- Source: Proklamasi Pendirian Negara
Proklamasi Pendirian Negara (atau Pendirian Negara) (Hanzi sederhana: 开国大典; Hanzi tradisional: 開國大典; Pinyin: Kāiguó Dàdiǎn) adalah sebuah lukisan minyak tahun 1953 karya seniman Tiongkok Dong Xiwen yang menggambarkan Ketua Mao Zedong dan pejabat Komunis lainnya sedang memproklamasikan pendirian Republik Rakyat Tiongkok secara resmi di Lapangan Tiananmen pada 1 Oktober 1949. Lukisan ini adalah sebuah contoh penting dari gaya realisme sosialis dan merupakan salah satu karya seni resmi Tiongkok yang paling terkenal. Lukisan ini berulang kali diperbaharui dan dibuatkan sebuah replika untuk mengakomodasi perubahan-perubahan lanjutan akibat penyingkiran dan pemulihan nama sejumlah tokoh yang digambarkan.
Setelah Partai Komunis menguasai Tiongkok pada tahun 1949, mereka berusaha untuk mengenang pencapaian tersebut melalui karya seni. Dong pun ditugaskan untuk membuat representasi visual dari upacara proklamasi 1 Oktober yang ia hadiri. Ia merasa lukisan tersebut hendaknya menggambarkan baik rakyat maupun pemimpin mereka. Setelah bekerja selama tiga bulan, ia pun menyelesaikan sebuah lukisan minyak dengan gaya seni tradisional, memanfaatkan pengetahuan akan sejarah seni Tiongkok untuk tema kontemporer tersebut. Lukisan ini diterima dengan sangat baik oleh Mao dan karya tersebut direproduksi dalam jumlah besar agar dapat dipajang di rumah-rumah.
Setelah Gao Gang disingkirkan dari pemerintahan pada tahun 1954, Dong diperintahkan untuk menghapusnya dari lukisan tersebut. Penghapusan Gao bukanlah yang terakhir; pada tahun 1967, Dong juga dipaksa untuk menghapus Liu Shaoqi, presiden Tiongkok yang sedang menjabat kala itu. Seiring dengan bergesernya peruntungan politik selama Revolusi Kebudayaan, lukisan ini pun direplikasi oleh beberapa seniman pada tahun 1972 untuk mengakomodasi penghapusan tokoh lain. Replika ini pun dimodifikasi lagi pada tahun 1979 untuk menampilkan kembali tokoh-tokoh tersingkir yang telah dipulihkan namanya. Kedua lukisan tersebut kini berada di Museum Nasional Tiongkok di Beijing.
Latar belakang
Setelah pendirian Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949, para Komunis dengan cepat mengambil alih kesenian di Tiongkok. Realisme sosialis yang merupakan karakteristik kesenian Soviet pun turut memengaruhi seni di Tiongkok. Pemerintahan baru tersebut mengusulkan serangkaian lukisan, terutama yang berbahan minyak, untuk mengenang sejarah Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan keberhasilannya pada 1949. Pada Desember 1950, pejabat kesenian Wang Yeqiu mengajukan gagasan penyelenggaraan pameran kesenian kepada Wakil Menteri Budaya Zhou Yang dalam rangka perayaan ke-30 tahun pendirian PKT. Ia juga mengusulkan agar patung-patung dan lukisan-lukisan yang menggambarkan sejarah PKT dipamerkan dalam pergelaran tersebut sebelum dipajang di Museum Revolusi Tiongkok yang akan dibangun. Gagasan ini didapat Wang setelah berkunjung ke Uni Soviet dan terkagum-kagum oleh ragam seni yang ia temui di museum-museum mereka. Di sana, ia mempelajari bagaimana karier Lenin dikisahkan kepada khalayak melalui artefak-artefak serta lukisan-lukisan minyak yang menampilkan peristiwa penting dalam karier pemimpin Komunis tersebut. PKT sendiri sebetulnya sudah menggunakan kesenian sebagai alat propaganda sejak sebelum merebut kendali atas Tiongkok, sebuah cara yang efektif karena sebagian besar penduduknya saat itu buta huruf. Penggunaan lukisan minyak untuk mengenang peristiwa-peristiwa dan membuat pernyataan politik juga bukan hal yang baru; contohnya seperti lukisan-lukisan John Trumbull pada Gedung Kapitol (1871–1821) dan Pelantikan Napoleon (1807) karya Jacques-Louis David. Lukisan minyak mampu mencampurkan corak untuk menghasilkan warna yang realistis dan menarik, tidak seperti lukisan tinta dan kuas Tionghoa tradisional.
