Syekhah Hajjah Rangkayo
Rahmah El Yunusiyah (26 Oktober 1900 – 26 Februari 1969) adalah seorang reformator pendidikan Islam dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri Diniyah Putri, perguruan yang saat ini meliputi taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Sewaktu Revolusi Nasional Indonesia, ia memelopori pembentukan unit perbekalan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Padang Panjang serta menjamin seluruh perbekalan dan membantu pengadaan alat senjata mereka.
Rahmah sempat belajar di Diniyah School yang dipimpin abangnya, Zainuddin Labay
El Yunusy. Tidak puas dengan sistem koedukasi yang mencampurkan pelajar putra dan putri dalam satu kelas,
Rahmah secara inisiatif menemui beberapa ulama Minangkabau untuk mendalami agama, hal tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad ke-20 di Minangkabau. Selain itu, ia mempelajari berbagai ilmu praktis secara privat yang kelak ia ajarkan kepada murid-muridnya. Dengan dukungan abangnya, ia merintis Diniyah Putri pada 1 November 1923 yang tercatat sebagai sekolah agama Islam khusus perempuan pertama di Indonesia.
Sewaktu pendudukan Jepang di Sumatera Barat,
Rahmah memimpin Haha No Kai di Padang Panjang untuk membantu perwira Giyugun. Pada masa perang kemerdekaan, ia memelopori berdirinya TKR di Padang Panjang dan mengerahkan muridnya melawan penjajah sesuai kesanggupan mereka walaupun hanya menyediakan makanan dan obat-obatan. Pada 7 Januari 1949, ia ditangkap oleh Belanda dan ditahan di rumah tahanan perempuan Padang Panjang, kemudian dipindahkan ke Padang.. Dalam pemilu 1955,
Rahmah terpilih sebagai anggota DPR mewakili Masyumi, tetapi tidak pernah lagi menghadiri sidang setelah ikut bergerilya mendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Keberadaan Diniyah Putri kelak menginspirasi Universitas Al-Azhar membuka Kulliyatul Banat, fakultas yang dikhususkan untuk perempuan. Dari Universitas Al-Azhar,
Rahmah mendapat gelar kehormatan "Syekhah"—yang belum pernah diberikan sebelumnya kepada perempuan manapun di dunia—sewaktu ia berkunjung ke Mesir pada 1957, setelah dua tahun sebelumnya Imam Besar Al-Azhar Abdurrahman Taj berkunjung ke Diniyah Putri. Di Indonesia, pemerintah menganugerahkannya tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana secara anumerta pada 13 Agustus 2013.
Kehidupan Awal dan Keluarga
Rahmah El Yunusiyah lahir pada 26 Oktober 1900 [Kalender Hijriyah: 1 Rajab 1318] di Nagari Bukit Surungan, Padang Panjang. Ia adalah anak bungsu dari pasangan Muhammad Yunus al-Khalidiyah bin Imanuddin dan Rafia, memiliki dua uni (kakak perempuan) dan dua uda (kakak laki-laki). Keluarga itu adalah penganut agama yang taat. Yunus adalah seorang ulama yang pernah menuntut ilmu di Mekkah selama empat tahun. Ia bekerja sebagai qadi di Pandai Sikek, lima kilometer dari Padang Panjang. Istri Yunus, Rafia bertali darah dengan Haji Miskin, ulama pemimpin Perang Padri pada awal abad ke-19. Rafia memiliki saudara seorang bidan bernama Kudi Urai, yang membantunya saat melahirkan
Rahmah.
Dalam usia 60 tahun, Yunus wafat meninggalkan
Rahmah yang masih berusia 6 tahun. Keluarganya memilihkan salah seorang murid Yunus sebagai guru mengaji
Rahmah. Dua udanya yang pernah belajar di Sekolah Desa mengajarkan
Rahmah baca tulis Arab dan Latin. Di bawah asuhan ibu dan kakak-kakaknya,
Rahmah tumbuh sebagai anak yang keras hati dan memiliki kemauan kuat. Lewat kemampuannya membaca, ia mempelajari buku-buku yang dimiliki dan ditulis udanya, Zainuddin Labay
El Yunusy. Menginjak usia 10 tahun,
Rahmah sudah gemar mendengarkan kajian yang diadakan di beberapa surau di Padang Panjang. Ia mengambil perbandingan dari kajian-kajian yang diikutinya, berpindah-pindahdari satu surau ke surau lainnya.
