- Source: Soraya Esfandiary-Bakhtiary
Soraya Esfandiary-Bakhtiary (bahasa Persia: ثریا اسفندیاری بختیاری; 22 Juni 1932 – 26 Oktober 2001) merupakan Permaisuri Kerajaan Iran setelah menikah dengan Mohammad Reza Syah Pahlavi pada tahun 1951 sebagai istri keduanya. Pernikahan mereka dihujani berbagai tekanan, terutama setelah diketahui bahwa Soraya sulit untuk memiliki keturunan. Ketika suaminya mengusulkan untuk menikah lagi demi mendapatkan seorang penerus, Soraya menentang keras usulan tersebut. Di sisi lain, suaminya juga tidak setuju dengan ide Soraya yang menyarankan agar ia turun takhta dan menyerahkan kekuasaan kepada saudara tirinya. Pada bulan Maret 1958, mereka memutuskan untuk bercerai. Setelah itu, Soraya sempat menekuni karier sebagai pemeran dan menjalin hubungan dengan sutradara Italia, Franco Indovina, sebelum akhirnya hidup sebatang kara di Paris hingga akhir hayatnya.
Kehidupan awal
Soraya lahir pada tanggal 22 Juni 1932 di Rumah Sakit Misionaris Inggris di Isfahan, sebagai anak sulung dan putri tunggal dari Khalil Esfandiary-Bakhtiary (1901–1983), seorang bangsawan dari suku Bakhtiari sekaligus duta besar Iran untuk Jerman Barat di era 1950-an, dan Eva Karl, seorang wanita Jerman kelahiran Rusia. Soraya memiliki seorang adik laki-laki bernama Bijan (1937–2001).
Keluarga Soraya telah lama berkiprah dalam pemerintahan Iran, termasuk pamannya, Sardar Assad, yang menjadi salah satu tokoh penting dalam Revolusi Konstitusional Persia pada awal abad ke-20. Soraya dibesarkan di Berlin dan Isfahan, sebelum melanjutkan pendidikan di London dan Swiss.
Pernikahan
Pada tahun 1948, Soraya diperkenalkan kepada Mohammad Reza Syah Pahlavi yang baru saja bercerai, melalui perantaraan kerabat dekatnya, yakni Forough Zafar Bakhtiari, dengan bantuan foto yang diambil oleh Goodarz Bakhtiary di London. Pada saat itu, Soraya baru saja lulus dari sekolah menengah di Swiss dan tengah belajar bahasa Inggris di London. Tak lama setelahnya, mereka resmi bertunangan, dan sang Syah memberinya sebuah cincin berlian seberat 22,73 karat (4,474 g).
Pada tanggal 12 Februari 1951, Soraya resmi menikah dengan sang Syah di Istana Marmer, Teheran. Awalnya, pernikahan mereka akan dilangsungkan pada tanggal 27 Desember 1950, tetapi terpaksa ditunda karena Soraya sedang sakit.
Meskipun Syah meminta para tamunya untuk menyumbangkan uang kepada lembaga amal yang membantu orang-orang miskin di Iran, pasangan ini tetap menerima sejumlah hadiah pernikahan mewah, seperti sehelai mantel bulu dan satu set meja yang dihiasi dengan berlian hitam dari Joseph Stalin. Ada juga mangkuk kaca Steuben yang dirancang oleh Sidney Waugh, hadiah dari presiden AS, Harry S. Truman, dan Ny. Truman; serta tempat lilin perak bergaya Georgian dari Raja George VI dan Ratu Elizabeth. Terdapat sekitar 2.000 tamu yang hadir, di antaranya termasuk Aga Khan III.
Sebanyak 1,5 ton bunga anggrek, tulip, serta anyelir didatangkan khusus dengan pesawat dari Belanda untuk mempercantik tempat berlangsungnya upacara pernikahan mereka. Di antara hiburan yang ditampilkan di acara tersebut terdapat sirkus berkuda yang berasal dari Roma. Pengantin wanita mengenakan gaun perak yang dibuat dari kain lamé, yang dihasi mutiara dan dilengkapi dengan bulu bangau marabou, yang dirancang khusus untuk acara ini oleh Christian Dior. Dari sekian banyak wanita yang pernah singgah dalam hidup sang Syah, Soraya dianggap sebagai "cinta sejatinya" karena ia adalah wanita yang paling dicintai oleh sang Syah.
