan Resolutie Governeur General Buitenzorg tanggal 22 Agustus 1831 Nomor I, maka Raden Tumenggung Dipoyudho IV resmi menjabat Bupati Banjar Watu Lembu.
Beberapa saat setelah pengangkatannya, Raden Tumenggung Dipoyudho IV meminta izin kepada Paku Buwana VII di Kasunanan Surakarta untuk memindahkan Kadipaten ke sebelah selatan Sungai Serayu. Setelah permintaan tersebut dikabulkan, maka dimulailah pembangunan kota kabupaten yang semula berupa daerah persawahan.
Untuk mengenang asal mula kota kabupaten baru yang berupa persawahan dan telah dibangun menjadi kota, kabupaten baru tersebut diberi nama “BANJARNEGARA” (MEMPUNYAI MAKSUD Sawah = Banjar, berubah menjadi kota = Negara) sampaii sekarang.
Setelah segala sesuatunya siap, Raden Tumenggung Dipoyudo IV sebagai Bupati beserta semua pegawai kabupaten pindah dari Banjar Watu Lembu ke kota kabupaten yang baru Banjarnegara.
Dikarenakan pada saat pengangkatannya status Kabupaten Banjar Watu Lembu yang terdahulu dihapus, maka Raden Tumenggung Dipoyudho IV dikenal sebagai Bupati Banjarnegara I (pertama).
= Peringatan Hari Ulang Tahun Kabupaten Banjarnegara
=Sebelumnya, peristiwa pengangkatan Raden Tumenggung Dipoyudho IV pada tanggal 22 Agustus 1831 sebagai Bupati Banjarnegara inilah yang dijadikan dasar untuk penetapan Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara, yaitu dengan Keputusan DPRD Kabupaten Dati II Banjarnegara tanggal 1 Juli 1981 dan Peraturan daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Banjarnegara Nomor 3 Tahun 1994 tentang Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara.
Mulai tahun 2019, peringatan hari jadi ini diubah menjadi tanggal 26 Pebruari, sehingga pada 22 Agustus 2019, dimanfaatkan hanya untuk sosialisasi perubahan hari jadi ini. Perubahan hari jadi ini merujuk pada buku Babad Kalibening yang menjadi sumber sejarah di wilayah Banyumas. Selain itu, diperkuat dengan catatan sejarah kepulangan Raden Jaka Kaiman (menantu Adipati Wirasaba) disertai gandek atau pengawal dari kesultanan pajang. Jaka Kaiman secara ksatria berani menghadiri undangan Sultan Pajang (diperkirakan pada tanggal 26 Februari 1571 bertepatan dengan 1 syawal 978 Hijriah yang merupakan hari raya bagi umat Islam) pasca wafatnya Adipati Wirasaba akibat kesalahan pihak Kesultanan.
Usai mendapat kanugrahan sebagai pemegang tampuk kekuasaan di Wirasaba, Jaka Kaiman menyampaikan gagasan untuk membagi kekuasaan menjadi 4 kadipaten Wirasaba yang sangat luas untuk saudara iparnya. Maka ia dijuluki “Adipati Mrapat” (Jawa : Mara Papat atau membagi empat). Wirasaba kemudian dibagi 4 yaitu : Wirasaba sendiri, Merden, Banjar Petambakan, dan Kejawar.
Kadipaten Banjar Petambakan mempunyai tokoh bupati heroik yang bernama Mangunyuda alias “Sedaloji” yang gugur di loji kompeni untuk membela tanah air pada Geger Pracino di Keraton Surakarta. Perubahan hari jadi ini untuk membawa spirit nasionalisme dan patriotisme, karena peringatan hari jadi pada tanggal sebelumnya yakni 22 Agustus merupakan tanda dimulainya kekuasaan Belanda secara administratif di Banjarnegara. Berbeda dengan tanggal 26 Februari ini jauh sebelumnya dan memiliki spirit nasionalisme dan patriotisme. [2] Diarsipkan 2019-09-04 di Wayback Machine.
PERHITUNGAN HARI JADI BANJARNEGARA
Perhitungan Hari Jadi Banjarnegara yang baru menurut Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M. Hum. dari Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Jawa Tengah adalah sebagai berikut:
A. Hari Jadi Kabupaten Banyumas
Hari jadi Kabupaten Banyumas 6 April 1582 yang telah menempuh waktu 25 tahun diperingati oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas ternyata sepanjang seperempat abad itu menuai perdebatan panjang. Perdebatan itu dimulai dengan tidak adanya sumber sejarah yang menopang tanggal 12 Rabiul Awal, apa lagi fakta sejarah. Simpulannya, sejarah hari jadi itu tidak ada sumber sejarah dan fakta sejarahnya. Namun, kenyataan itu tidak bisa menggerakkan Pemkab untuk berubah dan seolah-olah malah membiarkan perdebatan itu tanpa ada penyelesaian. Hari jadi Kabupaten Banyumas hanya memperkirakan bahwa pada suatu peristiwa, yaitu bulan Mulud atau Rabiul Awal, Jaka Kaiman atau Bagus Mangun diangkat menjadi adipati Wirasaba ketujuh dengan gelar Adipati Warga Utama II. Nama bulan Mulud atau Rabiul Awal tidak ditemukan pada sumber sejarah manapun. Untuk tahun 1582, diambil dari buku Intisilsilah dan Sedjarah Banjumas (Brotodiredjo & Ngatidjo Darmosuwondo, 1969: 26), yang sebenarnya mengutip buku Mees (1920), yang menyatakan tentang wafatnya Sultan Pajang dan beralihnya kekuasaan dari Pajang dan Mataram pada tahun 1582. Jika Sultan Pajang pada waktu itu wafat, bagaimana ia mengangkat Adipati Warga Utama II. Berita tradisi juga menyatakan bahwa Adipati Warga Utama II maa kekuasaannya tidak sampai dengan zaman Maataram. Jadi, tahun 1582 tidak mungkin dijadikan patokan hari jadi karena, baik Sultan Pajang maupun Adipati Warga Utama II telah meninggal dunia. Pada papan makam Adipati Warga Utama II terdapat tulisan 1571-1582.
