- Source: Toraja Koro
Toraja Koro (ejaan Van Ophuijsen: Toradja Koro) adalah pembagian wilayah Toraja Barat oleh Walter Kaudern di zaman Hindia Belanda menjadi dua wilayah, sehingga di tahun 1938 wilayah Lore (Lanschap Lore) dipisahkan dari wilayah Poso-Tojo yang menurut peneliti Hindia Belanda wilayah Lore di huni oleh penduduk To Lore di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Lore seperti halnya Lage adalah nama wilayah dari Suku Bare'e yang sudah dari awalnya bernama Lore (wilayah Lore) yang dihuni oleh Suku Bare'e. Adalah Walter Alexander Kaudern atau Walter Kaudern (24 Maret 1881 – 16 Juli 1942), yaitu seorang etnografer Swedia. Kaudern mendapatkan gelar Ph.D pada tahun 1910 dan menjadi kurator dari Museum Gothenburg koleksi etnografi.
Pada penulisannya mengenai Toraja Koro (Lore) yang terdiri dari wilayah To Napu (Sigi), Bada, dan Besoa. Desa-desa tua yang terdiri dari Desa Doda, Desa Bariri, Desa Hanggira, Desa Podonia, Desa Rano, dan Desa Bangkeloeho di wilayah Toraja Koro (Lore) yang dulunya merupakan desa tua peninggalan Suku Bare'e di wilayah To Lage (Poso) yang disebut Belanda dengan nama Bare'e-(Toraja) di wilayah Grup Poso-Tojo, penduduk Grup Poso-Tojo tentu saja berbudaya Suku Bare'e karena memang aslinya adalah Suku Bare'e dari wilayah To Lage dan Suku Bare'e To Lage ini sudah pasti setia kepada Kerajaan Tojo yang pada tahun 1770 Suku Bare'e To Lage termasuk wilayah Toraja Koro (Lore) ikut mendirikan Kerajaan Tojo.
Temuan Albertus Christiaan Kruyt bahwa adanya Suku Bare'e (Bare'e-Stammen) yang mengakui dirinya adalah orang Toraja (Toradja) bukan orang Bare'e, dan setelah dilakukan penelitian melalui penyebaran batu menhir Watu Mpogaa ternyata asalnya berasal dari Legenda desa Pamona yang semua penduduk Toraja yang didapatkan Belanda dari wilayah Poso-Tojo tersebut berasal dari Wotu, Luwu Timur.
Dan untuk Grup Poso-Tojo terkenal sebuah Legenda Pamona yang wajib diimani oleh semua Kekristenan di Poso secara turun temurun, Legenda Pamona yang menceritakan sejarah batu menhir Watu Mpogaa yang kini telah menjadi satu-satunya batu menhir milik umat Kristen di Poso, Watu Mpogaa yang mana di tahun 1912 tiga batunya tetap ada. Setiap batu kemungkinan berasal dari salah satu dari enam suku utama dari wilayah Bare'e-(Toraja) dan juga khusus To Bada (lore) yang sudah pasti berbudaya Bare'e, sedangkan To Napu yang berbudaya Sigi-(Suku Toraja|Toraja), dan penyebaran penduduk dari Bekas Desa Pamona ini berimigrasi ke wilayah Wotu, dan kemudian menamakan suku mereka dengan nama suatu suku yang amat sangat jauh berbeda budaya dan bahasa nya dengan suku bare'e.
Sejarah
Albertus Christiaan Kruyt atau A. C. Kruyt adalah orang pertama yang merintis pekabaran Injil di Sulawesi Tengah, terutama di Poso.
Kruyt memperkenalkan istilah Toraja untuk menyebut para penduduk yang mendiami wilayah pedalaman di tengah Pulau Sulawesi. Kata ini digunakan untuk menggantikan istilah Alifuru yang diperkenalkan oleh Johann Gerard Friedrich Riedel—karena dinilai merendahkan. Kruyt kemudian mengkategorikan Toraja menjadi 3 kelompok, yaitu Grup Sadang yang umumnya menetap di lembah Sadang, Grup Parigi-Kaili yang menghuni Lembah Palu dan pesisir Teluk Tomini, serta Grup Poso-Tojo yang sebagian besar berdiam di wilayah sekitar sungai dan Danau Poso, dan juga di wilayah Tojo.