Usulan Wang disetujui pada Maret 1951 dan sebuah komite yang meliputi tokoh kawakan seperti kritikus seni Jiang Feng yang ditunjuk oleh Departemen Propaganda untuk menentukan seniman-seniman yang karyanya layak ditampilkan. Hampir 100 lukisan diproduksi untuk pameran pada tahun 1951 tersebut, tetapi banyak yang dianggap kurang layak sehingga menyebabkan pameran itu dibatalkan. Meski demikian, penugasan pada seniman-seniman untuk menciptakan karya-karya lukis baru untuk Museum Revolusi Tiongkok tetap dilanjutkan. Wacana yang dipertimbangkan pejabat partai dalam menentukan penugasan mencakup (antara lain) topik sejarah mana saja yang mesti dimasukkan, serta sebesar apa peran Mao semestinya digambarkan berbanding dengan rekan seperjuangannya. Pelukis-pelukis terpilih pun diarahkan untuk menggambarkan momen-momen penting sejarah partai berdasarkan panduan resmi. Para pemimpin Tiongkok sangat antusias agar dapat digambarkan dalam lukisan-lukisan ini, sebab mereka sangat ingin untuk diabadikan sebagai tokoh-tokoh utama dalam peristiwa-peristiwa sejarah negara itu.
Pada awalnya, di antara karya-karya yang ditujukan untuk museum tersebut, tidak ada yang menggambarkan peristiwa upacara proklamasi RRT. Para pejabat merasa karya semacam itu diperlukan. Pilihan pun jatuh pada Dong Xiwen, seorang seniman yang berbakat dan secara politik dapat dipercaya serta merupakan seorang profesor di Akademi Seni Rupa Pusat (ASRP) di Beijing. Dong juga memiliki keterkaitan langsung dengan upacara proklamasi sebagai sebagai salah satu saksi yang hadir kala itu sehingga ia dianggap sebagai orang yang tepat untuk mengabadikannya. Meskipun Dong mengeluh jika selama karirnya ia tidak memiliki kebebasan yang penuh untuk memilih subjek dalam lukisan-lukisannya, Proklamasi Pendirian Negara malah menjadikannya terkenal.
Subjek dan teknik
Lukisan Proklamasi Pendirian Negara menggambarkan upacara proklamasi Republik Rakyat Tiongkok pada 1 Oktober 1949. Lukisan tersebut berpusat pada Mao, yang berdiri di balkon Gerbang Tiananmen sembari membacakan proklamasinya di hadapan dua mikrofon. Gerbang Tiannanmen ditampilkan lebih terbuka dengan penghilangan beberapa pilar yang semestinya ada di hadapan Mao sehingga ia dapat terhubung lebih langsung dengan rakyatnya. Meski tidak sesuai bangunan aslinya, arsitek Liang Sicheng memuji pilihan artistik ini. Lima burung merpati terbang di angkasa di sebelah kanan Mao. Di Lapangan Tiananmen, para penjaga dan anggota organisasi patriotik dilukiskan berjejer menurut urutan pangkat, beberapa di antaranya mengusung spanduk dan bendera merah. Dapat terlihat pula Gerbang Qianmen yang terletak di ujung selatan lapangan tersebut, serta Gerbang Yongdingmen di sebelah kiri Mao. Di luar tembok kota tua yang mengungkung lapangan kala itu (tembok tersebut dirobohkan pada 1950-an), tergambar pemandangan kota Beijing berserta kawasan sekitarnya di bawah langit biru dan awan-awan cerah, melambangkan masa depan gemilang negara Tiongkok. Penggambaran cuaca ini juga merupakan pilihan artistik dari Dong, sebab pada kenyataannya, 1 Oktober 1949 merupakan hari yang berawan di Beijing.