Soraya kemudian mencurahkan pikirannya tentang dirinya dan Iran dengan menyatakan: "Aku merasa bodoh. Aku hampir tak tahu apa pun mengenai geografi, legenda negaraku; tidak tahu sejarahnya, tidak paham tentang agama Muslim." Soraya tumbuh dalam latar belakang Jerman dan Katolik, yang membuat identitasnya terasa campur aduk. Kondisi ini membuatnya dicurigai di Iran, karena ulama Muslim berpendapat bahwa Syah seharusnya tidak menikahi "gadis setengah Eropa" yang tidak dibesarkan sebagai seorang Muslim. Soraya juga menyatakan: "Yang aku rasakan terhadap identitasku sebagai seorang Kristen dan Muslim, namun di saat yang sama tidak sepenuhnya merasa menjadi salah satu dari keduanya, telah menciptakan dua kutub yang berbeda dalam diriku yang membentuk keberadaanku. Satu sisi memiliki karakter Eropa yang terstruktur, sedangkan sisi lain memiliki karakter Persia yang garang.
Permaisuri Iran
Setelah menikah, Soraya memimpin lembaga amal keluarga di Iran. Namun, rumah tangga mereka mengalami banyak masalah karena ibu dan saudari Mohammad Reza memandangnya sebagai pesaing dalam mendapatkan kasih sayang sang Syah, sama seperti yang mereka lakukan terhadap istri pertamanya, Fawzia dari Mesir. Mereka terus-menerus mengejeknya dan memberikan perlakuan yang merendahkannya. Soraya begitu membenci Ernest Perron, yang merupakan sahabat dekat sekaligus sekretaris pribadi sang Syah, yang dianggapnya sebagai "seorang homoseksual yang membenci semua wanita, semua wanita" dan sebagai orang yang "menyebarkan racun di sekeliling istana serta di lingkungan sekitar kami." Ia memandang Perron sebagai sosok yang "cerdik, penuh tipu daya, dan Makiavelis" yang suka "mengobarkan kebencian, menyebarkan gosip, dan berintrik." Soraya merasa sangat muak melihat betapa Mohammad Reza "terpesona dengan orang Swiss yang kejam ini" yang mengklaim dirinya sendiri sebagai seorang "filsuf, penyair, dan nabi." Kedua pria ini bertemu setiap paginya untuk mendiskusikan urusan negara dalam bahasa Prancis, karena Perron adalah orang yang sangat dihormati nasihatnya oleh sang Syah, dan Soraya kemudian menyadari bahwa mereka juga membahas hal-hal lain. Yang semakin membuatnya marah adalah Perron pernah datang berkunjung dan melontarkan serangkaian pertanyaan yang Soraya anggap sangat "tidak senonoh" mengenai kehidupan seksualnya dengan Mohammad Reza, hingga ia mengusir Perron dari Istana Marmer dengan penuh amarah.
Ketika Mohammad Reza berhadapan dengan Perdana Menteri Mohammad Mosaddegh dari Front Nasional yang berhaluan kiri, ia sering kali merasa tertekan. Menurut Soraya, sang Syah terlihat "murung dan gelisah," bahkan sampai menghentikan permainan pokernya dengan teman-temannya, yang sebelumnya menjadi salah satu hiburan utamanya. Soraya mengatakan bahwa hanya hubungan suami istri yang dapat membangkitkan semangat Mohammad Reza dari suasana hatinya yang buruk, dan ia sering mengajak sang Syah ke kamar tidurnya demi meningkatkan suasana hatinya. Beberapa kali, ia juga menyarankan agar Mohammad Reza "menguatkan tekadnya hingga titik tertinggi."
Pada bulan Agustus 1953, Soraya menyusul sang Syah yang melarikan diri ke Roma, dan mengeluh kepada duta besar Iran untuk Italia yang tidak mampu mengatur tempat tinggal bagi mereka, sementara pasangan ini terus-menerus dikejar oleh paparazi. Pada tanggal 19 Agustus 1953, Soraya mengenang betapa murungnya Mohammad Reza ketika berbicara tentang kemungkinan pindah ke AS, tetapi ia langsung bersorak kegirangan saat menerima telegram yang mengabarkan bahwa Perdana Menteri Mosaddegh telah digulingkan.