Untuk Grup Poso-Tojo terkenal sebuah Legenda Pamona yang wajib diimani oleh semua Kekristenan di Poso secara turun temurun, Legenda Pamona yang menceritakan sejarah batu menhir Watu Mpogaa yang kini telah menjadi satu-satunya batu menhir milik umat Kristen di Poso, Legenda Pamona yaitu para tua-tua masyarakat desa Pamona (Dorp Pamona) berkumpul dan memutuskan untuk saling meninggalkan, karena mereka sudah tidak mempunyai kepala desa i dori lagi karena ditangkap Kerajaan Luwu. Di bawah pimpinan enam saudara laki-laki dan satu saudara perempuan, Toraja tersebut menyebar ke seluruh daerah aliran sungai Posso, setelah sebelumnya menanam tujuh buah batu Watu Mpogaa (ejaan Van Ophuijsen: Watoe Mpoga'a; artinya “batu pemisah”) yang mana di tahun 1912 tiga batunya tetap ada. Setiap batu kemungkinan berasal dari salah satu dari enam suku utama dari wilayah (yang berbudaya) Bare'e-(Toraja), sedangkan To Napu yang berbudaya Sigi-(Toraja), dan penyebaran penduduk dari Bekas Desa Pamona yang bahasa asli sukunya lebih dekat ke Bahasa Taa ini berimigrasi ke wilayah Wotu, dan kemudian menetap disana. Sesampainya mereka di Wotu, penduduk dari bekas Desa pamona ini barulah menamakan suku mereka dengan nama suatu suku yang amat sangat jauh berbeda budaya dan bahasa nya dengan suku bare'e.
Labelisasi Kruyt bukannya tidak ditentang oleh para akademisi lainnya. Walter Kaudern, seorang etnolog Swedia, mengkritik penerapan istilah Toraja menjadi tiga wilayah oleh Kruyt. adalah Walter Kaudern seorang etnolog Swedia yang mengkritik penerapan label Toraja menjadi tiga wilayah oleh Kruyt. Karena sudah dibagi oleh Kruyt, Kaudern kemudian membagi lagi tiga kategori Toraja versi Kruyt menjadi empat kategori. Kaudern tetap mempertahankan kelompok Toraja Poso-Tojo (Timur) dan Toraja Sadang (Selatan) dan kemudian membagi Toraja Parigi-Kaili (Barat) menjadi kategori Toraja Palu dan Toraja Koro. Sementara di selatan orang Bugis To Luwu menolak penerapan istilah Toraja bagi penduduk Sulawesi yang beragama Kristen.
= Zaman Hindia Belanda
=Dan ketika pertama kali bertemu penguasa Tana Poso yaitu Kerajaan Tojo, pemerintah koloni Hindia Belanda selalu beralasan yang punya Tana Poso adalah "Pangeran Bone", tetapi Kerajaan Tojo menanggapi pihak Belanda dengan sangat tenang karena Kerajaan Tojo memiliki Tombak Arajang pemberian dari Kerajaan Bone dari Sulawesi Selatan sewaktu mendirikan Kerajaan Tojo tahun 1770 oleh Raja Tojo Pilewiti yang merupakan sepupu Raja Bone.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah "pengkaburan sejarah tana poso", mengenai siapakah pemilik tana poso, Karena tidak mungkin satu wilayah memiliki dua suku dan tidak mungkin juga satu wilayah dimiliki dua kerajaan yang berbeda yaitu Suku Bare'e di pihak Kerajaan Tojo dan Toraja (pamona) kristen di pihak Kerajaan Luwu, dan Kerajaan Luwu tidak memiliki bukti kepemilikan Tana Poso seperti Arajang Kerajaan Tojo.
Perbatasan Poso-Lore
Diwilayah perbatasan Poso-Lore, ternyata To Bancea lebih memilih ikut Suku Bare'e di Grup Poso-Tojo daripada Suku Lore di Landschap Lore. Karena To Bancea tampaknya adalah keturunan To Puumboto yang telah bermigrasi ke arah barat laut di sepanjang tepi barat Danau Poso. Mereka telah bergerak agak jauh ke utara, setelah menduduki dataran di bawah Saloe Kaia, namun di sini mereka bertemu dengan To Bada dari Landschap Lore dan akhirnya To Bancea harus mundur ke pantai lebih jauh ke selatan.
