- Source: Sun Zi
Sun Tzu (/ˈsuːnˈdzuː/; merujuk pada Sūn Zǐ) juga merupakan seorang Jenderal dari Tiongkok, ahli strategi militer, dan filsuf yang hidup pada Zaman Musim Semi dan Gugur pada masa Tiongkok Kuno. Sun Tzu diketahui sebagai penulis The Art of War, sebuah strategi militer yang secara luas berpengaruh terhadap filosofi Barat dan Timur. Diluar peninggalannya sebagai penulis The Art of War, Sun Tzu merujuk kepada figur sejarah dari Tiongkok dan Kebudayaan Asia. Dia lahir dengan nama Sun Wu dan dikenal dengan nama Changqing. Nama Sun Tzu sendiri merupakan sebuah gelar kehormatan yang berarti “Master Sun”.
Sejarah mengenai Sun Tzu masih belum pasti. Sima Qian dan ahli sejarah kuno lainnya menempatkan dia sebagai menteri dari Raja Helü di Negara Wu dan menetapkan masa hidupnya antara 544–496 SM. Para pakar modern mengemukakan bahwa Sun Tzu hidup pada Periode Negara Perang berdasarkan gaya komposisi dan deskripsinya mengenai Medan Perang. Sejarah juga mencatat bahwa keturunan Sun Tzu yaitu Sūn Bin (孫彬) juga menulis mengenai taktik militer yang juga berjudul The Art of War. Dalam beberapa karya klasik Tiongkok Sun Tzu merujuk kepada Sun Tzu dan Sun Bin, beberapa ahli sejarah percaya bahwa keidentikan mereka merujuk pada ditemukannya Perjanjian Militer Sun Bin pada tahun 1972.
Hasil kerja Sun Tzu telah banyak dipuji dan digunakan di sepanjang Asia Timur karena komposisinya. Selama abad ke 20, The Art of War mengalami pertumbuhan popularitas dan secara praktik digunakan oleh Masyarakat Barat. Karya ini juga mempengaruhi banyak usaha di Asia, Eropa, dan Amerika termasuk budaya, politik, bisnis, dan olahraga, sebagaimana juga dalam medan perang modern.
Kehidupan
Sumber-sumber lain yang tersedia belum menemukan kesepakatan mengenai tempat lahir Sun Tzu. Pada kronik The Spring and Autumn Annals dikatakan bahwa Sun Tzu lahir pada masa Dinasti Qi, sementara Sima Qian dalam Records of Grand Historian mengatakan bahwa Sun Tzu merupakan warga lokal Wu. Kedua sumber setuju bahwa Sun Tzu lahir pada akhir Spring and Autumn Period dan dia aktif sebagai seorang jenderal dan ahli strategi. Dia melayani Raja Helu dari Wu pada akhir abad ke 6 sebelum masehi, dimulai sekitar tahun 512 SM. Kemenangan Sun Tzu menginspirasinya untuk menulis The Art of War. The Art of War merupakan satu dari banyak Pakta Militer yang digunakan dalam Periode Negara Perang, sebuah masa dimana terjadi perang yang secara terus menerus terjadi antara 7 negara - Zhao, Qi, Qin, Chu, Han, Wei, dan Yan - yang bertarung untuk memperebutkan kekuasaan ke wilayah timur daratan Tiongkok.