Persoalan angka tahun 1571-1582 memang tercatat pada batu sabak yang terpasang pada dinding makam dan selanjutnya ditulis lebih besar pada papan makam sebagai berikut Adipati Mrapat/Adipati Warga Utama II Bupati Banyumas I, 1571-1582. Catatan tersebut terakhir terbaca oleh peneliti pada tanggal 1 Januari 1984. Sejak 5 April 1984, makam Adipati Warga Utama II dipugar oleh Bupati Roedjito. Buku Peringatan Sadranan pada tahun 1978 memberitakan Adipati Warga Utama II (Adipati Mrapat, Adipati Banyumas pertama, wafat tahun 1582. Dari mana tahun 1571 ditemukan? Naskah Krandji-Kedhoengwoeloeh yang ditulis oleh Wirjasendjaja (anak lurah Kedhungwuluh) pada hari Minggu Kliwon, 14 April 1940 (6 Moeloed 1359 H). Wirjasendjaja menyebut naskah sumber yang pernah dibacanya, yaitu naskah milik Bendoro Kangdjeng Poerwokerto yang ditulis 1889 (Priyadi, 2015: 27). Bendoro Kangdjeng Poerwokerto yang dimaksudkan adalah Raden Mas Tumenggung Cakrakusuma (1885-1905). Naskah 1889 tidak jelas siapa penulisnya dan untuk siapa naskah itu dipersembahkan. Namun, naskah 1889 lebih tua daripada karya Patih Wirjaatmadja yang ditulis pada tahun 1898. Diduga angka tahun 1571 sudah tercatat pada naskah 1889 sehingga disalin oleh Wirjasendjaja. Kalau dihitung naskah 1889 itu ditulis setelah 10 tahun, bupati Purwokerto Kangjeng Raden Adipati Mertadiredja III pindah ke Banyumas pada 14 Maret 1879 (Priyadi, 2018: 137). Diduga naskah 1889 merupakan alat legitimasi bagi Cakrakusuma sebagai bupati Purwokerto. Cakrakusuma adalah anak Tumenggung Cakranegara II, bupati Banyumas yang dipensiun. Agaknya, Cakrakusuma sedang mencoba membangun kembali trah Cakrawedanan di Purwokerto setelah Banyumas dikuasai kembali oleh keturunan Adipati Mrapat. Cakrakusuma yang menjabat selama 20 tahun dipensiun oleh pemerintah kolonial dengan sebutan Bandara Kangjeng Onderstand dan tinggal di kota Cilacap. Cakrakusuma tidak meninggalkan keturunan sebagai pengganti karena Purwokerto kemudian diduduki oleh Tumenggung Cakranegara III. Cakranegara III adalah adik Cakranegara II dan paman dari Bandara Kangjeng Onderstand. Sayang sekali naskah 1889 belum ditemukan hingga sekarang. Dengan demikian, berdasarkan sumber-sumber di atas, angka tahun 1571 kuat sebagai tahun patokan hari jadi.
Persoalan berikut adalah tanggal patokan. Naskah Kalibening yang berasal dari Abad ke-16 dan 17 masehi menginformasikan bahwa pada tanggal 27 bulan Puasa dan bertepatan hari Rabu sore (Rebo sonten), putra Kejawar menghadap raja untuk menyerahkan upeti dan memenuhi panggilan Sultan Pajang (Priyadi, 2016: 53). Sepeninggal Adipati Warga Utama I, Sultan Pajang mengundang anak-anak ke keraton, tetapi semua putranya tidak mau datang dan hanya sang menantu saja yang berangkat. Jika tahun 1571 dihitung akan ditemukan tahun 978 H (Priyadi, 2015: 28). Berarti, 27 Puasa atau 27 Ramadhan 978 H bisa dihitung seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Penentuan Hari Jadi Kabupaten Banyumas
Sumber : Priyadi, 2015b : 28.
Selanjutnya, tanggal 27 Ramadhan 978 H atau 22 Pebruari 1571 dihitung hari dan pasarannya seperti pada Tabel 2. Perhitungan pada Tabel 2 menghasilkan hari dan pasaran, yaitu Kamis Wage. Perhitungan ini tidak bertentangan dengan teks Kalibening yang menyebutnya waktu yang bertepatan adalah hari Rabu sore. Rabu sore bisa disamakan dengan Kamis Wage, yang berarti jatuh pada Rabu Pon.
Tabel 2. Perhitungan Hari dan Pasaran
Sumber : Priyadi, 2015 : 29-30.
Berdasarkan perhitungan pada Tabel 1 di atas ditemukan tanggal 22 Pebruari 1571 yang ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Banyumas yang baru. Perda No. 2/1990 yang berumur 25 tahun itu diubah menjadi Perda No. 10/2015. Hari jadi Kabupaten Banyumas bisa dipakai sebagai landasan hari jadi dua kabupaten tetangga Banyumas, yaitu Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Purbalingga.
B. Pembagian Empat Wirasaba
Secara historis, teks Wirasaba adalah teks tertua dalam bentuk tembang karena ditulis pada tahun. 1858 di Wirasaba sebagai karya kanon.' yang pertama untuk melegitimasikan Wirasaba sebagai negeri bawahan Majapahit (Priyadi, 2015a: 126), yang berdampingan dengan kerajaan Pasirluhur. Dengan demikian, versi Wirasaba sebagai teks tertua yang ditulis dalam bentuk tembang macapat sehingga wajar apabila empat daerah pembagiannya sama, yaitu Senon, Wirasaba, Toyareka, dan Pasir. Penulis versi Wirasaba lebih mengenal Pasir karena penulisnya hidup lebih tua daripada penulis Babad Pasir. Babad Pasir ditulis pada 21 Ramadhan 1823 atau 28 Maret 1894 (Priyadi, 2008: 21) sebagai karya kanonisasi teks tembang. Ada jarak 36 tahun penulisan kedua teks tembang dari dua tradisi besar babad di Banyumas, yaitu Babad Pasir dan Babad Banyumas.
