Platipus (Ornithorhynchus anatinus) adalah mamalia semi-akuatik yang bertelur dan endemik di Australia timur, termasuk Tasmania.
Platipus adalah satu-satunya perwakilan hidup atau takson monotipik dari famili-nya (Ornithorhynchidae) dan genus (Ornithorhynchus), meskipun sejumlah spesies terkait dengannya juga muncul dalam catatan fosil.
Bersama dengan empat spesies nokdiak,
Platipus adalah salah satu dari lima spesies monotremata yang masih ada, yakni mamalia yang bertelur dan bukan melahirkan anak. Seperti monotreme lainnya, ia merasakan mangsa melalui elektrolokasi.
Platipus adalah salah satu dari sedikit spesies mamalia ber-bisa, di mana
Platipus jantan memiliki taji di belakang kakinya yang mampu menghantarkan bisa, yang dapat menyebabkan rasa sakit yang parah pada manusia. Penampilan yang tidak biasa dari mamalia bertelur ini, yang memiliki paruh seperti bebek, ekor seperti biwara, dan kaki seperti berang-berang ini membingungkan para naturalis Eropa ketika pertama kali menemukannya, dan para ilmuwan pertama yang memeriksa tubuh
Platipus yang diawetkan (pada tahun 1799) menilainya palsu, mengatakannya terbuat dari beberapa hewan yang dijahit menjadi satu.
Fitur unik
Platipus menjadikannya subjek penting dalam studi biologi evolusi, dan simbol ikonik Australia yang mudah dikenali.
Platipus secara budaya bermakna signifikan bagi beberapa suku Aborigin Australia, yang dulunya juga kerap berburu hewan ini untuk dimakan.
Platipus muncul sebagai maskot pada acara nasional dan ditampilkan pada bagian belakang koin dua puluh sen Australia,
Platipus juga merupakan lambang hewan negara bagian New South Wales. Hingga awal abad ke-20, manusia memburu
Platipus untuk diambil kulitnya, tetapi sekarang
Platipus dilindungi di seluruh wilayah persebarannya. Meskipun program penangkaran hanya memiliki keberhasilan yang terbatas, dan
Platipus rentan terhadap efek polusi, namun ia tidak berada di bawah ancaman langsung.
Per tahun 2020,
Platipus adalah spesies yang dilindungi secara hukum di semua negara bagian di mana ia berada.
Platipus terdaftar sebagai spesies yang terancam punah di Australia Selatan dan rentan di Victoria. Spesies ini diklasifikasikan sebagai spesies yang hampir terancam punah oleh IUCN, tetapi laporan pada November 2020 merekomendasikan agar spesies ini ditingkatkan statusnya menjadi spesies terancam punah di bawah Undang-Undang EPBC federal, karena kerusakan habitat dan penurunan jumlahnya di semua negara bagian Australia.
Taksonomi dan penamaan
Ketika
Platipus pertama kali ditemukan oleh orang Eropa pada tahun 1798, kulit dan sketsa darinya dikirim kembali ke Inggris oleh Kapten John Hunter, Gubernur kedua New South Wales. Dugaan awal para ilmuwan Inggris adalah bahwa atribut-atribut tersebut adalah bohongan. George Shaw, yang membuat deskripsi pertama dari hewan ini dalam Naturalist's Miscellany pada tahun 1799, menyatakan bahwa mustahil untuk tidak meragukan keasliannya, dan Robert Knox meyakini bahwa hewan ini kemungkinan dibuat oleh seorang ahli taksidermis Asia. Awalnya dianggap bahwa seseorang telah menjahit paruh bebek ke tubuh hewan yang mirip biwara. Shaw bahkan mengambil gunting ke kulit keringnya untuk memeriksa adanya jahitan.
Nama umum "platypus" secara harfiah berarti 'kaki datar', berasal dari kata Yunani platúpous (πλατύπους), dari platús (πλατύς: 'luas, lebar, datar') dan poús (πούς: 'kaki'). Shaw awalnya memberi nama Linnaean Platypus anatinus ketika ia mendeskripsikannya, tetapi istilah genus tersebut segera diketahui telah digunakan sebagai nama genus untuk sekelompok kumbang ambrosia penggerek kayu. Platypus anatinus lalu dideskripsikan secara independen sebagai Ornithorhynchus paradoxus oleh Johann Blumenbach pada tahun 1800 (dari spesimen yang diberikan kepadanya oleh Sir Joseph Banks) dan mengikuti aturan prioritas nomenklatur, kemudian secara resmi diakui sebagai Ornithorhynchus anatinus.
Tidak ada bentuk jamak dari kata "platypus" yang disepakati secara universal dalam bahasa Inggris. Para ilmuwan umumnya menggunakan "platypus" atau hanya "platypus". Dalam bahasa sehari-hari, istilah "platypi" juga digunakan untuk bentuk jamak, meskipun ini adalah bentuk pseudo-Latin; berdasarkan akar kata Yunani, yang jamaknya adalah "platypodes". Pemukim awal dari Inggris menyebutnya dengan banyak nama, seperti "watermole", "duckbill", dan "duckmole". Kadang-kadang secara khusus disebut "duck-billed platypus"
Nama ilmiah Ornithorhynchus anatinus secara harfiah berarti 'moncong burung seperti bebek', yang berasal dari nama genus-nya dari akar kata Yunani ornith- (όρνιθ: ornith atau ὄρνις órnīs 'burung') dan kata irhúnkhos (ῥύγχος: 'moncong', 'paruh'). Nama spesies-nya berasal dari bahasa Latin anatinus ('mirip bebek') dari anas 'bebek'.
Platipus adalah satu-satunya perwakilan yang masih hidup atau takson monotipik dari famili-nya (Ornithorhynchidae).