Setelah Mosaddegh digulingkan dalam sebuah kudeta pada tahun 1953, sang Syah perlahan menemukan kembali keceriaannya. Salah satu kegiatan favorit Soraya dan Mohammad Reza ialah menghadiri pesta topeng, meskipun Soraya sering kali mengeluh karena sang Syah selalu memilih kostum singa—yang merupakan simbol kerajaan—sedangkan acapkali ia ingin berdandan sebagai Madame de Pompadour, idenya selalu dianggap tidak pantas untuk seorang ratu. Akhirnya, ia terpaksa memakai kostum Jeanne d'Arc. Soraya kerap memuji suaminya ketika ia menunjukkan perilaku yang dianggapnya "khas Eropa," namun tidak ragu mengkritiknya saat bersikap "khas Oriental." Soraya mengungkapkan meski sudah pernah menikah dan "memiliki begitu banyak wanita simpanan sebelum bersamaku, Mohammad Reza sebenarnya sangat pemalu di hadapan wanita ... ia tidak suka memperlihatkan perasaannya" dan memuji matanya yang "ekspresif. Cokelat tua, hampir hitam, kadang tegas, kadang sedih atau lembut, mata itu memancarkan daya tarik dan mencerminkan jiwanya."
Dikarenakan Soraya dibesarkan di Eropa, ia menganggap Iran sebagai negeri yang "asing" baginya. Hal ini membuat sikapnya terhadap rakyat biasa di Iran, seperti yang diungkapkan oleh sejarawan Iran-Amerika Abbas Milani, terlihat seperti rasisme secara tidak langsung, yang mencerminkan pandangan negatif dan ketidaknyamanannya terhadap rakyat biasa di negara itu. Bagi Soraya, Eropa selalu menjadi standar kesempurnaan untuk segala hal. Soraya menggambarkan tanggung jawabnya sebagai ratu yang harus mengunjungi "rumah sakit, panti asuhan, lembaga amal, kawasan kumuh tanpa atap, dengan aliran air kotor—yang berasal dari pencuci baju, penggembara, dan anjing—mengalir ke rumah-rumah mereka. [Ia harus menyaksikan] kemiskinan dan kondisi memprihatikan: anak-anak dengan penyakit rakitis, wanita yang menderita, serta pria tua yang kelaparan, semuanya terjebak dalam kotoran gang-gang yang tak lagi layak huni, tempat kemiskinan yang nyata merajalela."
Berbeda dengan Teheran yang menurutnya "kotor", Soraya menuturkan kekagumannya terhadap betapa "menawannya" Paris. Ia mengenang pengalamannya di Paris dengan berkata, "Setiap hari, hatiku terasa cerah. Hidup terasa ringan... rasanya menyenangkan bisa ke bioskop, menikmati segelas limun di teras kafe... sebuah kesenangan yang terlarang." Soraya juga menceritakan betapa bahagianya bersekolah di Eropa, sangat kontras dengan sekolah-sekolah di Iran yang diasosiasikan dengan "seragam abu-abu, ruang kelas yang tercemar oleh kompor yang mengeluarkan asap, serta pelajaran, pekerjaan rumah, dan beban kerja yang membuat kelelahan."
Pada bulan Oktober 1954, Mohammad Reza mengungkapkan kekhawatirannya kepada Soraya karena istrinya itu masih belum juga memberinya penerus, seraya mengusulkan agar mereka pergi ke Amerika Serikat untuk menemui dokter kesuburan. Selama tahun 1954–55, pasangan ini melakukan kunjungan panjang ke Amerika Serikat, yang dimulai pada tanggal 5 Desember 1954. Setibanya di New York, Soraya bertemu dengan dokter yang meyakinkannya bahwa ketidakmampuannya untuk hamil disebabkan oleh "guncangan, masalah, dan kesulitan selama dua tahun terakhir;" pernyataan sang dokter membuat Soraya merasa lebih baik. Namun, para dokter yang dikunjunginya di Boston, memberitahu Soraya bahwa ia tidak subur dan tidak akan bisa memiliki anak. Sebagian besar waktu dalam perjalanan mereka dimanfaatkan oleh sang Syah untuk menghibur istrinya, yang begitu terpukul dengan berita itu. Tanpa menyadari informasi yang diterima Soraya, Newsweek dengan nada sarkastis menulis, "bahkan Syahansyah (Raja Segala Raja), Wakil Tuhan, Bayangan Yang Maha Kuasa, dan Pusat Alam Semesta pun pantas berlibur... Mereka [pasangan kekaisaran] menghabiskan musim dingin ini dalam kunjungan pribadi ke AS... pemeriksaan kesehatan di rumah sakit New York, wisata di San Francisco, menari mambo di Hollywood, bermain ski di Sun Valley, serta bermain ski air di Miami Beach."
