- Source: Sentimen anti-LGBT di Indonesia
Sentimen anti-LGBT di Indonesia merupakan rasa ketidaksenangan atau kebencian kolektif sejumlah masyarakat Indonesia terhadap segala hal yang berkaitan dengan LGBT. Sentimen ini mulai meluap pada awal tahun 2016 setelah poster dari Support Group and Resource Center on Sexuality Studies Universitas Indonesia yang menawarkan bimbingan konseling gratis untuk pemuda gay beredar di media. Semenjak itu, muncul berbagai penolakan, hujatan, dan kritikan dari tokoh politik maupun berbagai golongan masyarakat. Sebagai contoh, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan bahwa LGBT adalah bagian dari "perang proxy" yang lebih "berbahaya" daripada perang nuklir. Sementara itu, Menteri Riset dan Teknologi Mohamad Nasir menyatakan bahwa ia melarang LGBT masuk kampus, walaupun belakangan ia mengubah pernyataannya menjadi melarang LGBT "bermesraan" di kampus. Di Kota Padang pada tanggal 18 November 2018, Wali Kota Mahyeldi Ansharullah bahkan memimpin Deklarasi Anti-LGBT yang dihadiri oleh tujuh ribuan orang.
Hasil survei
Hasil survei Pew Research Centre pada tahun 2019 menunjukkan bahwa 80% responden menyatakan homoseksualitas sebaiknya tidak diterima oleh masyarakat. Menurut jajak pendapat tahun 2017 yang dilakukan oleh ILGA, hanya 38% orang Indonesia mengatakan bahwa orang yang berada dalam hubungan sesama jenis harus didakwa sebagai kriminal, sementara 62% lain orang Indonesia menolak jika hubungan sesama jenis merupakan tindak pidana atau bersikap netral. Sementara itu, hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting pada tahun 2018 mendapati bahwa 87,6% dari 1.200 responden Indonesia menganggap LGBT sebagai ancaman, walaupun 57,7% menerima hak mereka untuk hidup sebagai Warga Negara Indonesia.
Dampak
Penindasan dan intoleransi terhadap kaum LGBT telah meningkat sejak awal tahun 2016. Pada tahun 2016, Pondok Pesantren Waria Al-Fatah di Yogyakarta ditutup akibat penolakan dari sejumlah kelompok. Pada tahun 2017, polisi merazia sebuah sauna gay di Jakarta dan menangkap 141 orang yang kemudian dijerat dengan UU Pornografi. Pada tahun yang sama, lima wanita di Medan diusir oleh warga dengan tuduhan bahwa mereka tertangkap basah sedang berciuman. Dua belas wanita juga diusir dari tempat mereka di Desa Tugu Jaya, Jawa Barat, karena warga merasa resah dengan penampilan mereka yang "tidak feminin". Kaum waria pun tidak luput dari sasaran; di Aceh Utara pada tahun 2018, sejumlah waria ditangkap oleh polisi dan dipaksa untuk "kembali menjadi laki-laki tulen".
Menurut hasil penelitian Human Rights Watch, diskriminasi dan persekusi terhadap kaum LGBT di Indonesia justru berdampak negatif terhadap upaya untuk menanggulangi HIV/AIDS di Indonesia, karena kelompok yang rentan terhadap HIV menjadi takut untuk mengikuti penyuluhan ataupun memperoleh penanganan medis. Akibatnya, tingkat HIV di kalangan lelaki seks lelaki naik lima kali lipat sejak tahun 2007 dari 5% menjadi 25%, walaupun mayoritas infeksi HIV yang baru di Indonesia masih berasal dari hubungan heteroseksual.