- Source: Tambelo
Tambelo atau kapang, atau nama ilmiahnya Bactronophorus thoracites, dari famili Teredinae, atau dikenal juga oleh dunia internasional sebagai wood-boring shipworm (cacing pengerek kayu), adalah molusca yang hidup di batang bakau yang membusuk. Walaupun dianggap cacing dan menjijikkan oleh orang awam, sebenarnya binatang ini agak jauh dari cacing tanah yang dikenal sehari-hari, lebih tepat digolongkan sebagai moluska bivalvia. Ukuran tubuh tambelo juga lebih besar dan panjang dibandingkan cacing tanah dengan warna putih dan memiliki semacam taring yang disebut palet di mulutnya. Fungsi palet ini adalah menutup lubang tempat tinggalnya saat merasa terancam. Panjang cacing sekira 30 sentimeter
Sebagai makanan, tambelo digemari di bagian timur Indonesia, terutama di Papua dan Sulawesi Tenggara. Cacing ini dinikmati dengan memotong kepalanya, kemudian kotoran di perutnya dicuci dengan air. Setelah itu baru dimakan mentah dengan cara diseruput. Penikmat kuliner yang pernah mencobanya menggambarkan rasa tambelo seperti cumi mentah. Tambelo ini juga digemari oleh orang Dayak di Kalimantan, mereka menyebutnya tembiluk.
Klasifikasi
Tambelo termasuk dalam filum Mollusca, kelas Bivalvia, sub kelas Autobranchia, ordo Myida, keluarga Teredinidae, dan genus Bactronophorus.
Habitat
Hewan ini hidup tersebar di perairan payau Indo Pasifik Barat, bergantung kepada keberadaan pohon mangrove sebagai bahan makanan dan tempat tinggalnya saat sudah membusuk. Perannya sangat penting dalam penguraian mangrove. Di Asia Tenggara, hewan ini diburu untuk rasanya yang lezat dan nutrisinya yang tinggi.
Nutrisi
Tambelo diketahui memiliki kandungan protein yang tinggi, sehingga memberikan manfaat bagi perbaikan jaringan tubuh yang rusak dan mempertahankan jaringan yang masih sehat. Protein juga bisa berlaku sebagai enzim, alat
pengangkut dan alat penyimpanan, pengatur pergerakan, penunjang mekanis, pertahanan tubuh atau imunisasi, media perambatan impuls syaraf, dan pengendalian pertumbuhan. Asupan protein juga mencegah kekurangan gizi (kwarshiorkor) dan defisiensi energi protein (marasmus) pada anak. Rata-rata kandungan protein tambelo kering adalah 42,77 persen. Sementra lemak rata-rata 14,27 persen dan karbohidrat 30,45 persen
Dalam kebudayaan Papua, Tambelo dianggap bisa menyembuhkan sakit pinggang, batuk, rematik flu, malaria, meningkatkan air susu ibu, nafsu makan, dan kejantanan bagi kaum lelaki.
Dengan kandungan protein yang sangat tinggi saat dikeringkan, kini tambelo mulai diolah menjadi salah satu bahan makanan untuk perbaikan gizi. Salah satunya adalah dengan dibuat biskuit atau crackers. Tambelo juga mengandung alkaloid dalam jumlah tinggi sehingga menghambat perkembangan parasit malaria.
Selain itu, dikembangkan pula serbuk kering tambelo sebagai campuran bahan biskuit dengan maksud yang sama, memberikan tambahan protein untuk mengimbangi kadar karbohidrat dan lemak yang dianggap terlalu tinggi di dalam biskuit. Diharapkan dengan penambahan serbuk kering tambelo, nutrisi dari biskuit jadi lengkap dan berimbang.
Budaya
Masyarakat Papua dan Sulawesi Tenggara umumnya mempercayai tambelo berkhasiat jika dimakan mentah, dibanding dimasak terlebh dahulu. Pada masyarakat Kamoro, tambelo dijadikan sebagai makanan utama di berbagai acara pesta adat seperti pesta budaya Karapao Suku Kamoro. Cara memakannya juga bisa dengan direndam dalam jeruk nipis terlebih dahulu untuk mengurangi rasa dan bau hanyir.
