Taaruf atau Taruf (bahasa Persia: تعارف, pengucapan Persia: [tæʔɒːɾof] ) adalah istilah dari Bahasa Persia yang mengacu pada bentuk kesopanan atau seni etiket di Iran, yang menekankan pada rasa hormat dan peringkat sosial.
Taaruf adalah ritual kesopanan yang bertujuan menyamakan kedudukan (mempromosikan kesetaraan) dalam budaya hirarkis.
Taaruf antar teman, maupun antara tuan rumah dan tamu, menekankan nilai persahabatan sebagai prioritas dalam mencapai segala hal di dunia.
Taaruf juga merupakan cara mengelola hubungan sosial dengan sopan santun. Ini berarti,
Taaruf dapat digunakan sebagai dasar untuk hubungan timbal balik (secara positif) atau sebagai "senjata sosial atau politik yang membingungkan penerima dan menempatkannya pada posisi yang tidak menguntungkan" (secara negatif). Maka dari itu,
Taaruf adalah salah satu hal yang paling mendasar untuk dipahami tentang budaya Iran.
Hal pertama yang bisa dilakukan adalah memilih calon pasangan kemudian dilanjutkan dengan melihat calon. Dalam hal ini tidak diperuntukan bagi laki-laki saja, akan tetapi perempuan disunnahkan untuk melihat calon pasangan laki-laki yang akan meminangnya. Melihat pasangan sangat disunnahkan untuk saling mengetahui baik secara jasmani maupun rohani, apakah pasangan memiliki cacat atau penyakit dan lain sebagainya. Seperti yang pernah Rasulullah katakana, “Dari Mughirah bin Syu’bah: Ia pernah meminang seorang wanita. Maka Rasulullah bertanya kepadanya, “Sudahkah kamu melihatnya?” Mughirah menjawab, “Belum,” kemudian beliau bersabda, “Lihatlah dia terlebih dahulu, sesungguhnya hal tersebut lebih pantas bagi kelanggengan hubungan kalian berdua.” (HR. An-Nasai’, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi).
Disunnahkannya dalam melihat pasangan ini dilakukan sebelum peminangan, karena jika hal ini dilakuakan sebelum peminangan ditakutkan atau dikhawatirkan dari salah satu atau kedua belah pihak tidak berkeinginan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan. Seperti yang telah disebutkan di atas, kekhawatiran tersebut terjadi atau ditakutkan salah satu pasangan atau keduanya ada cacat, penyakit mental, atau hal lain ytang tidak diinginkan setelah melihatnya dan hal tersebut merupan sesuatu yang menyakitkan orang lain dan hal tersebut sangat jelas dilarang oleh syari’at Islam.
Dalam pelaksanaannya, tidak pula disyari’atkan adanya izin dari kedua atau salah satu pihak karena sudah ada izin syar’I secara langsung untuk hal tersebut. Hal ini karena suadh menjadi kebutuhan seorang ketika akan menikah, sehingga pelaksanaan perkawinan nanti didasarkan pada pandangan dan penilaian yang jelas. Namun, apabila seseorang yang hendak meminang tidak bisa atau tidak ingin melihat calon pinangannya, ia disunnahkan untuk diwakili oleh yang mahramnya dan mahramnya tersebut dapat menjelaskan keadaan dari masing-masing calon pasangan.
Dalam hal ini pula diataur ketika calon laiki-laki melihat calon perempuan agar tidak terkena nafsu syahwat. Maka dari itu, untuk perempuan agar mneutup aurat sebagaimana aurat ketika shalat yaitu hanya terlihat wajah dan telapak tangan. Dalam literatur agama, bahwa wajah bisa mewakili kecantikan dan telapak tangan bisa menunjukan kelembuatan serta wataknya. Kemudian seorang laki-laki disyaratkan untuk mengetahui dan yakin bahwa wanita tersebut tidak bersuami atau sedang dalam keadaan ‘iddah raj’iyyah. Dalam hal melihat pasangan ini jika sudah merasa cukup, tidak dianjurkan untuk melihat kedua kalinya karena walaupun hal tersebut diperbolehkan tapi hal itu harus dilakukan sebatas diperlukan saja, sesuai dengan kaidah: "Yang diperbolehkan karena darurat, diukur menurut kadar keperluannya."
Dalam situasi sosial
Dalam aturan keramahtamahan,
Taaruf mengharuskan tuan rumah untuk menawarkan apa pun yang diinginkan tamu, dan seorang tamu juga memiliki kewajiban untuk menolaknya. Ritual ini dapat berulang beberapa kali (biasanya tiga kali) sebelum tuan rumah dan tamu akhirnya menentukan apakah tawaran tuan rumah dan penolakan tamu itu asli, atau hanya menunjukkan kesopanan. Jika seseorang diundang ke rumah siapapun untuk makan, maka ia akan sebaiknya makan beberapa detik paling tidak sampai sepertiga porsinya. Namun, budaya
Taaruf menuntut agar seseorang tidak melanjutkan makan untuk mendapatkan lebih banyak kudapan setelah penawaran pertama selesai. Ciri tata krama yang baik adalah sang tamu harus berpura-pura kenyang, dan memberi tahu tuan rumah betapa lezatnya makanan itu, dan bahwa tidak mungkin untuk makan lagi. Tuan rumah kemudian diharapkan untuk mengatakan bahwa seseorang tidak boleh melakukan
Taaruf ("taa'ruf nakon" - mirip dengan "jangan sungkan!") di mana respons yang tepat adalah mengatakan "tidak" dua atau tiga kali dan kemudian berpura-pura untuk menyerah pada desakan tuan rumah dan membiarkan makanan menumpuk.
