- Source: Prinsip lesser of two evils
Prinsip lesser of two evils (atau prinsip "yang lebih buruk dari dua pilihan")—dikenal juga dengan sebutan prinsip lesser evil atau lesser-evilism—adalah prinsip yang menyatakan bahwa ketika seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang keduanya tidak bermoral atau tidak ideal, maka pilihan yang dianggap lebih sedikit buruknya atau lebih sedikit merugikan harus dipilih. Prinsip lesser evil sering kali dipresentasikan sebagai dilema antara dua atau lebih pilihan buruk dalam situasi di mana opsi yang tersedia terbatas, atau terlihat terbatas. Pilihan yang diambil membenarkan tindakan merugikan yang biasanya dianggap tidak dapat diterima, dengan harapan dapat menghindari penderitaan yang lebih besar. Perhitungan dan evaluasi terhadap akibat keputusan dilakukan terbatas hanya pada kondisi dan opsi yang ada saat itu, tanpa memperhitungkan konteks lebih luas atau dampak jangka panjang.
Asal usul
Prinsip lesser evil sudah dikenal sejak zaman filsafat Yunani kuno, bahkan dalam ajaran Platonis. Dalam karyanya Nicomachean Ethics, Aristoteles menulis bahwa kejahatan yang lebih kecil dapat dilihat sebagai kebaikan jika dibandingkan dengan kejahatan yang lebih besar, karena kejahatan yang lebih kecil dianggap lebih baik daripada yang lebih besar, dan apa yang lebih baik tentu adalah kebaikan itu sendiri. Prinsip ini, dalam konteks etika Aristoteles, mengajarkan kita untuk memilih alternatif yang lebih sedikit merugikan di antara dua pilihan buruk, dengan asumsi bahwa pilihan yang lebih sedikit buruknya lebih baik daripada pilihan yang lebih merusak.
Formulasi prinsip lesser evil ini kemudian populer di dunia Barat, salah satunya melalui buku The Imitation of Christ karya Thomas à Kempis yang ditulis pada awal abad ke-15. Buku ini mengajarkan tentang pentingnya memilih jalan yang benar meskipun sulit, termasuk dalam menghadapi dilema moral, dan memberi petunjuk kepada umat Kristen untuk memilih yang lebih baik meskipun semua pilihan tampak berat. Pemikiran ini memberi landasan spiritual bagi konsep lesser evil dalam konteks agama dan etika Kristen.
Pada abad ke-17, filusuf Spinoza mengemukakan prinsip lesser evil dengan cara yang lebih tegas dalam karyanya Ethics, khususnya dalam proposisi 65. Spinoza menekankan pentingnya penggunaan akal atau rasio dalam pengambilan keputusan moral, yaitu memilih yang lebih baik di antara dua alternatif baik dan memilih yang lebih sedikit buruknya di antara dua alternatif buruk. Spinoza memperjelas bahwa prinsip lesser evil bukan hanya soal memilih antara dua pilihan buruk, tetapi juga melibatkan keputusan yang didasarkan pada pertimbangan rasional yang bijaksana.
Mitologi
"Antara Skilla dan Kharibdis" adalah sebuah idiom yang berasal dari kisah Odisseia karya Homer. Dalam cerita tersebut, Odisseus memilih untuk mendekati Skilla sebagai pilihan yang lebih sedikit buruk, meskipun ia kehilangan enam orang sahabatnya. Jika ia memilih untuk mendekati Kharibdis, maka semua akan binasa. Karena cerita-cerita seperti ini, ungkapan "berada antara dua bahaya" akhirnya menjadi idiom yang digunakan dalam bahasa sehari-hari. Ungkapan sejenis dalam bahasa Inggris yang digunakan di laut adalah Between a rock and a hard place (Antara batu dan tempat yang sulit). Kalimat Latin incidit in scyllam cupiens vitare charybdim (dia terjebak di Skilla, ingin menghindari Kharibdis) telah menjadi peribahasa yang memiliki makna hampir sama dengan "melompat dari kuali panas ke dalam api". Erasmus mencatatnya sebagai peribahasa kuno dalam karyanya Adagia, meskipun contoh tertulis pertama kali muncul dalam puisi epik Latin abad ke-12 Alexandreis karya Walter dari Châtillon.
Prinsip lesser of two evils dalam politik
Dalam konteks politik, prinsip ini sering kali muncul ketika pemilih harus memilih antara dua kandidat atau kebijakan yang keduanya tidak sepenuhnya sejalan dengan nilai-nilai atau harapan mereka, namun pemilih harus memilih salah satu untuk menghindari akibat yang lebih buruk. Contoh paling umum dari prinsip ini terjadi dalam pemilu, ketika seorang pemilih merasa terpaksa memilih kandidat yang kurang disukai atau memiliki kebijakan yang lebih buruk, namun dianggap lebih sedikit merugikan daripada kandidat lain yang memiliki pandangan yang lebih ekstrem atau lebih banyak masalah. Prinsip ini sering menjadi topik perdebatan karena menyoroti dilema moral dalam pengambilan keputusan, dengan sebagian orang mengkritiknya karena dapat mendorong penerimaan terhadap kebijakan yang buruk hanya karena ada ketakutan terhadap konsekuensi yang lebih buruk. Namun, bagi sebagian lainnya, ini dianggap sebagai cara pragmatis untuk menghadapi kenyataan dalam sistem politik di mana pilihan yang ideal jarang tersedia.
Konsep voting lesser evil atau memilih yang lebih tidak jahat dapat dipahami sebagai bentuk strategi minimax, yaitu upaya untuk meminimalkan kerugian maksimum. Dalam konteks ini, pemilih yang dihadapkan pada dua atau lebih kandidat memilih yang mereka anggap paling sedikit merugikan. Pemilihan semacam ini tidak seharusnya dilihat sebagai ekspresi diri pribadi atau penilaian moral terhadap kandidat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai pemilih, atau sebagai bentuk protes terhadap sistem yang dianggap korup. Sebaliknya, pemilihan lesser evil dipandang sebagai kesempatan untuk mengurangi kerugian atau dampak negatif yang mungkin terjadi.
Hannah Arendt berpendapat bahwa mereka yang memilih kejahatan yang lebih kecil sering kali cepat melupakan bahwa mereka telah memilih kejahatan, sebuah pandangan yang menyoroti bahaya dalam menerima pilihan buruk hanya untuk menghindari yang lebih buruk. Namun, di sisi lain, Seyla Benhabib berargumen bahwa politik tidak akan ada tanpa dilema memilih antara kejahatan yang lebih besar dan yang lebih kecil. Ketika pilihan terbatas pada dua kandidat yang paling mungkin, prinsip lesser evil menjadi jalan untuk mencapai kebaikan yang lebih besar, demi kebaikan bersama.