Lantaran jarang bergaul dengan teman sebayanya,
Rahmah remaja menjadi gadis pendiam dan pemalu. Ketiadaan ayah membuat
Rahmah banyak memikirkan dan menyelesaikan sendiri urusannya. Ia menjahit bajunya dan menyenangi berbagai macam kerajinan tangan. Mengikuti tradisi adat,
Rahmah dalam usia 16 tahun dinikahkan oleh keluarganya dengan Bahauddin Lathif, seorang ulama dari Sumpur. Pernikahan mereka berlangsung pada 15 Mei 1916 dan berakhir pada 22 Juni 1922 tanpa meninggalkan anak. Meski demikian,
Rahmah memiliki sepupu dari keluarga ibu, Isnaniah Saleh, yang kelak meneruskan kepemimpinannya di Diniyah Putri.
Pendidikan
Seiring arus pembaruan Islam yang dibawa oleh para ulama Minangkabau usai menuntut ilmu di Timur Tengah pada awal abad ke-20, sejumlah sekolah agama berdiri di berbagai daerah Minangkabau menggantikan sistem pendidikan tradisional yang berbasis surau. Pada 10 Oktober 1915, Zainuddin Labay
El Yunusy membuka sekolah agama Islam Diniyah School yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum dan dijalankan dengan cara pendidikan modern, menggunakan alat peraga dan memiliki perpustakaan. Sekolah ini menerima murid perempuan di kelas yang sama dengan murid laki-laki, hal yang baru bagi sekolah agama saat itu.
Rahmah ikut mendaftar, diterima duduk di bangku kelas tiga (setara tsanawiyah) oleh pihak sekolah menyesuaikan dengan kemampuannya.
Selain belajar di kelas pada pagi hari di Diniyah School,
Rahmah memimpin kelompok belajar di luar kelas pada sore hari. Ia melihat, dengan bercampurnya murid laki-laki dan perempuan dalam kelas yang sama membuat perempuan tidak bebas mengutarakan pendapat dan menggunakan haknya dalam belajar. Ia mengamati banyak masalah perempuan, terutama dalam perspektif fikih, tidak dijelaskan secara rinci oleh guru yang notabene laki-laki, sementara murid perempuan enggan bertanya. Bersama dua temannya, Sitti Nansiah dan Djawana Basyir,
Rahmah berinisiatif mempelajari fikih lebih lanjut kepada Abdul Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi. Mereka tercatat sebagai murid-murid perempuan pertama yang ikut belajar di Surau Jembatan Besi, sebagaimana dicatat oleh Hamka.
Saat bersekolah di Diniyah School,
Rahmah bergabung dengan Persatuan Murid-Murid Diniyah School (PMDS). Ketika duduk di bangku kelas VI,
Rahmah merundingkan gagasannya untuk mendirikan sekolah khusus perempuan kepada teman-teman perempuannya di PMDS. Ia menginginkan agar perempuan memperoleh pendidikan yang sesuai dengan fitrah mereka dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kesungguhannya untuk mewujudkan gagasannya ia sampaikan kepada abangnya, "Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya. Jika kakanda bisa, kenapakah saya, adiknya, tidak bisa. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa."
Rahmah kelak meluaskan penguasaannya dalam beberapa ilmu terapan agar dapat diajarkan pada murid-muridnya. Melalui keahlian yang dimiliki oleh mak tuo-nya (bibi),
Rahmah belajar ilmu kebidanan. Ia juga mengikuti kursus ilmu kesehatan dan P3K kepada orang dokter yang ada di Sumatera Barat seperti dr. Sofjan Rassat dan dr. Tazar (Kayutanam), dr . A. Saleh (Bukittinggi), dr . Arifin (Payakumbuh), serta dr. Rasyidin dan dr. A. Sani (Padang Panjang). Secara privat, ia mempelajari olahraga dan senam dengan seorang guru asal Belanda yang mengajar di Guguk Malintang. Pergaulan
Rahmah sebagai pimpinan sekolah mempertemukannya dengan para guru yang mengajar di Padang Panjang. Ia berkenalan dengan Djusair, Rosminanturi Gaban, dan Sitti Akmar; mereka membawa
Rahmah mendalami berbagai keterampilan. Ia juga belajar bertenun tradisional menggunakan alat tenun bukan mesin yang pada masa itu banyak dilakukan oleh masyarakat Minangkabau. Pengalamannya bertenun ia dapatkan dari pusat pertenunan rakyat seperti Pandai Sikek dan Silungkang. Berbagai ilmu lainnya seperti ilmu hayat dan ilmu alam ia pelajari sendiri dari buku. Berbagai ilmu dan keterampilan tersebut kelak mewarnai kurikulum di Diniyah Putri.
Mendirikan Diniyah Putri
Pada 1 November 1923,
Rahmah membuka Madrasah Diniyah Li al-Banat sebagai bagian dari Diniyah School yang dikhususkan untuk murid-murid putri.