= Pemburuan
=Tambelo diburu dengan cara mencari dan mematahkan kayu bakau yang sudah lapuk. Setelah dikumpulkan, kayu-kayu tersebut dikapak sehingga pecah dan memperlihatkan bagian dalamnya yang berlubang-lubang karena digerogoti tambelo. Setelahnya tambelo dipaksa keluar dan dipotong bagian kepalanya dan dicuci bersih sehingga isi perutnya bersih.
= Atraksi turis
=Karena keunikannya, memakan tambelo bersama ulat sagu menjadi semacam pertunjukan yang menghibur bagi turis, terutama turis mancanegara. Ini terutama terjadi bagi turis yang memburu kuliner ekstrim dan mencari petualangan. Hewan ini biasanya di awal dianggap menjijikkan, namun kemudian dihargai atas rasanya yang mirip kerang mentah (oyster) yang manis namun lebih bergelinyir, biasanya ditemani saus tabasco.
= Budaya pop
=Tambelo menjadi bagian dari judul buku "Tambelo: Kembalinya si Burung Camar" karangan Radithe Kurniawan, penulis yang juga pengajar di Papua. Buku ini bercerita mengenai Roni, yang terdampar di tengah suku di pesisir Papua. Ia belajar beradaptasi di tengah lingkungan yang masih sederhana dan alami. Ia juga mempelajari kejujuran yang sudah langka ditemui di kota besar.
Ia kemudian menjadi guru bagi anak-anak Suku Kamoro, sekaligus belajar tentang kekayaan alam Papua dari mereka.
Buku ini bagian dari dwilogi, lanjutan dari buku "Meniti Hari di Ottakwa".
Novel ini sempat menimbulkan kehebohan di Bandung karena dianggap tak pantas masuk ke perpustakaan SD, dengan alasan busana seksi suku di Papua. Buku ini sudah menyebar di 171 SD di Kota Bandung sehingga menyebabka Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung, Oji Mahroji, dipanggil oleh DPRD untuk diminta keterangannya. Rapat dipimpin Teddy Rusmawan yang dihadiri hampir seluruh anggota Komisi D DPRD Kota Bandung. Buku ini juga diketahui juga beredar di Semarang.
Pemkot Bandung kemudian bereaksi dengan menjanjikan menarik buku ini, bersamaan dengan buku-buku yang juga dianggap tak pantas dari perpustakaan SD.
Ancaman pencemaran
Keberadaan tambang di Papua dicurigai telah menyebabkan perairan ikut tercemar. Hasil studi YALI Papua yang menunjukkan adanya unsur logam berat berbahaya di dalam pangan lokal (tambelo) masyarakat Kamoro, yang terdampak limbah tailing. Tambelo yang seharusnya berwarna putih bersih atau bening, kini memperlihatkan bintik hitam, sehingga membuat orang Papua takut mengonsumsinya lagi. Berkurangnya konsumsi dan populasi tambelo ditakutkan akan mengurangi peran perempuan suku Kamoro yang memang sehari-harinya bertugas mencari tambelo untuk mendukung stamina suaminya.
Perusakan kayu
Meskipun secara umum dianggap makanan yang berguna, tambelo dengan kekuatannya menggeret kayu bisa menyebabkan kerusakan yang besar nilainya. Sasarannya antara lain kapal dan dermaga kayu. Diperkirakan tambelo dapat merusak 40 cm kayu dalam waktu dua tahun. Laporan juga menyebutkan bahwa tambelo bisa merusak panel kayu percobaan yang ditanam di kedalaman 1830 m bisa rusak hanya dalam waktu 104 hari. Keganasan tambelo menghasilkan kerusakan senilai Rp 40 miliar lebih dalam setahun, di Indonesia saja. Untuk mengatasi serangan tambelo, di Wakatobi dilakukan pengasapan atau pengecatan untuk membuat kayu dijauhi oleh tambelo. Selain itu pemilihan kayu yang tahan serangan tambelo juga penting dilakukan.