Soraya sangat terpikat dengan Hollywood dan menikmati kesempatan untuk bertemu dengan bintang film Amerika Serikat selama ia berada di Los Angeles. Di kota itu, Soraya bertemu dengan sejumlah bintang favoritnya, seperti Grace Kelly, Lauren Bacall, Bob Hope, Esther Williams, dan Humphrey Bogart. Sebuah foto yang memperlihatkan Ratu Soraya yang hanya mengenakan bikini saat bermain ski air di Miami, menimbulkan kontroversi besar di Iran. Dia menerima kecaman karena dianggap tidak bermoral sebab pakaian renangnya tidaklah pantas dikenakan oleh seorang Muslim. Foto itu kemudian dilarang untuk disebarluaskan di Iran untuk meredakan kritik dari para ulama.
Pada tanggal 12 Februari 1955, pasangan ini berangkat dari Amerika Serikat menuju Britania Raya dengan kapal penumpang terkenal, Queen Mary. Setibanya di London, Mohammad Reza dan istrinya Soraya menghadiri makan malam di Istana Buckingham bersama Ratu Elizabeth II; Pangeran Philip, Adipati Edinburgh; Perdana Menteri Sir Winston Churchill; dan Menteri Luar Negeri Sir Anthony Eden. Menjelang akhir perjalanan mereka, pasangan ini berkunjung ke Köln dan menginap di rumah orang tua Soraya. Mengetahui sang ayah sedang berada di Köln, Putri Shahnaz, anak sang Syah dari pernikahan pertamanya yang sedang bersekolah di Belgia, juga berkunjung ke kota itu untuk menemui sang ayah. Kehadiran Shahnaz membuatnya merasa cemburu, sehingga ia bertindak begitu memalukan dan meminta sang suami agar menunjukkan cintanya hanya kepada Soraya seorang. Pada akhirnya, suaminya meminta Soraya untuk diam. Pada tanggal 12 Maret 1955, Soraya dan Mohammad Reza kembali ke Teheran, dan mereka merasa senang melihat ribuan orang berbondong-bondong menyambut kepulangan mereka meskipun cuaca sedang hujan. Mohammad Reza, yang tidak menyukai perdana menterinya, Jenderal Fazlollah Zahedi, merasa puas melihat Zahedi, yang mengidap asam urat, terlihat sangat tidak nyaman berdiri di bawah guyuran hujan untuk menyambutnya di bandara Teheran.
Setelahnya pada tahun yang sama, sang Syah kembali melakukan penindasan terhadap kaum minoritas Baháʼí dengan merobohkan kuil-kuil mereka. Diplomat Britania Raya, Denis Wright, menyampaikan protesnya kepada menteri sang Syah, Asadollah Alam, namun tanggapan yang ia terima justru menjelaskan bahwa tindakan Mohammad Reza sebenarnya dilakukan untuk meredakan kemarahan para ulama setelah foto Soraya memakai bikini muncul, yang membuat Ayatollah Seyyed Hossein Borujerdi, salah satu sekutu penting sang Syah, sangat marah.
Perceraian
Meskipun saat itu pernikahan mereka diiringi dengan hadirnya hujan salju lebat, yang konon dianggap sebagai pertanda baik, pernikahan pasangan ini sudah mulai retak pada awal tahun 1958 karena kemandulan Soraya yang diduga menjadi penyebabnya. Satu-satunya anak sang Syah, Putri Shahnaz, telah menikah dengan Ardeshir Zahedi, putra dari mantan Perdana Menteri Jenderal Fazlollah Zahedi, seseorang yang Mohammad Reza benci dan telah ia pecat pada tahun 1955. Dia berkata kepada Soraya bahwa, "seorang Zahedi tidak bisa meneruskan dinasti Pahlavi", dan bahwa Soraya harus memberinya seorang putra agar dinasti Pahlavi tetap berlanjut. Soraya pun telah mencoba berbagai pengobatan di Swiss, Prancis, dan di St. Louis bersama Dr. William Masters. Sang Syah kemudian terpikir untuk mencari istri kedua yang mampu memberinya penerus, namun Soraya menentang gagasan itu.
