Letkol Ckm. dr.
Reksodiwiryo Wiyotoarjo (1 Juli 1910 – 21 Januari 1964) adalah seorang dokter Indonesia. Ia mengabdi sebagai dokter tentara di Sumatera Barat dan Riau pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia pernah menjadi Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta dari tahun 1952 sampai 1956, ketika itu masih bernama Rumah Sakit Tentara Pusat (RSTP).
Kelahiran dan pendidikan
Reksodiwiryo Wiyotoarjo lahir di Malang, Keresidenan Pasuruan pada 1 Juli 1910. Ia menempuh pendidikan di Geneeskundige Hoogeschool te Batavia yang biasa disingkat GH te Batavia atau GHS (kini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). Di sana, ia meraih gelar dokter bedah.
Reksodiwiryo masuk seangkatan dengan Athos Ausri yang kelak juga menjadi dokter dan dipercaya sebagai Kepala Rumah Sakit Umum Padang.
Menjadi dokter
= Bertugas di Rengat, Riau
=
Setelah menyelesaikan pendidikan di GHS,
Reksodiwiryo diangkat pemerintah Hindia Belanda sebagai dokter Onderafdeling (suatu wilayah administratif setingkat kawedanan yang diperintah oleh seorang wedana bangsa Belanda yang disebut Kontroleur) di Rengat, Riau. Ia diangkat menjadi dokter di pada 1939.
Pada tahun 1942, Jepang mulai menduduki Indonesia, termasuk wilayah Rengat. Ia sempat dicari-cari tentara Jepang ke rumahnya. Namun, tentara Jepang dengan pedang terhunus, hanya menemukan sang istri dan putra bungsunya. Meski sempat terluka oleh pedang seorang perwira Jepang, sang istri dan putranya selamat. Tentara Jepang pergi dari rumah mereka karena tidak menemukan Dokter Rekso.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tentara Jepang hengkang dari Rengat. Bersamaan dengan itu, Dokter Rekso dan istrinya aktif dalam organisasi bernama Gerakan Indonesia Muda atau GIM. Oleh sebagian pemuda-pemudi di Rengat, GIM ini disalahartikan sebagai singkatan dari Geen Indonesische Macht (tidak ada kekuasaan Indonesia).
Salah tafsir soal singkatan GIM ini membuat Dokter Rekso ditangkap oleh pemuda-pemudi di Rengat dan diserahkan kepada Polisi Tentara (kini Polisi Militer). Kabar Dokter Rekso ditangkap sampai kepada Komandan TKR/TRI di Riau, dalam hal ini Komandan Resimen IV/Pekanbaru, Letnan Kolonel Hasan Basri. Dia memerintahkan Perwira Kesehatan Resimennya, yakni Pembantu Letnan Mochtardin, bertolak dari Pekanbaru ke Rengat bersama satu pleton tentara.
Sampai di Rengat sekitar Januari 1946, Mochtardin dan rombongan bertemu Kepala Polisi Tentara setempat, Letnan Kandow. Selain itu, Mochtardin juga bertemu Kepala Pemuda Rengat, Tengku Ali. Dari mereka diperoleh informasi bahwa Dokter Rekso diduga telah meracuni pemuda-pemudi di Rengat dan berusaha memasukkan tentara Belanda (NICA). Akan tetapi, keterangan berbeda diperoleh Mochtardin dari Nyonya Rekso. Menurut Nyonya Rekso, kecurigaan ini terjadi karena salah paham soal GIM.
Alhasil, Mochtardin menggelar rapat di kantor Polisi Tentara Rengat. Dalam rapat, Mochtardin menegaskan tuduhan terhadap Dokter Rekso tidak benar. Tapi, seorang aktivis pemuda tetap mendesak agar Dokter Rekso dan keluarganya dibunuh. Mendengar desakan itu, Mochtardin memberi pertimbangan kepada para peserta rapat.
Mochtardi menjelaskan, bahwa di Rengat pada saat itu hanya terdapat dua orang Dokter Ahli Bedah. Yakni, Dr Reksowidiryo dan Dr Ferdinan Tobing. “Kalau Dokter Rekso dibunuh, maka kita akan kehilangan seorang dokter ahli bedah. Lebih bermanfaat jika tenaganya kita pergunakan dalam perjuangan kemerdekaan ini,” kata Mochtardin.
