Sjair Abdoel Moeloek (EYD: Syair Abdul Muluk) adalah syair tahun 1847 yang menurut beberapa sumber dikarang oleh Raja Ali Haji atau putrinya, Saleha. Syair ini bercerita tentang seorang wanita yang menyamar sebagai pria untuk membebaskan suaminya dari Sultan Hindustan; Sultan menangkapnya dalam sebuah serangan ke kerajaan mereka. Buku bertemakan penyamaran gender ini dianggap menata ulang hierarki pria dan wanita serta bangsawan dan pelayan. Tema tersebut sering ditemukan di sastra Jawa dan Melayu kontemporer.
Sjair Abdoel Moeloek telah berkali-kali dicetak ulang dan diterjemahkan. Syair ini sering diangkat ke lakon panggung dan menjadi dasar Sair Tjerita Siti Akbari karya Lie Kim Hok.
Alur
Abdul Muluk adalah putra dari Abdul Hamid Syah, Sultan Barbari. Dibesarkan di keluarga bangsawan, saat masih muda ia menikahi Siti Rahmat. Selepas kematian ayahnya, Abdul Muluk naik takhta. Tidak lama kemudian ia meninggalkan Barbari untuk keliling dunia dan menyerahkan kendali kesultanan kepada pamannya, Mansur. Akhirnya Abdul Muluk tiba di Ban, lalu jatuh cinta dengan putri sultan Ban, Siti Rafiah. Keduanya pun menikah.
Enam bulan kemudian, Abdul Muluk meninggalkan Ban bersama istrinya. Setibanya di Barbari, mereka disambut hangat. Siti Rahmat dan Siti Rafiah saling berkenalan dan menjalani hidup layaknya kakak adik. Abdul Muluk menghabiskan hari-harinya bersama kedua istrinya. Siti Rafiah pun segera hamil. Sayangnya, kebahagiaan mereka tidak bertahan lama. Sultan Hindustan menyerang tanpa membuat pernyataan perang untuk membalas kematian pamannya. Para penjaga dan penasihat istana dibantai, sedangkan Siti Rahmat dan Abdul Muluk ditawan. Siti Rafiah berhasil kabur. Enam bulan kemudian, Siti Rafiah bertemu seorang syeikh yang memberinya tempat berlindung.
Selepas melahirkan, Siti Rafiah memutuskan untuk membalas penahanan suaminya. Ia membiarkan putranya, Abdul Ghani, dibesarkan syeikh tersebut dan menyamar sebagai pria bernama Dura. Setelah tiba di kesultanan Barbaham, ia melihat kesultanan tersebut sedang tidak stabil. Sultan yang sah, Jamaluddin, ditunggangi oleh pamannya, Bahsan. Menyamar sebagai Dura, Siti Rafiah pun membantu Jamaluddin menegakkan kekuasaannya. Atas bantuan pasukan Barbaham, Siti Rafiah menyerang Hindustan. Sultan Hindustan ditangkap dan Abdul Muluk bersama Siti Rahmat dibebaskan. Siti Rafiah kemudian mengungkap jati dirinya dan bertemu suaminya lagi.
Abdul Ghani yang sudah berusia tujuh tahun pergi dari rumah syeikh untuk mencari orang tuanya. Saat ia dituduh mencuri dari sebuah penginapan, seorang pejalan kaki menyelamatkannya. Abdul Ghani kemudian tinggal bersamanya. Karena sempat melukai seorang budak, Abdul Ghani dibawa ke hadapan Sultan Ban yang menyadari bahwa anak tersebut adalah cucunya. Syeikh tadi pun dijadikan pemimpin keagamaan Ban. Setelah sultan mangkat, Abdul Ghani menjadi penggantinya.
Pengarang
Pengarang
Sjair Abdoel Moeloek belum jelas. Raja Ali Haji, penulis Bugis-Melayu asal Riau, disebut sebagai pengarangnya oleh Philippus Pieter Roorda van Eysinga. Raja Ali Haji menyatakan diri sebagai pengarang dalam suratnya untuk Roorda van Eysinga. Surat tersebut dilengkapi manuskrip yang kemudian diterbitkan. Kandidat lain adalah putri Raja Ali Haji, Saleha (juga ditulis Zaleha dan Salihat), yang disebut sebagai pengarangnya oleh Hermann von de Wall dalam manuskrip yang dikatalogkan van den Berg. Manuskrip tersebut saat ini tidak diketahui keberadaannya.