Rahmah mengatur kegiatan belajar mengajar di masjid yang terletak berseberangan dengan rumah kediamannya di Jalan Lubuk Mata Kucing (sekarang Jalan Abdul Hamid Hakim), Pasar Usang, Padang Panjang. Dua teman
Rahmah, Sitti Nansiah dan Djawana Basyir, termasuk guru terawal, sementara
Rahmah merangkap sebagai guru dan pimpinan. Mulanya terdapat 71 orang murid yang kebanyakan adalah ibu-ibu muda. Pelajaran diberikan selama 2,5 jam meliputi dasar pengetahuan agama, gramatika bahasa Arab, dan ilmu alat. Para murid duduk di lantai mengelilingi guru secara berkelompok. Para guru memakai buku-buku berbahasa Arab dan menerangkan dengan bahasa Indonesia. Ilmu pengetahuan umum belum diajarkan pada tahun pertama. Oleh karena itu,
Rahmah mengerahkan murid-muridnya bergabung dengan Persatuan Murid-Murid Diniyah School (PMDS) untuk mendapatkan berbagai pengetahuan umum dan mengikuti berbagai kegiatan seperti kepanduan, organisasi, dan koperasi. Dengan hadirnya bagian untuk putri, Diniyah School peninggalan Zainuddin berangsur-angsur hanya dihadiri oleh murid-murid putra, dan Madrasah Diniyah Li al-Banat yang didirikan
Rahmah menjadi populer sebagai Diniyah Putri.
Ketika Zainuddin meninggal secara mendadak pada 10 Juli 1924, banyak orang menyangka bahwa usaha yang baru dirintis
Rahmah akan hilang di tengah jalan, sebagaimana dicatat oleh Isnaniah Saleh. Dalam suatu rapat pengurus Diniyah Putri yang diadakan oleh
Rahmah beberapa hari setelah Zainuddin meninggal, majelis guru sepakat untuk meningkatkan sistem pengajaran Diniyah Putri lengkap dengan sarana. Pada 1925,
Rahmah menyewa rumah bertingkat dua di Pasar Usang untuk dijadikan ruangan kelas dan asrama Diniyah Putri. Ia mengupayakan sendiri mencari perlengkapan seperti bangku, meja, dan papan tulis. Sedikitnya 60 orang murid menempati asrama pada tahun pertama. Selain Diniyah Putri,
Rahmah membuka program pemberantasan buta huruf untuk kalangan ibu-ibu yang lebih tua pada 1926 setelah melihat kebanyakan mereka tak sempat mengenyam pendidikan formal. Kegiatan itu diikuti oleh 125 orang ibu-ibu pada mulanya, tetapi terpaksa dihentikan setelah Diniyah Putri binasa oleh gempa bumi sehingga sekolah itu menuntut perhatian sepenuhnya dari
Rahmah.
Seiring banyaknya murid Diniyah Putri,
Rahmah mengatur pembagian waktu belajar remaja-remaja perempuan pada sore hari dan ibu-ibu rumah tangga pada malam hari. Pada awal 1926, karena kapasitas asrama yang disediakan di tingkat dua gedung tidak mencukupi, pembangunan gedung baru mulai dilakukan seacara gotong royong. Dalam buku Peringatan 55 Tahun Diniyah Putri dicatat, para murid Diniyah Putri bersama-sama pelajar dari Diniyah School dan Thawalib mengangkat batu kali dari sungai yang berjarak 2,5 km dari sekolah mereka untuk membangun pondasi gedung. Namun, gempa bumi berkekuatan 7,6 skala Richter mengguncang Padang Panjang pada 28 Juni 1926, meruntuhkan gedung lama beserta pondasi gedung baru yang dibangun. Nanisah, salah seorang guru, wafat karena tertimpa runtuhan bangunan.
Gempa bumi mengakibatkan kegiatan belajar-mengajar Diniyah Putri berhenti. Gedung dan peralatan mengajar hancur. Bersama separuh penduduk Padang Panjang, seluruh murid Diniyah Putri mengungsi keluar kota. Ia menyaksikan penduduk meninggalkan kota "seolah-olah sekumpulan kafilah di gurun Sahara, berbondong-bondong membawa bebannya masing-masing." 40 hari setelah gempa bumi,
Rahmah beserta para guru mendirikan kelas darurat, dibantu oleh murid-murid Thawalib kembali secara gotong royong. Kelas dibangun di atas sebidang tanah wakaf dari ibunya, terbuat dari bambu dengan atap daun rumbia berlantaikan tanah. Sambil melanjutkan kegiatan belajar-mengajar di kelas darurat, para guru beserta para wali murid membentuk komite untuk mencari dana pembangunan kembali gedung sekolah yang runtuh.
Rahmah menjual perhiasannya dan berkeliling ke berbagai daerah menghimpun donasi. Surat kabar Sinar Sumatra mencatat,
Rahmah berhasil mengumpulkan 1.500 gulden selama tiga bulan penggalangan di Sumatera Timur dan Aceh pada akhir 1927. Pembangunan gedung permanen dimulai pada Desember 1927 dan ditempati pada Oktober 1928. Gedung baru terdiri dari dua tingkat dan merupakan gedung utama yang masih berdiri sampai saat ini. Total biaya pembangunan mencapai 7.000 gulden.