Satu dari banyaknya cerita tentang Sun Tzu didapat dari Sima Qian. Sebelum mempekerjakan Sun Tzu, Raja Wu ingin menguji kemampuannya untuk melatih dengan memintanya melatih selir-selirnya yang berjumlah 180 orang untuk dijadikan tentara. Sun Tzu membagi mereka menjadi dua kelompok dan menunjuk dua selir kesayangan raja untuk memimpin masing-masing kelompok atau disebut jenderal. Saat Sun Tzu memerintahkan para selir menghadap ke kanan, mereka tertawa. Sebagai respon dari hal itu, Sun Tzu mengatakan bahwa para jenderal dalam hal ini bertanggung jawab untuk memastikan bahwa para tentara memahami perintah yang diberikan pada mereka. Kemudian, dia mengulangi perintah itu lagi dan sekali lagi para selir tertawa. Sun Tzu kemudian memerintahkan eksekusi terhadap dua selir favorit raja, meskipun raja melakukan protes. Dia menjelaskan bahwa jika para jenderal mengerti apa yang diperintahkan, tetapi tidak mematuhinya, hal itu adalah jelas kesalahan pemimpinnya. Sun Tzu juga mengatakan bahwa saat seorang jenderal ditunjuk, maka itu adalah tugasnya untuk melaksanakan misi yang telah diberikan, meskipun raja melakukan protes. Setelah kedua selir tersebut dibunuh, masing-masing kelompok digantikan pemimpin baru. Setelahnya, kedua kelompok itu melakukan setiap manuver yang diperintahkan dengan sempurna karena mereka sangat menyadari konsekuensi dari tindakan cerobah yang telah dilakukan.
Sima Qian menegaskan bahwa setelahnya Sun Tzu membuktikan bahwa teorinya bekerja sangat efektif dalam medan perang (contohnya dalam Perang Boju). Sun Tzu memiliki karier yang sukses di militer dan menulis The Art of War berdasarkan pengalaman dan keahliannya yang teruji. Bagaimanapun, dalam Zuozhuan, sebuah teks sejarah yang ada sebelum Records of Grand Historian, lebih memberikan penjelasan detail mengenai Perang Boju, namun tidak menyebutkan Sun Tzu sama sekali.
= Historisitas
=Dimulai sekitar abad ke-12, beberapa ahli mulai meragukan keberadaan historis Sun Tzu, utamanya karena dia tidak disebutkan dalam Sejarah Klasik The Commentary of Zuo (Zuo zhuan 左傳), yang menyebutkan tokoh-tokoh penting dari Periode Musim Semi dan Gugur. Nama “Sun Wu” (孫武) tidak muncul dalam teks apapun sebelum Records of the Grand Historian, dan mungkin namanya adalah sebuah julukan deskriptif yang dibuat-buat dan memiliki arti “Prajurit Buronan”: Nama “Sun” dapat diartikan sebagai ‘buronan’ (xùn 遜), sementara “Wu” adalah kebijaksanaan Tiongkok Kuno dari “Beladiri, gagah berani” (wǔ 武), yang berhubungan dengan peran Sunzi sebagai kembaran (doppelgänger) pahlawan dalam cerita Wu Zixu. Para skeptis mengutip ketidakakuratan sejarah yang memungkinkan dan anakronisme dalam teks, menyimpulkan bahwa buku itu sebenarnya merupakan kompilasi dari penulis yang berbeda dan strategi-strategi militer. Hubungan dari para penulis The Art of War bervariasi antara para ahli, orang-orang dan gerakan-gerakan sosial yang ada, termasuk Sun; sarjana dari Negara Chu yaitu Wu Zixu; seorang penulis anonim; sebuah sekolah teori di Negeri Qi atau Negeri Wu; Sun Bin; dan lain-lain. Tidak seperti Sun Wu, Sun Bin tampaknya adalah seseorang yang sungguh ada dan merupakan penguasa yang sebenarnya dalam urusan militer. Dia mungkin telah menjadi inspirasi bagi terciptanya tokoh sejarah "Sunzi" melalui bentuk euhemerisme. Nama Sun Wu selanjutnya muncul pada sumber selanjutnya Records of the Grand Historian (Shiji 史記) dan Wu Yue chunqiu. Satu-satunya pertarungan bersejarah yang dikaitkan pada Sun Tzu yaitu Perang Boju, tidak memiliki catatan pertarungan dirinya.