Teks versi Wirasaba telah ditulis kembali oleh trah Mertadiredjan di Banyumas menjadi versi Mertadiredjan. Karya tersebut dikanonkan untuk kedua kalinya oleh keluarga yang mewarisi jabatan Tumenggung Yudanegara V sebagai wedana bupati Kanoman. Sehubungan dengan hal itu, maka diperlukan teks yang dipakai untuk melegitimasikan trah Mertadiredjan. Teks Mertadiredjan kemungkinan ditulis pada periode 1816-1830 itu disebut versi Mertadiredjan. Pada tahun 1829, trah Mertadiredjan melengkapi tanda-tanda kebesaran trah dengan seperangkat gamelan Mertadiredjan.
Fenomena kanonisasi yang ketiga dari teks Babad Banyumas ketika teks versi Wirasaba itu masuk di kalangan para penulis babad keturunan Dipayuda di kota Banyumas. Teks kanon ketiga dihasilkan pada tahun 1879. Oleh karena itu, terjadi perubahan dari salah satu daerah pembagian Adipati Mrapat dari Pasir menjadi Kejawar atau Ngajawar. Kalangan penulis di Banyumas pasti tahu bahwa ibu kota Wirasaba telah dialihkan ke kota yang baru, yang secara tradisi selalu disebutkan sebagai hutan Tembaga, yang terletak di sebelah barat laut dari desa Kejawar. Judul-judul teksnya pun menyesuaikan diri Sejarah Wirasaba menjadi Serat Sedjarah Banjoemas atau Sejarah Wirasaba berubah menjadi Babad Wirasaba Kejawar.
Ketika Tumenggung Yudanegara III diangkat sebagai Pepatih Dalem Kasultanan Yogyakarta setelah terlibat Perang Panjer sehingga toponim Panjer masuk menggantikan Toyareka sebagai faktor terbunuhnya Adipati Warga Utama I. Secara kewilayahan, Toyareka selalu menjadi bagian dari Wirasaba. Toyareka tidak diperhitungkan lagi karena setelah terbunuhnya Adipati Wirasaba, keberadaan Toyareka dan anaknya tidak pernah diketahui lagi, bahkan makamnya tidak ditemukan di desa Toyareka. Kalaupun Toyareka ikut menjadi bagian, jelas akan menimbulkan masalah karena termasuk tanah lungguh yang panas dan tidak pantas diduduki oleh keturunan Adipati Warga Utama I. Perubahan toponim Toyareka menjadi Panjer merupakan salah satu hasil dari kanonisasi keempat di dalam keluarga Danureja di Yogyakarta. Namun, Panjer lebih menyejarah dengan Kabupaten Kebumen. Memang, Panjer dan Wirasaba adalah loro-loroning atunggal pada zaman Pajang.
Tabel 3. Beberapa versi Pembagian Empat
Sumber : Priyadi, 2018 : 109, 110, 111
Versi kelima adalah versi Wirjaatmadjan sebagai bentuk transformasi dari tembang macapat menjadi gancaran. Wirjaatmadja yang menjabat Patih Purwokerto menulis babad dengan memakai sumber sejarah lisan dengan narasumber orang-orang tua yang hidup sezaman dengan peristiwa, terutama pada zaman kolonial yang berposisi pada masa kontemporer. Oleh karena itu, karya Wirjaatmadja tidak pantas disebut sebagai karya babad meskipun memakai judul babad sehingga lebih layak disebut karya pseudo-babad (Priyadi, 2016: 106-114 & 2017). Wirjaatmadja telah menulis karyanya secara natural atau telah mengalami proses naturalisasi karena ia tidak memasukkan unsur-unsur mitos, legenda, dan dongeng dalam karyanya. Karya Wirjaatmadja lebih pantas disebut karya sejarah meskipun ia tidak pernah menempuh studi kesejarahan, tetapi ia telah mengikuti jejak penulis naskah Kalibening yang berasal dari abad ke-16 dan 17. Maka dari itu, pembagian empat Wirasaba yang disebutkan telah disesuaikan dengan data sejarah yang ia ketahui sesuai dengan zamannya. Ada tiga toponim yang disingkirkan dari data yang diperoleh, yaitu Senon dan Panjer, serta Toyareka. Ketiga toponim tersebut tidak relevan dengan fakta sejarah sehingga harus disingkirkan. Dua toponim yang baru, yaitu Merden dan Banjarpetambakan. Toponirn Merden di sini menunjuk kepada masa awal Purbalingga yang lebih terkenal dengan sebutan Pamerden. Pamerden ini jangan dikacaukan dengan toponim desa Merden, Kecamatan Purwonegoro, Banjarnegara atau desa Merden, Kecamatan Padureso, Kabupaten Kebumen. Memang kalau ditelusuri toponim-toponim di Jawa banyak yang sama, tetapi mempunyai zeitgeist yang berbeda. Toponim Banjarpetambakan adalah toponim yang tidak bisa dipisahkan dengan Banjarselolembu atau Banjarwatulembu, dan kemudian Banjarnegara. Telah terjadi perubahan toponim sebanyak tiga kali, yaitu zaman Pajang, Mataram, dan kolonial. Dengan demikian, toponim-toponim Wirasaba, Merden (Pamerden), Banjarpetambakan, dan Kejawar adalah empat daerah yang secara historis lebih bisa dipertanggungjawabkan daripada toponim-toponim Senon, Toyareka, dan Panjer. Naturalisasi gaya Wirjaatmadja tidak bisa dikatakan sebagai fenomena kanonisasi karena karya ini ditulis bukan sebagai legitimasi dari trah manapun yang berkuasa di Karesidenan Banyumas. Wirjaatmadja menulis pseudo-babad dalam rangka kebebasan berkarya dan berpikir. Namun, Wirjaatmadja tidak menyebut nama tiga orang anak laki-laki Adipati Warga Utama I yang memperoleh daerah pembagian, Wirasaba, Merden, dan Banjarpetambakan. Hal itu terjadi karena ada beberapa versi yang sering bertolah belakang, misalnya, istri Warga Utama II kadang disebut anak perempuan sulung sehingga kedudukan sebagai anak menantu tertua memiliki pengesahan bahwa anak tertua memang berhak menjadi pengganti ayah mertuanya. Kadang istri Warga Utama II didudukkan sebagai anak bungsu sebagai upaya untuk menjelaskan kepada umum bahwa anak Kejawar itu tidak layak menjadi adipati.
