Samin Surosentiko (Blora, 1859 - tidak diketahui) atau
Samin atau Mbah Suro, bernama asli Raden Kohar, adalah pelopor ajaran
Samin (Saminisme). Selama masa pembuangannya di Sawahlunto, ia pernah menjadi kepala tambang di salah satu lubang tambang batu bara.
Kehidupan
Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau
Samin Sepuh, Bangsawan Ponorogo anak dari Raden Mas Adipati Brotodiningrat, Bupati Sumoroto (Sekarang menjadi wilayah Ponorogo) dengan gelar pangeran Kusumaniayu pada 1802-1826.[1]
Ia mengubah namanya dari Raden Kohar menjadi
Samin Suro Sentiko sebab
Samin adalah sebuah nama yang bernafaskan wong cilik dan Suro Sentiko merupakan gelar Warok setelah tinggal di Ponorogo. selain itu
Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro.
Samin adalah pendiri dan pelopor Ajaran
Samin yang disebut juga Saminisme. Ajaran saminisme ini mula-mula tidak dilarang oleh Pemerintah kolonial Belanda. Namun ketika pengikutnya bertambah banyak dan
Samin diangkat oleh pengikutnya sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam pada tanggal 8 November 1907, maka pemerintah kolonial Belanda menjadi was-was sehingga
Samin Surosentiko akhirnya ditangkap dan dipenjara di Nusakambangan sebelum akhirnya dibuang ke Sawahlunto bersama tujuh orang pengikutnya untuk menjadi pekerja paksa di tambang batu bara.
Samin Surosentiko mengubah cara pemberontakan model ayahnya yang sulit dilakukan pengikutnya, maka dari itu
Samin Surosentiko mengajak pengikutnya mengasingkan diri kedalam hutan dengan cara memperoleh masa menampilkan kesenian Reog Ponorogo yang saat ini dikenal dengan Barongan Blora. Namun kemudian Suro Sentiko dan Pengikutnya ditangkap kolonial Belanda bahkan merampas Barongan yang digunakan pengumpulan masa dan dilarangnya pementasan barongan di kalangan pengikut
Samin.[2]
Catatan kaki