- Source: Teuku Alibasyah Talsya
Letnan Teuku Alibasyah Talsya atau T Alibasjah Talsya / T.A.Talsya( 23 Juni 1925 – 9 April 2018) merupakan seorang tokoh Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia angkatan '45, Jurnalis, Sejarahwan dan juga Sastrawan asal Aceh. Nama ayah beliau Teuku Neh dan Ibunya Cut Ti Safiah dan TA Talsya memiliki 2 orang istri yang bernama Cut Mehranzami dan Cut Ainal Mardhiah
Talsya merupakan seorang penulis yang sezaman dengan Ali Hasjmy, sembilan tahun lebih muda karena lahir pada 23 Juni 1925. Pernah menjadi wartawan Harian Pelita, Staf Redaksi Semangat Merdeka, Redaktur Atjeh Sinbun dan menjadi ketua PWI Aceh. Ia merupakan jurnalis Aceh yang ikut terlibat dalam gerakan pejuang kemerdekaan.Talsya juga pernah bekerja sebagai redaktur majalah Fragmen Politica, majalah Darma Api Pancasila, dan majalan Sinar Darussalam. Kecakapannya dalam bidang menulis sering digunakan untuk melancarkan propaganda gerakan bawah tanah melawan penjajahan Belanda dan Jepang di Aceh.
Profil
Teuku Alibasyah Talsya adalah nama dari seorang sosok yang sangat bersahaja itu, meskipun dalam keadaannya yang begitu lemah, memprihatinkan bagi siapa sahaja yang akan melihatnya. Akan tetapi ia masih juga menjaga baik adat, selaku budaya dalam menerima tamu yang datang untuk bersilaturrahmi dengannya. Yangmana semua dari perilaku tersebut membuat penulis merasa iri kepadanya.
Kerana di masa sekarang ini, sudah sangat-sangat jarang ada manusia yang masih berperilaku demikian dalam hal menyambut tamu. Walaupun mereka-mereka itu masih sehat wal’afiat, tiadalah membahas lagi jika mereka dalam sekarat. Namun tiada demikian dengan pribadi seorang tokoh ini, yangmana di masanya tersebut ia sangat disegani. Ialah yang tersebut, Teuku Alibasyah Talsya. Rumahnya di Pante Riek, Lueng Bata, Banda Aceh.
Seorang penulis, wartawan senior dan termasuk orang yang memiliki pengaruh di masa pemerintahan Ali Hasjmy. Walaupun sezaman, apabila dibandingkan dengan kemasyhuran Ali Hasjmy, nama Talsya seakan menghilang ditelan waktu. Ia tenggelam oleh nama Ali Hasjmy yang melegenda, setelah menjadi Gubernur Aceh dan juga menjadi pengurus organisasi ulama di Aceh. Selain sama-sama sebagai penulis dan wartawan, Talsya dan Ali Hasjmy punya kesamaan lain, yakni, sama-sama memiliki awal nama ‘Ali’ Basyah dan ‘Ali’ Hasjmy.
Talsya dan Hasjmy adalah sahabat dekat. Keduanya saling mengagumi. Kedekatan mereka dilukiskan oleh Talysa “Ketika kami bekerja sebagai wartawan Aceh Shinbun pada zaman Jepang. Setiap hari kami membawa bekal dari rumah. Pak Hasjmy rumahnya jauh, di Montasiek. Jadi selepas Shubuh, Nek Puteh, membuat bekal untuk makan siang pak Hasjmy di kantor. Sedangkan bekal saya, diantar oleh ibu menjelang waktu makan siang. Jadi, bekal-nya pak Hasjmy sudah dingin, sedangkan bekal saya masih panas. Lalu, untuk membuat makanan itu menjadi nikmat. Maka bekal saya, yang masih panas itu, saya aduk dengan bekal pak Hasjmy yang sudah dingin, sehingga menjadi panas. Lalu kami makan dengan riang dengan bercerita tentang hal-hal yang ringan
Peranan Talsya dalam membangun kebudayaan Aceh juga penuh didedikasi. Tulisan-tulisan terbaiknya, yang berkisar tentang adat dan dan kebudayaan Aceh, tersebar hampir di seluruh terbitan resmi LembaGa Kebudayaan dan Adat Aceh (LAKA), Jeumala. Salah satu pekerjaan besarnya, tentu bersama Hasjmy, Talsya ikut menyusun kembali historiografi Aceh dengan Malaysia.
Cerita itu saya dapatkan langsung darinya. “Aceh awalnya dianggap sebagai penjajah Malaysia. Sejarah itu berlangsung dengan sangat lama. Lalu pak Hasjmy dan saya kemudian menuliskan dan membicarakan hal tersebut di Malaysia. Kami mengatakan bahwa Aceh itu merupaka Kakak-nya Malaysia, bukan penjajah dan ha tersebut disambut dengan baik di sana. Bahkan kami pun diterima oleh Raja Malaysia dan mendapat liputan besar-besaran dari pers Malaysia”.
Talsya Juga merupakan mantan penyiar Radio Rimba Raya, dia akan berapi-api saat diajak bicara soal Radio Rimba Raya. Daya ingatnya mulai menurun. Namun, dia menyimpan dengan rapi dokumen dan kliping koran berkaitan dengan Radio Rimba Raya.