Versi keenam adalah versi Brotodiredjo yang sering mengandung informasi yang berlebih karena versi in merupakan titik temu dari berbagai versi, tetapi agak campur aduk. Daerah yang dibagi empat sama dengan versi Wirjaatmadjan, tetapi ada informasi yang jelas mengenai siapa saja yang memperoleh daerah lungguh, yaitu Wirasaba untuk Ngabebi Wargawijaya, Merden untuk Ngabehi Wirakusuma, Banjarpetambakan untuk Ngabehi Wirayuda, dan Kejawar untuk Adipati Warga Utama II (Brotodiredjo & Ngatidjo Darmosuwondo, 1969: 26).
C. Penghitungan Tanggal
Ada dua versi Babad Banyumas yang ditulis di Paguwan, Purwakerta, yaitu versi Darmasumarta A (Juni 1927) dan versi Darmasumarta B (19 Juni-31 Juli 1927). Versi Darmasumarta A menyatakan bahwa Raden Mangun adalah menantu bungsu (weragil) sehingga bumi Wirasaba dibagi empat seperti kutipan dari Pupuh XIII, Durma: 6-9 (Priyadi, 2013).
/6/ Raden Mangoen ingkang malebeng nagari datan kawarna ing margi/ waoe kawarnaha/ ing Padjang Kangdjeng Soeltan) midhanget lamon ngemasi/ ing Wirasabal ngcongoen kepati//
/7/ saweg etja ngandika Soeltan ing Prajang/ kasaroe ingkang prapti/ ardjoedjoeg ing paseban/ ingandikan marang ngarsa/ ngandika sri narapati/lah kowe apa/ anak lanang sedjati//
/8/ Raden Mangoen oematoer dene kawoela anak ingkang sajekti poen kakang kawoelal dama Wiranegara/Wirakoesoema satoenggil/ kawoela poenika/ mantoe ingkang weragil//
/9/ doek samana poen Mangoen sampoen ketrima/ njengka nama dipati/ anong Wirasaba/ boemine kaprapat/Kerawang mangke siniwi/ marang Ki Mrapat/ sampoen kalilan moelih//
Versi Darmasumarta B memberi gambaran yang gamblang tentang pembagian empat Wirasaba, yaitu saat diangkat sebagai adipati Wirasaba, Sultan Pajang menyarankan untuk membagi bumi Wirasaba meskipun pembagiannya tidak sama dengan teks-teks lainnya. Dua bagian untuk Adipati Warga Utama II dan dua bagian untuk dua anak laki-laki kandung, yaitu Wiranegara dan Wirakusuma. Kutipan Pupuh XI, Megatruh: 21-24 (Priyadi, 2014) disajikan di bawah ini:
/21/ Kangdjeng Soeltan aroem pangandikanipoen/ thole sireki poeniki/ atmadjanira satoehoe/ paman dipati kang lalis/ Dyan Mangoen nembah toernja lon//
/22/ Dhoeh poekoeloen kawoela poenika mantoe/ dene atmadjane jekti/ Wiranagara poenikoe/Wirakoesoema satoenggil/ atmadja djaler moeng loro//
/23/ nging kalihnja sami boten sowan koenoen/ amba ingkang dados wakil/ Djeng Soeltan ngandika aroem/jen mangkono karsa mami/ sira soen djoengjoeng ing mangko//
/24/ dadya adipati neng Wirasabekoel nanging boemine binagi/ rong bagejan mring sirekoel njabagejan mring lyan niki/ jekoe soeta djaloe loro//
Berdasarkan empat pupuh di atas pembagian empat diputuskan pada 27 Ramadhan 978 H (22 Pebruari 1571). Dua bagian yang dimaksud di atas adalah Wirasaba dan Kejawar karena Wirakusuma mendapat bagian di Merden atau Pamerden dan Wiranegara (diduga nama lain dari Wirayuda) yang menerima daerah lungguh Banjarpetambakan atau Banjar. Mengapa nama Wargawijaya tidak muncul dalam versi Darmasumarta A dan versi Darmasumarta B? Kemungkinan Wargawijaya masih kanak-kanak sehingga tidak diperhitungkan langsung sehingga pada tanggal 1 Syawal 978 H (26• Pebruari 1571), Adipati Warga Utama II memohon kepada raja agar dua bagian yang ia peroleh dibagi lagi menjadi Wirasaba dan Kejawar. Wirasaba untuk Wargawijaya dan Kejawar untuk dirinya sendiri. Kemudian, susulan itu diterima sehingga pembagian empat itu diputuskan pada 1 Syawal 978 H. Berdasarkan kemungkinan pada tanggal 1 Syawal 978 H terjadi perubahan keputusan raja dalam pembagian empat Wirasaba, maka tanggal 1 Syawal 978 H dihitung tanggal pada kalender masehi seperti tampak pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Perhitungan Hari Jadi Banjarnegara
Berdasarkan perhitungan pada Tabel 4 diperoleh penjelasan bahwa tanggal 1 Syawal 978 H sama dengan tanggal 26 Pebruari 1571. Berarti, hari jadi Kabupaten Banjarnegara tidak berselisih lama waktunya karena setelah penetapan Adipati Warga Utama II sebagai adipati Wirasaba, Sultan Pajang menghendaki agar bumi Wirasaba dibagi menjadi empat meskipun terdapat dalam beberapa versi sesuai dengan versi teks-teks Babad Banyumas. Begitu pula dengan perhitungan hari dan pasaran dari harji Kabupaten Banjarnegara sebagaimana tampak pada Tabel 5, juga menghasilkan perhitungan yang eksak, yaitu 1 Syawal 978H atau 26 Pebruari 1571 itu bertepatan dengan hari Senin Pon.
Tabel 5. Perhitungan Hari dan Pasaran Hari Jadi Banjarnegara
Hari Senin Pon bisa dihasilkan dari perhitungan pada Tabel 6, yang mengurutkan sejak tanggal 27 Ramadhan hingga 1 Syawal. Bulan Ramadhan pada tahun 978 H berumur selama 30 hari sehingga tanggal 1 Syawal 978 H sama dengan tanggal 26 Pebruari 1571, yang bertepatan dengan Senin Pon.