Diniyah Putri memiliki sedikitnya 200 murid pada 1928. Jumlah itu, dicatat oleh Deliar Noer, meningkat menjadi 350 pada 1930, dan 400 pada 1935. Mereka berasal dari Minangkabau, Bengkulu, Tapanuli, Deli, Aceh, dan Selangor. Seorang lulusan Diniyah Putri Aishah Ghani menyebut kehidupan Diniyah Putri sangat terkungkung dan diawasi secara ketat. "Mereka benar-benar mempersiapkan murid-murid perempuan menjadi perempuan, dengan mengajarkan menenun, ilmu kerumahtanggaan, dan membuat murid-murid mengetahui segala sesuatu dan memiliki rasa tanggung jawab." Seiring meningkatnya kebutuhan tenaga pengajar,
Rahmah membuka Kulliyyatul Mualimat
El Islamiyyah (KMI) pada 1 Februari 1937 sebagai sekolah guru untuk putri dengan lama pendidikan tiga tahun. Sebelum pendudukan Jepang, Diniyah Putri telah memiliki 500 murid pada 1941. Saat pendudukan Jepang, Diniyah Putri di Padang Panjang sempat menjadi tempat perawatan korban kecelakaan, sedangkan cabang Diniyah Putri di Jakarta ditutup.
Pada 1947, dalam rangka menyesuaikan pembagian jenjang pendidikan yang ada di Indonesia, Diniyah Putri dibagi ke dalam Diniyah Rendah dan Diniyah Menengah Pertama. Diniyah Rendah setara SD dengan lama pendidikan tujuh tahun, sedangkan Diniyah Menengah Pertama setara SLTP dengan lama pendidikan berdasarkan peruntukkannya. DMP-B dengan lama pendidikan empat tahun diperuntukkan bagi lulusan SD. Lulusannya disetarakan dengan SLTP dan dipersiapkan untuk melanjutkan ke KMI atau perguruan lanjutan lainnya. Adapun DMP-C dengan lama pendidikan dua tahun diperuntukan bagi tamatan SLTP yang tidak sempat mendalami agama dan bahasa Arab pada jenjang pendidikan sebelumnya. Lulusan DMP-C dapat melanjutkan pendidikan ke KMI sebagaimana lulusan DMP-B.
Kepemimpinan
Majalah Aboean Goeroe-Goeroe milik perkumpulan para guru di Sumatera Barat pada Mei 1930 menyebut
Rahmah sebagai orang pertama yang berkiprah "untuk kemajuan anak-anak perempuan di Minangkabau".
Rahmah dipuji sebagai sosok yang "sedikit bicara dan tertawa, tetapi banyak bekerja". Lewat usahanya mendirikan Diniyah Putri dengan seluruh tenaga pengajar dari perempuan,
Rahmah ingin memperlihatkan bahwa perempuan yang selama ini dipandang lemah dan rendah derajatnya dapat berbuat sebagaimana laki-laki. Ia mengusahakan pendanaan Diniyah Putri secara mandiri, termasuk dengan menjual perhiasannya. Ia juga melakukan penggalangan dana tanpa bergantung pada laki-laki. Ia mengatakan, "buat sementara golongan putri akan mencoba melayarkan sendiri pencalangnya sampai ke tanah tepi" sampai "tenaga putri tidak sanggup lagi". Hamka mencatat, perwakilan Muhammadiyah di Padang Panjang pernah datang kepada
Rahmah pada 1928, menganjurkan agar pengelolaan Diniyah Putri diserahkan kepada Muhammadiyah.
Rahmah menolak tawaran tersebut, mengungkapkan bahwa dirinya “tetap percaya kepada kekuatan yang diberikan Allah kepada dirinya sendiri”."...Bagaimana keras hatinya buat memajukan agama Islam ada susah pula buat bandingnya sesama kaum perempuan.."