Para letnan Mao terlihat berbaris di belakangnya. Dalam lukisan aslinya, barisan depan yang diurutkan menurut pangkat terdiri atas Jenderal Zhu De di paling kiri, Liu Shaoqi, Nyonya Song Qingling (janda Sun Zhongshan), Li Jishen, Zhang Lan (yang berjenggot), hingga Jenderal Gao Gang di paling kanan. Zhou Enlai berdiri di paling kiri barisan kedua berdampingan dengan Dong Biwu, dua pria yang identitasnya tidak jelas, serta Guo Moruo di paling kanan. Lin Boqu terlihat di paling kiri barisan ketiga. Para pemimpin ini dijejerkan berdekatan satu sama lain, tetapi dijauhkan dari Mao untuk menekankan keutamaannya. Mao juga digambarkan dari sudut yang agak lebih rendah sehingga membuatnya tampak lebih tinggi daripada para letnannya. Pada kenyataannya, dari sudut pandang pengamat yang berada di bagian belakang balkon, sebagian besar lapangan sejatinya tidak dapat dilihat secara langsung karena terhalang oleh lantai. Agar yang tampak tidak hanya Mao dan pemandangan langit, Dong memanipulasi perspektif lukisannya dengan meninggikan cakrawala dan membuat balkonnya terkesan lebih dekat. Karena sudut pandang yang sedemikian rupa, hanya para pejabat di balkon yang menjelma sebagai pribadi-pribadi tersendiri, sementara kerumunan di lapangan melebur dalam apa yang disebut sebagai kekuatan "anonimitas kolektif" oleh sejarawan seni Wu Hung. Ia juga berpendapat bahwa "[g]abungan di antara keduanya—yang di atas dan di bawah, para pemimpin dan rakyatnya—membentuk sebuah gambaran menyeluruh dari Tiongkok Baru."
Mao dan para pejabatnya dinaungi oleh lampion-lampion yang melambangkan kekayaan. Terdapat pula bunga krisantemum di sebelah kiri dan kanan Mao sebagai perlambang kekekalan. Burung merpati melambangkan perdamaian yang diraih kembali oleh sebuah negara yang telah lama terpecah-belah akibat perang. Bendera baru Tiongkok yang berkibar di antara para rakyat melambangkan keruntuhan sistem feodal dan kelahiran kembali negara mereka sebagai sebuah Republik Rakyat. Mao tampil sebagai seorang negarawan alih-alih sebagai pemimpin revolusioner semasa perang. Ia dilukiskan menghadap Qianmen, selaras dengan Poros Utara-Selatan kekaisaran lama Beijing, untuk melambangkan otoritasnya. Sebagai pemimpin, ia menjadi sumbu utama dari beberapa lapis lingkar imajiner dalam lukisan ini. Lingkar paling dalam terbentuk dari barisan perdana para perwiranya, lingkar berikutnya oleh para rakyat di lapangan, dan lingkar terluar oleh tembok kota kuno. Keseluruhan pemandangan yang bermandikan sinar matahari menjadi bayangan masa depan cerah bagi Tiongkok, dengan Mao sebagai jantungnya.
Meskipun Dong telah belajar melukis dengan gaya Barat, ia memilih gaya seni tradisional untuk Proklamasi Pendirian Negara, menggunakan warna cerah dan kontras mirip dengan cetakan-cetakan Tahun Baru Imlek yang populer di Tiongkok. Dalam sebuah artikel yang terbit pada 1953, ia menulis bahwa "orang Tiongkok menyukai warna-warna yang cerah dan tajam. Kebiasaan ini sesuai dengan tema Proklamasi Pendirian Negara. Dalam pemilihan warna, saya tidak ragu-ragu untuk menyingkirkan penggunaan warna-warna kompleks yang umumnya terdapat dalam lukisan Barat, serta aturan-aturan konvensional untuk membuat lukisan minyak." Seniman-seniman pada masa awal RRT, termasuk Dong, mencoba untuk memenuhi estetika kesenian Tionghoa dengan menghindari penggunaan cahaya dan bayangan yang rumit khas lukisan Barat. Jika dibandingkan dengan karya-karya khas Eropa, warna-warna dalam lukisan karya Dong ini amat tajam dan pekat. Warna merah merona digunakan untuk sebagian besar pilar, karpet, dan lampion untuk mengatur nuansa dasar karya tersebut. Bunga-bunga yang bermekaran, spanduk dan bendera, serta langit biru berawan putih menambahkan kesan sukacita dengan hawa kegembiraan dan kemeriahan, serta melambangkan "kemuliaan kebudayaan", patut untuk menggambarkan proklamasi sebuah negara yang baru.