Tabel 6. Perhitungan Sederhana
D. Tokoh Penerima Pembagian Empat
Brotodiredjo & Ngatidjo Darmosuwondo (1969: 26) dan Sasono & Tri Atmo (1993: 39) menjelaskan pembagian empat seperti pada Tabel 7 di bawah ini. Pembagian tersebut menunjuk kepada tiga orang anak kandung dan seorang menantu laki-laki, Wargawijaya yang menerima Wirasaba adalah anak ketiga, Wirakusuma yang menerima Merden adalah anak kedua, Wirayuda yang diberi kedudukan di Banjarpetambakan adalah anak kelima, sedangkan Warga Utama II adalah menantu yang kawin dengan anak perempuan yang pertama (putri sulung). Anak perempuan yang keempat diserahkan kepada Sultan Pajang. Ada penjelasan yang keliru tentang Merden yang dianggap sebagai toponim yang berada di eks-Kawedanan. Klampok (distrik Klampok) Brotodiredjo & Ngatidjo Darmosuwondo (1969), bahkan Sasono & Tri Atmo (1993) menyebut Kecamatan Klampok (onderdistrik Klampok). Desa Merden memang ada di Kecamatan Purwonegoro, tetapi bukan toponim yang berada di Kabupaten Banjarnegara. Merden atau lebih tepat disebut toponim Pamerden, yang menjadi cikal-bakal Purbalingga. Kedua buku tersebut menyebut anak Adipati Warga Utama I yang menduduki Merden atau Pamerden adalah Wirakusuma. Brotodiredjo & Ngatidjo Darmosuwondo (1969: 19) menyatakan bahwa Wirakusuma adalah Kiai Gede Senon yang berketurunan Kiai Ngabebi Mretadipura atau Kiai Gede Senon II. Keterangan itu mudah diterima karena, baik toponim Senon dan Pamerden berada di wilayah Wirasaba. Teks Sejarah Wirasaba menyebut nama anak Ki Ageng Senon dengan nama Ngabehi Mertasura. Selain it:1, dijelaskan pula bahwa Wargawijaya juga berputra dengan nama nunggak semi ayahnya Ngabehi Wargawijaya II. Urutan anak pada Tabel 7 menganut kepada teks versi-versi kanonisasi yang meliputi Versi Mertadiredjan, Versi Bratadimedjan, Versi Dipayudan, Versi Sejarah Wirasaba, dan Versi Lor. 7718. Versi Mertadiredjan, yaitu Bagus Mangun (Warga Utama II) sebagai menantu, Ki Ageng Senon, Wargawijaya, dan anak keempat adalah putri bungsu yang diserahkan ke Pajang (Priyadi, 1995). Nama Wirayuda tidak ada dalam teks Mertadiredjan dan empat versi lainnya. Nama Wirayuda diduga merupakan nama susulan atau terlupakan. Versi Rejosudiro menambahkan nama Wirayuda sebagai keterangan anak keempat yang tidak disebutkan namanya.
Tabel 7. Versi-versi Kanonisasi
Tabel 8 berdasarkan Versi Rejosudiro menjelaskan posisi terbalik dibandingkan dengan Tabel 7. Warga Utama II adalah menantu yang kawin dengan gadis bungsu. Pada Tabel 7 Warga Utama II mengawini gadis sulung, yang dilandaskan atas versi-versi Babad Banyumas yang sudah dikanonkan. Tabel 8 seolah-olah melakukan oposisi yang menegaskan bahwa Adipati Warga Utama II berada pada kedudukan sebagai anak yang lebih muda. Hal itu bermaksud untuk merendahkan bahwa Banyumas itu bukan anak sulung, yang tidak layak atau pantas menggantikan posisi mertua. Tabel 8 menunjukkan perlawanan terhadap kemapanan versi-versi kanonisasi. Di sini, muncul nama Wiranegara yang berkedudukan di Wirasaba. Wiranegara mungkin dimaksudkan sama dengan Wargawijaya. Nama Wargawijaya seolah-olah dihilangkan oleh Versi Rejosudiro, Versi Darmasumarta A (Priyadi, 2013), dan Versi Darmasumarta B (Priyadi, 2014). Kedua versi yang berasal dari Paguwon, Purwokerto itu menyebut nama tiga orang berturut-turut, Wirakusuma, Wiranegara, dan Warga Utama II, serta minus nama Wirayuda. Berarti nama Wirayuda ditemukan belakangan. Nama Wirayuda yang terlupakan itu telah diselamatkan oleh teks versi Kalibening dengan nama Wargadirana. Dengan demikian, nama Wargadirana telah dikenal sejak abad ke-16 dan 17.
Tabel 8. Versi Rejosudiro
Tabel 9 di bawah ini berdasarkan silsilah dari Purbalingga yang diduga dijadikan pijakan bagi Sasoso & Tri Atmo (1993). Silsilah tersebut menyatakan bahwa Wongso Utomo adalah anak pertama, yang disusul oleh Wironagoro, Wirokusumo. Istri Wargo Utomo II adalah anak keempat, sedangkan anak kelima adalah putri yang diserahkan kepada Sultan Pajang. Tabel 9 menempatkan Wirokusumo di Banjarpetambakan dan berbeda dengan Versi Kanonisasi. Nama Wongso Utomo merupakan nama yang tidak lazim karena Wongso Utomo berarti sama dengan nama Warga Utomo. Nama tersebut mungkin sebagai pertanda bahwa ia akan dijadikan pengganti ayahnya. Babad Banyumas pada umumnya selalu menyebut bahwa Wargawijaya adalah anak yang diharapkan menjadi pengganti ayahnya sehingga disebut Wongso Utomo. Akibatnya, posisi Wongso Utomo telah menggeser Wiranegara atau Wironagoro dari posisi Wirasaba dan Wirokusumo dari Merden. Kemungkinan Wiranegara atau Wironagorc sama dengan Wongso Utomo. Silsilah Purbalingga ini memang mengacaukan susunan anak dan menantu Adipati Warga Utama I.
