- Source: Roehana Koeddoes
Roehana Koeddoes (EBI: Ruhana Kuddus, atau Rohana Kudus dalam versi populer 20 Desember 1884 – 17 Agustus 1972) adalah wartawati pertama Indonesia. Pada 1911, Ruhana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di Koto Gadang. Sembari aktif di bidang pendidikan yang disenanginya, Ruhana menulis di surat kabar perempuan, Poetri Hindia. Ketika dibredel pemerintah Hindia-Belanda, Ruhana berinisiatif mendirikan surat kabar, bernama Sunting Melayu, yang tercatat sebagai salah satu surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Roehana hidup pada zaman yang sama dengan Kartini, ketika akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi.
Latar belakang
Ia dilahirkan sebagai Siti Ruhana pada tanggal 20 Desember 1884 di desa (nagari) Koto Gadang, Kabupaten Agam, di pedalaman Sumatera Barat, Hindia Belanda. Ayahnya Mohammad Rasjad Maharadja Soetan adalah kepala jaksa Karesidenan Jambi dan kemudian Medan. Ruhana adalah saudara tiri Sutan Sjahrir, dan sepupu Agus Salim, baik intelektual dan politisi penting dalam gerakan kemerdekaan Indonesia. Dia juga bibi (mak tuo) penyair Indonesia Chairil Anwar. Ruhana cerdas meski tidak mengenyam pendidikan formal. Dia sering belajar dengan ayahnya, yang mengajarinya membaca dan studi bahasa. Ketika ayahnya ditugaskan di Alahan Panjang, Sumatera Barat, dia meminta tetangganya (termasuk istri jaksa lain) untuk mengajarinya membaca dan menulis dalam aksara Jawi dan Latin, dan keterampilan rumah tangga seperti membuat renda. Setelah kematian ibunya pada tahun 1897, ia kembali ke Koto Gadang dan menjadi semakin tertarik untuk mengajar gadis-gadis di sana untuk belajar kerajinan tangan dan membaca Al-Qur'an, meskipun ia sendiri masih anak-anak.
Roehana adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat pada pendidikan terutama untuk kaum perempuan. Pada zamannya Roehana termasuk salah satu dari segelintir perempuan yang percaya bahwa diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan adalah tindakan semena-semena dan harus dilawan. Dengan kecerdasan, keberanian, pengorbanan serta perjuangannya Roehana melawan ketidakadilan untuk perubahan nasib kaum perempuan.
Walaupun Roehana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu membawakan Roehana bahan bacaan dari kantor. Keinginan dan semangat belajarnya yang tinggi membuat Roehana cepat menguasai materi yang diajarkan ayahnya. Dalam Umur yang masih sangat muda Roehana sudah bisa menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda. Selain itu ia juga belajar abjad Arab, Latin, dan Arab-Melayu. Saat ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, Roehana bertetangga dengan pejabat Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat Belanda itu Roehana belajar menyulam, menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Disini ia juga banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa yang sangat digemari Roehana.
Pendidikan dan wirausaha
Upaya awal Ruhana pada bentuk pendidikan yang lebih terorganisir datang pada 1905 ketika ia mendirikan sekolah artisanal di Koto Gadang.
Berbekal semangat dan pengetahuan yang dimilikinya ia kembali ke kampung. Pada 1908, pada usia 24 tahun, Ruhana menikah dengan Abdoel Koeddoes, seorang notaris, dan dikenal sebagai Roehana Koeddoes. Abdoel Koeddoes mendukung upaya istrinya dalam mendidik perempuan.
Pada Februari 1911, Ruhana memutuskan untuk mendirikan suatu perkumpulan pendidikan perempuan yang lebih terorganisir, bernama Kerajinan Amai Setia, dengan sekolah yang secara khusus bertujuan untuk mengajarkan keterampilan dan keterampilan di luar tugas rumah tangga biasa, serta membaca tulisan Jawi dan Latin serta mengelola rumah tangga. Selama ini, ia menghadapi tentangan dari berbagai sumber yang menentang perubahan dan kemajuan perempuan. Dengan dukungan suaminya, Ruhana bertahan dan akhirnya membujuk orang untuk berpihak padanya, akhirnya merekrut sekitar enam puluh siswa.
Sekolah ini mendapat pengakuan resmi dari pemerintah Hindia Belanda pada 1915, dan menjadi pusat pengrajin untuk bekerja sama dengan pemerintah Belanda dalam penjualan karya mereka di kota-kota besar dan luar negeri. Itu adalah satu-satunya produsen kerajinan yang memenuhi standar pembelian internasional. Sekolah ini terletak di Nagari Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam dan bangunannya masih berdiri sampai sekarang.
Sekolah Kerajinan Amai Setia berbagai keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan, tulis-baca, budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda. Banyak sekali rintangan yang dihadapi Roehana dalam mewujudkan cita-citanya. Jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum perempuan penuh dengan benturan sosial menghadapi pemuka adat dan kebiasaan masyarakat Koto Gadang, bahkan fitnahan yang tak kunjung menderanya seiring dengan keinginannnya untuk memajukan kaum perempuan. Namun gejolak sosial yang dihadapinya justru membuatnya tegar dan semakin yakin dengan apa yang diperjuangkannya.