Dong memanfaatkan pemahamannya atas sejarah kesenian Tiongkok sebagai sumber inspirasi. Ia mencontoh teknik-teknik lukisan dinding Dunhuang zaman Dinasti Tang, potret-potret Dinasti Ming, serta lukisan-lukisan figur kuno. Pilar-pilar, lampion, serta pola yang terdapat pada karpet mewakilkan ciri kebudayaan Tiongkok. Sementara, warna-warna pada lukisan tersebut mengingatkan pada seni rupa cetakan cukil kayu, dengan garis-garis hitam pada sejumlah objeknya, termasuk pilar-pilar dan pagar batu. Dong sendiri mengakui bahwa "[j]ika lukisan ini kaya akan gaya nasional, itu karena saya mengadopsi sebagian besar dari pendekatan-pendekatan [asli] tersebut."
Penyusunan
Proklamasi Pendirian Negara adalah salah satu dari beberapa lukisan yang direncanakan untuk Museum Revolusi Tiongkok oleh para anggota sejawat dari ASRP. Dua diantaranya, Perang Terowongan karya Luo Gongliu dan Masuk Ketentaraan karya Wang Shikuo, diselesaikan pada 1951; Proklamasi Pendirian Negara diselesaikan setahun kemudian. Permintaan pembuatan lukisan-lukisan tersebut dianggap sebagai tugas negara yang memiliki gengsi tinggi. Bantuan dari pemerintah disediakan, seperti akses kepada arsip-arsip.
Pada saat ASRP menunjuk Dong, ia dan mahasiswanya sedang melukis para buruh pembangkit listrik Shijingshan di sebelah barat Beijing. Segera setelah kembali ke Beijing, ia menelaah sumber foto dan video yang merekam peristiwa proklamasi 1949 sebagai referensi lukisan, tetapi ia merasa kurang puas karena tidak satu pun sumber menampilkan para pemimpin dan rakyat di lapangan secara bersamaan. Dalam bayangannya, lukisan yang menggambarkan peristiwa ini haruslah menampilkan kedua unsur tersebut dalam satu bingkai yang sama. Ia membuat sebuah sketsa awal seukuran kartu pos, tetapi ia rasa sketsa ini masih belum mampu menggambarkan kemegahan peristiwa tersebut. Dong meminta nasihat dari para seniman lainnya dan membuat beberapa penyesuaian dalam perencanaannya.
Agar lebih fokus dalam mengerjakan lukisan, Dong menyewa sebuah kamar sempit di atas sebuah toko kelontong yang menjual kecap asin di sebelah timur Beijing. Kamarnya tidak cukup luas untuk lukisan yang ia kerjakan; kanvas yang ditegakkan di lantai menyentuh langit-langit, sementara ruang di belakang punggung hampir tidak ada. Dong sampai harus sesekali memanjat atau tiarap ketika mengerjakan detail di beberapa bagian. Jiang memberikan keleluasaan ruang dan waktu kepada Dong untuk membuat lukisan tersebut; sang seniman sendiri memerlukan tiga bulan untuk menyelesaikan karyanya. Untuk menghemat waktu perjalanan, ia seringkali terlelap di kursinya. Ia juga sering menghisap rokok saat bekerja. Anak perempuannya rutin membawakan makanan, tapi ia sering kali tidak bisa memakannya. Saat lukisan tersebut sudah sekitar tiga perempat jadi, beberapa rekan Dong, termasuk pelukis minyak Ai Zhongxin, datang berkunjung. Mereka merasa bahwa Mao, tokoh utama lukisan tersebut, tampak kurang tinggi karena keterbatasan perspektif. Dong pun menghapus figur Mao dari kanvas dan melukisnya kembali dengan meningkatkan tingginya tepat di bawah satu inci (2,54 cm).
