Suku Kurudu (
Kurudu: Miobo) adalah kelompok etnis yang mendiami pulau
Kurudu dan pesisir Pamai Erar di pesisir utara Papua. Masyarakat
Suku Kurudu sendiri merupakan campuran dari berbagai etnis yang berasal dari Yapen, Waropen, dan Biak yang telah berasimilasi dengan penduduk asli
Kurudu di masa lampau dan membentuk penduduk
Suku Kurudu sekarang. Saat ini,
Suku Kurudu dan Kaipuri telah disatukan dan kemudian dikenal sebagai orang Miobo.
Seorang penulis Belanda, dr. J.J. De Hollander yang hidup pada masa 1800-an, menuliskan bahwa "Penduduk
Kurudu terdiri dari
Suku-
Suku yang sepenuhnya liar, mereka sebagai orang-orang yang berbahaya tapi sopan".
Sejarah
Pulau
Kurudu atau disebut sebagai Miobo Krudu oleh penduduk setempat, merupakan salah satu pulau yang termasuk kedalam wilayah Kepulauan Yapen, provinsi Papua. Konon, pulau ini telah dikenal pada masa lalu sebagai pemasok barang-barang dagangan, baik antara sesama pedagang Papua maupun dengan para pedagang dari luar. Hal ini dapat diketahui melalui berbagai catatan-catatan orang Eropa yang pernah menyinggahi pulau ini pada masa VOC sampai masuknya pemerintahan kolonial Belanda di Tanah Papua.
Sejak abad ke-16, pulau
Kurudu dicatat oleh bangsa Spanyol dengan nama La Ballena pada 1545. Meski telah dijelajahi pada tahun itu, tidak banyak informasi mengenai pulau
Kurudu. Memasuki abad ke-18, pulau ini ditulis dalam buku-buku orang Eropa, tentang aspek perdagangan yang telah mereka amati disana. Sir Thomas Forrest mengunjungi pulau itu pada Februari 1775, dalam bahasa Inggris ia menyebutnya "Island of Krudo" berarti yang pulau
Kurudu. Ia juga menulis bahwa masyarakat
Kurudu-Kaipuri biasanya mengumpulkan kulit penyu yang akan diperdagangkan dengan pedagang Tiongkok. Wilayah Yapen, Waropen, dan Nabire merupakan tempat-tempat dimana para pedagang Tiongkok, Bugis, Makassar, Seram, dan Eropa melakukan barter dengan penduduk-penduduk di wilayah tersebut.
Orang
Kurudu menghasilkan berbagai produk-produk lokal gerabah tanah liat (sempe), ukiran, perahu, dan sagu yang nantinya akan diperdagangkan ke berbagai tempat di pesisir utara Papua. Orang
Kurudu juga memiliki jaringan perdagangan sampai ke Sungai Mamberamo dan meluas ke Tanah Tabi (Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura). Misalnya, orang
Kurudu membawa produk-produk seperti manik-manik, pisau, piring, dan menukarnya dengan masyarakat Mamberamo.
Dalam laporan residen Braam Morris, sewaktu mereka mengunjungi penduduk Mamberamo (kampung Pauwi) pada 21 Juli 1884, mereka menemukan bahwa penduduk asli memiliki barang-barang seperti manik-manik, pisau, piring, dan barang-barang lainnya. Setelah ditanya darimana penduduk Pauwi dan Mawa mendapatkan barang-barang tersebut, mereka menjawab dari
Kurudu, orang
Kurudu sering datang kepada mereka. Jejak perdagangan demikian sudah berlangsung tahun 1800-an. Bahkan ada seorang Korano (pemimpin lokal) Mamberamo yang bernama Anggori bisa berbicara dalam bahasa
Kurudu. Catatan ini tampaknya mendukung catatan Thomas Forrest bahwa pedagang Tiongkok pernah melakukan kontak dengan orang
Kurudu. Artinya masyarakat Mamberamo tidak mendapat barang-barang tersebut secara langsung dari pedagang Tiongkok. Bisa digambarkan bahwa setelah pedagang Tiongkok melakukan barter dengan orang
Kurudu, kemudian orang
Kurudu melakukan barter lagi dengan penduduk Mamberamo. Merujuk pada catatan Thomas Forrest bahwa bisa jadi perdagangan antara orang
Kurudu dan orang Mamberamo sudah berlangsung sejak tahun 1700-an.
