Tuhan personal,
Tuhan pribadi, atau dewa-dewi
personal adalah
Tuhan yang dapat dikaitkan sebagai sebuah pribadi yang mempunyai sifat-sifat—dan bahkan wujud—seperti manusia, alih-alih sebagai kekuatan impersonal, seperti "Yang Mutlak" atau "Hukum Alam". Dalam konteks Kekristenan dan agama Abrahamik lainnya, istilah "
Tuhan personal" juga merujuk pada inkarnasi dari
Tuhan sebagai pribadi manusia. Dalam konteks agama Hindu, istilah "dewa-dewi
personal" juga merujuk pada Istadewata, yaitu dewa-dewi yang difavoritkan sebagai preferensi pribadi seorang pemuja.
Dalam kitab suci agama-agama Abrahamik,
Tuhan digambarkan sebagai pencipta pribadi, berbicara dari sudut pandang orang pertama dan menunjukkan emosi seperti kemarahan dan kebanggaan, dan kadang-kadang muncul dalam bentuk antropomorfik. Misalnya dalam Taurat,
Tuhan berbicara dengan dan memberi petunjuk kepada para nabi-Nya dan memiliki kehendak, emosi (seperti kemarahan, kesedihan dan kebahagiaan), niat, dan atribut lain yang menjadi karakteristik pribadi manusia. Hubungan pribadi dengan
Tuhan dapat digambarkan dengan cara yang sama seperti hubungan manusia, seperti "Bapa" dalam Kekristenan, atau seperti "Sahabat" dalam Sufisme.
Sebuah survei pada tahun 2019 oleh Pew Research Center melaporkan bahwa 70% orang dewasa Amerika Serikat memandang bahwa "
Tuhan adalah
personal yang dengannya manusia dapat menjalin hubungan", sementara 15% percaya bahwa "
Tuhan adalah kekuatan impersonal." Selain itu, survei tahun 2019 oleh National Opinion Research Center melaporkan bahwa 77,5% orang dewasa Amerika Serikat percaya pada
Tuhan personal. Survei "Lanskap Agama 2014" yang dilakukan oleh Pew Research Center melaporkan bahwa 77% orang dewasa Amerika Serikat percaya pada
Tuhan personal.
Dalam agama Abrahamik
= Yahudi
=
Teologi Yahudi menyatakan bahwa
Tuhan bukanlah suatu pribadi manusia. Pandangan ini juga ditentukan beberapa kali dalam Perjanjian Lama, yang dianggap oleh orang Yahudi sebagai otoritas yang tak terbantahkan untuk iman mereka (Hosea 11 9: "Akulah
Tuhan, dan bukan manusia". Bilangan 23 19: "
Tuhan bukan manusia.", bahwa Ia harus berdusta". 1 Samuel 15 29: "yang mulia israel tidak berdusta dan tidak menyesal sebab ia bukanlah manusia"). Namun, sering ada referensi tentang karakteristik antropomorfik
Tuhan dalam Alkitab Ibrani seperti "Tangan
Tuhan." Agama Yahudi berpendapat bahwa hal ini harus dianggap hanya sebagai kiasan. Tujuan mereka adalah untuk membuat
Tuhan lebih dapat dipahami oleh pembaca manusia. Oleh karena
Tuhan berada di luar pemahaman manusia, ada berbagai cara untuk menggambarkan-Nya. Dia dikatakan sebagai
personal (dalam arti kemampuan orang untuk berdoa kepada
Tuhan) dan impersonal (dalam arti ketidakmampuan orang untuk mencapai
Tuhan): Dia memiliki hubungan dengan ciptaannya tetapi melampaui semua hubungan.
= Kristen
=
Dalam kasus kepercayaan Kristen pada Trinitas, apakah Roh Kudus itu impersonal atau pribadi, adalah subyek perdebatan, para ahli pneumatologi masih memperdebatkan masalah tersebut. Yesus (atau Allah Anak) dan Allah Bapa diyakini sebagai dua pribadi atau aspek dari
Tuhan yang sama. Yesus adalah ousia atau substansi yang sama dengan Allah Bapa, dimanifestasikan dalam tiga hipostasis atau pribadi (Bapa, Anak, dan Roh Kudus). Orang Kristen nontrinitarian membantah bahwa Yesus adalah "hipostasis" atau pribadi Allah.