Dong menggunakan kuas dan pena saat melukis langit dan pilar-pilar, mengikuti teknik pembuatan lukisan Tionghoa tradisional. Ia menggambarkan busana masing-masing tokoh secara detail; Nyonya Song digambarkan dengan sarung tangan bermotif bunga, sementara Zhang Lan ditampilkan dengan jubah sutra yang rapi jali pada hari penting tersebut. Dong menggunakan serbuk gergaji untuk menguatkan tekstur karpet tempat Mao berdiri, dan ia melukis pagar marmer dengan warna kekuningan alih-alih putih bersih, untuk menekankan betapa tuanya riwayat negeri Tiongkok. Para tokoh yang dilukis pun diminta untuk menilai potret-potret mereka demi keakuratan penggambaran.
Penerimaan dan pengaruh
Saat lukisan tersebut pertama kali ditampilkan pada 1953, banyak kritikus Tiongkok yang menyambutnya dengan antusias. Xu Beihong, presiden ASRP dan pelopor penggunaan realisme dalam lukisan minyak, memuji keberhasilan karya tersebut dalam memenuhi tujuan politiknya, tetapi mengkritisi penggunaan warnanya yang menyimpang dari pakem lukisan minyak pada umumnya. Meskipun demikian, ia memandang bahwa lukisan tersebut membuka zaman baru dalam perkembangan seni Tionghoa. Zhu Dan, kepala Penerbitan Seni Rupa Murni Rakyat yang mencetak ulang lukisan tersebut kepada masyarakat umum, berpendapat bahwa lukisan tersebut lebih menyerupai sebuah poster dibanding lukisan minyak. Seniman-seniman lainnya menyatakan bahwa karya-karya Dong sebelumnya, seperti Gembala Kazakh (1947) dan Pembebasan (1949), menunjukkan gaya seni nasional baru yang lebih cocok. Di sisi lain, para pemimpin senior Partai menyukai lukisan tersebut, bahkan memandangnya sebagai tanda kepercayaan diri terhadap identitas Tiongkok yang baru.
Setelah ditampilkan, Jiang ingin menyusun sebuah pameran agar para pejabat pemerintah, termasuk Mao, dapat melihat dan memperkenalkan lukisan baru tersebut di depan umum. Ia mempunyai hubungan dengan orang-orang di dalam lingkaran Mao, dan Dong sengaja menyelenggarakan pameran tersebut agar bertepatan dengan pertemuan di Zhongnanhai yang dipimpin oleh Mao. Pameran ini kemungkinan besar merupakan pameran pertama dan terakhir yang Mao hadiri setelah 1949. Mao mengunjungi pameran tersebut sebanyak tiga kali di tengah beberapa selang pertemuan dan secara khusus menyukai Proklamasi Pendirian Negara—foto resmi dari acara tersebut menunjukkan Mao dan Zhou Enlai melihat lukisan tersebut dengan Dong. Mao menatap lukisan tersebut untuk beberapa saat dan berkata, "Negara ini sungguh agung. Negara ini memang sungguh agung." Mao juga menyatakan bahwa penggambaran Dong Biwu disajikan dengan baik. Karena Dong Biwu berada di baris kedua, dan sebagian besar tertutup oleh Zhu De yang ada di depannya, Mao kemungkinan menganggapnya sebagai sebuah candaan, tetapi tanggapan baiknya membuktikan keberhasilan dari lukisan tersebut.
Proklamasi Pendirian Negara dipuji para kritikus sebagai salah satu lukisan minyak yang paling megah yang pernah dibuat oleh seorang seniman Tiongkok. Lebih dari 500.000 cetakan lukisan ini terjual dalam waktu tiga bulan. Pujian Mao turut mendorong popularitas Dong dan lukisannya. Teknik-teknik yang dipakai Dong dipandang sebagai penghubung antara gaya lukisan minyak yang elitis dan seni populer. Pandangan Jiang bahwa lukisan realistis dapat disukai secara politik juga terbukti dengan kepopuleran lukisan ini. Menurut kritikus seni Chang-Tai Hung, lukisan ini berhasil "menjadi sebuah karya propaganda yang ternama". Lukisan tersebut dicetak dalam buku-buku pelajaran sekolah dasar dan menengah. Lukisan tersebut juga muncul di halaman depan koran Harian Rakyat pada September 1953 dan menjadi pajangan interior yang disetujui secara resmi. Majalah berbahasa Inggris terbitan pemerintah Tiongkok untuk distribusi luar negeri juga turut menampilkan gambaran keluarga teladan di apartemen modern yang memajang Proklamasi Pendirian Negara.