Deskripsi
Dalam catatan David Collins tentang koloni baru tahun 1788-1801, dia menjelaskan bahwa dirinya menemukan "seekor hewan amfibi, dari spesies tikus tanah". Catatannya menyertakan gambar
Platipus.
Tubuh dan ekor
Platipus yang lebar dan datar ditutupi dengan rambut yang lebat, berwarna cokelat, dan biofluoresen sehingga memerangkap udara untuk menjaga agar dirinya tetap hangat. Rambutnya tahan air, dan teksturnya mirip dengan tikus tanah.
Platipus menggunakan ekornya untuk menyimpan cadangan lemak (adaptasi yang juga ditemukan pada hewan seperti setan tasmania). Selaput pada kakinya lebih signifikan pada kaki depan yang dilipat ke belakang ketika berjalan di darat. Moncong memanjang dan rahang bawah ditutupi kulit lembut, membentuk paruh. Lubang hidung terletak di permukaan dorsal moncong, sedangkan mata dan telinga berada di dalam ceruk yang terletak tepat di belakangnya; ceruk ini tertutup ketika berenang.
Platipus dilaporkan mengeluarkan geraman pelan ketika merasa terganggu dan berbagai vokalisasi lainnya juga pernah dilaporkan pada spesimen di penangkaran.
Beratnya bervariasi dari 07 hingga 24 kg, dengan jantan lebih besar dari betina. Panjang total jantan rata-rata 50 cm, sedangkan betina rata-rata 43 cm, dengan variasi substansial pada ukuran rata-rata di satu daerah dengan daerah lain. Pola ini tampaknya tidak mengikuti aturan iklim tertentu dan mungkin disebabkan oleh faktor lingkungan lainnya, seperti pemangsaan dan perambahan manusia.
Platipus memiliki suhu tubuh rata-rata sekitar 32 °C (90 °F), tidak seperti tipikal mamalia ber-plasenta pada umumnya yakni 37 °C (99 °F). Penelitian menunjukkan bahwa hal ini merupakan adaptasi bertahap terhadap kondisi lingkungan yang keras oleh sejumlah kecil spesies monotreme yang masih hidup, ketimbang karakteristik historis yang dimiliki monotreme.
Platipus yang masih muda memiliki tiga gigi di masing-masing rahang atas (satu premolar dan dua molar) dan rahang bawahnya (tiga molar), yang hilang sebelum atau sesaat setelah meninggalkan liang perkembangbiakan; sebagai gantinya,
Platipus dewasa memiliki bantalan yang sangat ber-keratin yang disebut ceratodontes, yang mereka gunakan untuk menggiling makanan. Gigi pipi atas dan bawah pertama dan ketiga dari anak
Platipus berukuran kecil, masing-masing memiliki satu tonjolan pokok, sedangkan gigi lainnya memiliki dua tonjolan pokok. Rahang
Platipus memiliki struktur yang berbeda dari mamalia lainnya, dengan otot pembuka rahang yang juga berbeda. Pada umumnya mamalia sejati, tulang-tulang kecil yang menghantarkan suara di telinga tengah sepenuhnya menyatu ke dalam tengkorak, bukan terletak di rahang seperti pada synapsida pra mamalia. Namun, pada
Platipus pembukaan eksternal telinganya masih terletak di dasar rahang.
Platipus memiliki tulang ekstra di korset bahu, termasuk interklavikula, yang tidak ditemukan pada mamalia lain. Seperti pada banyak vertebrata akuatik dan semi akuatik lainnya, tulang-tulangnya menunjukkan osteosklerosis, meningkatkan kepadatannya untuk menjadi pemberat.
Platipus memiliki gaya berjalan seperti reptil, dengan kaki di sisi tubuh, bukan di bawahnya. Ketika di darat, ia melakukan gaya berjalan dengan buku jari di kaki depannya, untuk melindungi selaput di antara jari-jari kaki.
= Bisa
=
Meskipun
Platipus jantan dan betina dilahirkan dengan taji pada belakang pergelangan kakinya, hanya taji pada pergelangan kaki jantan lah yang menghasilkan bisa, yang sebagian besar terdiri dari protein sejenis defensin (DLP), yang tiga di antaranya unik untuk
Platipus. DLP ini diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh
Platipus. Fungsi defensin adalah untuk menyebabkan lisis pada bakteri dan virus patogen, tetapi pada
Platipus, dia juga membentuk bisa untuk pertahanan. Meskipun cukup kuat untuk membunuh hewan yang lebih kecil seperti anjing, bisa-nya tidak mematikan bagi manusia, akan tetapi rasa sakitnya yang ditimbulkan akan sangat menyiksa sehingga melumpuhkan si korban. Sembap berkembang dengan cepat di sekitar luka dan secara bertahap menyebar ke seluruh anggota tubuh yang terkena. Informasi yang diperoleh dari sejarah kasus dan kesaksian pribadi menunjukkan bahwa rasa sakitnya berkembang menjadi hiperalgesia (sensitivitas yang tinggi terhadap rasa sakit) yang berlangsung selama berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan. Bisa ini diproduksi di kelenjar klural
Platipus jantan, yang merupakan kelenjar alveolar berbentuk ginjal yang dihubungkan oleh saluran berdinding tipis ke taji kalkaneus pada setiap tungkai belakang.
Platipus betina, sama dengan ekidna, memiliki tunas taji yang belum sempurna yang tidak berkembang (putus sebelum akhir tahun pertama mereka) dan tidak memiliki kelenjar klural yang fungsional.
