Serangkaian perubahan pada sistem
peradilan dan penyeimbangan kekuasaan di
Israel diusulkan pada Januari
2023. Upaya tersebut diinisiasi oleh Wakil Perdana Menteri dan Menteri Kehakiman Yariv Levin dan Ketua Komisi Konstitusi, Hukum dan Kehakiman Knesset, Simcha Rothman.
Reformasi ini bertujuan untuk mengurangi peran lembaga yudikatif dalam pembuatan undang-undang dan kebijakan publik dengan membatasi wewenang Mahkamah Agung
Israel untuk melakukan pengujian yudisial, memberikan kontrol pada pemerintah dalam penunjukan hakim, dan membatasi kewenangan penasihat hukum.
Jika disahkan,
Reformasi tersebut akan memberi Knesset kekuasaan untuk membatalkan putusan MA terkait tidak konstitusionalnya suatu undang-undang melalui persetujuan mayoritas anggota parlemen.
Reformasi tersebut juga akan melucuti kemampuan pengadilan untuk melakukan uji materi Konstitusi dan mengubah susunan Panitia Pemilihan Hakim, sehingga kontrol atas pengangkatan hakim secara efektif diberikan kepada pemerintah. Levin dan koalisi pemerintah telah menyatakan bahwa hal-hal tersebut adalah langkah pertama dalam
Reformasi peradilan mereka, dan bahwa langkah-langkah tambahan direncanakan, termasuk mengubah proses penunjukan penasihat hukum untuk kementerian, sehingga mereka diangkat dan diberhentikan oleh para menteri; menjadikan nasihat hukum mereka sebatas rekomendasi yang tidak mengikat para menteri; dan membuat mereka tunduk langsung kepada para menteri alih-alih melakukan pengawasan profesional di bawah Kementerian Kehakiman. Perdana Menteri
Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa
Reformasi diperlukan karena lembaga
peradilan memiliki terlalu banyak kendali atas kebijakan publik, dan keseimbangan yang lebih baik diperlukan antara para legislator yang dipilih secara demokratis dengan lembaga
peradilan. Namun, Netanyahu telah dilarang untuk secara aktif mengambil bagian dalam proses
Reformasi peradilan oleh Jaksa Agung, karena indikasi adanya konflik pribadi terkait persidangan dugaan korupsinya yang tengah berlangsung.
Koalisi ini juga memajukan sejumlah rancangan undang-undang lain mengenai sistem
peradilan Israel dan perimbangan kekuasaan, termasuk
Reformasi untuk memperluas otoritas Pengadilan Rabbinik, yang memungkinkan mereka untuk bertindak sebagai arbitrer dalam masalah perdata menggunakan hukum agama, atas persetujuan kedua belah pihak; UU yang membatasi kemampuan untuk menuntut mosi tidak percaya dan metode lain untuk membubarkan Knesset yang sedang berkuasa; UU yang melarang proses pidana terhadap Perdana Menteri petahana; dan rancangan undang-undang yang mengizinkan pejabat publik ditunjuk secara manasuka oleh politikus alih-alih berdasarkan pertimbangan profesional.
Reformasi yang diusulkan telah memicu reaksi besar, beserta sejumlah dukungan, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Para tokoh dan pegiat oposisi menuduh pemerintah merusak prinsip-prinsip check and balances yang sudah mapan dan berusaha untuk meraih kekuasaan mutlak. Presiden
Israel Isaac Herzog menyerukan agar
Reformasi dihentikan guna memberi ruang pada upaya kompromi, dan presiden Mahkamah Agung serta Jaksa Agung telah membuktikan ilegalitas
Reformasi tersebut. Unjuk rasa terhadap
Reformasi terus berkembang di
Israel tak lama setelah diumumkan, dan mengundang perhatian serta keprihatinan dari komunitas internasional.
Pada 27 Maret
2023, setelah unjuk rasa besar-besaran dan pemogokan massal di berbagai sektor ekonomi
Israel, Netanyahu mengumumkan penundaan dalam pengesahan undang-undang penyusunan ulang Komite Pemilihan Hakim dan kesiapannya untuk terlibat dalam dialog dengan partai-partai oposisi. Namun, negosiasi yang bertujuan mencapai kompromi gagal pada bulan Juni, dan pemerintah terus melanjutkan rencananya untuk mengesahkan sebagian undang-undang secara sepihak. Pada 24 Juli
2023, Knesset meloloskan RUU yang mencabut hak Mahkamah Agung untuk membatalkan keputusan pemerintah jika dinilai tidak masuk akal.
Referensi