— Sinar Sumatra.Kepemimpinannya di Diniyah Putri membuatnya sering berpergian ke luar daerah. Dalam rangka penggalangan dana,
Rahmah melakukan perjalanan ke sejumlah daerah Minangkabau dan luar Minangkabau pada pengujung 1927. Ia menemui beberapa tokoh pemimpin Muslim, menyampaikan cita-cita dan program Diniyah Putri. Di tiap-tiap daerah yang dikunjunginya,
Rahmah berpidato di mimbar untuk menggairahkan umat Muslim berkorban bagi pembangunan Islam, "terutama untuk putri-putri Islam mempelajari agama Islam yang mereka cintai". Kegiatannya ini telah membentuk dirinya sebagai orator sekaligus meluaskan keterkenalan Diniyah Putri di Sumatra. Dalam rangka pengembangan kurikulum, ia mengadakan studi banding melalui kunjungan ke sekolah-sekolah agama di Sumatra dan Jawa pada 1931. Selain itu, ia banyak mengirim siswa-siswa tamatan Diniyah Putri untuk mengajar di berbagai daerah hingga Semenanjung Malaya. Dalam dua kali perjalanannya ke Semenanjung Malaya pada 1933 dan 1935, ia tercatat mengunjungi Pinang, Terengganu, Johor, Negeri Sembilan, Selangor, Perak, Pahang, Kelantan, dan Kedah. Di Sumatra, ia mengunjungi Kesultanan Siak menemui Sultan Siak Sri Indrapura. Dalam berbagai kunjungannya, ia tampil memperkenalkan Diniyah Putri dan menghimpun dana kelanjutan pembangunan sekolah.
Selama pemerintahan kolonial Belanda,
Rahmah menghindari aktivitas di jalur politik untuk melindungi kelangsungan sekolah yang dipimpinnya. Ia memilih tidak bekerja sama dengan pemerintah jajahan. Ketika pemerintah kolonial Belanda melalui Van Straten, sekretaris atau controleur Padang Panjang menawarkan kepada
Rahmah agar Diniyah Putri didaftarkan sebagai lembaga pendidikan terdaftar sehingga dapat menerima subsidi dari pemerintah,
Rahmah menolak. Ia mengungkapkan bahwa Diniyah Putri adalah sekolah kepunyaan umat, dibiayai oleh umat, dan tidak memerlukan perlindungan selain perlindungan Allah. Menurutnya, subsidi dari pemerintah akan mengakibatkan keleluasaan pemerintah dalam memengaruhi pengelolaan Diniyah Putri.
Ketika kegiatan politik merebak di lembaga-lembaga pendidikan Minangkabau dengan berdirinya Partai Persatuan Muslim Indonesia (Permi) pada 1930, seorang guru sekaligus lulusan Diniyah Putri, Rasuna Said mulai mengemukakan pandangan politiknya melalui pelajaran yang ia berikan di dalam kelas. Ia memandang murid-murid perlu mendapatkan wawasan politik sebagai upaya keluar dari belenggu penjajahan.
Rahmah menolak usulan Rasuna, berpendapat bahwa dasar Islam yang murid-murid terima telah menjadi dasar bagi upaya mereka dalam kegiatan politik. Menurut
Rahmah, masalah politik dengan sendirinya akan dapat diketahui oleh para pelajar saat mereka terlibat di dalamnya setelah mereka tamat. Ia mendasari pandangannya dari pemimpin politik di Minangkabau saat itu yang memperoleh pelajaran agama di lembaga pendidikan yang mereka ikuti, meskipun tidak mendapat pelajaran khusus tentang politik. Namun, kepopuleran Rasuna di kancah politik saat itu telah menarik sejumlah murid Diniyah Putri dalam kegiatan politik. Saat ditegur
Rahmah, Rasuna menyatakan tetap dengan pendiriannya; ia akhirnya menarik diri dan pindah ke Padang.
Pada 1931, Muchtar Lutfhi dan Mahmud Yunus pernah menawarkan kepada
Rahmah agar Diniyah Putri bernaung di bawah Permi. Permi melihat modernisasi sekolah agama berkembang pesat, tetapi tidak ada keseragaman program atau buku standar yang digunakan. Untuk itu, perlu adanya penggabungan seluruh sekolah dan perguruan agama ke dalam suatu wadah tunggal.
Rahmah menolak Diniyah Putri bergabung. Menurutnya, lebih baik memelihara satu saja tapi terawat daripada bergabung tapi porak poranda. "Jika terjadi sesuatu dengan wadah tersebut, tidak perlu pula seluruh sekolah yang dinaunginya bubar." Ketika Permi membentuk Dewan Pengajaran Permi untuk menyatukan pelajaran sekolah-sekolah Islam,
Rahmah membuat wadah sendiri bagi pengajar Diniyah Putri bernama Perserikatan Guru-Guru Agama Putri Islam (PGAPI) pada 1933.