Bisa ini tampaknya memiliki fungsi yang berbeda dari yang dihasilkan oleh spesies non-mamalia; efeknya tidak mengancam jiwa manusia, namun demikian cukup kuat untuk menyakiti korban secara serius. Berhubung hanya jantan yang menghasilkan bisa dan produksinya meningkat selama musim kawin, Bisa ini dapat dimanfaatkan sebagai senjata ofensif oleh mereka untuk menegaskan dominasi selama periode ini.
Taji serupa ditemukan pada banyak kelompok mamalia purba, yang mengindikasikan bahwa ini adalah karakteristik purba untuk mamalia secara keseluruhan, dan tidak eksklusif untuk
Platipus atau monotreme lainnya.
= Elektrolokasi
=
Monotreme adalah satu-satunya mamalia (selain setidaknya satu spesies lumba-lumba yaitu Lumba-lumba Guyana) yang diketahui memiliki indra elektroresepsi: mereka menemukan mangsanya sebagian dengan mendeteksi medan listrik yang dihasilkan oleh kontraksi otot. Elektroresepsi
Platipus adalah yang paling sensitif dari monotremata mana pun.
Elektroreseptor terletak di barisan rostrokaudal di kulit paruh, sementara mekanoreseptor (yang mendeteksi sentuhan) didistribusikan secara seragam di seluruh paruh. Area elektrosensori korteks otak besar berada di dalam area somatosensori sentuhan, dan beberapa sel kortikal menerima input dari elektroreseptor dan mekanoreseptor, menunjukkan hubungan yang erat antara indra peraba dan indra listrik. Baik elektroreseptor dan mekanoreseptor di paruh mendominasi peta somatotopik otak
Platipus, dengan cara yang sama tangan manusia mendominasi peta homunculus Penfield.
Platipus dapat menentukan arah sumber listrik, kemungkinan dengan membandingkan perbedaan kekuatan sinyal di seluruh lapisan elektroreseptor. Hal ini akan menjelaskan karakteristik gerakan sisi-ke-sisi kepalanya saat berburu. Konvergensi kortikal dari input elektrosensori dan sentuhan menunjukkan mekanisme yang menentukan jarak mangsa yang, ketika mereka bergerak, memancarkan sinyal listrik dan gelombang tekanan mekanis.
Platipus menggunakan perbedaan antara waktu kedatangan kedua sinyal untuk mengetahui jarak.
Platipus menutup mata, telinga, dan hidungnya setiap kali ia menyelam, sehingga ia tidak menggunakan penglihatan dan penciuman ketika mencari makan. Alih-alih, ketika ia menggali di dasar sungai dengan paruhnya, elektroreseptornya mendeteksi arus listrik kecil yang dihasilkan oleh kontraksi otot mangsanya, sehingga memungkinkannya untuk membedakan antara benda hidup dan benda mati, yang secara kontinu menstimulasi mekanoreseptornya. Sejumlah eksperimen menunjukkan
Platipus bahkan akan bereaksi terhadap "udang buatan" jika arus listrik kecil dialirkan pada udang buatan tersebut.
Elektrolokasi-nya monotremata mungkin berevolusi untuk memungkinkan hewan-hewan tersebut mencari makan di perairan keruh, dan kemungkinan berkaitan dengan hilangnya gigi mereka. Obdurodon yang telah punah adalah hewan elektroreseptif, tetapi tidak seperti
Platipus modern, ia mencari makan secara pelagis (di dekat permukaan laut).
= Mata
=
Dalam penelitian terkini, telah dikemukakan bahwa mata
Platipus lebih mirip dengan mata ikan hagfish Pasifik atau lamprey Belahan Bumi Utara daripada mata kebanyakan tetrapoda. Mata
Platipus juga mengandung kerucut ganda, yang tidak dimiliki oleh kebanyakan mamalia.
Meskipun mata
Platipus kecil dan tidak digunakan di bawah air, beberapa fitur menunjukkan bahwa penglihatan memainkan peran penting bagi nenek moyang mereka. Permukaan kornea dan permukaan lensa yang berdekatan berbentuk datar sementara permukaan posterior lensa melengkung curam, mirip dengan mata mamalia air lainnya seperti berang-berang dan singa laut. Konsentrasi temporal (sisi telinga) dari sel ganglion retina, yang penting untuk penglihatan binokular, mengindikasikan adanya peranan dalam pemangsaan, sementara ketajaman visual yang menyertainya tidak mencukupi untuk aktivitas tersebut. Lebih jauh lagi, daya pandang yang terbatas ini diimbangi dengan perbesaran kortikal yang rendah, nukleus genikulatum lateral yang kecil, dan tektum optik yang besar, menunjukkan bahwa otak tengah untuk penglihatan memainkan peran yang lebih penting daripada korteks visual, seperti pada beberapa hewan pengerat. Fitur-fitur ini menunjukkan bahwa
Platipus telah beradaptasi dengan gaya hidup akuatik dan nokturnal, mengembangkan sistem elektrosensori dengan mengorbankan sistem penglihatannya; sebuah proses evolusi yang disejajarkan dengan sejumlah kecil elektroreseptor pada ekidna berparuh pendek, yang tinggal di lingkungan yang kering, sementara ekidna dengan paruh panjang, yang hidup di lingkungan yang lembab, berada di tengah-tengah antara dua monotreme tersebut.
= Biofluoresensi
=
Pada tahun 2020, penelitian tentang biofluoresensi mengungkapkan bahwa
Platipus memancarkan warna hijau kebiruan ketika terpapar cahaya dari lampu hitam.
Distribusi, ekologi, dan perilaku
Platipus bersifat semi akuatik, mendiami sungai-sungai dengan sebaran yang luas mulai dari dataran tinggi Tasmania dan Pegunungan Alpen Australia yang dingin hingga ke hutan hujan tropis di pesisir Queensland sampai jauh ke utara hingga ke dasar Semenanjung Cape York.