= Islam
=
Inkarnasi
Tuhan
Islam menolak doktrin Inkarnasi dan gagasan tentang
Tuhan pribadi antropomorfik, karena dianggap merendahkan transendensi
Tuhan. Al-Qur'an menetapkan kriteria transendental mendasar dalam ayat berikut: "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia" [Qur'an 42:11]. Oleh karena itu, Islam dengan tegas menolak semua bentuk antropomorfisme dan antropopatisme dari konsep
Tuhan, dan dengan demikian dengan tegas menolak konsep Kristen tentang Trinitas atau pembagian pribadi dalam Ketuhanan.
Wujud dan keberadaan
Para salafush sholeh atau tiga generasi Muslim awal dan terbaik, meyakini bahwa Allah memiliki wajah, mata, tangan, jari, dan kaki, hanya saja hal-hal tersebut sangatlah berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan: “Wajah (Allah) merupakan sifat yang terbukti keberadaannya berdasarkan dalil al-kitab, as-sunnah dan kesepakatan ulama salaf.” Ia menyebutkan ayat ke-27 dalam surah Ar-Rahman. Ia menjelaskan di dalam kitabnya yang lain: “Nash-nash yang menetapkan wajah dari al-kitab dan as-sunnah tidak terhitung banyaknya, semuanya menolak ta’wil kaum Mu'tazilah yang menafsirkan wajah dengan arah, pahala atau dzat.
Kemudian, mereka meyakini pula Allah berada di atas 'Arsy, letak 'Arsy ada di atas air, dan tidak ada satu pun dari makhluk yang serupa dengan-Nya. Dijelaskan dalam sebuah hadits, telah dijelaskan bahwa Allah diliputi oleh cahaya yang sangat terang.
Keagungan dan kebesaran sifat-sifat-Nya jelas terlampau agung untuk bisa ditembus oleh akal pikiran manusia yang paling hebat sekalipun. Oleh karena itu, ada riwayat hadits yang melarang untuk memikirkan Allah, mengingat semua akal dan pikiran pasti tidak akan mampu menjangkaunya. Berpikir yang diperintahkan di sini, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Qayyim, adalah yang bisa menimbulkan dua pengetahuan dalam hati dan berkembang daripadanya pengetahuan ketiga. Hal itu menjadi jelas dengan contoh sebagai berikut. Apabila hati seorang muslim dapat merasakan akan kebesaran makhluk seperti langit, bumi, tahta kursi, ‘Arsy dan sebagainya, kemudian timbul dalam hatinya rasa ketidakmampuan memikirkan dan menjangkau semua itu, maka akan muncul pengetahuan ketiga yakni kebesaran dan keagungan
Tuhan yang menciptakan jenis makhluk-makhluk tersebut yang tidak mungkin dapat diliput serta dicerna oleh akal pikiran.
Dekat dengan manusia
Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga
Tuhan yang
personal dalam arti dekat dengan manusia: Menurut Al-Quran, Dia lebih dekat pada manusia daripada urat nadi manusia. Dia menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Di atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang diridhai-Nya.”
= Baháʼí
=
Dalam Iman Baháʼí,
Tuhan digambarkan sebagai "
Tuhan yang berpribadi, tidak dapat diketahui, tidak dapat diakses, sumber dari semua Wahyu, abadi, Maha Tahu, Maha Hadir dan Maha Kuasa". Meskipun transenden dan tidak dapat diakses secara langsung, citranya tercermin dalam ciptaannya. Tujuan penciptaan adalah agar ciptaan memiliki kemampuan untuk mengenal dan mencintai penciptanya.
Tuhan mengkomunikasikan kehendak dan tujuan-Nya kepada umat manusia melalui perantara, yang dikenal sebagai Manifestasi
Tuhan, yang merupakan para nabi dan rasul yang telah mendirikan agama-agama dari zaman prasejarah hingga saat ini.
Dalam agama darmik
= Buddhisme Theravāda
=
Dalam Titthāyatana Sutta, Aṅguttara Nikāya 3.61, Sang Buddha menolak
Tuhan personal sebagai pencipta dan pengatur alam semesta (Pāli: issara; Sanskerta: īśvara). Buddhisme menyatakan bahwa alam semesta diatur oleh Niyāma, yaitu suatu hukum alam impersonal yang berjalan tanpa pribadi pengatur tertinggi. Kepercayaan terhadap
Tuhan personal dianggap sebagai suatu pandangan salah yang harus dihindari. Orang yang menganut pandangan tersebut disebut sebagai seseorang yang tidak memahami sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan sehingga berpikiran kacau, tidak menjaga diri mereka sendiri, dan tidak pantas disebut sebagai petapa.