Pada 1933,
Rahmah memimpin panitia penolakan Ordonansi Sekolah Liar (yang akan mengakibatkan sekolah tak berizin dari pemerintah ditutup) di Padang Panjang. Aktivismenya ini membuat ia dituduh membicarakan politik sehingga mengakibatkannya didenda 100 gulden oleh pengadilan. Pada tahun yang sama, Belanda melalui Politieke Inlichtingen Dienst menggeledah Diniyah Putri. Tiga orang guru Diniyah Putri: Kanin RAS, Chasjiah AR, dan Siti Adam Addarkawi dikenakan larangan mengajar. Pada 1935,
Rahmah menghadiri Kongres Perempuan Indonesia di Batavia sebagai utusan Serikat Kaum Ibu Sumatra (SKIS). Di sana, ia mengemukakan idenya untuk mengembangkan pendidikan agama ke berbagai kota. Idenya mendapat sambutan sehingga, dengan bantuan beberapa pedagang asal Minangkabau dan lulusan lembaga pendidikan agama di Padang Panjang, ia dapat membuka cabang Diniyah Putri di Kwitang dan Tanah Abang pada 2 dan 7 September 1936. Selain itu,
Rahmah dalam kongres memperjuangkan penggunaan ciri khas budaya Islam ke dalam kebudayaan Indonesia seperti penggunaan kerudung dalam busana perempuan. Pada 1938, ia hadir dalam rapat umum di Bukittinggi untuk menentang Ordonansi Kawin Bercatat. Pada April 1940,
Rahmah menghadiri undangan Kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh di Kotaraja, Aceh. Ia dipandang oleh ulama-ulama Aceh sebagai ulama perempuan terkemuka di Sumatra.
Pendudukan Jepang
Kedatangan tentara Jepang di Minangkabau pada Maret 1942 membawa berbagai perubahan dalam pemerintahan dan mengurangi kualitas hidup penduduk non-Jepang. Selama pendudukan Jepang,
Rahmah ikut dalam berbagai kegiatan Anggota Daerah Ibu (ADI) yang bergerak di bidang sosial. Dalam situasi perang,
Rahmah bersama para anggota ADI mengumpulkan bantuan makanan dan pakaian bagi penduduk yang kekurangan. Ia memotivasi penduduk yang masih bisa makan untuk menyisakan beras genggam setiap kali memasak untuk dibagikan bagi penduduk yang kekurangan makanan. Kepada murid-muridnya, ia menginstruksikan bahwa seluruh taplak meja dan kain pintu yang ada pada Diniyah Putri dijadikan pakaian untuk penduduk.
Selain itu,
Rahmah bersama para anggota ADI menuntut pemerintah Jepang untuk menutup rumah bordil dan menentang pengerahan perempuan Indonesia sebagai jugun ianfu atau wanita penghibur. Tuntutan ini dipenuhi oleh pemerintah Jepang dan tempat prostitusi di kota-kota Sumatera Barat berhasil ditutup.
Dalam politik,
Rahmah bergabung dengan Majelis Islam Tinggi Minangkabau yang berkedudukan di Bukittinggi. Ia menjadi Ketua Haha No Kai di Padang Panjang untuk membantu perjuangan perwira yang terhimpun dalam Giyugun. Seiring memuncaknya ketegangan di Padang Panjang,
Rahmah membawa sekitar 100 orang muridnya mengungsi untuk menyelamatkan mereka dari serbuan tentara Jepang. Selama pengungsian, ia menanggung sendiri semua keperluan murid-muridnya. Ketika terjadi kecelakaan kereta api pada 25 Desember 1944 dan 23 Maret 1945 di Padang Panjang,
Rahmah menjadikan bangunan sekolah Diniyah Putri sebagai tempat perawatan korban kecelakaan. Hal ini membuat Diniyah Putri mendapatkan piagam penghargaan dari pemerintah Jepang. Menjelang berakhirnya pendudukan, Jepang membentuk Cuo Sangi In yang diketuai oleh Muhammad Sjafei.
Rahmah duduk sebagai salah seorang anggota peninjau Cuo Sangi In.
Revolusi Nasional Indonesia
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Setelah mendapatkan berita tentang proklamasi kemerdekaan langsung dari Ketua Cuo Sangi In Muhammad Sjafei,
Rahmah segera menggerek bendera Merah Putih di halaman perguruan Diniyah Putri. Ia tercatat sebagai salah seorang pertama yang mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatera Barat. Berita bahwa bendera Merah Putih berkibar di Diniyah Putri menjalar ke seluruh pelosok kota dan daerah Batipuh. Ketika Komite Nasional Indonesia terbentuk sebagai hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 22 Agustus 1945, Soekarno yang melihat kiprah
Rahmah mengangkatnya sebagai salah seorang anggota. Namun, ketika KNPI mengadakan sidang di Malang,
Rahmah tidak hadir karena tak bisa meninggalkan ibunya yang sedang sakit di Padang Panjang.
Pada 5 Oktober 1945, Soekarno mengeluarkan dekret pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada 12 Oktober 1945,
Rahmah memelopori berdirinya unit perbekalan TKR untuk Padang Panjang dan sekitarnya. Ia mengusahakan logistik dan pembelian beberapa kebutuhan alat senjata dari harta yang dimilikinya. Bersama dengan bekas anggota Haha No Kai,
Rahmah mengatur dapur umum di kompleks perguruan Diniyah Putri untuk kebutuhan TKR. Anggota-anggota TKR ini menjadi tentara inti dari Batalyon Merapi di bawah pimpinan Anas Karim.
Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda kedua, Belanda menangkap sejumlah pemimpin-pemimpin Indonesia di Padang Panjang.
Rahmah meninggalkan kota dan bersembunyi di lereng Gunung Singgalang. Namun, ia ditangkap Belanda pada 7 Januari 1949, membuatnya mendekam di tahanan wanita di Padang Panjang. Setelah tujuh hari, ia dibawa ke Padang dan ditahan di satu ruangan bekas SPG Negeri Putri Padang. Ia melewatkan tiga bulan di Padang sebagai tahanan rumah (huis arrest), sebelum diringankan sebagai tahanan kota (stad arrest) selama lima bulan berikutnya.
Pasca-revolusi
Pada Oktober 1949,
Rahmah meninggalkan Kota Padang untuk memenuhi undangan Kongres Pendidikan II Indonesia di Yogyakarta. Di kota yang sama, ia hadir dalam Kongres Muslimin Indonesia yang diselenggarakan pada 20–25 Desember 1949. Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag,
Rahmah kembali ke Padang Panjang pada Januari 1950 untuk memimpin Diniyah Putri setelah tiga belas bulan ia tinggalkan. Pada 1951,
Rahmah bergabung dalam panitia pembentukan bidang perpustakaan Balai Perguruan Tinggi Hukum Pancasila (cikal bakal Universitas Andalas) bersama Diyar Karim, Rasyid Manggis, Abdul Hamid, dan Sadudin Djambek.
Di bidang politik,
Rahmah bergabung dengan partai Islam Masyumi. Sekitar tahun 1952–1954, ia menjadi anggota Dewan Partai Masyumi di Jakarta. Selanjutnya, ia menjadi penasihat Masyumi Muslimat di Sumatra Tengah hingga 1955. Dalam Muktamar VII Masyumi di Surabaya pada 27 Desember 1954,
Rahmah turut hadir selaku anggota Masyumi Muslimat. Ia dicalonkan untuk pemilu 1955 dan terpilih sebagai anggota DPR mewakili Sumatra Tengah. Melalui DPR,
Rahmah membawa aspirasinya tentang pendidikan dan pelajaran Islam. Pada 15 Agustus 1955, Imam Besar Al-Azhar Abdurrahman Taj berkunjung ke Indonesia dan atas ajakan Muhammad Natsir berkunjung ke berbagai tempat untuk melihat perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, termasuk Diniyah Putri. Abdurrahman Taj mengungkapkan kekagumannya pada Diniyah Putri, sementara Al-Azhar sendiri saat itu belum memiliki bagian khusus perempuan.
Pada Juni 1957,
Rahmah berangkat ke Timur Tengah. Usai menunaikan ibadah haji, ia mengunjungi Mesir memenuhi undangan Imam Besar Al-Azhar. Dalam satu Sidang Senat Luar Biasa,
Rahmah mendapat gelar kehormatan "Syekhah" dari Universitas Al-Azhar; kali pertama Al-Azhar memberikan gelar kehormatan syekh pada perempuan. Hamka mencatat, Diniyah Putri memengaruhi pimpinan Al-Azhar untuk membuka Kulliyatul Banat, bagian Universitas Al-Azhar yang dikhususkan untuk putri pada 1962. Sebelum kepulangannya ke Indonesia,
Rahmah sempat mengunjungi Suriah, Lebanon, Yordania, dan Irak.
Sekembalinya dari kunjungan ke berbagai negara di Timur Tengah,
Rahmah merasa bahwa Soekarno telah terbawa arus kuat PKI. Tidak nyaman berjuang di Jakarta, ia memilih kembali pulang ke Padang Panjang.
Rahmah melihat bahwa mencurahkan perhatiannya untuk memimpin perguruannya akan lebih bermanfaat daripada duduk di kursi parlemen "yang sudah dikuasai komunis". Ketika Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Tengah dideklarasikan pada akhir 1958 akibat ketidaksetujuan atas sepak terjang Soekarno,
Rahmah dilaporkan bergabung dengan Dewan Banteng. Selama masa pergolakan, ia bergerilya di tengah rimba bersama tokoh-tokoh PRRI dan rakyat yang mendukungnya. Dengan beberapa anggota keluarganya, ia berpindah-pindah dari satu desa ke satu desa sampai ke hutan-hutan yang cukup jauh dari pemukiman penduduk. Pada Agustus 1961, satu rombongan yang terdiri dari beberapa anggota keluarga dan pemuda berangkat menjemput
Rahmah di tempat terakhir pengembaraannya, melalui jalan darat yang rusak dan menyeberangi beberapa sungai.
