bendungan) buatan kolonial Belanda di Lubuklinggau, Sumatera Selatan.
Silampari berasal dari bahasa Palembang, Silam yang berarti “hilang” dan pari yang berarti “peri”;
Kahyangan berarti “udara atau langit”; dan
Tinggi berarti “
Tinggi”. Penjelasannya bahwa
Tari Silampari Kahyangan Tinggi adalah tarian yang terinspirasi dari cerita rakyat Dayang Torek dan Bujang Penulup. Tarian ini bercerita tentang seorang perempuan yang menjadi peri dan menghilang (silam), sehingga disebut
Silampari (peri atau bidadari yang menghilang). Untuk tarian ini, Kota Lubuklinggau mengambil cerita Dayang Torek; dan Kabupaten Musi Rawas mengambil sumber Cerita Bujang Penulup.
Cerita tarian ini mirip dengan cerita Jaka Tarub, bedanya hanya dalam penyimpanan selendangnya. Jika dalam cerita Jaka Tarub, selendang disimpan di dalam lumbung padi, sedangkan dalam cerita
Tari Silampari Kahyangan Tinggi diletakkan di dalam tanah dapo (dapur). Setelah beberapa kali peri membujuk suaminya, akhirnya suaminya mau memberikan selendangnya kepada peri, sesaat kemudian peri menari terus-menerus di depan suami dan anaknya. Selama menari sang peri mencium anaknya terus menerus hingga badannya naik ke atas, semakin
Tinggi dan akhirnya menghilang. Inilah asal mula tarian ini diberi nama
Tari Silampari Kahyangan Tinggi. Tarian ini awalnya hanya diiringi dengan kendang dan gong kecil, seiring berkembangnya zaman terdapat musik pengiring lainnya.
Tari Silampari Kahyangan Tinggi ditampilkan untuk menyambut tamu agung, disertai dengan penyuguhan tepak, yaitu tempat berbentuk kotak yang berisi lima bahan utama untuk menginang. Tepak melambangkan kehormatan kepada tamu agung ini berisi sirih, kapur, gambir, pinang, dan tembakau. Sekapur sirih ini disuguhkan oleh salah satu dari 7 penari, yaitu pembawa tepak bersama lelaki pendamping yang berada di belakang yang menyuguhkan sirih kepada tamu agung dengan berjalan perlahan dilengkapi dengan seorang penyanyi.
Tari ini dibawakan oleh enam orang perempuan dan satu laki-laki. Lubuklinggau, juga dikenal sebagai
Silampari, dikenal sebagai kota transit. Hal ini tidak menyurutkan generasi muda Lubuklinggau untuk melestarikan budayanya mereka sendiri.
Rujukan