Di pedalaman, distribusinya tidak diketahui dengan baik.
Platipus dianggap punah di daratan Australia Selatan, dengan penampakan terakhir yang tercatat di Renmark pada tahun 1975, sampai beberapa tahun setelah John Wamsley membuat Cagar Alam Warrawong pada tahun 1980-an, membuat program pengembangbiakan
Platipus di sana, namun kemudian tutup. Pada tahun 2017, ada beberapa penampakan yang belum dikonfirmasi di hilir, di luar cagar alam, dan pada bulan Oktober 2020 seekor
Platipus yang bersarang difilmkan di dalam cagar alam yang baru saja dibuka kembali. Ada populasi di Pulau Kanguru yang diperkenalkan pada tahun 1920-an, yang dikatakan mencapai 150 individu di wilayah Sungai Rocky di Taman Nasional Flinders Chase sebelum terjadinya kebakaran hutan Australia tahun 2019-20, di mana sebagian besar pulau itu hangus terbakar, memusnahkan seluruh satwa liar. Namun, dengan tim pemulihan Departemen Lingkungan Hidup dan Air SA yang bekerja keras untuk memulihkan kembali habitat mereka, ada sejumlah penampakan yang dilaporkan pada April 2020.
Platipus tidak lagi ditemukan di bagian utama Cekungan Murray-Darling, kemungkinan karena penurunan kualitas air yang disebabkan oleh pembukaan lahan yang luas dan skema irigasi. Di sepanjang sistem sungai pesisir, distribusinya tidak dapat diperkirakan;
Platipus tampaknya tidak dijumpai di beberapa sungai yang relatif sehat, namun tetap ditemukan di sungai lain, misalnya, Maribyrnong bagian bawah, yang cukup terdegradasi.
Di penangkaran,
Platipus dapat bertahan hidup hingga usia 17 tahun, dan spesimen liar telah ditemukan kembali ketika berusia 11 tahun. Tingkat kematian
Platipus dewasa di alam liar tampaknya rendah. Predator alami diantaranya ular, tikus air, goanna, elang, burung hantu, dan elang. Jumlah
Platipus yang rendah di Australia utara kemungkinan disebabkan oleh predasi oleh buaya. Masuknya rubah merah pada tahun 1845 untuk kegiatan berburu mungkin berdampak pada jumlah
Platipus di Australia daratan.
Platipus umumnya dianggap sebagai hewan nokturnal dan krepuskular, tetapi beberapa juga aktif pada siang hari, terutama ketika langit mendung. Habitatnya melintasi sungai dan zona riparian yang menyediakan makanan bagi spesies mangsa, dan tepian sungai dimana ia dapat menggali liang untuk beristirahat dan bersarang.
Platipus dapat memiliki jarak jelajah hingga 7 km (4,3 mil), dengan jangkauan kandang jantan yang tumpang tindih dengan tiga atau empat betina.
Platipus tidak memiliki telinga eksterior dan menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam air untuk mencari makan.
Platipus merupakan perenang yang handal yang memiliki gaya renang yang sangat khas. Uniknya di antara mamalia, ia mendorong dirinya sendiri ketika berenang dengan gerakan mendayung bergantian pada kaki depannya; meskipun keempat kaki
Platipus berselaput, kaki belakang (yang menempel pada tubuh) tidak membantu dalam propulsi, tetapi digunakan untuk kemudi bersama ekornya. Spesies ini bersifat endotermik, mempertahankan suhu tubuhnya sekitar 32 °C (90 °F), lebih rendah dari kebanyakan mamalia, bahkan saat mencari makan berjam-jam di air di bawah 5 °C (41 °F).
Penyelaman biasanya berlangsung sekitar 30 detik, tetapi dapat berlangsung lebih lama, meskipun hanya sedikit yang melebihi batas aerobik yang diperkirakan 40 detik. Waktu pemulihan di permukaan di antara penyelaman biasanya memakan waktu 10 hingga 20 detik.
Ketika tidak berada di dalam air,
Platipus beristirahat di dalam lubang peristirahatannya yang pendek dan lurus dengan penampang lonjong, yang hampir selalu berada di tepi sungai yang tidak jauh di atas permukaan air, dan sering kali tersembunyi di bawah akar-akar yang melindungi.
Waktu tidur rata-rata
Platipus dilaporkan selama 14 jam per hari, mungkin karena ia memakan krustasea, yang menyediakan kalori dalam jumlah tinggi.
= Pola makan
=
Platipus adalah karnivora: ia memakan cacing annelida, larva serangga, udang air tawar, dan crayfish yang digalinya dari dasar sungai dengan moncongnya atau menangkapnya saat berenang.
Platipus menggunakan kantung pipi untuk mengangkut mangsanya ke permukaan, tempat ia akan memakannya.
Platipus perlu makan sekitar 20% dari berat badannya sendiri setiap hari, yang mengharuskannya menghabiskan rata-rata 12 jam setiap hari untuk mencari makanan.
= Reproduksi
=
Ketika
Platipus pertama kali ditemukan oleh para naturalis Eropa, mereka berbeda pendapat mengenai apakah betinanya bertelur. Hal ini akhirnya dikonfirmasi oleh tim William Hay Caldwell pada tahun 1884.
Spesies ini mempunyai musim kawin tunggal; perkawinan terjadi antara bulan Juni dan Oktober, dengan terdapat beberapa variasi lokal di antara populasi yang berbeda di sepanjang sebarannya. Observasi historis, studi penandaan dan penangkapan kembali, dan investigasi awal genetika populasi menunjukkan kemungkinan adanya kelompok residen dan transien dalam populasi
Platipus, dan adanya sistem perkawinan poligini. Betina diperkirakan akan menjadi dewasa secara seksual pada tahun kedua mereka, dengan perkembangbiakan yang dikonfirmasi masih terjadi pada individu yang berusia lebih dari sembilan tahun.
