Poerwadhie Atmodihardjo (lahir di Purwodadi, Grobogan, tanggal 1 Juni 1919) merupakan sosok sastrawan Jawa. Ayahnya, R.
Atmodihardjo, merupakan seorang Weg-Opzeiner atau pemeriksa jalan di Dinas Pekerjaan Umum Jawa Tengah (zaman Belanda). Masa kecil
Poerwadhie sangat manja, karena orang tuanya merupakan orang yang berada. Ia sering dibacakan dongeng oleh Bu Lurah, seorang wanita (janda) yang bergabung bersama dengan keluarga ayah
Poerwadhie Atmodihardjo. Wanita tersebut merupakan janda seorang lurah, berasal dari daerah yang sama dengan daerah asal ayah
Poerwadhie di Kecamatan Paron, Ngawi
Masa Kecil
Masa kecil
Poerwadhie berada di Semarang. Akan tetapi, ia selanjutnya harus mengikuti orang tuanya yang pindah ke Desa Gelung, Paron. Orang tuanya masih bekerja menjadi juru ukur jalan. Di tempat yang baru tersebut, dirinya hidup dengan suasana pedesaan. Walaupun teman-temannya memandang dirinya sebagai anak orang yang terhormat, namun dirinya masih bisa bergaul dengan akrab bersama dengan teman-temannya. Walaupun hidup di desa, orang tuanya juga tetap berharap jika kelak, dirinya bisa menjadi seorang priyayi atau pegawai.
Di Paron,
Poerwadhie bersekolah di HIS, yang selanjutnya tamat dan melanjutkan ke Openbare MULO-School di Kota Madiun. Setelah tamat dari MULO, dirinya pergi ke Particuliere Algemeene Middelbare School di Sala. Akan tetapi, di Sala, ia malah terseret terhadap kebiasaan hidup remaja yang cenderung mengarah ke hal yang negatif, dengan sering tidak masuk sekolah. Mengetahui hal tersebut, lantas sang ayah marah sehingga semua biaya sekolahnya otomatis dihentikan. Kejadian tersebut membuat
Poerwadhie menjadi terpukul dan dirinya tidak bersedia untuk melanjutkan pendidikan. Dirinya semakin hari malah semakin terjebak pada kehidupan remaja yang cenderung mengarah ke hal-hal negatif, bahkan berjudi, dan lain sebagainya.
Kenakalan
Poerwadhie tersebut ternyata tak berlangsung lama. Pada saat itu, datanglah orang Belanda dengan memberikan bantuan dalam mendirikan sekolah swasta di Paron.
Poerwadhie ditunjuk sebagai Kepala Sekolah. Beberapa waktu kemudian,
Poerwadhie lantas jatuh cinta terhadap seorang wanita yang bernama Mursini, yakni seorang pengajar di sekolah tersebut. Akan tetapi, cinta tersebut ternyata kadas, karena orang tua yang tidak merestui. Cinta yang tak berjalan dengan mulus tersbeut begitu membekas di hatinya, sehingga mengilhami karyanya yang berjudul "Mung Kari Sasiliring Bawang" atau 'Tinggal Selapis Kulit Bawang'. Pada tahun 1939, pada saat menginjak usia 20 tahun,
Poerwadhie menikahi Sri Juwariyah, yang merupakan gadis yang berasal dari Kendal. Pada tahun 1955,
Poerwadhie menikah lagi dengan Sutami, gadis yang berasal dari Paron. Pernikahan dengan istri pertama telah membuahkan sebanyak 9 anak, sedangkan dengan istri kedua hanya membuahkan seorang anak. Istri yang pertama tetap setia mendampingi, sedangkan istri yang kedua bertempat tinggal di Desa Semen, Paron.
Karier
Poerwadhie pada awalnya bekerja menjadi guru di Paron. Akan tetapi, dirinya "tidak kerasan", sehingga memilih pindah ke Semarang dan bekerja di Kantor Jawatan Irigasi. Itupun "tidak kerasan" lagi, sehingga ia memilih untuk pergi ke Surabaya menjadi seorang pelayan di Toko Taiyo dan selanjutnya menjadi tukang penjual mesin jahit di General Electric. Dari Surabaya, ia kembali lagi ke Semarang dan bekerja menjadi seorang ahli ukur tanah di Banyubiru, Ambarawa. Dari Banyubiru,
Poerwadhie pindah bekerja ke kantor yang sama di Kendal. Pada tahun 1940, pindah ke Dinas Militer di Cilacap dengan pangkat sersan dua. Selanjutnya, pada tahun 1942, keluar dari dinas tersebut dan pindah ke Paron menjadi seorang penjual minyak. Tak berselang lama, pindah ke Jember untuk bekerja di Jawatan Kereta Api. Tahun 1945, pindah ke Kaliwungu dan bekerja di suatu pabrik pemain sandiwara Irama Masa. Beberapa hari dirinya berada di sana, ia pindah lagi ke Kendal dan bekerja di Dinas Pekerjaan Umum.