Sekitar 15 hari setelah rapat tersebut (diperkirakan antara Januari atau Februari 1946), Komandan Resimen IV/Pekanbaru Letnan Kolonel Hasan Basri memerintahkan agar Dokter Rekso dan keluarganya dibawa dari Rengat ke Bukittinggi, dengan melewati Sungai Dareh. Setiba di Bukittinggi, Dokter Rekso ‘diperiksa’ oleh Kepala Kesehatan Divisi IX/Banteng dr A Nazaruddin dan disarankan agar bersedia menerima jabatan sebagai Kepala Dinas Kesehatan Tentara di Sawahlunto dengan pangkat Kapten.
= Dinas di Sawahlunto
=
Dinas Kesehatan Tentara di Sawahlunto yang dipimpin Dr
Reksodiwiryo, ternyata berada di bawah garis komando Resimen III/Kurandji, Padang. Dalam operasionalnya, baik penyediaan asrama, Poliklinik, paviliun tempat perawatan, sampai obat-obatan, Dinas Kesehatan Tentara di Sawahlunto, banyak menggunakan fasilitas Rumah Sakit Ombilin yang kala itu dipimpin Dokter Darwis.
Semasa Dokter Rekso memimpin Dinas Kesehatan Tentara di Sawalunto, dia pernah menggagas pelatihan atau pendidikan Juru Rawat Tentara. Pelaksanaannya bergabung dengan Rumah Sakit Ombilin. Ada 25 pemuda-pemuda yang ikut pelatihan ini, termasuk 4 orang dari Riau.
Saat terjadi Agresi II Belanda pada 19 Desember 1949, Dinas Kesehatan Tentara di Sawahlunto terpaksa meninggalkan Rumah Sakit Ombilin menuju Alahan Panjang. Di Alahan anjang ini, Dinas Kesehatan Tentara hanya berkedudukan sampai 12 Januari 1949. Setelah itu, Alahan Panjang dibombardir Belanda dan membuat empat orang dari pihak kita terluka.
Dokter Rekso dan timnya tidak dapat membantu keempat orang itu karena saat bersamaan, Dokter Rekso sudah membuka Rumah Sakit Timbulun/Muaro Labuah di Solok Selatan. Namun, Muaro Labuah juga dimasuki Belanda pada 21 Juni 1949. Membuat Dokter Rekso dan Dinas Kesehatan Tentara, harus meninggalkan Rumah Sakit Timbulun.
Sejak itu, gerilya kesehatan yang sejatinya sudah dimulai Dokter Rekso dan anggota Dinas Kesehatan Tentara Resimen III/Kurandji Padang sejak dari Ombilin dan Alahan Panjang, berlanjut ke kawasan-kawasan lain. Ada 40 kawasan yang dilalui sepanjang gerilya tersebut. Dokter Rekso juga membawa istri dan anaknya bergerilya.
Ada banyak kenangan Nyonya Rekso saat mendampingi suaminya bergerilya kesehatan. Misalnya, saat istri Komandan Batalyon II Kapten Arief Amin yang ikut gerilya melahirkan putra pertama di Sungai Pagu. Begitu pula istri Kepala Kesehatan Batalyon II Sersan Mayor Masthor yang melahirkan putra pertama di Kampung Sungai Aur. “Waktunya hampir bersamaan. Maklum sama-sama pengantin baru,” kenang Nyonya Rekso.
Selepas memimpin gerilya kesehatan, Dokter Rekso juga terlibat dalam penyidikan kasus-kasus kriminalitas yang terjadi semasa revolusi fisik. Bahkan, bersama Badan Siasat Perang (intelijen Sumatera Barat pada masa itu), Dokter Rekso pernah terjun langsung ke sebuah kampung danau di pinggiran Danau Singkarak, untuk menyidiki kasus pembunuhan Pembantu Letnan A Moenaf “Baruang”.
Kasus pembunuhan ini terbilang unik. Mayat Letnan A Moenaf “Baruang” ditemukan di bawah sebatang pohon di lereng bukit, sedikit di luar kampung tersebut. Mayat masih utuh, walaupun peristiwa pembunuhan sudah berlangsung lebih kurang setahun. Karena mayat masih utuh, proses identifikasi, termasuk penyebab kematian, tak sulit diketahui.
Berdasarkan visum et repertum yang dilakukan Dokter Rekso dibantu Mayor Kesehatan Mansyur dan seorang Kopral Kesehatan, Letnan A Moenaf “Baruang awalnya diduga dipukul dengan linggis dan ditembak dari dekat. Setelah itu disemblih. Semua keterangan itu dapat dibaca dari visum Dokter Rekso.