Di luar musim kawin,
Platipus hidup di liang tanah sederhana, yang akses masuknya sekitar 30 cm (12 inci) di atas permukaan air. Setelah kawin, betina membangun liang yang lebih dalam dan lebih rumit hingga 20 m (65 kaki) panjangnya dan ditutupi dengan sumbat (yang mungkin bertindak sebagai perlindungan terhadap naiknya air atau predator, atau sebagai metode untuk mengatur kelembaban dan suhu). Si jantan tidak ikut serta dalam merawat anaknya, dan mundur ke liang tahunannya. Betina melembutkan tanah di dalam liang dengan daun-daun yang mati, terlipat, dan basah, dan dia mengisi sarang di ujung terowongan dengan dedaunan dan alang-alang yang gugur untuk dijadikan bahan alas tidur. Bahan ini diseret ke sarang dengan diselipkan di bawah ekornya yang melengkung.
Platipus betina memiliki sepasang ovarium, tetapi hanya bagian kiri yang berfungsi. Gen
Platipus kemungkinan merupakan penghubung evolusi antara sistem penentuan jenis kelamin mamalia XY dan burung/reptil ZW karena salah satu dari lima kromosom X
Platipus mengandung gen DMRT1, yang dimiliki burung pada kromosom Z mereka.
Platipus bertelur satu hingga tiga (biasanya dua) telur kecil dan kasar (mirip dengan telur reptil), berdiameter sekitar 11 mm (7⁄16 in) dan sedikit lebih bulat daripada telur burung. Telur berkembang di dalam rahim selama sekitar 28 hari, dengan hanya sekitar 10 hari inkubasi eksternal (berbeda dengan telur ayam, yang menghabiskan sekitar satu hari di dalam saluran dan 21 hari di luar). Setelah bertelur, betina akan mengerami telur-telurnya. Masa inkubasi terbagi menjadi tiga fase. Pada fase pertama, embrio tidak memiliki organ fungsional dan bergantung pada kantung kuning telur untuk makanannya. Kuning telur diserap oleh anak yang sedang berkembang. Selama fase kedua, jari-jari berkembang, dan pada fase terakhir, gigi telur muncul.
Sebagian besar zigot mamalia mengalami pembelahan holoblastik, yang berarti bahwa, setelah pembuahan, ovum terbelah berkat pemisahan sel menjadi beberapa sel anak yang dapat dibagi. Hal ini berbeda dengan proses pembelahan meroblastik yang lebih tua, yang terdapat pada spesies-spesies monotremata seperti
Platipus, dan pada non-mamalia seperti reptil dan burung. Pada pembelahan meroblastik, ovum tidak terbelah secara sempurna. Hal ini menyebabkan sel-sel di tepi kuning telur secara sitoplasmik berkesinambungan dengan sitoplasma telur. Kondisi ini memungkinkan kuning telur, yang berisi embrio, untuk bertukar kotoran dan nutrisi dengan sitoplasma.
Tidak ada istilah resmi dalam bahasa Inggris untuk
Platipus yang masih muda, tetapi istilah "platypup" digunakan secara tidak resmi, seperti halnya "puggle".
Platipus yang baru menetas rentan, buta, dan tidak berambut, dan mendapat makanan dari susu induknya. Meskipun memiliki kelenjar susu,
Platipus tidak memiliki puting susu. Sebagai gantinya, susu dikeluarkan melalui pori-pori di kulit. Susu tersebut terkumpul dalam lekukan di perutnya, sehingga anak-anaknya dapat meminumnya. Setelah menetas, anak-anaknya disusui selama tiga sampai empat bulan. Selama masa inkubasi dan penyapihan, awalnya si induk akan meninggalkan liangnya hanya dalam waktu singkat, untuk mencari makan. Ketika melakukannya, ia membuat sejumlah sumbat tanah tipis di sepanjang liang, kemungkinan untuk melindungi anak-anaknya dari predator; saat kembali, ia akan mendorongnya yang mana akan memaksa air keluar dari rambut-rambutnya dan membuat liang tetap kering. Setelah sekitar lima minggu, si induk mulai menghabiskan lebih banyak waktu jauh dari anak-anaknya, dan sekitar empat bulan, anak-anaknya akan keluar dari liang.
Platipus lahir dengan gigi, tetapi gigi ini tanggal pada usia yang sangat dini, meninggalkan lempengan bertanduk yang digunakannya untuk menggiling makanan.
Evolusi
Pada awalnya, pemahaman mengenai
Platipus dan monotreme lainnya sangatlah minim, dan beberapa mitos abad ke-19 yang berkembang di sekitar mereka - misalnya, anggapan bahwa monotreme adalah reptil sebagian atau reptil "inferior" - masih bertahan hingga saat ini. Pada tahun 1947, William King Gregory berteori bahwa mamalia plasenta dan marsupial mungkin berpisah lebih awal, dan percabangan berikutnya memisahkan monotremes dan marsupial, tetapi penelitian selanjutnya dan penemuan fosil menunjukkan bahwa hal ini keliru. Faktanya, monotreme modern adalah yang selamat dari percabangan awal pohon mamalia, dan percabangan selanjutnya diperkirakan telah memunculkan kelompok marsupial dan ber-plasenta. Jam molekuler dan penanggalan fosil menunjukkan
Platipus berpisah dari ekidna sekitar 19-48 juta tahun yang lalu.