Pada tanggal 5 Oktober 1945, Poerwadhi masuk TKR dengan pangkat letnan satu. Akan tetapi, jiwanya yang selalu ingin merasa "merdeka", tak mampu untuk menghalangi dirinya untuk terus berpindah. Pada tahun 1949, dirinya bekerja sebagai mantri ukur tanah di Kendal. Pada tahun 1951, pindah ke Semarang dan bekerja di Dinas Bangunan Tentara. Tak lagma berselang, keluar dari pekerjaan tersebut dan mengembara sebagai seorang pengangguran. Dirinya berpindah-pindah dari Sala, Salatiga, dan Paron. Pada tahun 1955 hingga 1965, dirinya bekerja sebagai seorang redaksi Jaya Baya di Surabaya. Dirinya juga sempat menjadi redaksi di Crita Cekak dan Gotong Royong. Sejak tahun 1965, ia menikmati hidup sebagai "wong mardika", yakni dengan menjadi seorang penulis bebas.
Pelarian hidup dan unsur kecewa tentu banyak melatarbelakangi proses pengarangan
Poerwadhie. Pada tahun 1944, dirinya menulis cerpen "Begja kang Ambegjakake" (Panji Pustaka, 15 Februari 1944). Cerpen yang berhasil dimuat tersebut semakin memacu semangatnya untuk terus menulis. Dirinya juga menyadari jika menulis ternyata bisa menghasilkan uang. Dirinya menulis menggunakan Bahasa Jawa, karena dirinya merasa jika Bahasa Jawa menjadi salah satu bahasa yang patut untuk dilestarikan. Di sisi lain, baginya, mengarang menjadi "istri kedua".
Dalam karangan-karangannya,
Poerwadhie sering kali menggunakan nama samaran, seperti Sri Ningsih (nama anak pertama), Habramarkata (api yang menjilat-jilat, semangat yang berkobar), Prabasari Laharjingga, Abang Istar (Bintang Merah), Satria Paranggelung (nama suatu tempat di Paron), dan Harga Lawu. Dirinya juga kagum terhadap pengarang lain, contohnya, Sudharma K.D. dan St. Iesmaniasita karena kedua pengarang tersebut dinilai senantiasa menggarap persoalan hidup yang realistik.
Sebagai seorang pengarang,
Poerwadhie mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi. Dirinya menulis cerpen, sandiwara, novel, guritan, cerita wayang, roman sejarah, dan esai. Lebih dari 300 judul cerpen telah tersebar secara meluas di Panji Pusaka, Panjebar Semangat, Jaya Baya, Crita Cekak, Mekar Sari, dan lain sebagainya.
Karya
= Cerpen
=
Begja kang Ambegjakake (Panji Pustaka, 1944)
Tanggap lan Tandang ing Garis Wingking (Panji Pustaka, 1944)
Kebuka Atine (Panji Pustaka, 1944)
Ndadar Angga: Nanggulangi Salwiring Prakara (Panji Pustaka, 1944)
Heiho Sadikun (Panji Pustaka, 1944)
Sumbangsih ingkang Tanpa Upami (Panji Pustaka, 1944)
Dayana Prahara (Panjebar Semangat, 1944)
Pengalang-alange Kekarepan (Panjebar Semangat, 1952)
Marga Mas Harja Lara (Panjebar Semangat, 1953)
Lha Apa Ana (Panjebar Semangat, 1953)
Kesandhung ing Rata (Panjebar Semangat, 1954)
Kembang Kanthil (Jaya Baya, 1955)
Jangka lan Jangkah (Jaya Baya, 1955)
Ngrungkebi Keyakinan (Jaya Baya, 1956)
Karampungan Wicaksana (Jaya Baya, 1957)
Tinem (Crita Cekak, 1957)
Wesel Pos (Mekar Sari, 1981)
Luput ing Pandumuk (Mekar Sari, 1981)
= Cerbung dan Novel
=
Kumandhanging Asmara (Jaya Baya, 1956 - 1957)
Gumerite Rodha Wesi (Jaya Baya, 1972)
Ibu (Jaya Baya)
Tumiyunge Ati Mulus (Mekar Sari, 1968)
Sawunggaling (Panjebar Semangat, 1953)
Gumuk Sandhi (CV Keng, Semarang)
Karana Sawabing Wibi (CV Keng, Semarang)
Udan Ngreceh (CV Keng, Semarang)
= Roman Sejarah
=
Ki Derpayuda (Panjebar Semangat, 1960 - 1961)
Sing Menang ing Pucuking Kanisthan (Mekar Sari, 1961)
= Guritan
=
Paman Tani (Panji Pustaka, 1945)
Swaraning Asepi (Panejbar Semangat, 1950)
Bandha lan Budi (Penjebar Semangat, 1952)
Pangangen-angen (Panjebar Semangat, 1953)
Amung Siji (Panjebar Semangat, 1953)
Melathi Suci (Jaya Baya, 1956)
Paran Marganing Katemu (Jaya Baya, 1963)
Nglindur (Mekar Sari, 1983)
Stasiun Solo Balapan (Mekar Sari, 1983)
Katresnan lan Urip (Jaka Lodhang, 1983)
Manyura (Jaka Lodhang, 1983)
Pengarang yang Disegani
Keberadaan
Poerwadhie dalam dunia sastra Jawa begitu diperhitungkan. Dirinya termasuk ke dalam pengarang yang disegani dan "dituakan". Bukan karena dirinya telah berusia lanjut, namun semata karena prestasi dan kemampuannya dalam berkarya. Sejumlah karya
Poerwadhie berhasil dijadikan sebagai objek kajian bagi para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Seolah hidupnya telah diberikan kepada perkembangan sastra Jawa. Walaupun demi sastra Jawa dirinya harus menderita, perjuangannya yang begitu tulus pada sastra Jawa memang layak dihargai.