Munculnya fitur dari The Art of War dalam teks-teks sejarah lainnya dianggap bukti kesejarahan tentang keberadaannya dan bukti karya penulisannya. Konsep strategi tertentu seperti klasifikasi medan (peperangan) dikaitkan dengan Sun Tzu. Penggunaannya (konsep strategi Sun Tzu) dalam karya-karya lain seperti Metode Sima dianggap sebagai bukti prioritas mengenai sejarah (keberadaan) Sun Tzu. Menurut Ralph Sawyer, sangat mungkin Sun Tzu memang ada dan tidak hanya menjabat sebagai seorang jenderal perang tetapi juga merupakan penulis dari buku yang menyandang namanya (The Art of War). Dalam The Art of War dikatakan bahwa ada perbedaan antara perang skala besar dan teknik canggih yang dirinci dalam teks, serta pertempuran skala kecil yang lebih primitif (dipercaya banyak digunakan di Tiongkok selama abad ke-6 SM). Menentang hal tersebut, Sawyer berpendapat bahwa ajaran Sun Wu sangat mungkin diajarkan kepada generasi-generasi di keluarganya atau bahkan untuk para murid di sekolah-sekolah kecil dan pada akhirnya termasuk Sun Bin. Keturunannya atau para siswa mungkin telah merevisi atau memperluas titik-titik tertentu dalam teks aslinya.
Para skeptis mengidentifikasi masalah dengan sudut pandang tradisionalis ke sudut pandang anakronisme dalam The Art of War termasuk mengidentifikasi istilah, teknologi (seperti busur anakronistik dan kavaleri yang tidak disebutkan), ide-ide filosofis, peristiwa, dan teknik militer yang tidak seharusnya tersedia untuk Sun Wu Selain itu, tidak ada catatan sejarah mengenai seorang jenderal profesional selama Zaman Musim Semi dan Gugur; ini hanyalah bagian dari Periode Negara Perang, sehingga masih ada keraguan mengenai pangkat dan keahlian militer Sun Tzu. Hal ini menyebabkan banyak kebingungan tentang kapan The Art of War benar-benar ditulis. Pandangan tradisional pertama menyatakan bahwa The Art of War ditulis pada 512 SM oleh Sun Wu, yang aktif selama tahun-tahun terakhir Periode Musim Semi dan Gugur (c. 722-481 BC). Pandangan kedua, sebagaimana yang dikemukakan oleh para sarjana seperti Samuel Griffith, menempatkan The Art of War selama masa pertengahan hingga akhir Periode Negara Perang (c. 481-221 BC). Akhirnya, aliran ketiga mengklaim bahwa teks bambu tersebut diterbitkan pada paruh terakhir abad 5 SM; hal ini didasarkan pada bagaimana penganutnya menafsirkan slip bambu yang ditemukan di Yin-ch'ueh-shan pada tahun 1972 AD.
The Art of War
The Art of War secara tradisional dianggap berasal dari Sun Tzu. The Art of War menyajikan filsafat perang untuk mengelola konflik dan memenangkan pertempuran. Hal ini diterima sebagai sebuah karya besar mengenai strategi dan telah sering dikutip dan dijadikan referensi oleh para jenderal dan ahli teori sejak pertama kali diterbitkan, diterjemahkan, dan didistribusikan secara internasional.
There are numerous theories concerning when the text was completed and concerning the identity of the author or authors, but archeological recoveries show The Art of War had taken roughly its current form by at least the early Han. Because it is impossible to prove definitively when the Art of War was completed before this date, the differing theories concerning the work's author or authors and date of completion are unlikely to be completely resolved. Some modern scholars believe that it contains not only the thoughts of its original author but also commentary and clarifications from later military theorists, such as Li Quan and Du Mu.
Dari teks militer yang ditulis sebelum Unifikasi Tiongkok dan pembakaran buku Shi Huangdi di abad ke 2 sebelum masehi, enam karya besar berhasil selamat. Selama Dinasti Song yang berikut-berikutnya, enam karya ini disatukan dengan sebuah teks Tang (dinasti) menjadi sebuah koleksi yang dinamakan Seven Military Classics. Sebagai bagian penting dari kompilasi tersebut, The Art of War membentuk pondasi teori militer ortodok pada awal masa Tiongkok modern. Untuk mengilustrasikan poin ini, buku tersebut disyaratkan sebagai bacaan wajib untuk lulus dalam tes penunjukan kekaisaran dalam mengisi posisi militer.
