Sampit (disingkat: SPT) adalah ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur di Kalimantan Tengah, Indonesia. Lokasi kota
Sampit berada di Kecamatan Mentawa Baru Ketapang dan Kecamatan Baamang. Jumlah penduduknya 166.733 jiwa pada tahun 2019 menurut data BPS Kabupaten Kotawaringin Timur. Kota
Sampit dibelah oleh Sungai Mentaya dan berada di tengah tengah Sungai Mentaya.
Sampit memiliki wilayah seluas 1.365,95 km² dengan kondisi geografi daerah dataran rendah dan sebagian daerahnya berawa, memiliki ketinggian dari 0 sampai 25 meter dari permukaan laut.
Pada awal kemerdekaan Indonesia,
Sampit terletak di daerah Kotawaringin dengan tiga wilayah adminsitratif dalam bentuk kawedanan yang meliputi
Sampit Barat,
Sampit Timur, dan
Sampit Utara . Hal ini merujuk pada keputusan Gubernur Kalimantan pada tanggal 3 Agustus 1950 dengan Surat Keputusan Nomor 154/OPB/92/04 yang menyatakan bahwa Daerah Kotawaringin (Onder Afdelling Kotawaringin) disatukan dengan tiga kawedanan (
Sampit Barat,
Sampit Timur dan
Sampit Utara) ke dalam wilayah Pemerintah daerah Otonom Kotawaringin dengan ibukotanya di
Sampit.
Sebagai upaya untuk dapat mengatur daerahnya masing-masing, masyarakat provinsi Kalimantan meminta agar pemerintah Indonesia membentuk daerah-daerah otonom Kabupaten yang setingkat dengan Kabupaten. Kemudian, pemerintah menetapkan Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1953 Tentang Pembentukan (Resmi) Daerah Otonom Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten Dan Kota Besar Dalam Lingkungan Propinsi Kalimantan. Berdasarkan dasar hukum tersebut, terbentuklah kabupaten Kotawaringin yang meliputi kawedanan
Sampit Barat, kawedanan
Sampit Timur, kawedanan
Sampit Utara dan Swapraja Kotawaringin.
Seiring dengan perkembangan wilayah dan perlunya menambah keserasian dalam menjalankan pemerintahan daerah, maka dibutuhkan penambahan jumlah Daerah tingkat II di Kalimantan, dengan jalan membagi beberapa Daerah tingkat II lama menjadi beberapa Daerah tingkat II baru dan membentuk Kotapraja baru. Dalam mendukung pembentukan daerah baru maka pemerintah menetapkan Undang-Undang Tentang Penetapan Undang-Undang Darurat No. 3 Tahun 1953 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Di Kalimantan (Lembaran-Negara Tahun 1953 No. 9), Sebagai Undang-Undang. Dengan demikian, kabupaten Kotawaringin terbagi menjadi dua, dimana Pemerintah Daerah Tingkat II Kotawaringin Timur berkedudukan di
Sampit dan Kotawaringin Barat yang merupakan Swapraja Kotawaringin berkedudukan di Pangkalan Bun.
Dilihat dari sejarahnya,
Sampit merupakan salah satu permukiman tertua di Kabupaten Kotawaringin Timur, nama kota ini sudah disebut di dalam Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 maupun di dalam Hikayat Banjar yang bagian terakhirnya ditulis pada tahun 1663.
Pada tahun 2001, di kota ini terjadi kerusuhan etnis antara suku Madura dengan Dayak. Dalam kerusuhan tersebut, lebih dari 400 orang tewas dan 40.000 orang harus mengungsi.
Posisi strategis
Sampit sebagai ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur merupakan salah satu kota terpenting di Provinsi Kalimantan Tengah. Di samping karena secara ekonomis merupakan daerah kabupaten yang relatif maju juga karena terletak di posisi yang strategis.
