- Source: Shantideva
Shantideva (nama lain Śantideva, Zh: 寂天) adalah seorang cendekiawan Buddhis yang berasal dari India pada abad ke-8. Ia adalah cendekiawan Universitas Nalanda dan seorang penganut filsafat Prasangika Madhyamaka.
Sekte Madhyamika Tiongkok, Chan Ssu Lun mengidentifikasi dua individu yang berlainan atas nama "Shantideva", yang pertama adalah Shantideva yang merupakan pendiri Sangha Avaivartika pada abad ke-6 dan satu lagi adalah Shantideva yang menempuh studi di Universitas Nalanda pada abad ke-8, Shantideva yang kedua inilah yang muncul dalam berbagai sumber biografi tibetan. Kutipan penemuan ini bisa dilihat di Banglapedia: National Encyclopedia of Bangladesh, situs yang dikembangkan oleh Asiatic Society of Bangladesh, atau bisa juga merujuk ke Bodhicaryavatara Historical Project Diarsipkan 2014-08-17 di Wayback Machine., Proyek riset akademik yang bermulai dari Mahabodhi Sunyata Seminary di Tarragona, Spanyol.
Shantideva lahir di Bodhgaya utara. Ayahnya bernama Gyelwey Gocha (Rompi baja pemenang), ibunya bernama Vajrayogini. Shantideva lahir dengan berbagai pertanda menakjubkan, dengan nama kecil Shiwe Gocha (Rompi baja perdamaian)
Semasa kanak-kanak dia sangat menghormati kedua orang tuanya, dan teman-teman sepermainanya juga sangap respek kepadanya karena sikap dan sifatnya yang sangat luhur. Ayahnya meninggal dunia untuk menunjukkan bahwa semua makhluk mengalami ketidakkekalan, dan kemudian hari realisasi Shantideva atas ketidak-kekalan dan kematian semakin berkembang.
Ketika sang ayah meninggal, dia tidak punya pilihan lain kecuali menerima tampuk raja. Ia tidak bisa menolak, oleh karena itu ia menerima untuk naik tahta raja. Satu malam sebelum upacara, Manjusri muncul dalam mimpinya dan mengatakan: “Anda akan duduk di tahtaku. Anda adalah muridku. “ Bagaimana serorang murid dan guru duduk di tahta yang sama?
Seketika itu dia bangun dari mimpi dan sadar bahwa dirinya akan lebih bermanfaat apabila menjadi seorang biksu daripada naik tahta menjadi raja. Pada malam itu juga ia pergi ke Biara Nalanda. Setibanya di nalanda ia bertemu dengan cendekiawan tersohor Nalanda; Gyalwa Lha, dan ia juga sebagai kepala biara Nalanda, ia menerima pentahbisan dengan nama Shantideva. Dibimbing langsung oleh kepala biara, Shantideva menjadi sangat mahir dalam belajar, debat, dan banyak hal lagi.
Walaupun ia adalah seorang cendekiawan luar biasa, namun dia tidak menujukkan kepintarannya kepada orang lain. Sekelompok pelajar seperguruan di Nalanda tidak senang melihat Shantideva dan ingin mengusir dia dari biara. Mereka itu dengan lantang bilang bahwa Nalanda adalah biara yang penuh dengan cendekiawan tersohor, dan dia meremehkan Shantideva dengan mengatakan bahwa Shantideva bukanlah cendekiawan sama sekali, yang dia tahu hanya makan, tidur, kencing, dan buang air besar. Oleh karena itu mereka menantang Shantideva untuk memberikan pelajaran Dharma, jika ia tidak mau, maka ia harus segera meninggalkan biara itu.
Permintaan pertama ditolak, kemudian permintaan kedua kalinya ia terima. Mereka buat rencana untuk menghinanya di depan teman-teman seperguruan lainnya. Mereka membangun sebuah tahta yang sangat tinggi, agar Shantideva tidak bisa naik dan duduk di atas tahta itu. Biksu seperguruan itu juga mengumpulkan sejumlah biksu seperguruan lain. Ketika Shantideva berjalan menuju tahta itu, menyentuh dengan lembut dan tahta besar dan tinggi itu tiba-tiba menjadi rendah dan Shantideva bisa naik keatasnya. Sesaat itu juga mereka semua merasa aneh, bagaimana ini bisa terjadi?
Kemudian Shantideva duduk di atas tahta dan bertanya kepada mereka, “Pelajaran apa yang harus ia berikan, sesuatu yang sudah pernah diajarkan atau sesuatu yang belum pernah diajarkan?” Mereka memohon ia untuk mengajarkan pelajaran dharma yang belum pernah diajarkan sebelumnya. Oleh karena itulah Shantideva mengajarkan Pedoman Hidup Bodhisattva. (Skt. Bodhisattvacaryavatara)
Ketika pelajaran ini sampai pada bab 9 (bab tentang kebijaksanaan), di bab ini ada ungkapan, “…apapun adalah eksisten dan non eksisten…” dia melayang ke atas, dan selagi masih di udara ia memberikan pelajaran bab 10. Ia kemudian menjadi tidak tampak, tetapi bagi mereka (yang memiliki realisasi) hanya mereka yang memiliki kekuatan batin yang bisa mendengar pelajaran itu.
Para biksu dan mereka yang menyenangi Shantideva merasa sedih karena ia telah hilang, dan mereka yang tidak menyenanginya merasa sangat takjub dan menyesal atas perbuatan mereka sendiri.
Shantideva sangat terkenal atas karyanya yang berjudul Bodhicaryavatara (kadang disebut Bodhisattvacaryavatara). Versi terjemahan bahasa Inggris bisa ditemukan di dunia maya, begitu juga banyak tersedia publikasi versi cetakan. Sungguh sebuah puisi panjang yang menjelaskan proses bertahap menuju pencerahan sempurna sammsambuddha dan hingga saat ini masih menjadi topik pembelajaran Mahayana dan Vajrayana.
Referensi
Shantideva. The Way of the Bodhisattva. Translated by the Padmakara Translation Group. Boston: Shambala, 1997. ISBN 1-57062-253-1.
Pranala luar
Engaging in Bodhisattva Behavior, full unpublished translation of the Bodhicaryavatara by Alexander Berzin
Commentary to Bodhicaryavatara by Patrul Rinpoche (in English ) Diarsipkan 2007-08-19 di Wayback Machine.
Popular Quotations from Shantideva's Bodhicaryāvatāra
Santideva: a bibliography Diarsipkan 2007-06-06 di Wayback Machine.
Shantideva Online: Your Guide to the Bodhisattva way of Life Diarsipkan 2007-08-25 di Wayback Machine.
Kata Kunci Pencarian:
- Shantideva
- Buddhisme
- Belas kasih (Buddhisme)
- Utilitarianisme
- Hati nurani
- Kebuddhaan
- Pancasila (Buddhisme)
- Bodhisatwa
- Ketuhanan dalam Buddhisme
- Buddhisme di Indonesia
- Shantideva
- Bodhisattvacaryāvatāra
- Karuṇā
- Memento mori
- Bodhisattva vow
- Serenity Prayer
- Zen
- Supushpachandra
- Buddhism
- Determinism