The Art of War milik Sun Tzu menggunakan bahasa yang mungkin tidak biasa dalam sebuah teks barat untuk topik medan perang dan strategi. Contohnya, pada bab sebelas dikatakan bahwa seorang pemimpin harus “tenang dan tidak dapat ditebak” dan memiliki kemampuan untuk memahami “rencana yang tak terduga”. Teks ini (The Art of War) berisi banyak komentar serupa yang sudah lama membuat bingung pembaca barat yang kurang memahami konteks Asia Timur. Arti dari pernyataan-pernyataan tersebut lebih jelas ketika menginterpretasikan konteks pemikiran dan praktik Taoisme. Sun Tzu melihat seorang jenderal yang ideal sebagai seorang master Taoisme yang tercerahkan, yang mana hal ini menuntun The Art of War dianggap sebagai sebuah contoh utama strategi penganut Taois.
Buku ini juga menjadi populer di kalangan para pemimpin politik dan orang-orang dalam manajemen bisnis. Meskipun memiliki judul The Art of War dan membahas strategi secara luas, namun juga menyentuh pada administrasi publik dan perencanaan. Teks tersebut menguraikan teori peperangan, namun (dapat) juga (mengacu pada) diplomasi dan (cara) budidaya hubungan dengan negara-negara lain sebagai aspek penting untuk perkembangan negara.
Pada 10 April 1972, Makam Yinqueshan Han secara tidak sengaja ditemukan oleh pekerja konstruksi di Shandong. Para ahli menemukan sebuah koleksi naskah kuno yang ditulis pada slip bambu yang ternyata masih terawat dengan baik. Di antara temuan tersebut terdapat The Art of War dan Metode Militer Sun Bin. Meskipun bibliografi Dinasti Han menyatakan bahwa publikasi terakhir yang masih ada diteruskan dan ditulis oleh seorang keturunan Sun, publikasi itu telah hilang. Ditemukannya karya Sun Bin dianggap sebagai momen penting oleh para sarjana, baik karena hubungan Sun Bin ke Sun Tzu dan karena penambahan pekerjaan pada pemikiran militer di akhir zaman kuno Tiongkok. Penemuan tersebut secara keseluruhan, sangat signifikan dalam menambah pengetahuan mengenai teori militer yang dibuat pada Periode Negara Perang. Risalah Sun Bin adalah satu-satunya teks militer yang selamat dari Periode Negara Perang dan ditemukan pada abad kedua puluh serta memiliki kemiripan dengan The Art of War jika dibandingkan dengan teks yang lain.
Peninggalan
The Art of War milik Sun Tzu telah mempengaruhi banyak tokoh penting. Sima Qian menceritakan bahwa Kaisar pertama dalam sejarah China, Qin Shi Huangdi, menganggap The Art of War sebagai buku yang sangat berharga dalam mengakhiri Periode Negara Perang. Pada abad ke-20, Pemimpin Komunis Tiongkok, Mao Zedong pada kemenangannya atas Chiang Kai-shek dan Kuomintang pada tahun 1949 berhutang budi pada The Art of War. Karya ini (The Art of War) sangat mempengaruhi tulisan-tulisan Mao tentang perang gerilya, yang selanjutnya mempengaruhi pemberontakan komunis di seluruh dunia.
The Art of War diperkenalkan ke Jepang pada tahun 760 AD dan buku ini dengan cepat menjadi populer di kalangan jenderal Jepang. Melalui pengaruhnya pada Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, dan Tokugawa Ieyasu, karya ini secara signifikan mempengaruhi penyatuan Jepang di era modern awal. Sebelum Restorasi Meiji, penguasaan ajaran-ajarannya dihormati di kalangan samurai dan ajaran-ajaran tersebut didorong (untuk diajarkan) dan dicontohkan (dalam ajaran) oleh daimyo yang berpengaruh dan para shogun. Selanjutnya, karya ini tetap populer di kalangan angkatan bersenjata Kekaisaran Jepang. Laksamana Armada, Togo Heihachiro, yang memimpin kemenangan pasukan Jepang dalam Perang Rusia-Jepang, adalah seorang pembaca setia dari Sun Tzu.