Contoh lain dari
Taaruf adalah mengundang orang asing atau kerabat jauh untuk makan malam dengan harapan mereka akan menganggap tawaran itu sebagai "hanya sekedar
Taaruf" dan menolak.
Dalam negosiasi
Prevalensi
Taaruf sering memunculkan gaya negosiasi khas Iran. Misalnya, penjaga toko pada awalnya mungkin menolak untuk mematok harga suatu barang dan mengatakan bahwa barang itu tidak berharga ("ghaabel nadaareh"). Budaya
Taaruf mewajibkan pelanggan untuk bersikeras membayar, biasanya dalam tiga kali diskusi, sebelum penjaga toko akhirnya memberikan harga dan negosiasi yang sesungguhnya dapat dimulai.
Hal ini seringkali membuat wisatawan yang tidak terbiasa dengan budaya
Taaruf terjebak dalam posisi yang sulit. Misalnya, jika seorang sopir taksi menolak untuk menerima pembayaran sedangkan wisatawannya menerima kata-kata manis tersebut secara mentah-mentah. Ketika sopir taksi mengatakan bahwa tidak ada yang perlu dibayar, mereka sebenarnya tidak bersungguh-sungguh. Sopir taksi sebenarnya mengatakan bahwa mereka senang berbicara dengan wisatawan dan ingin mengucapkan "terima kasih". Dengan menyatakan tidak ada biaya, sopir taksi memainkan peran sebagai tuan rumah yang baik. Perilaku itu berasal dari warisan kuno Iran di mana tamu selalu disambut dan dijaga.
Status sosial
Aturan dalam
Taaruf bekerja berbeda tergantung pada status sosial seseorang. Menurut Beeman, hanya sedikit masyarakat Iranlah yang menganggap kewajiban status itu penting. Orang dengan jabatan lebih tinggi diharapkan untuk memperlakukan orang yang jabatannya lebih rendah dalam pola pertukaran timbal balik. Contohnya orang dengan jabatan lebih tinggi wajib melakukan sesuatu untuk orang lain, seperti menyediakan barang material, dan/atau mendorong orang lain untuk melakukan (atau menyediakan) sesuatu. Di sisi lain, orang yang jabatannya lebih rendah diharapkan untuk memberikan pelayanan, memberikan upeti (kepada atasan), atau meminta orang lain untuk melakukan (atau menyediakan) sesuatu. Namun, jika interaksi itu terjadi antar orang-orang yang sederajat, maka pertukaran dilakukan tanpa memandang status dan bersifat mutlak. Kasus ideal dalam status yang setara adalah antara dua individu yang terlibat dalam hubungan intim, di mana kebutuhan orang lain diantisipasi dan disediakan tanpa memikirkan layanan, penghargaan, bantuan, atau penghargaan.
Aspek positif dari
Taaruf dalah mendorong perilaku yang baik terhadap orang lain, terutama dalam temu tamu. Penggunaan bahasa yang sopan, pemberian hadiah, serta pujian menunjukkan rasa hormat kepada mereka yang benar-benar layak mendapatkannya. Menurut Beeman, yang terbaik,
Taaruf adalah wujud nyata dari sifat tidak mementingkan diri sendiri dan kerendahan dalam hati. Namun,
Taaruf bisa menjadi negatif jika digunakan secara tidak tulus untuk mengendalikan orang lain, atau jika orang yang lebih tinggi dilindungi dari kritik karena rasa hormatterhadap jabatan mereka.
Pendapat ahli
Menurut cendekiawan Timur Tengah, William O. Beeman, "
Taaruf adalah konsep yang luar biasa sulit karena mencakup perilaku kompleks, ditandai dengan menyetarakan perbedaan status sosial."
Menurut D. M. Rejali, bagi elit feodal, ornamentasi dalam bertutur melambangkan gengsi. Dengan munculnya kapitalisme dan paradigma ilmiahnya, komunikasi dituntun untuk lebih tepat dan cepat, sehingga formalitas dalam
Taaruf dianggap menghalangi pengejaran akumulasi modal (keuntungan) yang cepat.
Penggunaan di Indonesia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti dari
Taaruf adalah perkenalan. Namun, budaya
Taaruf tidak diterapkan dalam politik maupun bisnis di Indonesia. Penggunaan
Taaruf merujuk kegiatan berkunjung ke rumah seseorang untuk berkenalan dengan penghuninya
Taaruf dapat menjadi langkah awal untuk mengenalkan dua belah pihak dari salah satu anggota keluarga mereka yang sedang menjalin kasih.
Taaruf dapat pula dilakukan jika kedua belah pihak keluarga setuju dan menunggu keputusan dari suatu pasangan pria dan wanita untuk mengenal satu sama lain lebih jauh.
Referensi
Bacaan lanjutan
Beeman, William O. (1986). Language, Status and Power in Iran. Bloomington, IN: Indiana University Press. ISBN 978-0-253-33139-7.
Pranala luar
The New York Times, Iranian 101: A Lesson for Americans; The Fine Art of Hiding What You Mean to Say, oleh Michael Slackman
The Atlantic, Talk Like an Iranian, oleh Christopher de Bellaigue, 25 August 2012
This American Life: Oh, You Shouldn't Have - Act Three, 31 March 2011