Untuk mempertahankan posisinya sebagai Ratu, Soraya bahkan menyarankan sang suami untuk mengubah konstitusi tahun 1909 agar salah satu saudara tiri suaminya bisa menjadi penerusnya, yang kemudian Mohammad Reza tanggapi dengan jawaban bahwa perubahan semacam ini perlu persetujuan dari "Dewan Orang Bijak." Soraya yang belum pernah membaca konstitusi pun, tidak menyadari bahwa "Dewan Orang Bijak" itu tidak pernah ada—sebenarnya ini merupakan cara sang Syah untuk menunda keputusan sulit, yakni dengan cara berbohong. Mengingat sang Syah sudah dua kali mengubah konstitusi, ia tentu tahu bahwa tidak ada ketentuan terkait perlunya persetujuan "Dewan Orang Bijak" untuk mengubah konstitusi. Ibu Syah yang sangat otoriter tidak pernah menyukai Soraya dan terus-menerus menekan sang putra untuk menceraikan istrinya; ia berkata kepada sang putra bahwa sudah menjadi kewajiban sang Syah untuk memiliki seorang putra agar dapat meneruskan dinasti Pahlavi. Mohammad Reza lalu meyakinkan Soraya untuk pergi dari Iran, seraya berjanji akan memanggil "Dewan Orang Bijak" untuk mengubah konstitusi. Namun, meski ada janji itu, Soraya merasa jikalau suaminya itu telah berpaling darinya, bahkan sebelum meninggalkan Iran, seorang abdi dalem mengingat bahwa Soraya telah "meninggalkan rumahnya dengan rapi."
Soraya meninggalkan Iran pada bulan Februari dan tempat yang ia tuju tidak lain adalah rumah orang tuanya di Köln, Jerman. Pada awal bulan Maret 1958, Syah mengutus paman Soraya, Senator Sardar Assad, untuk membujuknya kembali ke Iran, namun upaya Syah gagal. Soraya menolak tawaran untuk tetap menjadi ratu meskipun suaminya menikah lagi. Dalam memoarnya, Soraya menyebutkan bahwa Syah "secara mendasar memiliki pandangan seperti orang Timur," dan membandingkannya dengan Pangeran Edward, Adipati Windsor, "yang rela melepaskan takhtanya demi cinta." Baginya, hanya "orang Timur" yang rela mengorbankan cinta demi takhta. Pada tanggal 5 Maret, Mohammad Reza menghubungi Soraya dan memberitahunya bahwa ia harus menerima keputusannya untuk menikah lagi, kalau tidak dia akan menceraikan Soraya. Pada tanggal 10 Maret, diadakan pertemuan antara dewan penasihat dan Syah untuk membahas situasi pernikahan mereka yang sulit itu, serta terkait ketiadaan penerus. Empat hari setelahnya, diumumkan bahwa pasangan kerajaan ini akan bercerai. Pernyataan pers dari pemerintah Iran menyebutkan bahwa Soraya telah menyetujui perceraian tersebut, meskipun ia mengklaim bahwa terakhir kali suaminya menghubunginya adalah pada tanggal 5 Maret, dan Soraya tidak diberi tahu sebelumnya mengenai keputusan tersebut. Menurut ratu berusia 25 tahun itu, perceraian tersebut adalah "pengorbanan atas kebahagiaannya sendiri." Soraya kemudian menuturkan kepada wartawan kalau suaminya tidak ada pilihan lain selain menceraikannya. Duta Besar Inggris untuk Iran mengungkapkan bahwa "Soraya adalah satu-satunya cinta sejati Syah" dan bahwa Syah adalah "seorang pria yang berada di persimpangan dilema," merasa senang akhirnya bisa menikah lagi, tetapi juga tidak sanggup "menghadapi kenyataan" bahwa dia baru saja menceraikan Soraya.
Pada tanggal 21 Maret 1958—Hari Tahun Baru Iran, Mohammad Reza, yang diiringi air mata, mengumumkan perceraiannya kepada rakyat Iran melalui pidato yang disiarkan di radio dan televisi; ia juga menegaskan bahwa dirinya tidak akan terburu-buru untuk menikah lagi.