Demikianlah kita melihat bahwa Suku Bare'e yang mulai ber imigrasi, sejauh yang diketahui saat ini, di Watangkoeme di Lembah Kalaena, berlanjut ke bagian atas lembah ini, kemudian melintasi Takolekadjoe menuju ke Dataran Kodina di sebelah selatan Danau Poso.
Toraja Koro adalah Bare'e-Stammen
Di tahun 1938, Penjajah Belanda memakai Taktik Politik pecah belah wilayah Suku Bare'e, adalah Dr.S.J. Esser (Dr. Esser) peneliti Belanda yang menjadi pelaku utamanya yaitu wilayah Kerajaan Tojo di wilayah Toraja Koro di pisah menjadi wilayah Lore (Lanschap Lore) yang menurut Dr. Esser peneliti Belanda wilayah Lore (Lanschap Lore) di huni oleh penduduk To Lore di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, tetapi bukti-bukti bahwa aslinya penduduk To Lore sebelum tahun 1938 dan sampai sekarang penduduk asli wilayah Lore adalah Suku Bare'e wilayah To Lage begitu sangat terlihat, beberapa diantaranya yaitu Penduduk Landschap Lore Memakai Baju adat yang mirip Baju Wurake (penyihir) Suku Bare'e, penduduk To Lore memiliki bentuk Rumah Adat Lobo yang sama, dan yang paling penting adalah jumlah penduduk di wilayah Poso-Tojo yang memiliki Adat istiadat dan Budaya Suku Bare'e jumlah penduduknya lebih banyak jika dibandingkan dengan penduduk di wilayah Landschap Lore yang jumlah penduduknya lebih sedikit.
= Penduduk Lore Memakai Baju Wurake
=Pada acara adat Suku Bare'e Momparilangka, semua wanita dari Suku Bare'e harus mengikuti Adat istiadat Momparilangka dengan menggunakan Baju Adat Dukun wanita (Wurake, Vurake) minimal lebih dari sekali dalam seumur hidupnya, dan kemudian Baju Adat Dukun wanita (Wurake) dari Suku Bare'e ini pada tahun 1938 dipakai sebagai baju adat suku-suku di wilayah Lore hasil taktik Politik pecah belah wilayah Suku Bare'e oleh Hindia Belanda yaitu : To Bada, To Besoa, dan To Tawaelia (sedoa), sedangkan To Napu memang milik Kerajaan Sigi.
= Bentuk Rumah Adat Lobo yang sama
=Rumah adat Lobo di wilayah Toraja Barat dan Toraja Timur seperti To Besoa, To Bada, To Kulawi, pada dasarnya sama bentuknya dengan Rumah adat Lobo Suku Bare'e. Suku Bare'e biasanya hanya memiliki satu tangga, sedangkan atap kedua (rerenga) biasanya tidak ada. Yang juga hilang di Lobo ini adalah rak tempat menggantung pecahan tengkorak musuh yang kalah; sebaliknya, pada tanduk kerbau yang menghiasi tiang-tiang itu, digantungkan cincin rotan yang tak terhitung jumlahnya, yang menunjukkan berapa kali seseorang berencana membunuh musuh. Suku Toraja Gunung yaitu To Bada, dan To Besoa juga menyimpan di Lobo alat-alat pencegahan (pecahan tengkorak musuh yang telah di Molamoa) yang mereka gantungkan di tubuh mereka selama perang dan yang mereka ambil dari musuh-musuh mereka yang kalah. Selain Rumah Adat Lobo, Suku Bare'e juga mempunyai rumah tradisonal yang dinamakan Tambi.
= Jumlah Penduduk
=Jumlah penduduk Suku Bare'e di wilayah Poso-Tojo yang memiliki Adat istiadat dan Budaya Bare'e memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak jika dibandingkan dengan penduduk di wilayah Toraja Koro atau Landschap Lore, hal tersebut membuktikan bahwa asal usul Suku Bare'e yang memiliki Adat istiadat dan Budaya Bare'e berasal dari wilayah Poso-Tojo, bukan dari wilayah Toraja Koro atau Landschap Lore.
Legenda dan Tradisi Bare'e
Di Poso tahun 1907, pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan taktik Politik pecah belah wilayah Suku Bare'e yang sebelumnya hanya 4 wilayah yaitu : ToRato Bongka, ToLalaeyo, ToTora'u, dan ToLage, dipecah menjadi beberapa daerah baru seperti To Puumboto, To Onda'e, To Pebato, To Bancea, dll, dan setiap wilayah baru diangkat seorang pemimpin Landschap (wilayah bentukkan Hindia Belanda) yang berpangkat dalam Bahasa Bare'e: Mokole Bangke, dan dalam hal taktik Politik pecah belah, pemerintah Hindia Belanda bekerjasama dengan Misionaris Kristen dari Belanda.