Meninggal
Pada 1961,
Rahmah kembali memimpin perguruannya setelah tiga tahun ia tinggalkan pasca-pergolakan PRRI. Pada 1964,
Rahmah menjalani operasi tumor payudara di RS Pirngadi, Medan. Pada Desember 1967,
Rahmah berkunjung ke Jakarta untuk terakhir dalam rangka pembentukan Dewan Kurator Perguruan Tinggi Diniyah Putri. Pada Juli 1968, dengan kondisi fisik yang semakin lemah,
Rahmah berangkat menuju Kelantan ditemani keponakannya Isnaniah Saleh. Mereka menemui alumni Diniyah Putri di beberapa negara bagian Malaysia didampingi Datin Sakinah, alumni Diniyyah Putri asal Perak yang tinggal di Kelantan bersama suaminya, Datok Mohammad Asri yang merupakan Menteri Besar Kelantan. Mereka menyinggahi Penang, Perak, Kuala Terengganu, dan Kuala Lumpur. Namun, dalam kunjungannya yang ketiga dan terakhir ke Malaysia itu, ia tidak dapat bicara banyak karena kesehatannya yang menurun.
Rahmah meninggal mendadak dalam usia 68 tahun dalam keadaan berwudu hendak salat Magrib pada 26 Februari 1969. Jenazahnya dimakamkan di pekuburan keluarga yang terletak di samping rumahnya. Sehari sebelum ia wafat,
Rahmah sempat menemui Gubernur Sumatera Barat saat itu, Harun Zain, mengharapkan pemerintah memperhatikan sekolahnya. Dalam pertemuannya dengan Harun Zain, ia mengatakan, "Pak Gubernur, napas ini sudah hampir habis, rasanya sudah sampai dileher. Tolonglah Pak Gubernur dilihat-lihat dan diperhatikan Sekolah Diniyah Putri." Setelah
Rahmah wafat, kepimpinan Diniyah Putri dilanjutkan oleh Isnaniah Saleh sampai 1990. Saat ini, Diniyah Putri dipimpin oleh Fauziah Fauzan sejak September 2006 dan telah memiliki jenjang pendidikan mulai dari TK hingga perguruan tinggi.
Dalam bukunya Islam dan Adat Minangkabau, Hamka menyinggung kiprah
Rahmah di dunia pendidikan dan pembaruan Islam di Minangkabau. Dalam sejarah Universitas Al-Azhar, baru
Rahmah seoranglah perempuan yang diberi gelar Syekhah. Dalam sejumlah esainya, Azyumardi Azra menyebut perkembangan Islam modern dan pergerakan Muslimah di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari nama
Rahmah sebagai perintis.
Pandangan
Rahmah memperoleh pendidikan atas inisiatifnya sendiri, pada saat masyarakat memandang kurang perlunya pendidikan bagi perempuan. Ia melihat bahwa perempuan tertinggal dari laki-laki, berada dalam kebodohan dan kepasrahan pada keadaan sehingga masyarakat pada umumnya—termasuk perempuan sendiri—mengganggap diri mereka makhluk yang lemah dan terbatas. Ia menginginkan setiap wanita menjadi ibu yang baik dalam rumah tangga dan masyarakat. Hal itu menurutnya hanya dapat dicapai melalui pendidikan. Meski menolak pembatasan mencari ilmu bagi perempuan,
Rahmah menolak emansipasi seperti yang digaungkan oleh feminis. Sarah Larasati Mantovani dari Universitas Muhammadiyah Surakarta menulis,
Rahmah ingin perempuan tetap pada fitrahnya dan anak didiknya menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya kelak. Ia tetap memasukkan pendidikan rumah tangga seperti menjahit, memasak dan keterampilan rumah tangga lainnya ke dalam kurikulum sekolahnya.
Sepanjang hidupnya,
Rahmah menampilkan dirinya dengan pakaian baju kurung dan mudawarah. Anggota Konstituante Zamzami Kimin menulis bagaimana
Rahmah memberikan perumpamaan menutup aurat dengan membandingkan dua orang berjualan di tepi jalan raya. Penjual yang satu membiarkan jualannya terbuka sementara penjual yang satu lagi menutupi jualannya itu dengan rapi, takut dihinggapi debu yang beterbangan. "Kalau sekiranya saudara ingin membeli jualan itu yang manakah yang akan saudara beli," tulis Zamzami menirukan ucapan
Rahmah. Selain itu,
Rahmah telah menampilkan ciri khas anak-anak putri dengan pakaian khas Diniyah, kerudung putih yang mereka lilitkan di kepala, baik di ruangan kelas maupun di halaman sekolah. "Bila masyarakat melihat gadis-gadis atau wanita-wanita memakai mudawarah, baju kurung membalut tubuh,... sehingga yang kelihatan hanya tangan, muka, dan kaki, maka dengan spontan mereka menyebut, itulah dia murid-murid
Rahmah El Yunusiyah," tulis Zamzami.
Rujukan
Keterangan
Catatan kaki
Daftar pustaka