Tabel 9. Versi Silsilah Purbalingga
Tabel 10 adalah berlandaskan teks versi Kalibening itu menyatakan bahwa putra Kejawar menikah dengan anak perempuan yang sulung. Disusul dengan dua anak laki-laki, yaitu Wargadirana dan Wargawijaya, selanjutnya anak keempat dan kelima adalah anak perempuan (Priyadi, 2016: 64). Nama Wargadirana sama artinya dengan Wirayuda pada Tabel 7. Jika hal itu bisa dipertahankan, maka Wargadirana berkedudukan di Banjarpetambakan. Untuk Pamerden tidak dijelaskan siapa yang menerima karena kedua anak terakhir adalah perempuan dan tidak disebutkan nama menantunya. Anak perempuan keempat, misalnya, tidak disebutkan nama suaminya. Namun, anak perempuan bungsu itu kemungkinan yang diserahkan kepada Suitan Pajang,
Tabel 10. Teks Versi Kalibening
Perbedaan susunan anak dan menantu Adipati Warga Utama I bisa diselesaikan berdasarkan versi-versi kanonisasi yang tidak berbeda jauh dengan teks versi Kalibening. Teks tertua itu secara jelas mengakui anak Kiai Mranggi Kejawar adalah anak menantu sulung Adipati Wirasaba. Tabel 11 merupakan rekonstruksi dari perbedaan versi, yang dilanjutkan dengan kondisi kesejarahan ketika memasuki masa Mataram, pasca-Palihan Nagari, kasepuhan-kanoman.
Tabel 11. Rekonstruksi
Sumber : Priyadi, 2010 : 772, dengan modifikasi.
Tabel 11, lajur pertama menjelaskan realitas sejarah dari turun-temurun dengan pejabat sisipan akibat bupati keturunan Banyumas dipandang mempunyai masalah sehingga harus diganti dengan pejabat dari pusat. Namun, pejabat dari pusat juga membuat masalah baru sehingga mereka digantikan dengan pejabat dari keturunan Banyumas. Pejabat pusat yang meliputi Tumenggung Suradipura (1715-1727), Tumenggung Reksapraja (1743-1749), dan Tumenggung Toyakusuma atau Tumenggung Kemong (1780-1788) terbilang tidak sukses. Hanya Wedana Bupati Kasepuhan, Tumenggung Cakrawedana yang masih bertahan hingga berakhir masa jabatannya dan penerusnya setelah memasuki masa Hindia Belanda tetap berkuasa di Banyumas.
Lajur kedua menyangkut Pamerden yang menjadi cikal-bakal Purbalingga. Ngabehi Merden diisi oleh Wirakusuma atau Ki Gede Senon I sebagai keturunan Adipati Warga Utama I. Tampaknya, Ki Gede Senon I digantikan oleh anaknya yang disebut Ki Gede Senon II, yang oleh Versi ISSB disebut Ngabehi Mretadipura atau Ngabeni Mertasura menurut versi lainnya. Dua keturunan ini tidak berlanjut, tetapi muncul tokoh Nyi Dipayuda di Pamerden. Ia adalah seorang anak perempuan Ngabehi Jariah I yang kawin dengan Kiai Dipayuda, tetapi tokoh ini tidak jelas identitasnya karena belum ditemukan sumber yang lain. Lalu, ada dua masa kekosongan yang tidak bisa diisi karena tidak ada sumber. Kemudian, sumber lokal yang berjudul Babad Onje menyebut empat orang pejabat Ngabehi Pamerden, yaitu Ngabehi Dipayuda Denok, Ngabehi Denok, Dipayuda Gabug, dan Cakrayuda (Priyadi. 2006). Sayang sekali tidak ada sumber yang menyebut dua pejabat Ngabehi Pamerden sebelum Dipayuda Denok. Kemungkinan, Ngabehi Dipayuda Denok adalah keturunan Nyi Dipayuda. Tokoh kedua disebut Ngabehi Denok karena ia menggantikan Ngabehi Dipayuda Denok. Ngabehi Denok disebut Bagus Demang karena ia membagi Onje menjadi tiga daerah perdikan. Ngabehi Denok yang aslinya adalah anak Yudanegara II, yang ditanam sebagai Ngabehi Pamerden oleh ayahnya dengan nama Ngabehi Dipayuda I. Ada dua perlakukan orang Purbalingga kepada Dipayuda I. Ia dianggap keturunan Banyumas atau orang luar sehingga dalam babad-babad di Purbalingga, yang diakui keberadaannya adalah Ngabehi Dipayuda III. Orang Purbalingga menyebut Ngabehi Dipayuda III dengan pangkat raden tumenggung. Penguasa Pamerden adalah bupati anom bawahan Tumenggung Banyumas. Di satu sisi, dalam tradisi kecil, Ngabehi Dipayuda I diakui sebagai orang keturunan Purbalingga yang juga diraden-tumenggungkan (Sasono & Tri Atmo, 1993: 53). Namun, pengakuan ini tidak berhasil sehingga tradisi besar Purbalingga menyingkirkan Ngabehi Dipayuda I. Tokoh ketiga, Dipayuda II termasuk yang tidak disukai sehingga disebut Ngabebi Seda Banda dan Dipayuda Gabug. Dua nama sebutan yang tidak mengenakan. Padahal, istri Dipayuda sedang hamil ketika suaminya meninggal sehingga sebutan Dipayuda Gabug tidak cocok. Tokoh keempat, yang bernama Cakrayuda yang disebut trah Banyumas ini tampaknya dihilangkan dalam daftar sehingga para penulis babad sukar dalam memberikan angka tahun. Cakrayudą oleh penulis babad di Purbalingga dihapus. Dengan adanya Cakrayuda, maka angka-angka tahun menjadi lebih mudah, yaitu Ngabehi Denok (1749-1751), Ngabehi Dipayuda Gabug (1751-1754), dan Ngabehi Cakrayuda (1754-1759). Dengan demikian, para penulis babad di Purbalingga tidak mengakui empat tokoh dan dua tokoh yang hilang. Untunglah Babad Onje masih mencatat nama keempat orang itu. Dua orang lagi keturunan Nyi Dipayuda (anak Ngabehi Janah I) perlu dicari lagi dari sumber lokal.