Sejarah berikutnya dan perubahan politik
Pada Februari 1954, Gao Gang, kepala Dewan Ketatanegaraan, dikeluarkan dari pemerintah; ia bunuh diri hanya beberapa bulan kemudian. Penggambarannya dalam lukisan tersebut di sebelah kiri Mao membuat para pejabat kesenian kebingungan. Melihat popularitasnya di kalangan para pejabat dan masyarakat umum, Proklamasi Pendirian Negara dianggap wajib untuk ditampilkan pada Pameran Kesenian Nasional Kedua (1955), tetapi tidak mungkin kalau Gao yang dianggap sebagai pengkhianat ditampilkan. Oleh karena itu, Dong diperintahkan untuk menghapus Gao dari lukisan tersebut.
Saat menghapus Gao, Dong juga memperbesar pot bunga krisantemum merah jambu yang berada di balik kaki para pejabat, serta merampungkan wujud Gerbang Yongdingmen, yang aslinya hanya terlihat sebagian di belakang Gao. Sayangnya, perubahan ini juga menyingkap sedikit langit di atas lapangan, sehingga merusak penempatan Mao sebagai pusat perhatian. Ia berupaya mengatasi ketidakseimbangan ini dengan menambahkan dua mikrofon di sebelah kanan Mao. Dalam bukunya tentang kesenian Republik Rakyat Tiongkok, sejarawan seni Julia Andrews berpendapat bahwa solusi Dong tidak sepenuhnya memuaskan, sebab mikrofon-mikrofon tersebut mendominasi bagian pusat lukisan, sementara figur Mao terkesan menciut karena perluasan ruang di sekitarnya. Lukisan hasil modifikasi ini ditampilkan di pameran nasional pada tahun 1955, serta di Moskwa pada tahun 1958. Versi ini juga menjadi versi yang paling banyak dicetak, walaupun lukisan fisiknya mengalami revisi lanjutan dan tidak lagi tersedia dalam versi ini.
Ketika Museum Revolusi Tiongkok dibuka di Lapangan Tiananmen pada 1961, lukisan tersebut diletakkan di sebuah tembok besar di galeri museum untuk menggambarkan kejayaan Komunisme. Saat Revolusi Kebudayaan terjadi, kaum radikal menutup museum tersebut dari 1966 hingga 1969. Pada masa itu pula, Liu Shaoqi, yang dituduh mengambil "jalan kapitalis", dikeluarkan dari pemerintahan sehingga Dong pun diperintahkan untuk menghapus Liu dari lukisan tersebut pada 1967. Dong sendiri menderita semasa Revolusi Kebudayaan: ia dituduh sebagai kaum sayap kanan, dikeluarkan dari Partainya selama dua tahun, dikirim ke kamp kerja pedesaan, sebelum kemudian "direhabilitasi" dengan dijadikan buruh pabrik baja. Tugas penghapusan yang diberikan pada Dong pun tidak mudah, karena Liu merupakan salah satu tokoh paling menonjol pada baris pertama, berdiri di sebelah kiri Nyonya Song. Para pejabat ingin Liu digantikan dengan Lin Biao yang lebih disukai oleh Mao pada masa itu, tetapi Dong enggan membesarkan namanya dengan memasukkannya ke lukisan. Walaupun Dong tidak mampu sepenuhnya menolak tugas pada masa riskan Revolusi Kebudayaan, ia akhirnya diizinkan untuk hanya menghapus Liu. Figur Liu terlalu besar untuk dihapus sepenuhnya, sehingga Liu digambar ulang sebagai Dong Biwu dan dibuat seolah-olah berada di baris kedua. Menurut Andrews, upaya tersebut merupakan sebuah kegagalan: "Dong Biwu tidak terlihat ditempatkan pada baris kedua, sebagaimana yang diinginkan. Ia malah terlihat sebagai figur yang berkilau dan mengerling, seorang tokoh bejat yang berada di tengah-tengah sekelompok orang yang bermartabat". Para pejabat menganggap karya yang direvisi tersebut tidak dapat dipamerkan. Andrews berspekulasi bahwa perubahan ini mungkin sengaja disabotase oleh Dong, atau dipengaruhi oleh tekanan yang ia alami semasa Revolusi Kebudayaan.