Fosil tertua
Platipus modern yang ditemukan berasal dari sekitar 100.000 tahun yang lalu, selama periode Kuarter. Monotreme Teinolophos dan Steropodon yang telah punah pernah dianggap terkait erat dengan
Platipus modern, tetapi sekarang dianggap sebagai taksa yang lebih basal. Sebuah fosil Steropodon ditemukan di New South Wales dan terdiri dari tulang rahang bawah dengan tiga gigi geraham yang telah mengalami opalisasi (sedangkan
Platipus kontemporer dewasa tidak bergigi). Gigi molar awalnya dianggap bersifat tribosfenik, yang mendukung variasi teori Gregory, tetapi penelitian selanjutnya menunjukkan, meskipun memiliki tiga gigi geraham, gigi tersebut berevolusi dalam proses yang terpisah. Fosil ini diperkirakan berusia sekitar 110 juta tahun, menjadikannya fosil mamalia tertua yang ditemukan di Australia. Tidak seperti
Platipus modern (dan ekidna), Teinolophos tidak memiliki paruh.
Monotrematum sudamericanum, fosil spesies lainnya yang masih kerabat
Platipus, telah ditemukan di Argentina, yang mengindikasikan bahwa monotremes hadir di superbenua Gondwana ketika benua Amerika Selatan dan Australia bergabung melalui Antartika (sampai sekitar 167 uta tahun yang lalu). Sebuah fosil gigi dari spesies
Platipus raksasa, Obdurodon tharalkooschild, bertanggal 5-15 juta tahun yang lalu. Dilihat dari giginya, hewan ini memiliki panjang 1,3 meter, menjadikannya sebagai
Platipus terbesar yang pernah tercatat.
Karena divergensi awal dari mamalia therian dan minimnya jumlah spesies monotreme yang masih ada,
Platipus sering menjadi subjek penelitian dalam biologi evolusi. Pada tahun 2004, para peneliti di Australian National University menemukan bahwa
Platipus memiliki sepuluh kromosom seks, dibandingkan dengan dua kromosom (XY) pada sebagian besar mamalia lainnya. Sepuluh kromosom ini membentuk lima pasangan unik XY pada jantan dan XX pada betina, yaitu jantan X1Y1X2Y2X3Y3X4Y4X5Y5. Salah satu kromosom X
Platipus memiliki kemiripan yang besar dengan kromosom Z burung. Genom
Platipus juga memiliki gen reptil dan mamalia yang terkait dengan pembuahan telur. Meskipun
Platipus tidak memiliki gen penentu jenis kelamin mamalia SRY, sebuah penelitian menemukan bahwa mekanisme penentuan jenis kelamin
Platipus adalah gen AMH pada kromosom Y tertua. Versi draf urutan genom
Platipus telah dimuat di jurnal Nature pada tanggal 8 Mei 2008, menunjukkan adanya elemen reptil dan mamalia, serta dua gen yang sebelumnya hanya ditemukan pada burung, amfibi, dan ikan. Lebih dari 80% gen
Platipus adalah gen yang umum ditemukan pada mamalia lain yang genomnya telah diurutkan. Genom
Platipus yang terkini, yang tercatat paling lengkap, diterbitkan pada tahun 2021, bersama dengan genom ekidna berparuh pendek.
Konservasi
= Status dan ancaman
=
Terlepas dari hilangnya
Platipus dari negara bagian Australia Selatan,
Platipus menempati distribusi umum yang sama seperti sebelum kedatangan orang Eropa ke Australia. Namun, terdokumentasi adanya perubahan lokal dan fragmentasi distribusi akibat modifikasi habitatnya oleh manusia. Jumlahnya secara historis tidak diketahui secara pasti dan jumlahnya saat ini sulit diukur, tetapi perkiraan yang ada, jumlahnya sedang mengalami penurunan. Dilaporkan pada tahun 1998 penampakannya masih dianggap umum di sebagian besar wilayah sebarannya saat ini. Spesies ini banyak diburu untuk diambil kulitnya hingga awal abad ke-20 dan, meskipun dilindungi di seluruh Australia sejak tahun 1905, spesies ini masih beresiko tenggelam dalam jaring perikanan darat sampai sekitar tahun 1950.
Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam mengkategorikan ulang statusnya sebagai "hampir terancam" pada tahun 2016. Spesies ini dilindungi oleh hukum, tetapi satu-satunya negara bagian di mana ia terdaftar sebagai terancam punah adalah Australia Selatan, di bawah Undang-Undang Taman Nasional dan Margasatwa 1972. Pada tahun 2020, spesies ini direkomendasikan untuk terdaftar sebagai spesies yang rentan di Victoria di bawah Undang-Undang Jaminan Flora dan Fauna negara bagian 1988.
Rusaknya habitat
Karena langkah-langkah konservasi telah berhasil,
Platipus tidak dianggap berada dalam bahaya kepunahan langsung, tetapi ia tetap dapat terpengaruh secara negatif oleh gangguan habitat yang disebabkan oleh bendungan, irigasi, polusi, jaring, dan perangkap. Pengurangan aliran aliran air dan ketinggian air akibat kekeringan yang berlebihan dan ekstraksi air untuk keperluan industri, pertanian, dan pasokan rumah tangga juga dianggap sebagai ancaman. IUCN memasukkan
Platipus ke dalam Daftar Merah sebagai "Hampir Terancam" sebagaimana dinilai pada tahun 2016, ketika diperkirakan jumlahnya telah berkurang rata-rata sekitar 30 persen sejak pemukiman Eropa.
Platipus terdaftar sebagai hewan yang terancam punah di Australia Selatan, tetapi tidak tercakup sama sekali di bawah Undang-Undang EPBC federal.