Ho Chi Minh menerjemahkan karya ini untuk tentara Vietnam dengan tujuan belajar. Umumnya Vo Nguyen Giap, ahli strategi di balik kemenangan atas pasukan Prancis dan Amerika di Vietnam adalah juga seorang mahasiswa yang sangat rajin dan seorang praktisi dari ide-ide Sun Tzu.
Konflik Asia-Amerika melawan Jepang, Korea Utara, dan Vietnam Utara membawa Sun Tzu menjadi perhatian pemimpin militer Amerika. Lembaga Militer di Amerika Serikat, melalui Command and General Staff College, telah mengarahkan semua unit untuk menyokong perpustakaan-perpustakaan di bawah naungan masing-masing kantor pusat untuk melanjtkan edukasi para personil mengenai The Art of War. The Art of War disebutkan sebagai sebuah contoh karya untuk dipertahankan pada setiap fasilitas dan staf yang bertugas jaga berkewajiban untuk menyiapkan makalah singkat serta mempresentasikannya kepada petugas yang lain mengenai bacaan mereka. Serupa dengan hal itu, The Art of War milik Sun Tzu juga terdaftar dalam Professional Reading Program Korps Angkatan Laut. Selama Perang Gulf pada tahun 1990an, Jenderal Norman Schwarzkopf Jr. dan Jenderal Colin Powell menerapkan prinsip-prinsip Sun Tzu yang terkait dengan penipuan, kecepatan, dan titik lemah seseorang musuh. Bagaimanapun, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya dikritik karena tidak benar-benar memahami karya Sun Tzu dan tidak menghargai The Art of War dalam konteks yang lebih luas mengenai masyarakat Tiongkok.
Retorika Taois adalah sebuah komponen yang tergabung ke dalam The Art of War. Menurut Steven C. Combs dalam "Sun-zi and the Art of War: The Rhetoric of Parsimony" ", medan peperangan "digunakan sebagai metafora untuk retorika, dan bahwa keduanya secara filosofis didasarkan pada seni." Combs menulis "Medan peperangan dianalogikan sebagai persuasi, sebagai (bentuk) pertempuran antara hati dan pikiran." Penerapan strategi The Art of War sepanjang sejarah dikaitkan dengan retorika filosofisnya. Taoisme adalah prinsip utama dalam The Art of War. Combs membandingkan Taois Tiongkok kuno hingga ke retorika Aristoteles tradisional, terutama untuk perbedaannya dalam hal persuasi. Retorika Taois dalam strategi medan perang The Art of War digambarkan sebagai "damai dan pasif, mendukung keheningan selama berbicara.” Bentuk komunikasi ini adalah bentuk kekikiran. Sifat pelit, yang sangat ditekankan dalam The Art of War sebagai cara menghindari konfrontasi dan menjadi sosok spiritual dengan alam, membentuk prinsip-prinsip dasar Taoisme.
Mark McNeilly dalam Sun Tzu and The Art Modern Warfare menulis bahwa interpretasi modern dari Sun dan peran pentingya sepanjang sejarah Tiongkok sangat penting dalam memahami dorongan China untuk menjadi negara adidaya di abad kedua puluh satu. Para sarjana Tiongkok modern secara eksplisit mengandalkan pelajaran strategis sejarah dan The Art of War dalam mengembangkan teori mereka, (Para sarjana) melihat hubungan langsung antara perjuangan modern mereka dan orang-orang Tiongkok pada masa Sun Tzu. Ada nilai keuntungan yang dirasakan dalam ajaran Sun Tzu dan penulis tradisional Tiongkok lainnya, yang mana digunakan secara teratur dalam mengembangkan strategi bagi Negara Tiongkok dan para pemimpinnya.
Pada tahun 2008, produser Zhang Jizhong mengadaptasi kisah hidup Sun Tzu untuk dijadikan serial televisi drama sejarah sepanjang 40-episode berjudul Bing Sheng, dibintangi Zhu Yawen sebagai Sun Tzu.