Selain berkiprah di sekolahnya, Roehana juga menjalin kerja sama dengan pemerintah Belanda karena ia sering memesan peralatan dan kebutuhan jahit-menjahit untuk kepentingan sekolahnya. Di samping itu juga Roehana menjadi perantara untuk memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa yang memang memenuhi syarat ekspor. Ini menjadikan sekolah Roehana berbasis industri rumah tangga serta koperasi simpan pinjam dan jual beli yang anggotanya semua perempuan yang pertama di Minangkabau.
Banyak petinggi Belanda yang kagum atas kemampuan dan kiprah Roehana. Selain menghasilkan berbagai kerajinan, Roehana juga menulis puisi dan artikel serta fasih berbahasa Belanda. Tutur katanya setara dengan orang yang berpendidikan tinggi, wawasannya juga luas. Kiprah Roehana menjadi topik pembicaraan di Belanda. Berita perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumatera Barat.
Dia terus bekerja di bidang pendidikan bahkan saat menjadi jurnalis. Pada 1916 ia diangkat sebagai guru di sebuah sekolah untuk orang Indonesia di Payakumbuh, Sumatera Barat.
Mendirikan surat kabar
Terampil menulis, Koeddoes tidak berhenti mengajar kerajinan perempuan. Dia percaya dalam mendidik wanita secara keseluruhan. Tahun berikutnya, ia mengirim surat kepada Soetan Maharadja, pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe (EBI: Utusan Melayu), mengusulkan untuk memulai sebuah surat kabar berorientasi perempuan.
Maharadja telah mendengar tentang kegiatan pendidikan Ruhana, dan pada tanggal 10 Juli 1912, terbitan pertama Soenting Melajoe (EBI: Sunting Melayu), sebuah surat kabar berbahasa Melayu dengan pembaca yang dituju, diluncurkan. Nama surat kabar tersebut mengacu pada Sunting, hiasan kepala tradisional yang dikenakan oleh perempuan, tetapi juga merupakan plesetan dari kata lain yang berarti menyunting atau mengoreksi. Ruhana menjadi pemimpin redaksi, dibantu oleh putri Soetan Maharadja, Zoebaidah Ratna Djoewita. Ia menyatakan bahwa surat kabar tersebut bertujuan untuk meningkatkan tingkat pendidikan perempuan Indonesia, terutama karena sedikit dari mereka yang bisa membaca bahasa Belanda dan materi pendidikan modern yang tersedia dalam bahasa Melayu (Indonesia) relatif sedikit. Surat kabar itu membahas isu-isu sosial hari itu, termasuk tradisionalisme, poligami, perceraian, dan pendidikan anak perempuan. Sebagian besar penyumbang adalah istri pejabat pemerintah atau bangsawan. Akhirnya penerbitan surat kabar yang berkelanjutan mengilhami penciptaan lebih banyak masyarakat pendidikan seperti yang telah diciptakan Ruhana pada tahun 1911.
Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya menulis berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang diberi nama Soenting Melajoe pada tanggal 10 Juli 1912. Soenting Melajoe merupakan surat kabar yang terbit tiga kali dalam seminggu. Soenting Melajoe tercatat dalam sejarah sebagai surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya adalah perempuan.
Pada tahun 1913 ia menemani keluarga Westenenk ke Belanda untuk sementara waktu guna meningkatkan pendidikannya. Setelah kembali ke Hindia, ia terus menyunting Soenting Melajoe.
Kisah sukses Roehana di sekolah kerajinan Amai Setia tak berlangsung lama pada tanggal 22 Oktober 1916 seorang muridnya yang telah didiknya hingga pintar menjatuhkannya dari jabatan Direktris dan Peningmeester karena tuduhan penyelewengan penggunaan keuangan. Roehana harus menghadapi beberapa kali persidangan yang diadakan di Bukittinggi didampingi suaminya, seorang yang mengerti hukum dan dukungan seluruh keluarga. Setelah beberapa kali persidangan tuduhan pada Roehana tidak terbukti, jabatan di sekolah Amai Setia kembali diserahkan padanya, tetapi dengan halus ditolaknya karena dia berniat pindah ke Bukittinggi.
Di Bukittinggi Roehana mendirikan sekolah dengan nama “Roehana School”. Roehana mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapa pun untuk menghindari permasalahan yang tak diinginkan terulang kembali. Roehana School sangat terkenal muridnya banyak, tidak hanya dari Bukittinggi tetapi juga dari daerah lain. Hal ini disebabkan Roehana sudah cukup populer dengan hasil karyanya yang bermutu dan juga jabatannya sebagai Pemimpin Redaksi Sunting Melayu membuat eksistensinya tidak diragukan.