Tema dan gaya
Tema wanita menyamar sebagai pria untuk berperang, seperti yang tercantum dalam
Sjair Abdoel Moeloek, banyak ditemukan dalam sastra Melayu dan Jawa, termasuk kisah-kisah Pandji dari Jawa dan hikayat dan syair dari Malaya. Contoh lainnya adalah Hikayat Panji Semirang, Hikayat Jauhar Manikam, dan Syair Siti Zubaidah Perang Cina. Karya yang disebutkan terakhir memiliki kesamaan alur dengan
Sjair Abdoel Moeloek, namun karena Syair Siti Zubaidah Perang Cina tidak bertanggal, mustahil menentukan karya mana yang duluan dikarang.
Pengamat sastra Monique Zaini-Lajoubert menulis bahwa
Sjair Abdoel Moeloek menunjukkan bahwa wanita mampu memainkan peran penting. Akan tetapi, wanita-wanita ini mendapatkan kekuasaannya bukan dari sifat wanitanya, melainkan dengan menyamar sebagai pria. Ia pun berpendapat teks ini menekankan bahwa wanita yang baik adalah istri yang setia. Barbara Watson Andaya juga melihat adanya tema feminis, meski dalam beberapa kasus seperti poligami maknanya tidak bergeser dari harapan masyarakat.
Pengamat teater Julian Millie menulis bahwa bentuk-bentuk kekuasaan lain dibalikkan dalam cerita ini. Ia menyebut bahwa "kode etik dipermainkan dan hierarki dibalik" melalui interaksi antara bangsawan dan pelayannya.
Penerbitan
Sjair Abdoel Moeloek pertama diterbitkan tahun 1847, ketika Roorda van Eysinga menerbitkan reproduksi dan terjemahannya dalam Tijdschrift voor Neerl. Indië. Terbitan ini menyebut Raja Ali Haji sebagai pengarangnya. Syair tersebut kemudian ditransliterasikan dari aksara Jawi oleh Arnold Snackey. Edisi tahun 1892 oleh Hermann von de Wall menyebut Salihah sebagai pengarang dan Raja Ali Haji sebagai penyunting. Edisi awal lainnya dari Singapura merupakan litograf tahun 1860 karya Akbar Saidina dan Hajji Muhammad Yahya. Sejumlah litograf lain diterbitkan di Singapura sampai dua belas tahun selanjutnya. Pada tahun 1934, versi lain syair ini diterbitkan Balai Pustaka di Batavia (sekarang Jakarta). Edisi ini didasarkan pada tiga versi jauh yang dijelaskan sebelumnya. Edisi lain yang disunting Sitti Syamsiar diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Budaya Malaysia tahun 1988–89.
Tanggapan
Pada akhir abad ke-19,
Sjair Abdoel Moeloek telah diadaptasi ke sandiwara panggung oleh berbagai grup dan berlangsung sampai abad ke-20. Para pementas biasanya disuruh mengulang-ulang kalimat dari litograf yang disiapkan sebelumnya sampai hafal. Teksnya bisa jadi sudah diterjemahkan ke bahasa Sunda dengan judul Siti Rapiah.
Sjair Abdoel Moeloek dianggap menjadi bahan sumber Sair Tjerita Siti Akbari karya Lie Kim Hok tahun 1884 yang diterbitkan di Batavia. Kesamaan alurnya pertama dikenali oleh Tio Ie Soei dalam sebuah editorial tahun 1923, lalu diikuti polemik di sejumlah media lokal Tionghoa. Akibatnya, Lie yang bergelar "bapak sastra Tionghoa Melayu" dikritik karena karyanya tidak asli. Dalam sebuah artikel yang membandingkan keduanya, Zaini-Lajoubert menulis bahwa meski alurnya agak mirip, Lie menggabungkan unsur realisme ke dalam karyanya.
Catatan penjelas
Catatan kaki
Sumber