Pekabaran Injil di pulau
Kurudu dilakukan pada tahun 1929 oleh Laurens Tanamal, perjalanan pekabar Injil Laurens Tanamal telah tercatat oleh pendeta Albert Jan de Neef dalam novel berjudul Di Tapal Batas: Mambu Ransar, karya Alex Runggeary yang diterbitkan oleh Nas Media Pustaka di Makassar pada tahun 2022.
Populasi
Suku Kurudu merupakan penduduk asli di wilayah Kepulauan Yapen dan pesisir utara Mamberamo Raya, provinsi Papua. Mereka terutama mendiami wilayah distrik Yapen Timur (saat ini dimekarkan menjadi beberapa distrik, salah satunya distrik Pulau
Kurudu) dan distrik Waropen Atas (saat ini dimekarkan menjadi beberapa distrik, salah satunya distrik Sawai). Pada tahun 1988, penduduk distrik Yapen Timur berjumlah 7.397 jiwa dan Waropen Atas 4.580 jiwa. Diantara jumlah itulah termasuk 2.180 orang
Kurudu.
Budaya
= Tradisi war wen
=
Pada masa pandemi COVID-19 melanda dunia, masyarakat
Suku Kurudu meyakini khasiat tiga jenis tumbuhan yang mampu menangkal penyakit virus corona. Ketiga tumbuhan dalam tradisi war wen tersebut yaitu, nianggotr (sirih hutan), nianggoi tu (sirih domestik), dan manemyo (sirih lele).
= Perahu tradisional
=
Karena kondisi geografis wilayah yang didiami masyarakat
Suku Kurudu dikelilingi oleh lautan, maka masyarakat
Kurudu memiliki tradisi melaut yang membutuhkan perahu. Dalam kearifan lokal
Suku Kurudu dikenal 3 jenis perahu tradisional, yaitu:
Wantbo (perahu untuk menangkap ikan)
Dakam (perahu untuk transportasi antar pulau dan perdagangan hasil alam)
Mansusu (perahu untuk berperang dan penangkapan budak)
Tiga jenis perahu ini dilengkapi dengan dayung (awo), layar (sariun), naju (adaisi), semang (arui), dan mata naju (adaisi re), serta penimba air (asobo).
Setelah masuknya pengaruh era modernisasi, maka
Suku Kurudu mengenal lagi 4 jenis perahu bermesin, yaitu:
Wa yonson (perahu untuk transportasi antar pulau sekaligus perahu dagang dan untuk menangkap ikan)
Kole-kole (perahu tanpa naju dan semang)
Speedboat (perahu fiber)
Jolor (perahu sejenis speedboat kecil berbahan dasar papan).
Suku Kurudu mempunyai pengetahuan tradisional pembuatan bagian depan wantbo dan belakang wantbo.
Depan dan belakang perahu wantbo dalam bahasa
Kurudu disebut ode. Yakni depan perahu disebut ode waraun dan belakang perahu disebut ode wasriu. Bentuk bagian depan dan belakang perahu
Suku Kurudu tidak sama dengan perahu
Suku-
Suku lainnya.
Referensi
Daftar pustaka
Runggeary, Alex (2022). Di Tapal Batas: Mambu Ransar. Makassar: Nas Media Pustaka. ISBN 978-623-351-471-2.
Melalatoa, J. (1995). Ensiklopedi
Suku Bangsa di Indonesia Jilid A-K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.