Para penulis babad Di Purbalingga mendudukkan Ngabehi Dipayuda III sebagai bupati Purbalingga setelah pindah dari Pamerden dengan pangkat raden tumenggung. Pangkat raden tumenggung hanya dipakai oleh bupati Banyumas, bukan ngabebi bawahan Banyumas. Dipayuda III sekali-kali bukan bupati Purbalingga, tetapi Ngabehi Purbalingga. Dipayuda III disebutkan menjabat pada periode 1759-1787 dan pejabat berikutnya disebut menjabat 1792-1811. Berarti ada kekosongan pada periode 1787-1792. Ternyata pada periode itu ada pejabat Ngabehi Purbalingga yang bernama Yudakusuma I. Ia adalah anak Raden Tumenggung Yudanegara IV. Nama Yudakusuma I juga tidak disukai, bahkan disitnah pergi dari Purbalingga karena gila dan membunuh orang. Setelah Ngabehi Yudakusuma 1, Purbalingga dibagi dua, Pejabat pertama adalah Ngabehi Dipakusuma I (bukan raden tumenggung) dan pejabat yang lain adalah Ngabehi Yudakusuma II (anak Raden Tumenggung Yudanegara V). Mereka menjabat pada periode 1792-1811. Pada periode 1811-1816, ada pejabat Ngabehi Purbalingga yang bernama Dipayuda IV (cucu Dipayuda I). Dipayuda IV sebagai cucu Dipayuda IV magang di keraton dan ditempatkan di Purbalingga. Rupanya, pihak keraton bisa membaca bahwa penempatan ipayuda IV di Purbalingga bisa menimbulkan masalah dan berpeluang ada gesekan dengan keturunan Dipayuda III sehingga ada babad, yaitu Babad Wirasaba Kejawar atau Serat Soedjarah Banjoemas menyatakan pantangan bahwa keturunan Dipayuda Banjarnegara tidak boleh berbesanan dengan keturunan Dipayuda Purbalingga. Setelah pembagian Kasepuhan dan Kanoman, Ngabehi Dipayuda IV dipindahkan ke Adireja dengan pangkat tumenggung kliwon (bukan raden tumenggung). Purbalingga diserahkan kembali kepada Bratasudira (anak Dipakusuma I) juga dengan pangkat tumenggung kliwon (bukan raden tumenggung) (lihat Tabel 11 dan Tabel 12).
Lajur ketiga berkaitan dengan Banjarpetambakan, yang diberikan kepada Wirayuda menurut babad-babad yang baru, sedangkan babad tertua, yaitu teks Kalibening disebut Wargadirana. Wirayuda berarti tokoh yang kuat di medan perang. Wargadirana juga berarti sama, yaitu keluarga (warga) yang unggul (adi) di medan perang (rana). Tidak ada catatan yang bisa mengisi tiga keturunan yang kosong sejak Wirayuda atau Wargadirana. Ada kemungkinan bahwa budaya literasi tidak berkembang di Banjarpetambakan atau tidak ada tradisi lisan yang dicatat oleh orang-orang lokal. Kalau di Purbalingga pada generasi ketiga sudah masuk keturunan Adipati Mrapat (Banyumas) melalui Nyi Dipayuda. Di Banjarpetambakan, keturunan Adipati Mrapat yang keempat, yaitu Banyak Widhe. Banyak Widhe, Mangunyuda Seda Loji (Mangunyuda I), Mangunyuda Mukti (Mangunyuda II), Mangunyuda III (Mangunbroto), dan Mangunsubroto mengisi sejarah hingga masa pembagian Kasepuhan dan Kanoman. Pada Tabel 12, Banjarnegara dibagi dua, yaitu Ngabeni Mangunyuda III sebagai bawahan wedana bupati Kanoman, sedangkan Ngabehi Ranudireja (anak. Tumenggung Yudanegara IV) menjadi bawaha wedana bupati Kasepuhan. Setelah Perang Jawa, trah Banyak Widhe digantikan oleh Tumenggung Kliwon Dipayuda IV, yang tadinya menjabat di Adireja (lihat Tabel 12).
Lajur keempat adalah Wirasaba yang menempatkan Wargawijaya menjadi penerima daerah yang sebenarnya ayahnya berharap banyak. Wargawijaya adalah anak yang dipersiapkan sebagai pengganti, tetapi rencana itu menjadi tidak terlaksana karena Adipati Warga Utama I terbunuh di desa Bener karena persoalan akan perempuannya yang diserahkan kepada Sultan Pajang. Ibaratnya, Wargawijaya memperoleh bagian yang memang berhak, tetapi Wirasaba bukanlah pusat kekuasaan lagi karena sudah berpindah ke Banyumas. Sebagian besar babad-babad yang berbentuk tembang, anak Wargawijaya yang bernama nunggak semi, Wargawijaya telah pergi ke Krawang dan kawin di sana, serta tidak kembali ke tanah tumpah darabnya sehingga Wirasaba mengalami kekosongan. Ada kekosongan sepanjang empat generasi. Kemudian, teks Versi Sejarah Wirasaba menyebut silsilah tambahan, yang berawal dari anak perempuan Yudanegara II, yang bernama Nyi Wiramantri yang kawin di Wirasaba. Kiai Wiramantri belum bisa ditemukan dari keturunannya. Mungkin, Kiai Wiramantri adalah orang Wirasaba asli yang kawin dengan anak perempuan Tumenggung Yudanegara II sehingga ia bisa menjadi Ngabehi Wirasaba. Anak laki-laki Wiramantri menggantikan ayahnya dengan nama nunggak semi Kiai Wiramantri II. Kiai Wiramantri diteruskan oleh anaknya (Wirapada) dan cucunya (Wiracandra), sedangkan buyutnya (Wiratirtani) dan canggahnya (Mulyadikrama) pada zaman Hindia Belanda menjadi lurah-lurah Wirasaba. Anak Mulyadikrana yang bornama Mulyareja menjadi penyalin teks Sejarah Wirasaba. Mulyareja yang menambahkan silssilah pejabat di Wirasaba. Pada masa pembagian Kasepuhan dan Kanoman sudah tidak ada lagi pejabat ngabehi di Wirasaba (lihat Tabel 12).