Pada 1972, sebagai bagian dari renovasi Museum Revolusi Tiongkok, para pejabat ingin memamerkan kembali lukisan Dong. Namun, mereka menginginkan penghapusan Lin Boqu, figur berambut putih di ujung kiri. Hal ini karena Kelompok Empat, yang sebelumnya pernah menguasai Tiongkok, menuduh bahwa Lin Boqu (yang telah meninggal dunia pada 1960) menentang pernikahan Mao dengan Jiang Qing, (yang merupakan salah satu anggota dari Kelompok Empat) pada masa-masa revolusi. Terdapat banyak sumber yang memberikan penjelasan mengenai perubahan yang terjadi pada lukisan tersebut: Chang-Tai Hung menyebut bahwa Dong tidak dapat melakukan pengubahan karena sedang mengidap kanker sehingga muridnya Jin Shangyi dan seorang seniman lain, Zhao Yu, ditugaskan untuk mengerjakan lukisan tersebut. Keduanya takut merusak kanvas aslinya sehingga mereka menyusun sebuah replika baru. Untuk mendapatkan hasil perubahan yang diinginkan, mereka menemui Dong di rumah sakit dan berkonsultasi dengannya. Sementara, menurut Andrews, Jin dan Zhao membuat versi baru tersebut karena Dong tidak mengizinkan siapapun untuk mengubah lukisannya. Jin nantinya mengatakan bahwa lukisan tersebut tak hanya memenuhi tujuan politisnya, tetapi juga menjadi wujud dari pemikiran dan semangat artistik dalam diri Dong.
Dengan berakhirnya Revolusi Kebudayaan pada 1976 dan naiknya Deng Xiaoping, beberapa figur yang sebelumnya dikeluarkan dari pemerintah direhabilitasi. Pada 1979, para pejabat memutuskan untuk membuat lukisan tersebut lebih akurat secara historis. Dong telah meninggal pada 1973; keluarganya sangat menentang pengubahan pada lukisan aslinya, dan pemerintah menghormati keinginan mereka. Atas saran Jin yang sedang sibuk dengan urusannya di luar Tiongkok, pelukis muda Yan Zhenduo dan Ye Wulin pun diminta untuk membuat perubahan pada replikanya. Revisi ini menempatkan Liu, Lin Boqu dan Gao kembali dalam lukisan tersebut, serta membuat perubahan-perubahan lainnya: seorang pria yang sebelumnya tak dikenali di baris belakang sekarang diserupakan dengan Deng Xiaoping. Lukisan replika tersebut kemudian dipajang kembali di Museum Revolusi Tiongkok.
Peninggalan
Lukisan tersebut dicetak pada prangko-prangko Tiongkok pada tahun 1959 dan 1999, untuk memperingati ulang tahun kesepuluh dan kelima puluh didirikannya Republik Rakyat Tiongkok. Pada tahun 1999 pula, museum tersebut menyuruh sebuah perusahaan swasta untuk membuat cetakan kertas logam berwarna emas berskala kecil bergambar lukisan tersebut. Keluarga Dong menuntut, hingga pada 2002 pengadilan memutuskan bahwa pewaris-pewaris Dong yang berhak memegang hak cipta atas lukisan tersebut, dan museum tersebut hanya mempunyai hak untuk memamerkannya. Joe McDonald dari Associated Press menyatakan bahwa persetujuan hak cipta tersebut merupakan "keberhasilan ambisi kapitalis Tiongkok terhadap sejarah politik sayap kirinya". Pada 2014, museum seni di ASRP mengadakan pameran untuk mengenang kembali karya-karya Dong. Untuk pertama kalinya, pameran ini memamerkan sketsa awal lukisan tersebut, yang kini dimiliki oleh keluarga Dong. Fan Di'an, kurator pameran tersebut, mengatakan, "Perubahan-perubahan pada lukisan tersebut mengisahkan sebuah cerita yang pahit, merefleksikan pengaruh politik pada seni. Namun, hal ini tidak mengubah kecintaan Dong Xiwen terhadap seni."