Taktik Politik pecah belah oleh pemerintah Hindia Belanda tersebut yaitu dengan melakukan beberapa tradisi dari umat Kristen di Tana Poso untuk menyebarkan adat istiadat dan budaya Suku Bare'e yang mempengaruhi suku-suku di luar Suku Bare'e yaitu tradisi mengatakan bahwa "orang Sausu dan Parigi berasal dari daerah aliran sungai Poso setelah terjadi peristiwa Watu Mpogaa. Konon mereka membawa tanaman sinagoeri dari Danau Poso. Ceritanya, semak ini menjadi pohon. Pohon dari Danau Poso ini sekarang digunakan di Parigi sebagai tiang utama rumah kepala lanskap. Namun patut diduga bahwa Orang Parigi aslinya berasal dari Teluk Palu, begitu pula dengan masyarakat Ampibabo yang tinggal di sebelah utara mereka, yang bahkan lebih murni memiliki ciri-ciri kelompok Parigi-Kaili".
Begitu halnya dengan wilayah To Kulawi dengan mengatakan bahwa "To Kulawi memiliki Tadulako yang berasal dari Roh Anitu (roh perang) seperti halnya Suku Bare'e di Grup Poso-Tojo", padahal yang sebenarnya hanya Suku Bare'e lah yang percaya dan memiliki Roh Anitu, dan Roh Anitu berasal dari Bahasa Bare'e, sementara To Kulawi yang memiliki adat istiadat dan budaya Suku Bare'e adalah To Kulawi bentukkan pemerintah Hindia Belanda yang seperti halnya orang-orang parigi yang dibawa pemerintah Hindia Belanda dari pulau Jawa dan beragama Kristen. Jadi seperti halnya tradisi "Tanaman sinagoeri dari danau poso" yang mempengaruhi orang Parigi supaya percaya bahwa orang parigi berasal dari Danau Poso (Suku Bare'e) bukan dari Teluk Palu yaitu tempatnya Suku Kaili berasal, seperti itulah Misionaris Kristen Belanda mempengaruhi dan mengajak suku-suku di Sulawesi Tengah untuk mengenal agama Kristen, dan konon tradisi dan budaya dari Suku Bare'e ini jangkauan wilayahnya sampai ke wilayah Suku Mongondow di Sulawesi Utara terutama dalam hal Tari Moraego, Tari Mokayori, Baju Kulit Kayu (Inodo, Fuya), dll, hal tersebut bisa dibuktikan dengan peninggalan dokumen-dokumen di zaman Hindia Belanda.
Tradisi dari umat Kristen di Tana Poso mengenai sausu dan parigi dipraktekkan oleh pemerintah Hindia Belanda yaitu mula-mula dengan membawa orang-orang dari pulau Jawa yang telah beragama Kristen ke wilayah Poso-Tojo di Sulawesi, setelah itu memaksakan suatu cerita Legenda atau tradisi dari Suku Bare'e kepada suku selain Suku Bare'e, dan tahap akhir dari Misionaris Belanda di Sulawesi Tengah yaitu membawa orang-orang yang telah beragama Kristen yang telah terpengaruh tadi dari daerah asalnya ke wilayah Wotu, Luwu Timur, dengan mengikuti Legenda Desa Pamona Watu Mpogaa.
Lihat Pula
Tadulako
Grup Poso-Tojo
To Tora'u
Batas Paling Barat dari Kerajaan Tojo : Sausu
Batas Paling Timur dari Kerajaan Tojo : Pati-Pati
Referensi
Kata Kunci Pencarian:
- Toraja Koro
- Daftar marga Toraja
- To Bancea
- Grup Poso-Tojo
- To Behoa
- To Tora'u
- Pantai Tanjung Kolomboy
- Buyumboyo
- To Napu
- Orang Tojo
- List of I Can See Your Voice (Philippine game show) season 1 episodes
- Tandia language
- Sawai language
- Gebe language
- Marau language
- Wabo language
- Tobati language
- Kaptiau language
- Roon language
- Buli language (Indonesia)