Perceraian ini menjadi sorotan publik dan menginspirasi penulis asal Prancis, Françoise Mallet-Joris, menulis lagu pop berjudul Je veux pleurer comme Soraya ("Aku Ingin Menangis Seperti Soraya"), yang kemudian menjadi hit. Pernikahan mereka secara resmi berakhir pada tanggal 6 April 1958. Menurut laporan The New York Times, telah dilakukan negosiasi yang panjang sebelum perceraian, untuk mencoba meyakinkan Ratu Soraya agar mengizinkan suaminya menikah lagi. Namun, Ratu Soraya menolak dengan alasan menjaga kesakralan pernikahan, dan menegaskan bahwa ia "tidak mampu berbagi cinta suaminya dengan wanita lain."
Dari rumah orang tuanya di Jerman, Soraya menyampaikan kepada rakyat Iran, "Karena Sri Baginda Kaisar Mohammad Reza Syah Pahlavi menganggap penting bahwa penerus takhta harus berasal dari garis keturunan laki-laki secara langsung dari generasi ke generasi, maka dengan sangat menyesal, demi masa depan Negara dan kesejahteraan rakyat, serta mengikuti keinginan Sri Baginda Kaisar, saya rela mengorbankan kebahagiaan saya dan menyetujui untuk berpisah dari Sri Baginda Kaisar. Setelah bercerai, Soraya menerima imbalan dari sang Syah yang memberikannya sebuah griya tawang di Paris senilai US$3 juta, serta tunjangan bulanan sebesar US$7.000 (yang tetap dibayarkan hingga Revolusi Islam menggulingkan Mohammad Reza pada tahun 1979). Selain itu, Soraya juga mendapatkan sejumlah barang mewah lainnya, seperti Rolls-Royce Phantom IV keluaran tahun 1958, Mercedes-Benz 300 SL, batu rubi Bulgari, bros Van Cleef & Arpels, dan cincin platinum dari Harry Winston yang dihiasi berlian seberat 22,37 karat yang terjual seharga US$838.350 setelah ia meninggal dunia.
Setelah bercerai, Syah pernah berkata kepada seorang wartawan yang bertanya mengenai perasaannya terhadap mantan Ratu, bahwa "tak ada yang bisa membawa obor lebih lama daripada saya." Ia juga tertarik untuk menikahi Putri Maria Gabriella dari Savoia, putri mantan raja Italia, Umberto II. Menanggapi rumor yang beredar mengenai perkawinan antara "seorang penguasa Muslim dan seorang putri Katolik," surat kabar Vatikan, L'Osservatore Romano, menganggap hubungan tersebut sangatlah berbahaya.
Karier sebagai pemeran
Setelah bercerai dari Mohammad Reza, Soraya sempat tinggal sejenak di München, dan juga sempat menjalin hubungan dengan sutradara Maximilian Schell dan pewaris industri Gunter Sachs. Setelah itu, Soraya pindah ke Prancis dan memulai karier sebagai pemeran dengan menggunakan nama depannya saja, namun kariernya itu tak berlangsung lama. Awalnya, diumumkan bahwa Soraya akan memerankan Yekaterina yang Agung dalam sebuah film karya Dino De Laurentiis yang mengisahkan tentang permaisuri Rusia itu, tetapi proyek tersebut tidak terlaksana. Sebagai gantinya, ia membintangi film I tre volti (Si Tiga Wajah) sekaligus menjalin hubungan dengan sang sutradara Franco Indovina (1932–1972). Setelahnya, ia memerankan karakter bernama Soraya dalam sebuah film Inggris berjudul She (1965). Setelah kematian Indovina dalam sebuah kecelakaan pesawat, ia menghabiskan sisa hidupnya di Eropa dan mengidap depresi, yang dikisahkannya dalam memoarnya yang terbit pada tahun 1991, Le Palais des solitudes (Istana Kesunyian).
Tahun-tahun terakhir di Paris
Selama tahun-tahun terakhir hidupnya, Soraya menetap di Paris, tepatnya di rumah 46 Avenue Montaigne. Sesekali ia juga menghadiri acara sosial, seperti pesta yang diselenggarakan oleh Duchesse de La Rochefoucauld. Temannya yang juga merupakan penyelenggara acara, Massimo Gargia, berusaha menghiburnya dan mengenalkannya dengan orang-orang muda. Selain itu, Soraya merupakan pelanggan setia penata rambut Alexandre Zouari dan juga suka menghabiskan waktu luang di bar serta lobi Hotel Plaza Athénée yang berada di seberang apartemennya. Ia sering ditemani oleh mantan dayang sekaligus sahabat setianya, Madame Chamrizad Firouzabadian, serta seorang teman lainnya, yaitu sosialita Paris bernama Lily Claire Sarran.