= Buddhisme Mahāyāna
=
Salah satu subaliran Mahāyāna mengembangkan konsep Adi Buddha. Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1988), Adi Buddha dan tradisi yang menggunakan istilah ini dijelaskan sebagai berikut:“Adi‐Buddha adalah salah satu sebutan untuk
Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Buddha. Sebutan ini berasal dari tradisi Aisvarika dalam aliran Mahayana di Nepal, yang menyebar lewat Benggala, hingga dikenal pula di Jawa. Sedangkan Aisvarika adalah sebutan bagi para penganut paham Ketuhanan dalam agama Buddha. Kata ini berasal dari ‘Isvara’ yang berarti ‘
Tuhan’, ‘Maha Buddha’, atau ’Yang Maha Kuasa’; dan ‘ika’ yang berarti ‘penganut’ atau ‘pengikut’.”
“Istilah ini hidup di kalangan agama Buddha aliran Svabhavavak yang ada di Nepal. Aliran ini merupakan salah satu percabangan dari aliran Tantrayana yang tergolong Mahayana. Sebutan bagi
Tuhan Yang Maha Esa dalam aliran ini adalah Adi‐Buddha. Paham ini kemudian juga menyebar ke Jawa, sehingga pengertian Adi‐Buddha dikenal pula dalam agama Buddha yang berkembang di Jawa pada zaman Sriwijaya dan Majapahit. Para ahli sekarang mengenal pengertian ini melalui karya tulis B.H. Hodgson. Ia adalah seorang peneliti yang banyak mengkaji hal keagamaan di Nepal.”
“Menurut paham ini, seseorang dapat menyatu (moksa) dengan Adi‐Buddha atau Isvara melalui upaya yang dilakukannya dengan jalan bertapa (tapa) dan bersemadi (dhyana).”
= Hinduisme
=
Dalam teks-teks Hindu era abad pertengahan, tergantung pada alirannya, Iswara berarti
Tuhan, Makhluk Tertinggi,
Tuhan pribadi, atau Purusa Istimewa. Dalam aliran Saiwa, Iswara adalah julukan dari Siwa. Dalam aliran Waisnawa, Iswara sinonim dengan Wisnu, seperti julukannya sebagai Wenkateswara. Dalam gerakan Bhakti tradisional, Iswara merujuk kepada satu atau lebih dewa favorit sesuai pilihan seseorang (Istadewata) dari kanon dewa-dewi politeistik Hindu. Dalam gerakan sektarian zaman modern seperti Arya Samaj dan Brahmoism, Iswara diwujudkan sebagai
Tuhan yang monoteistik. Dalam aliran Yoga, Iswara adalah "dewa pribadi" atau "inspirasi spiritual" apa pun. Dalam aliran Adwaita Vedanta, Iswara adalah bentuk manifestasi dari Brahman.
Waisnawa dan Saiwa, aliran-alliran dari agama Hindu, meyakini sifat pribadi
Tuhan yang hakiki. Teks suci Wisnu Sahasranama menyatakan pribadi Wisnu sebagai Paramatma (Atma tertinggi) dan Parameswara (Iswara atau "
Tuhan" tertinggi) sementara Rudram menggambarkan hal yang sama tentang Siwa. Dalam teologi yang berpusat pada Kresna (Kresna dipandang sebagai perwujudan Wisnu oleh sebagian besar orang, kecuali gerakan aliran Gaudiya Waisnawa), gelar Swayam Bhagawan digunakan secara eksklusif untuk merujuk kepada Kresna dalam fitur pribadinya, istilah tersebut digunakan oleh aliran Gaudiya Waisnawa, Nimbarka Sampradaya, dan pengikut Wallabha, sementara pribadi Wisnu dan Narayana kadang-kadang disebut sebagai dewa pribadi tertinggi dalam aliran Waisnawa lainnya.
Catatan
Referensi
Norcliffe, David (1999). Islam: Faith and Practice. Sussex Academic Press.
Jain, Vijay K (2014-03-26), Acarya Pujyapada's Istopadesa – the Golden Discourse, ISBN 9788190363969
Sangave, Vilas Adinath (2001), Aspects of Jaina religion (edisi ke-3), Bharatiya Jnanpith, ISBN 81-263-0626-2
Rankin, Aidan (2013), "Chapter 1. Jains Jainism and Jainness", Living Jainism: An Ethical Science, John Hunt Publishing, ISBN 978-1780999111
Jain, Vijay K. (2013). Ācārya Nemichandra's Dravyasaṃgraha. ISBN 9788190363952. Non-copyright
Pranala luar
The Holy Spirit - A Person or Power?
Who is the Holy Spirit? Diarsipkan 2011-07-27 di Wayback Machine.