Para peneliti telah khawatir selama bertahun-tahun bahwa penurunan populasi
Platipus lebih besar dari yang diasumsikan. Pada Januari 2020, para peneliti dari University of New South Wales mempresentasikan bukti bahwa
Platipus berisiko punah, karena kombinasi ekstraksi sumber daya air, pembukaan lahan, perubahan iklim, dan kekeringan yang parah. Studi ini memperkirakan bahwa, dengan mempertimbangkan ancaman saat ini, jumlah hewan ini akan menurun sebesar 47%-66% dan hunian metapopulasi turun sebesar 22%-32% selama 50 tahun, menyebabkan "kepunahan populasi lokal di sekitar 40% dari sebarannya".Berdasarkan prediksi dampak dari perubahan iklim hingga tahun 2070, spesies ini diperkirakan akan masuk ke dalam klasifikasi "rentan". Para penulis menekankan perlunya upaya konservasi nasional, yang mungkin termasuk melakukan lebih banyak survei, melacak tren, pengurangan ancaman dan peningkatan pengelolaan sungai untuk memastikan habitat
Platipus yang sehat. Rekan penulis Gilad Bino khawatir bahwa perkiraan jumlah dasar 2016 bisa saja salah, dan jumlahnya mungkin telah berkurang sebanyak setengahnya. Para penyusun penelitian ini menekankan perlunya upaya konservasi nasional, yang dapat mencakup pelaksanaan lebih banyak survei, pelacakan trend, reduksi ancaman, dan peningkatan pengelolaan sungai untuk memastikan terciptanya habitat yang sehat bagi
Platipus. Rekan penulis Gilad Bino khawatir bahwa perkiraan jumlah dasar pada tahun 2016 bisa saja keliru, dan jumlahnya mungkin telah berkurang sebanyak setengahnya.
Sebuah laporan pada bulan November 2020 oleh para ilmuwan dari University of New South Wales, yang didanai oleh hibah penelitian dari Australian Conservation Foundation bekerja sama dengan World Wildlife Fund Australia dan Humane Society International Australia mengungkapkan bahwa habitat
Platipus di Australia telah menyusut sebesar 22 persen dalam 30 tahun sebelumnya, dan merekomendasikan agar
Platipus terdaftar sebagai spesies terancam punah di bawah Undang-Undang EPBC. Penurunan populasi terbesar terjadi di New South Wales, khususnya di Murray-Darling Basin.
Penyakit
Platipus umumnya menderita beberapa penyakit di alam liar; namun, pada tahun 2008 ada kekhawatiran di Tasmania tentang dampak potensial dari penyakit yang disebabkan oleh jamur Mucor amphibiorum. Penyakit ini (disebut mucormycosis) hanya menyerang
Platipus Tasmania, dan belum pernah ditemukan pada
Platipus di daratan Australia.
Platipus yang terkena dapat mengembangkan lesi kulit atau bisul di berbagai bagian tubuh mereka, termasuk punggung, ekor, dan kaki mereka. Mucormycosis dapat membunuh
Platipus, kematian terjadi akibat infeksi sekunder dan dengan terpengaruhnya kemampuan si hewan untuk mempertahankan suhu tubuh dan mencari makan secara efisien. Cabang Konservasi Keanekaragaman Hayati di Departemen Industri Primer dan Perairan berkolaborasi dengan NRM utara dan peneliti Universitas Tasmania berupaya untuk menentukan dampak penyakit ini pada
Platipus Tasmania, serta mekanisme penularan dan penyebaran penyakit tersebut.
= Suaka margasatwa
=
Platipus mulai diperkenalkan ke seluruh dunia pada tahun 1939, ketika Majalah National Geographic menerbitkan artikel tentang
Platipus dan upaya untuk mempelajari dan membesarkannya di penangkaran. Membesarkannya di penangkaran adalah tugas yang sulit, dan hanya segelintir anak
Platipus yang berhasil dibesarkan sejak saat itu, terutama di Healesville Sanctuary di Victoria. Tokoh utama dalam upaya ini adalah David Fleay, yang mendirikan platypusary (simulasi sungai di dalam tangki) di Healesville Sanctuary, di mana pembiakan berhasil pada tahun 1943. Pada tahun 1972, ia menemukan bayi
Platipus yang mati berusia sekitar 50 hari, yang mungkin lahir di penangkaran, di taman margasatwa miliknya di Burleigh Heads di Gold Coast, Queensland. Healesville mengulangi keberhasilannya pada tahun 1998 dan sekali lagi pada tahun 2000 dengan tangki sungai yang serupa. Sejak tahun 2008,
Platipus telah berkembang biak secara teratur di Healesville, termasuk generasi kedua (yang lahir di penangkaran). Kebun Binatang Taronga di Sydney membiakkan anak
Platipus kembar pada tahun 2003, dan pembiakan kembali berhasil di sana pada tahun 2006.
= Penangkaran
=
Pada tahun 2019, satu-satunya penangkaran
Platipus di luar Australia berada di Taman Safari Kebun Binatang San Diego di negara bagian California, AS. Tiga upaya dilakukan untuk membawa
Platipus ke Kebun Binatang Bronx, pada tahun 1922, 1947, dan 1958; dari jumlah tersebut, hanya dua dari tiga ekor yang diperkenalkan pada tahun 1947 yang hidup lebih dari delapan belas bulan.
Interaksi dengan manusia
= Penggunaan
=
Aborigin Australia dulu biasa berburu
Platipus untuk makanan (ekor berlemak mereka sangat bergizi), sementara, setelah datangnya orang eropa, mereka memburunya untuk diambil kulitnya dari akhir abad ke-19 dan sampai tahun 1912, di saat hal itu mulai dilarang oleh hukum. Sebelum berlakunya hukum tersebut, para peneliti Eropa juga menangkap dan membunuh
Platipus atau mengambil telurnya, sebagian untuk meningkatkan pengetahuan ilmiah, tetapi juga untuk mendapatkan gengsi dan mengalahkan saingan dari berbagai negara.