Pada tahun 1979, Soraya menulis surat untuk Mohammad Reza yang sedang sekarat akibat kanker di Panama, menuturkan bahwa ia masih mencintainya dan berharap dapat menemuinya sekali lagi. Surat-surat yang ditulis Soraya itu sangat menyentuh hati Mohammad Reza, yang dalam balasannya mengatakan bahwa dia juga masih mencintai dan ingin bertemu dengannya, tetapi menekankan kalau sang istri Farah tidak boleh ada di sana; hal ini menjadi sulit karena Farah selalu mendampingi mantan Syah yang terbaring sekarat. Pada tahun 1980, sudah disepakati bahwa Soraya akan pergi menemui Mohammad Reza di Kairo, tetapi ia berpulang sebelum Soraya sempat pergi menemuinya. Dari peristiwa ini, Milani menganggap bahwa hubungan mereka adalah contoh nyata dari "pasangan yang tidak ditakdirkan bersama."
Kematian
Soraya meninggal pada tanggal 25 Oktober 2001 di apartemennya di Paris, Prancis pada usia 69 tahun; penyebab kematiannya tidak disebutkan. Mengetahui kepergian sang kakak, adik laki-lakinya, Bijan, dengan sedih berkata, "Setelah dia pergi, aku tidak memiliki siapa pun lagi untuk diajak berbicara." Bijan meninggal seminggu setelahnya.
Pemakamannya diadakan di Katedral Amerika di Paris pada tanggal 6 November 2001, dan dihadiri oleh Putri Ashraf Pahlavi, Pangeran Gholam Reza Pahlavi, pasangan Comte dan Comtesse de Paris, pasangan Pangeran dan Putri Napoli, Pangeran Michel dari Orléans, serta Putri Ira von Fürstenberg. Ia kemudian dikebumikan di Westfriedhof Blok 143 di München, bersama dengan orang tua dan adiknya.
Sejak kepergiannya, terdapat beberapa wanita yang mengaku-aku sebagai anak haramnya, yang kabarnya lahir pada tahun 1962. Namun, menurut informasi dari surat kabar mingguan berbahasa Persia, Nimrooz, hingga saat ini, tidak ada klaim yang dapat dibuktikan. Selain itu, surat kabar tersebut juga menerbitkan sebuah artikel pada tahun 2001 yang tanpa bukti menyebutkan bahwa Putri Soraya dan saudaranya mungkin telah dibunuh. Barang-barangnya kemudian dilelang di Paris pada tahun 2002 dengan total penjualan lebih dari $8,3 juta.
Tinggalan sejarah
Perceraian Soraya dari Syah menginspirasi penulis asal Prancis Françoise Mallet-Jorris untuk menciptakan lagu berjudul "Je veux pleurer comme Soraya" (Saya Ingin Menangis Seperti Soraya). Sebagai bentuk penghormatan kepada sang mantan ratu, seorang pembudidaya mawar asal Prancis menciptakan varietas bunga matahari yang diberinya nama "Empress Soraya."
Pada tahun 2003, ditayangkan sebuah film televisi Italia-Jerman yang mengisahkan kehidupan sang putri, berjudul Soraya, yang dibintangi oleh Anna Valle sebagai Soraya dan Erol Sander sebagai Syah. Mathilda May, aktris asal Prancis, muncul sebagai Putri Shams Pahlavi, saudara perempuan Syah.
Filmografi
Catatan
Daftar pustaka
Milani, Abbas (2011). The Syah (dalam bahasa Inggris). New York: Palgrave Macmillan. ISBN 9780230115620. OCLC 123159743.
Pranala luar
Princess Soraya
Soraya Esfandiary-Bakhtiary di IMDb (dalam bahasa Inggris)
Kata Kunci Pencarian:
- Soraya Esfandiary-Bakhtiary
- Suku Bakhtiar
- Mohammad Reza Pahlavi
- Soraya Esfandiary-Bakhtiary
- Khalil Esfandiary-Bakhtiary
- Soraya
- Nahid Mirza
- Bakhtiari people
- Mohammad Reza Pahlavi
- Avenue Montaigne
- Fawzia of Egypt
- Pahlavi dynasty
- Farah Pahlavi