Dilihat dari peta regional Kalimantan Tengah, kota
Sampit sebelumnya terletak di tengah-tengah dan ini menyebabkan posisinya sangat strategis. Misalnya, warga dari Buntok mau ke Pulau Jawa, maka akan lebih dekat jika melewati Kota
Sampit daripada harus ke Kota Banjarmasin. Begitu pun kalau dari Palangkaraya, Kuala Pembuang, maupun Kasongan. Jadi, posisi strategis tersebut akan meningkatkan keunggulan komparatif pelabuhan laut
Sampit yang dimiliki daerah ini, terutama akan menarik perekonomian dari kabupaten yang ada di sekitar wilayah Kotawaringin Timur.
Pada tanggal 1 Mei 1859 pemerintah Hindia Belanda membuka pelabuhan di
Sampit.
Batang danum Kupang Bulan
Kota
Sampit terletak di tepi Sungai
Sampit (atau Sungai Mentaya). Dalam Bahasa Dayak Ot Danum, Sungai Mentaya itu disebut batang danum kupang bulan (Masdipura; 2003). Sungai Mentaya ini merupakan sungai utama yang dapat dilayari perahu bermotor, walaupun hanya 67 persen yang dapat dilayari. Hal ini disebabkan karena morfologi sungai yang sulit, endapan dan alur sungai yang tidak terpelihara, endapan gosong, serta bekas-bekas potongan kayu.
Sejarah
= 3 dan 1
=
Hingga kini, yang masih menjadi pertanyaan banyak orang adalah asal kata
Sampit itu sendiri.
Versi Pertama menyatakan bahwa orang pertama yang membuka daerah kawasan
Sampit pertama kali adalah orang yang bernama
Sampit yang berasal dari Bati-Bati, Kalimantan Selatan sekitar awal tahun 1700-an. Sebagai bukti sejarah, makam “Datu”
Sampit sendiri dapat ditemui di sekitar Basirih. “Datu”
Sampit mempunyai dua orang anak yaitu Alm. “Datu” Djungkir dan “Datu” Usup Lamak. Makam keramat “Datu” Djungkir dapat ditemui di daerah pinggir sungai mentaya di Baamang Tengah,
Sampit dengan nisan bertuliskan Djungkir bin
Sampit. Sedangkan makam “Datu” Usup Lamak berada di Basirih.
Menurut sumber lainnya, kata
Sampit berasal dari bahasa Tionghoa yang berarti “31” (sam=3, it=1). Disebut 31, karena pada masa itu yang datang ke daerah ini adalah rombongan 31 orang Tionghoa yang kemudian melakukan kontak dagang serta membuka usaha perkebunan (Masdipura; 2003). Hasil usaha-usaha perdagangan perkebunan ketika itu adalah rotan, karet, dan gambir. Salah satu areal perkebunan karet yang cukup besar saat itu yakni areal di belakang Golden dan Kodim saat ini.
= Traktat Bumi Kencana 13 Agustus 1787
=
Perjanjian Traktat Bumi Kencana per tanggal 13 Agustus 1787, Raja Banjar Sultan Batu menyerahkan
Sampit beserta daerah takluknya kepada VOC-Belanda.
= Belanda dan Inggris (1795-1802)
=
Pada 1795-1802 terjadi peperangan sengit antara Belanda melawan Inggris. Hal ini mengakibatkan terjadi pemindahan pemukiman warga
Sampit ke pedalaman, tepatnya ke Kota Besi. Pemindahan itu tak terlepas dari adanya gangguan para bajak laut terhadap desa-desa di muara Sungai Mentaya. Pada 1836, eskader Belanda akhirnya dapat menghancurkan gerombolan bajak laut pimpinan Koewardt yang berkekuatan 25 perahu di sekitar Teluk Kumai dan Tanjung Puting. Tokoh bajak laut Koewardt akhirnya tewas dan dikuburkan di sekitar Ujung Pandaran. Hingga kini, Kuburannya itu dianggap keramat oleh masyarakat setempat.