Talsya adalah satu-satunya saksi sejarah Radio Rimba Raya yang masih hidup. Sebagai anggota Tentara Republik Indonesia (TRI), pada masa perjuangan kemerdekaan, dia bertugas di bagian penerangan, salah satunya mengurus Radio Rimba Raya. Jabatan dia kala itu sebagai redaktur pemberitaan.
Karier
Karier intelektual Talsya memang tidak pernah lepas dari sosok Ali Hasjmy. Minat yang sama tentang tema sastra, kebudayaan dan sejarah, membuat keduanya selalu saja bersama. Salah satunya adalah dalam membina organisasi yang penting; Lembaga Sejarah Aceh (LSA) dan Lembaga Kebudayaan dan Adat Aceh (LAKA).
Lembaga Sejarah Aceh merupakan organisasi independen yang didirikan di awal 1970-an. Lembaga yang diketuai oleh Hasjmy dan Talsya selaku sekretaris memang tidak sefenomenal LAKA, yang kemudian hari menjadi Majelis Adat Aceh (MAA).
Namun kegiatan yang hendak didorong oleh lembaga itu tidak dapat dipandang remeh. Salah satu pekerjaan fenomenal LSA adalah dengan menerbitkan monograf Perjuangan Kemerdekaan di Aceh 1945-1949, karya T.A Talsya (1990). Masing-masing dipecah menjadi tiga sub-judul; Batu Karang Ditengah Lautan, Modal Perjuangan Kemerdekaan, Sekali Republikein tetap Republikein. Karya itu-lah yang salah menjadi alasan Dinas Budaya dan Pariwisata mengganjar Talsya dengan Herritage Award dalam katagori sebagai Arsiparis sejarah.
Karier tertingginya di bidang jurnalistik adalah ketika menjadi Pemimpin Redaksi beberapa surat kabar dan majalah, seperti Sinar Pagi (1947), Warta Mingguan (1949), Pembimbing (1951), Majalah Kesuma (1952), dan surat kabar Harian Duta (1974). Selain itu Talsya juga giat menulis di beberapa surat kabar dan majalah nasional, diantaranya Siasat, Mimbar Indonesia, Star Weekly, Merdeka, Antara dan Gema.
Karya
Sepanjang hidupnya Talsya juga aktif menulis cerpen dan buku yang diterbitkan dalam beberapa sajak diantaranya:
Lambaian Kekasih (sajak),
Musim Badai (sajak),
Direbut Senja (antologi sajak bersama Ali Hasjmy dan A Gani Mutiara),
Asmara dalam Pelukan Pelangi (novel bersama Ali Hasjmy dan A Gani Mutiara),
Laporan dan Kesan, Menyusuri Pantai Selatan.
Talsya juga menulis beberapa buku dengan tema kebudayaan Aceh seperti:
Tata Upacara Kehidupan Rakyat Aceh,
Kebudayaan Aceh,
Adat Reusam Aceh,
Aceh Yang Kaya Budaya.
Pedoman Umum Adat Aceh.
Selain itu Talsya juga menulis beberapa buku sejarah diantaranya:
Sejarah dan Dokumen Pemberontakan Aceh,
Kami perkenalkan Daerah Istimewa Aceh
Perjuangan Kemerdekaan di Aceh
Sejarah Daerah Istimewa Aceh,
Peranan Aceh dalam Perjuangan Kemerdekaan
Aceh dan Pahang yang ditulis bersama Ali Hasjmy.
Banda Aceh Pada Masa Kemerdekaan
Cut Nyak Meutia Serikandi yang Gugur di Medan Perang Aceh (terbitan 1982),
Batu Karang di Tengah Lautan: Perjuangan Kemerdekaan di Aceh 1945- 1946 Buku I (1990),
Modal Perjuangan Kemerdekaan: Perjuangan Kemerdekaan di Aceh 1947- 1948: Buku II (1990),
Sekali Republikein Tetap Republikein: Perjuangan kemerdekaan di Aceh 1949 juga terbit tahun 1990.
Menurut keterangan Alkaf, almarhum juga sedang mengerjakan buku sejarah setebal 400 halaman sebelum kabar duka ini datang. TA Talsya juga mengoleksi sekitar 3.000 judul buku yang sebagian besar bertuliskan tentang Aceh.
Riwayat Jabatan
Tentara Republik Indonesia Divisi Aceh
Penyiar Radio Rimba Raya
Pimpinan Redaksi Atjeh Sinbun
Pimpinan Redaksi Sinar Pagi (1947)
Pimpinan Redaksi Warta Mingguan (1949)
Pimpinan Redaksi Pembimbing (1951)
Majalah Kesuma Bangsa (1952)
Kepala Penerangan Daerah Istimewa Aceh
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Aceh
Penghargaan
Heritage Awards Banda Aceh, kategori arsiparis sejarah
Referensi
Pranala luar
(Indonesia) World Cat Identities. Talsya, Alisbasyah T
(Indonesia) Profil T A Talsya di Database PWI
(Inggris) Library of the Congress
(Inggris) Virtual International Authority File