Wu Hung menyebut Proklamasi Pendirian Negara sebagai "karya yang paling terkenal dari kesenian resmi Tiongkok". Ia juga mengatakan bahwa lukisan tersebut merupakan satu-satunya yang menggambarkan upacara 1 Oktober tersebut secara "kanonis" dan bahwa seniman-seniman lainnya cenderung memberikan sudut pandang kepada rakyat, menunduk ke hadapan Mao. Lukisan tersebut merupakan contoh modern dari damnatio memoriae, yaitu pengubahan terhadap karya seni atau benda lainnya untuk menghapus gambar atau nama dari seseorang yang tidak disukai. Dalam sebuah artikel pada tahun 2014, Deng Zhangyu menyebut lukisan tersebut sebagai "gambar sejarah yang paling signifikan dari pendirian Tiongkok". Wu Hung mengatakan bahwa pengubahan pada lukisan tersebut yang terjadi selama bertahun-tahun, walau selalu menampilkan Mao yang sedang memproklamasikan pemerintahan baru, searah dengan perubahan yang terjadi pada kepemimpinan Tiongkok pada masa-masa pemerintahan Komunis. Andrews mengatakan bahwa "pengaruh terbesar pada dunia kesenian adalah pengangkatannya sebagai model lukisan minyak yang disetujui oleh Partai tersebut". Penulis Wu Bing pada 2009 menyebutnya sebagai "sebuah batu pijakan dalam lukisan minyak Tiongkok, yang secara jelas memasukkan unsur-unsur nasional". Lukisan tersebut tak pernah meraih sanjungan di dunia Barat seperti halnya di Tiongkok; menurut Andrews, "para murid sejarah seni sering kali menertawakan lukisan tersebut saat ditampilkan". Sejarawan seni Michael Sullivan menganggapnya sepele dan tidak lebih dari sebuah propaganda. Sekarang, setelah penggabungan museum, kedua lukisan tersebut berada dalam Museum Nasional Tiongkok, Lapangan Tiananmen.
Referensi
Sumber
Andrews, Julia Frances (1994). Painters and Politics in the People's Republic of China, 1949–1979. Berkeley CA: University of California Press. ISBN 9780520079816.
Hung, Chang-Tai (2005). "The Red Line: Creating a Museum of the Chinese Revolution" (PDF). The China Quarterly. 184 (184): 914–933. doi:10.1017/S0305741005000561. JSTOR 20192545.
Hung, Chang-Tai (2007). "Oil Paintings and Politics: Weaving a Heroic Tale of the Chinese Communist Revolution" (PDF). Comparative Studies in Society and History. 49 (4): 783–814. doi:10.1017/S001041750700076X. JSTOR 4497707.
Unverzagt, Christian (2012). "Einbildungen der Geschichte und ihr Schicksal: Politisierte Kunst in Maos China [Conceits of History and their Fate: Politicised Art in Mao's China]" (PDF). Shifting Paradigms in East Asian Visual Culture (dalam bahasa Jerman). Berlin: Reimer Verlag. hlm. 209–234. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 28 Maret 2017. Diakses tanggal 27 Maret 2017.
Wu Bing (2009). "Oil Painting in China". China Today: 64–67.
Wu Hung (2005). Remaking Beijing: Tiananmen Square and the Creation of a Political Space. Chicago IL: University of Chicago Press. ISBN 0226360792.
Wu Hung (2008). "Television in Contemporary Chinese Art". October. 125: 65–90. doi:10.1162/octo.2008.125.1.65. JSTOR 40368512.
Kata Kunci Pencarian:
- Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
- Proklamasi Pendirian Negara
- Tugu Proklamasi
- Musa Suria Kertalegawa
- Negara Pasundan
- Indonesia
- Monumen Nasional
- Museum Perumusan Naskah Proklamasi
- Soekarno
- Pemberontakan Darul Islam