Tabel 12 menunjukkan bahwa Banyumas dipecah-belah menjadi dua, yaitu Kasepuhan dan Kanoman yang masing-masing di bawah pejabat wedana bupati. Wedana bupati yang berpangkat raden tumenggung mengkoordinasi para bupati anom yang berpangkat raden ngabehi, tetapi ada dua orang yang berpangkat raden tumenggung kliwon, yaitu Dipayuda IV dan Bratasudira. Adireja berdampingan dengan Adipala, Purwokerto berdampingan dengan Sokaraja (lanjutan dari pembagian dua Pasir Kertawibawa), Panjer dan Banjarnegara dibagi dua. Ternyata, hanya Purbalingg yang tidak terbagi. Mungkin Purbalingga sudah berada pada posisi aman karena sudah ditanam Ngabehi Yudakusuma I dan dibagi dua dengan dua pejabat yang berdampingan, yaitu Ngabehi Yudakusuma II dan Ngabehi Dipakusuma I. Lalu, diselingi oleh Ngabehi Dipayuda IV.
Tabel 12. Pembagian Kasepuhan/Kanoman hingga Hindia Belanda
Tabel 12 bagian bawah menunjukkan proses peralihan dari masa Kasepuhan dan Kanoman menuju masa pembagian pada masa Hindia Belanda melalui Resolutie 22 Agustus 1831 diangkat lima orang bupati, yaitu Tumenggung Cakranegara I (Banyumas), Tumenggung Mertadiredja II (Ajibarang), Tumenggungg Dipakusuma II (Purbalingga), Tumenggung Prawiranegara (Majenang), dan Tumenggung Dipayuda IV (Banjarnegara). Dayeuhluhur atau Majenang adalah wilayah tambahan dalam Karesidenan Banyumas karena sebelum Perang Jawa, wilayah itu tidak termasuk wilayah Banyumas, baik Kasepuhan dan Kanoman. Masa kolonial Belanda berarti tidak ada lagi Banjarnegara yang dipecah-belah antara versi Kasepuhan dan versi Kanoman. Begitu juga dengan Panjer, yang akhirnya masuk ke Kabupaten Kebumen. Tidak a Ngabehi Purwokerto dan Ngabehi Sokaraja meskipun beralih Banyumas berhadapan dengan Purwokerto (pengganti Ajibarang). Ajibarang termasuk kabupaten yang berumur pendek karena berpindah ke Purwokerto pada tahun 1832, tetapi masih beruntung karena Kabupaten Majenang pada tahun yang sama dihapuskan karena bupatinya diklaim gila dan dibuang ke Padang. Bekas wilayah Kabupaten Majenang digabungkan dengan Kabupaten Purwokerto. Mungkin alasan yang rasional adalah Dayeuhluhur sejak zaman Surakarta adalah kabupaten yang sangat miskin karena hanya mampu membayar pajak 85% kepada Belanda (Priyadi, 2018: 119).
DAFTAR PUSTAKA
Brotodiredjo, R. M. S. & Ngatidjo Darmosuwondo, 1969. Intisilsilah dan Sedjarah Banjumas. Bogor: tanpa penerbit.
Mees, W. Fruin. 1920. Geschiedenis van Java, deel II. Weltevreden: Uitgave van de Volkslectuur.
Priyadi, Sugeng. 1995. "Tedhakan Serat Babad Banyumas: Suntingan Teks, Terjemahan, dan Fungsi Genealogi dalam Kerangka Struktur Naratif,” Tesis Tidak Dipublikasikan. Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.
Priyadi, Sugeng. 2006. "Tabu Nikah pada Masyarakat Onje-Cipaku di Purbalingga," dalam Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 2, Agustus. Surakarta: LPPM Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Priyadi, Sugeng. 2008. Biografi Raden Kamandaka dan Sejarah Banyumas. Yogyakarta: • Kaliwangi.
Priyadi, Sugeng. 2010. "Dinamika Sosial Budaya Banyumas dalam BabadBanyumas Versi Wirjaatmadjan: Suntingan Teks dan Terjemahan." Disertasi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Priyadi, Sugeng. 2013. "Babad Banyumas Versi Darmasumarta A." Penelitian Hibah Program Studi. Purwokerto: Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Priyadi, Sugeng. 2014. “Kajian Filologis Teks Babad Banyumas Versi B.” Penelitian Hibah Program Studi. Purwokerto: Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Priyadi, Sugeng. 2015a. Menuju Keemasan Banyumas. Yogyakarta: PustakaPelajar-Satria Indra Prasta Publishing.
Priyadi, Sugeng. 2015b. Hari Jadi Kabupaten Banyumas 22 Pebruari 1571. Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Satria Indra Prasta Publishing.
Priyadi, Sugeng. 2016. Bibliotheca Banyumasica: Penafsiran Fakta-Fakta Sejarah Banyumas Berdasarkan Manuskrip Kalibening. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Priyadi, Sugeng. 2017. “Pseudo-Babad di Banyumas dalam Arus Perkembangan Historiografi Tradisional Jawa,” dalam Sri Margana, Retno Sekarningrum, dan Ahmad Faisol. Menemukan Historiografi Indonesiasentris. Yogyakarta: Ombak.
Priyadi, Sugeng. 2018. Sejarah Kota Banyumas (1571 Hingga kini). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sasoso & Tri Atmo. 1993. Mengenal Purbalingga. Jakarta: Paguyuban Arsakusuma.
Referensi
Derap Serayu Diarsipkan 2019-09-04 di Wayback Machine.
Dinas Pariwisata Banjarnegara
Sarean Pekuncen
Sekilas Babad Banjar Petambakan
Kata Kunci Pencarian:
- Petambakan, Madukara, Banjarnegara
- Kabupaten Banjarnegara
- Clapar, Madukara, Banjarnegara
- Madukara, Banjarnegara
- Kenteng, Madukara, Banjarnegara
- Karanganyar, Madukara, Banjarnegara
- Penawangan, Madukara, Banjarnegara
- Kaliurip, Madukara, Banjarnegara
- Pakelen, Madukara, Banjarnegara
- Pagelak, Madukara, Banjarnegara