= Referensi budaya
=
Platipus telah menjadi subjek dalam cerita-cerita rakyat Aborigin Australia, beberapa di antaranya meyakini bahwa
Platipus adalah hibrida dari bebek dan tikus air.:57–60
Menurut salah satu cerita dari hulu Sungai Darling, kelompok-kelompok hewan utama, yakni hewan-hewan darat, hewan-hewan air, dan burung-burung, semuanya bersaing untuk mendapatkan
Platipus untuk bergabung dengan kelompok mereka masing-masing, tetapi
Platipus akhirnya memutuskan untuk tidak bergabung dengan salah satu dari mereka, karena merasa bahwa ia tidak perlu menjadi bagian dari suatu kelompok untuk menjadi istimewa,:83–85 dan ingin tetap berteman dengan semua kelompok tersebut. Cerita rakyat lain yang berasal dari Darling hulu mengisahkan tentang seekor bebek muda yang berkelana terlalu jauh, mengabaikan peringatan dari sukunya, dan diculik oleh tikus air besar yang disebut Biggoon. Setelah berhasil melarikan diri setelah beberapa waktu, dia kembali dan bertelur dua butir yang menetas menjadi makhluk berambut yang aneh, sehingga mereka semua dibuang dan pergi untuk tinggal di pegunungan.
Platipus juga digunakan oleh sebagian masyarakat Aborigin sebagai totem, yang bagi mereka bermakna "objek alam, tumbuhan atau hewan yang diwarisi oleh anggota klan atau keluarga sebagai lambang spiritual mereka", dan hewan ini memiliki makna khusus sebagai hewan totem bagi masyarakat Wadi Wadi, yang tinggal di sepanjang Sungai Murray. Karena makna budaya dan kepentingannya dalam hubungannya dengan negara,
Platipus dilindungi dan dilestarikan oleh masyarakat adat ini.
Platipus seringkali digunakan sebagai simbol identitas budaya Australia. Pada tahun 1940-an,
Platipus hidup diberikan kepada pihak sekutu dalam Perang Dunia Kedua, untuk memperkuat hubungan dan meningkatkan moril.
Platipus telah digunakan beberapa kali sebagai maskot: Syd si
Platipus adalah salah satu dari tiga maskot yang dipilih untuk Olimpiade Sydney 2000 bersama dengan ekidna dan burung kookaburra, Expo Oz si
Platipus adalah maskot untuk World Expo 88, yang diadakan di Brisbane pada tahun 1988, dan Hexley si
Platipus adalah maskot untuk sistem operasi Darwin, core berbasis BSD dari macOS dan sistem operasi lainnya dari Apple Inc.
Sejak diperkenalkannya mata uang desimal ke Australia pada tahun 1966, gambar
Platipus yang dirancang dan dipahat oleh Stuart Devlin, telah muncul di sisi belakang dari koin 20 sen.
Platipus sering muncul dalam perangko ongkos kirim Australia, yang terbaru adalah seri "Hewan Pribumi" tahun 2015 dan seri "Hewan Australia Monotreme" tahun 2016.
Dalam serial animasi Amerika, Phineas and Ferb (2007-2015), karakter utamanya memelihara
Platipus berwarna hijau kebiruan bernama Perry, yang tanpa diketahui oleh mereka, adalah seekor agen rahasia. Pilihan itu terinspirasi oleh kurangnya perhatian media, serta untuk memanfaatkan penampilan
Platipus yang mencolok; selain itu, kreator serial animasi tersebut, Dan Povenmire, yang juga menulis lagu tema karakter tersebut, mengatakan bahwa lirik pembukanya didasarkan pada kalimat pengantar artikel
Platipus di Wikipedia, menyalin frasa "mamalia bertelur semi-akuatik" kata demi kata, dan menambahkan frasa "yang sedang beraksi". Sebagai karakter, Perry telah diterima dengan baik oleh penggemar dan kritikus. Secara kebetulan,
Platipus asli menunjukkan warna kebiruan yang serupa ketika dilihat di bawah pencahayaan ultraviolet.
Sitasi
Referensi
= Buku
=
Augee, Michael L. (2001). "Platypus". World Book Encyclopedia.
Burrell, Harry (1974). The Platypus. Adelaide SA: Rigby. ISBN 978-0-85179-521-8.
Fleay, David H. (1980). Paradoxical Platypus: Hobnobbing with Duckbills. Jacaranda Press. ISBN 978-0-7016-1364-8.
Grant, Tom (1995). The platypus: a unique mammal. Sydney: University of New South Wales Press. ISBN 978-0-86840-143-0.
Griffiths, Mervyn (1978). The Biology of the Monotremes. Academic Press. ISBN 978-0-12-303850-0.
Hutch, Michael; McDade, Melissa C., ed. (2004). "Grzimek's Animal Life Encyclopedia: Lower metazoans and lesser deuterosomes". Grzimek's Animal Life Encyclopedia. 12: Mammals III. Gale. ISBN 9780787657772. OCLC 1089554968.
Moyal, Ann Mozley (2004). Platypus: The Extraordinary Story of How a Curious Creature Baffled the World. Baltimore: The Johns Hopkins University Press. ISBN 978-0-8018-8052-0.
Strahan, Ronald; Van Dyck, Steve (April 2006). Mammals of Australia (edisi ke-3rd). New Holland. ISBN 978-1-877069-25-3.
= Dokumenter
=
"Southern Exposure". Eye of the Storm. 2000. Australian Broadcasting Corporation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 May 2013. DVD EAN 9398710245592
"El Niño". Eye of the Storm. 2000. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 February 2013.
Pranala luar
Biodiversity Heritage Library bibliography untuk Ornithorhynchus anatinus
Platypus facts
Lihat platypus genome di Ensembl