Jadi Kepala RSPAD Gatot Soebroto
Dokter Reksowidiryo bertugas di Sumatera Barat sampai 1952 atau lebih kurang enam tahun. Kurang dari separuh masa tugasnya di Riau. Namun bedanya, setelah bertugas dari Sumatera Barat, Dokter Rekso langsung diberi amanah sebagai Kepala Rumah Sakit Tentara Pusat (RSTP) di Jakarta yang kemudian berganti nama menjadi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) dan kini bernama RSPAD Gatot Soebroto.
Dalam situs resmi Rumah Sakit Kepresidenan ini, nama Dokter Rekso ditulis dengan ejaan lama. Yakni, Letkol Ckm dr. Reksodiwirjo Wijotoardjo. Dokter Rekso merupakan Kepala RSPAD Gatot Subroto yang kedua setelah Letkol dr Satrio. Sebelumnya, rumah sakit ini dikelola oleh militer Belanda. Dengan komandan terakhirnya Letkol dr Scheffer.
Letkol Ckm dr. Reksodiwirjo Wijotoardjo menjabat Kepala RSPAD Gatot Soebroto dari 1 Maret 1952 sampai 25 Juni 1956. Awal Dokter Rekso bertugas, RSPAD Gatot Soebroto bernama Rumah Sakit Tentara Pusat (RSTP). Setelah itu, baru berganti menjadi RSPAD sampai tahun 1970.
Dalam situs resmi RSPAD Gatot Soebroto dijelaskan, selama masa kepemimpinan Letkol Ckm dr. Reksodiwirjo Wijotoardjo dari 1 Maret 1952 sampai 26 Juni 1956, RSTP terkesan berjalan di tempat. Dikarenakan kondisi politik dan ekonomi bangsa pada saat itu, sangat tidak memungkinkan untuk melakukan peningkatan dan pembangunan RSTP.
Akhir kehidupan
Pada 25 Juni 1956 Letkol. dr. Reksodiwirjo mengundurkan diri dari dinas militer dan menyerahkan jabatannya kepada Letkol dr. Muhammad Tarekat Prawirowijoto. Bersama istrinya, Dokter Rekso menetap di Yogyakarta, hingga akhir hayatnya. Di kota Sultan dan cendikiawan ini pula, Dokter Rekso menutup mata pada, 21 Januari 1964.
Untuk mengenangnya, Kolonel Ahmad Husen mengusulkan kepada Direktur Kesehatan TNI AD, agar nama Rumah Sakit Tentara di Padang diabadikan dengan nama Rumah Sakit Tentara Dr
Reksodiwiryo. Saat peresmian rumah sakit ini, Nyonya Rekso didatangkan dari Jakarta dan diberi kehormatan untuk membuka selubungnya.
Dalam situs resmi Rumah Sakit Tentara dr
Reksodiwiryo disebutkan, bahwa rumah sakit ini diresmikan pada 1976. Namun sedikit berbeda dengan buku yang disusun Ahmad Husein dkk, dalam bagian sejarah di situs ini disebutkan, Dokter Rekso awalnya membuat Rumah Sakit Darurat di kawasan Ladang Padi, Padang. Setelah terjadi Agresi Belanda, baru pindah ke Rumah Sakit Batu Bara Ombilin dan bergerilya bersama pejuang.
Kehidupan pribadi
Selama hidupnya, Dokter Rekso dan istrinya hanya memiliki dua putra. Anak pertama, bernama Irawan, gugur dalam kecelakaan pesawat terbang di Pulau Ternate sebagai pilot Angkatan Laut. Sedangkan anak terakhir bernama Ir Iskandar, pada masa itu, bekerja pada sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Iskandar punya dua anak, Bediantini dan Haris.
Referensi
= Daftar Pustaka
=
"20 Oktober dalam Catatan Sejarah Sumatera Barat". Langgam.id. 2020-10-20. Diakses tanggal 2020-12-24.
Pejuang Kemerdekaan Sumbar-Riau: Pengalaman Tak Terlupakan. Yayasan Pembangunan Pejuang 1945 Sumatra Tengah. 2001. hlm. 134–138.
Husein, Ahmad (1991). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau 1945–1950. Jilid 2. Jakarta: Badan Pemurnian Sejarah Indonesia Minangkabau. ISBN 979-405-127-6.
Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia. volume 1. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 1978.