Tak puas dengan ilmunya, di Bukittinggi Roehana memperkaya keterampilannya dengan belajar membordir pada orang Cina dengan menggunakan mesin jahit Singer. Karena jiwa bisnisnya juga kuat, selain belajar membordir Roehana juga menjadi agen mesin jahit untuk murid-murid di sekolahnya sendiri. Roehana adalah perempuan pertama di Bukittinggi yang menjadi agen mesin jahit Singer yang sebelumnya hanya dikuasai orang Tionghoa.
Dengan kepandaian dan kepopulerannya Roehana mendapat tawaran mengajar di sekolah Dharma Putra. Di sekolah ini muridnya tidak hanya perempuan tetapi ada juga laki-laki. Roehana diberi kepercayaan mengisi pelajaran keterampilan menyulam dan merenda. Semua guru di sini adalah lulusan sekolah guru kecuali Roehana yang tidak pernah menempuh pendidikan formal. Namun Roehana tidak hanya pintar mengajar menjahit dan menyulam melainkan juga mengajar mata pelajaran agama, budi pekerti, Bahasa Belanda, politik, sastra, dan teknik menulis jurnalistik.
Roehana menghabiskan waktu sepanjang hidupnya dengan belajar dan mengajar. Mengubah paradigma dan pandangan masyarakat Koto Gadang terhadap pendidikan untuk kaum perempuan yang menuding perempuan tidak perlu menandingi laki-laki dengan bersekolah segala. Namun dengan bijak Roehana menjelaskan “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibanya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”. Emansipasi yang ditawarkan dan dilakukan Roehana tidak menuntut persamaan hak perempuan dengan laki-laki namun lebih kepada pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara kodratnya. Untuk dapat berfungsi sebagai perempuan sejati sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk itulah diperlukannya pendidikan untuk perempuan.
Pada awal tahun 1921 Roehana meninggalkan Soenting Melajoe untuk alasan yang tidak diketahui dan Soetan Maharadja menunjuk putrinya sendiri Retna Tenoen sebagai editor baru. Namun, Soenting Melajoe tidak bertahan lama setelah itu dan ternyata terbitan terakhirnya pada Januari 1921 bersama dengan surat kabar Soetan Maharadja lainnya, Oetoesan Melajoe.
Pergerakan
Saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap kaum pribumi, Roehana bahkan turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya yang membakar semangat juang para pemuda. Roehana pun mempelopori berdirinya dapur umum dan badan sosial untuk membantu para gerilyawan. Dia juga mencetuskan ide bernas dalam penyelundupan senjata dari Kotogadang ke Bukittinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke Payakumbuh dengan kereta api.
Hingga ajalnya menjemput, dia masih terus berjuang. Termasuk ketika merantau ke Lubuk Pakam dan Medan. Di sana dia mengajar dan memimpin surat kabar Perempuan Bergerak. Kembali ke Padang, ia menjadi redaktur surat kabar Radio yang diterbitkan Tionghoa-Melayu di Padang dan surat kabar Cahaya Sumatra.
Wafat dan Penghargaan
Roehana Koeddoes meninggal di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1972, 27 tahun pada Hari Kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak.
Pada tahun 1974, pemerintah daerah Sumatera Barat memberikan penghargaan kepadanya sebagai Wartawati Pertama. Ia juga mendapatkan penghargaan sebagai Perintis Pers Indonesia pada tahun 1987 dan Bintang Jasa Utama pada tahun 2007.
Sejak 7 November 2019, pemerintah Indonesia mendeklarasikan Roehana Koeddoes sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 120/TK/2019 dan diberikan kepada cucunya sebagai ahli waris pada hari berikutnya. Dua tahun kemudian, dia dirayakan di Google Doodle.
Peninggalan
Namanya dipakai (dengan versi populer) untuk sebuah aula di Kompleks Olahraga Gelanggang Olahraga Haji Agus Salim, sebagai nama jalan di Padang, termasuk merek dagang keripik sanjai yang terletak di jalan yang sama.
Bacaan lanjutan
Tamar Djaja, Rohana Kudus: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Jakarta: Mutiara, 1980
Rudolf Mrazek. Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1996.
Fitriyanti. Roehana Koeddoes Perempuan Sumatera Barat, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2001
Fitriyanti. Rohana Kudus Wartawan Perempuan Pertama indonesia, Yayasan d' Nanti, Jakarta, 2005
Catatan
Rujukan
Pranala luar
Diarsipkan 2016-03-06 di Wayback Machine.
(Indonesia) Artikel
https://historia.id/kultur/articles/mengenal-rohana-kudus-wartawan-perempuan-pertama-yang-jadi-pahlawan-nasional-Db2lQ
Kata Kunci Pencarian:
- Roehana Koeddoes
- Soenting Melajoe (film)
- Yayasan Amai Setia
- Sutomo
- Poetri Hindia
- Sultan Hasanuddin
- Martha Christina Tiahahu
- Mohammad Rasjad
- Agus Salim
- Tuanku Imam Bonjol
- Ruhana Kuddus