= Banua Usang
=
Setelah merasa aman, pada 1836, penduduk kemudian pindah ke Seranau yang dulunya bernama Banua Usang (sekarang: Mentaya Seberang) di mana para pedagang-pedagang Tionghoa waktu itu juga mulai berdatangan dan menetap di sana. Namun, sesuai kepercayaan masyarakat Tionghoa, bahwa suatu kota harus dibangun menghadap matahari terbit. Sedangkan Seranau menghadap matahari terbenam,yang menurut perhitungan hongsui Tionghoa dianggap kurang baik. Karena itulah, mereka membangun pemukiman baru di seberang Seranau (
Sampit sekarang) yang menghadap matahari terbit.
= Kerajaan Sungai Sampit
=
Versi lain, menurut legenda rakyat setempat yang masih hidup kini, bahwa
Sampit pada masa itu berbentuk sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sungai
Sampit dan diperintah oleh Raja Bungsu. Sang baginda memiliki dua putra masing-masing Lumuh
Sampit (laki-laki) dan Lumuh Langgana (perempuan). Diceritakan, kerajaan Sungai
Sampit akhirnya musnah akibat perebutan kekuasaan antara saudara kandung tersebut.
= Lokasi kerajaan
=
Lokasi kerajaan Sungai
Sampit ini diperkirakan sekitar perusahaan PT Indo Belambit sekarang (Desa Bagendang Hilir). Beberapa tahun lampau, tiang bendera kapal bekas kerajaan yang terbuat dari kayu ulin besar masih ada dan terkubur lumpur di bawah dermaga PT Indo Belambit tersebut. Bukti-bukti lain yang menguatkan dugaan ini,bahwa di lokasi tersebut pernah pula ditemukan pecahan keramik takala dilakukan penggalian alur parit. Bukti ini kian menguatkan dugaan bahwa di lokasi ini pernah ada Kerajaan Sungai
Sampit yang pada masa itu sudah mengadakan kontak dagang dengan bangsa-bangsa luar seperti dari Tiongkok, India bahkan Portugis.
= Puteri Junjung Buih
=
Diperkirakan, Kerajaan sungai
Sampit berdiri pada masa kekuasaan Dinasti Ming di Tiongkok (abad ke-13).Hal ini dapat dicermati dari ramainya lalu lintas perdagangan dari Tiongkok yang demikian maju sampai kemudian runtuhnya Dinasti Ming dan merek banyak yang lari kearah selatan (Kalimantan). Diceritakan pula, bahwa Puteri Junjung Buih, istri dari Pangeran Suryanata, pernah pula berkunjung ke kerajaan sungai
Sampit. Seperti diketahui, Pangeran Suryanata (berkuasa antara 1400-1435) adalah seorang pangeran dari kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Wirakarrama Wardhana sekitar 1389-1435 (Masdipura; 2003).
= Negarakertagama (1365)
=
Jika ditelusuri lebih jauh, Kerajaan Sungai
Sampit ini usianya lebih tua dari Negara Dipa (abad ke-14), sehingga di lokawin Negarakertagama, Kesultanan Banjar (1526) tidak tertulis karena merupakan dinasti penerus dari Kerajaan Negara Dipa, kerajaan Hindu yang terletak di tepi sungai Tabalong. Terbukti pula, kala Putri junjung Buih hendak dikawinkan dengan Pangeran suryanata,40 kerajaan besar dan kecil pada waktu itu bermufakat untuk menyerang Negara Dipa. Namun, mereka dapat ditaklukkan dan sejak itulah kerajaan-kerajaan itu menjadi vazal Kerajaan Banjar. Bukti-bukti ini dapat ditelusuri pada Traktat Karang Intan di mana
Sampit sebagai salah satu wilayah yang diserahkan kepada VOC.
Kota
Sampit juga pernah disebut-sebut di dalam buku kuno Negarakertagama. Pada masa itu disebutkan, terutama pada masa keemasan Kerajaan majapahit, yang diperintah oleh Raja Hayam Wuruk dengan mahapatihnya yang tersohor yaitu Gajah Mada.Di salah satu bagian buku yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365 itu disebutkan, bahwa pernah dilakukan ekspedisi perjalanan Nusantara di mana salah satu tempat yang mereka singgahi adalah
Sampit dan Kuala Pembuang.
Galeri
Referensi
Pranala luar
Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur