Hasil Pencarian:
- Tari Tumbu Tanah
- Teori tumbukan
- Tumbukan
- Frans Tumbuan
- Prasasti Tumbu
- Tumbu Bara, Bajo Barat, Luwu
- Tumbu-tumbu Jaya, Kolono Timur, Konawe Selatan
- Tumbu, Topoyo, Mamuju Tengah
- Taman Ujung
- Tumbu-Tumbu Jaya, Wawonii Tengah, Konawe Kepulauan
- Kawah Chicxulub
- Rahardi Ramelan
- Daerah Istimewa Yogyakarta
- Kolono Timur, Konawe Selatan
- Energi mekanis
- Tumbu, Karangasem, Karangasem
- Soto ayam
- Gunung Tua Tumbu Jati, Batang Onang, Padang Lawas Utara
- Suku Arfak
- Tumbuan
Artikel: Tari Tumbu Tanah
Sejarah
Masyarakat Arfak (Mnu Kwar) yang tinggal di daerah Manokwari terdiri atas empat sub-suku, yaitu suku Hattam, suku Sough, suku Moile, dan suku Meyakh. Mereka memiliki kesenian Tari yang sama, yang dinamakan dengan Tari Tumbu Tanah. Keempat suku tersebut menyebut tarian ini dengan nama Tari Tumbu Tanah karena mereka menyebutnya dengan bahasa yang berbeda-beda. Masyarakat suku Hattam menyebutnya dengan nama Ibihim, sedangkan suku Moile menyebutnya dengan nama Isim. Adapun suku Meyakh menyebut Tari Tumbu Tanah dengan nama Mugka dan suku Sough menyebutnya dengan nama Manyohora. Penyebutan nama Tari Tumbu Tanah berawal ketika agama Kristen yang dibawa oleh dua misionaris asal Jerman, yakni Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler, pertama kali masuk Papua tanggal 5 Februari 1855 melalui Pulau Mansinam. Mereka tidak hanya membawa misi penginjilan saja, tetapi juga membangun berbagai sarana dan prasarana kemasyarakatan yang mengubah peradaban bagi masyarakat Papua, khususnya Manokwari. Untuk mempermudah penyebutan tarian ini, mereka menggunakan bahasa Indonesia untuk menyebut tarian masyarakat Arfak tersebut dengan nama Tari Tumbu Tanah agar dapat dikenal oleh masyarakat lain di luar keempat sub-suku itu. Berdasarkan asal-usulnya, Tari Tumbu Tanah tidak terlepas dari mitologi asal-usul masyarakat Arfak mengenai cerita "Legenda Jambu Mandatjan" yang bermula di Kampung Ndui. Legenda Jambu Mandatjan adalah cerita tentang perebutan penguasaan kepemilikan terhadap salah satu pohon jambu yang telah dibagi menurut keret (marga) yang ada di Manokwari oleh anak-anak dari salah satu keret. Seorang anak melepaskan anak panah dalam perebutan tersebut, tetapi meleset dan mengenai seekor burung. Tindakan tersebut lantas dicela oleh anak lain yang menjadi lawannya, bahkan semakin berkepanjangan hingga melibatkan orang tua dari masing-masing keret. Masing-masing keret mengklaim kebenaran yang dilakukan oleh anaknya. Hal ini menyebabkan rusaknya hubungan harmonis yang telah terbangun di antara keret tersebut. Konflik itu menyebabkan masing-masing pihak menyatakan sumpah untuk tidak hidup bersama lagi. Sejak saat itulah masing-masing keret meninggalkan tempat yang selama itu mereka diami dan membangun hunian baru di wilayah lain. Kelompok yang bergerak menuju daerah Anggi selanjutnya menurunkan masyarakat Arfak berbahasa Sough, sedangkan kelompok yang bergerak ke arah timur laut menuju daerah Minyambouw menurunkan masyarakat Arfak berbahasa Hattam. Kelompok orang Sough lantas menyebar ke arah selatan, yaitu Dataran Isim, Beimes, Chatubouw, Sururey, sebagian dari Kota Ransiki, hingga wilayah Kabupaten Teluk Bintuni. Adapun orang Hattam menyebar ke Pegunungan Arfak, terutama di Hingk, Awibehel, Beganpei, dan Pinibut. Setelah berpisah sekian lama, suku-suku tersebut memiliki keinginan untuk berkumpul kembali. Hal inilah yang menyebabkan mereka membuat cintakuek (acara pesta makan) dengan mengundang berbagai suku yang tersebar di wilayah Arfak. Selain untuk menjalin hubungan kembali dengan suku-suku lain, maksud diadakannya pesta makan ini juga untuk menunjukkan kekayaan yang dimiliki oleh masing-masing suku, terutama yang berhubungan dengan kekayaan hasil bumi. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, ketika makanan yang telah disajikan itu habis, beberapa orang lantas berdiri untuk menghargai tuan rumah (suku Hattam) yang sudah menyiapkan segalanya bagi para tamu. Tanpa disadari, beberapa dari mereka kemudian melompat-lompat di tempat. Hal ini diikuti oleh semua undangan hingga terbentuklah gerakan menghentakkan kaki di Tanah. Selain melompat-lompat, mereka juga berteriak sebagai ungkapan perasaan bahagia dapat berkumpul kembali. Mereka akhirnya bersepakat untuk menari dengan gerakan melompat-lompat seperti itu sambil menggandeng tangan sesama penari lain dalam berbagai acara untuk terus mempererat hubungan di antara empat sub-suku tersebut.Tujuan
Tari Tumbu Tanah merupakan Tari yang dibawakan secara massal dan tidak terbatas kepada jumlah peserta Tari. Tarian ini bisa melibatkan warga satu kampung ataupun gabungan warga dari beberapa kampung. Artinya, Tari Tumbu Tanah bisa dikuti secara berkelompok oleh semua lapisan masyarakat, baik tua maupun muda berbaur menjadi satu dalam tarian. Tari Tumbu Tanah dilakukan untuk menyambut berbagai acara penting, antara lain perayaan ulang tahun orang yang berpengaruh dalam masyarakat Arfak, penyambutan tamu dari luar lingkungan masyarakat Arfak atau kunjungan para pejabat daerah, peresmian pembangunan, perayaan pesta pernikahan, serta perayaan kemenangan perang.Gerak dasar
Secara umum, gerak dasar Tari Tumbu Tanah di antara masyarakat Arfak tidak memiliki perbedaan. Perbedaan dasarnya terletak pada pasangan Tari, lagu yang dinyanyikan, serta tujuan tarian. Selain itu, Tari ini tidak memiliki banyak ragam gerakan. Tari Tumbu Tanah hanya mengenal dua gerak dasar, yaitu bihim ifiri kai cut (melompat sambil menghentakkan kaki di Tanah) dan yam (bergandengan tangan). Adapun lagu yang dinyayikan dalam Tari Tumbu Tanah harus berbau lagu pujian kepada roh leluhur masyarakat Arfak. Bihim ifiri kai cut Bihim ifiri kai cut adalah gerakan melompat sambil menghentakkan kaki di Tanah. Selain berawal dari kegiatan pesta makan untuk berkumpul kembali, gerakan ini juga diadopsi masyarakat Arfak dari kuskus (dalam bahasa Hattam disebut dengan mieya) yang melompat-lompat dan namdur atau burung pintar (dalam bahasa Hattam disebut dengan mbreicew, urinyai, atau undebaicing) yang sedang membuat sarang. Masyarakat Arfak meniru gerakan kedua binatang tersebut karena dirasa mudah dilakukan untuk sebuah tarian. Gerakan melompat sambil menghentakkan kaki di Tanah dilakukan pada pertengahan lagu. Pada gerakan ini, kedua kaki para penari menjadi kekuatan untuk melompat. Dengan menekuk lutut sedikit ke depan dan mendorong tubuh agar terangkat ke atas menggunakan tumpuan, para penari harus mendarat dengan kaki sejajar. Maksud gerakan ini selalu dimulai pada pertengahan lagu adalah agar para penari tidak terlalu lelah. Satu lagu dalam Tari Tumbu Tanah biasanya berlangsung selama 3–5 menit, sedangkan dalam satu Tari Tumbu Tanah biasanya menyanyikan 7–10 lagu. Masyarakat Arfak berpendapat jika gerakan melompat dalam Tari Tumbu Tanah dimulai sejak awal lagu, para penari akan cepat kelelahan dan hanya dapat membawakan 3–5 lagu. Yam Yam adalah gerakan bergandengan tangan sambil terus melompat-lompat. Gerakan ini bukanlah bergandengan tangan biasa, tetapi melompat-lompat dengan memasukkan tangan melewati bagian lengan atau siku dari penari lain. Maksud dari gerakan ini agar pada waktu melompat tidak mengenai wajah dan dada dari penari lain.Formasi
Tari Tumbu Tanah biasanya dilakukan oleh 10 orang. Sebelum Tari Tumbu Tanah dilaksanakan, masyarakat Arfak akan membuat suatu acara makan bersama yang disebut dengan cintakuek. Secara umum, masyarakat Arfak mengenal tiga bentuk formasi dalam Tari Tumbu Tanah. Ketiga bentuk formasi tersebut adalah jey/srem (memanjang), ikrop (setengah lingkaran), dan nimot (lingkaran penuh). Semua gerakan dalam Tari Tumbu Tanah memiliki makna yang berhubungan dengan sistem religi dari lingkungan tempat tinggalnya. Menurut Kondologit dan Sawaki, ketiga formasi itu terinspirasi dari wow (ular) yang banyak terdapat di Pegunungan Arfak. Selain burung kasuari, ular merupakan binatang yang disakralkan dalam sistem religi masyarakat Arfak. Jey/srem Jey/srem merupakan formasi memanjang. Formasi ini dilakukan pada lagu pertama sampai dengan lagu ketiga. Pada formasi memanjang ini, dop (penari yang menjadi pemimpin) mengambil tempat di bagian depan dari para penari lain sambil menyanyikan diun (lagu yang hanya dapat dinyanyikan oleh orang-orang tua) yang telah disiapkan. Setelah itu, barulah para penari lain berbaris di samping kanan pemimpin lagu tersebut secara horizontal sampai semua penari lengkap, sambil mengikuti lagu kedua yang dinyanyikan oleh pemimpin Tari. Lagu kedua yang dinyanyikan dalam Tari Tumbu Tanah adalah nihet duwei, yaitu jenis lagu yang bersifat situasional (lagu penyambutan tamu, perayaan perang, ataupun perayaan pesta pernikahan). Ketika lagu kedua memasuki tahap akhir, barulah semua penari mulai melakukan gerakan melompat-lompat dan menghentakkan kaki sambil bergandengan tangan. Ikrop Ikrop merupakan formasi setengah melingkar. Dalam formasi ini, para penari tidak membubarkan formasi memanjang. Mereka hanya melepaskan tangan yang bergandengan untuk berhenti sejenak sekitar + 1–3 menit. Menurut Kondologit dan Sawaki, setiap satu lagu selesai dinyanyikan terdapat jeda yang digunakan oleh para penari untuk mengambil napas dan mengatur kekuatan mereka. Para penari lantas bergandengan tangan kembali dan melompat-lompat, sembari penari yang berada di paling ujung kanan dan kiri sama-sama mengarahkan para penari lain untuk membentuk formasi setengah lingkaran. Setelah terbentuk setengah lingkaran, lagu berikutnya akan dinyanyikan kembali. Nimot Nimot merupakan formasi lingkaran penuh. Proses formasi terakhir dalam Tari Tumbu Tanah ini hampir sama dengan formasi kedua, yaitu penari paling ujung mengarahkan para penari lain untuk membentuk formasi lingkaran dengan sebelumnya memberikan tanda. Sambil bernyanyi, melompat, dan bergandengan tangan, para penari mengatur posisi sampai membentuk lingkaran penuh. Kedua penari yang berada di paling ujung bersatu dengan bergandengan tangan. Salah satu keunikan dalam formasi terakhir ini yaitu apabila jumlah penari lebih dari 10 orang, formasi lingkarannya akan dibagi menjadi dua atau tiga. Semakin banyak penarinya, lingkarannya juga semakin banyak seperti membentuk ular yang melilitkan badan. Dalam formasi ini, pemimpin Tari tetap berada di tempat dan dikelilingi oleh para penari lain.Lagu pengiring
Dalam sistem religi, masyarakat Arfak memiliki kepercayaan yang berpusat kepada roh nenek moyang dan Sema (perantara roh nenek moyang). Sema dipercaya sedang pergi meninggalkan mereka dan sedang berada di Pulau Roswar karena tidak menghendaki kehidupan yang kotor. Hal inilah yang menyebabkan harus terdapat lagu-lagu berbau pujian kepada roh nenek moyang maupun Sema dalam Tari Tumbu Tanah. Adapun lagu pengiring yang dilantunkan dalam Tari Tumbu Tanah antara lain diun, nihet duwei, dan isiap. Ketiga lagu tersebut dinyanyikan sambil melompat, menghentakan kaki ke Tanah, dan bergandengan tangan. Menurut Assa dan Hapsari, syair dalam lagu kedua dan ketiga ini umumnya dikarang sendiri sebagai ungkapan tujuan dilaksanakannya Tari Tumbu Tanah. Diun Jenis lagu ini hanya dapat dinyanyikan oleh para sesepuh di kampung karena berisi syair-syair atau ungkapan dalam bahasa Hattam tua. Diun diwariskan kepada generasi penerus yang dirasa tepat untuk menggantikan kepala suku. Jenis lagu ini berisi kejadian-kejadian masa lampau yang pernah dialami oleh masyarakat Arfak maupun pujian yang terkait dengan kepercayaan mereka, seperti mitologi asal-usul, tempat-tempat keramat, musuh-musuh, dan sahabat mereka. Selain itu, syair dalam lagu diun juga menceritakan keindahan alam dan rahasia-rahasia hidup masyarakat Arfak. Berikut adalah contoh syair dalam diun yang menceritakan tentang tingkah laku burung namdur, yang dapat meniru suara hewan lain maupun manusia: Nihet duwei Jenis lagu ini dikenal sebagai lagu yang berkembang dalam masyarakat Arfak saat ini. Perbedaan jenis lagu diun dan nihet duwei terletak pada syair yang dilantunkan. Syair yang terdapat dalam lagu ini adalah syair yang bersifat situasional. Artinya, apabila Tari Tumbu Tanah dilakukan untuk menyambut tamu dari luar lingkungan masyarakat Arfak, syair dalam nihet duwei akan memuji tamu tersebut. Sebaliknya, apabila Tari Tumbu Tanah dilakukan sebagai perayaan pesta pernikahan, syair dalam nihet duwei akan memuji kedua pasangan (kecantikan, ketampanan, dan kerja keras). Syair dalam nihet duwei juga mencakup lagu sebagai tanda kemenangan dalam perang. Berikut adalah contoh syair dalam nihet duwei: Syair pertama dinyanyikan dalam perayaan pesta pernikahan, sedangkan syair kedua sebagai penyambutan tamu dari luar lingkungan masyarakat Arfak. Kata taimu merupakan suku kata dan akhiran dari kata "mencintaimu", sedangkan kata Jawa ya merupakan pengulangan dari kata "Jawa". Dalam syair penyambutan tamu, seharusnya disebutkan nama seseorang yang berkunjung, tetapi dikarenakan mereka tidak mengetahui namanya, para penari menyebut saja dengan "orang Jawa". Isiap Jenis lagu ini tidak memiliki syair, hanya teriakan-teriakan dari para penari, baik teriakan yang kuat, sedang, maupun lemah. Isiap muncul secara spontan dari para penari sebagai penyemangat kepada para penari lain yang dirasa mulai kelelahan.Alat musik
Alat musik yang biasa digunakan oleh masyarakat Arfak sebagai pengiring Tari Tumbu Tanah adalah keucoawa. Alat musik yang terbuat dari bambu ini telah diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun-temurun. Keucoawa berbentuk seperti suling, tetapi bambu yang digunakan lebih besar dan hanya mempunyai satu lubang saja. Selain keucoawa, alat musik lain yang digunakan sebagai pengiring Tari Tumbu Tanah adalah pikon atau dikenal dalam bahasa lokal dengan nama hite. Pikon merupakan alat musik yang dimainkan di dalam mulut. Pada saat ini, pikon banyak dijumpai pada suku Dani yang mendiami Lembah Baliem. Pikon terbuat dari kulit kayu anak panah yang dipotong pendek sekitar + 5–10 sentimeter dengan lebar + 2–3 sentimeter, kemudian dibelah bagian tengahnya, dan celah itulah nantinya yang dimasukkan ke dalam mulut dan ditiup hingga mengeluarkan bunyi-bunyian. Setelah mendapatkan pengaruh dari luar, masyarakat Arfak juga menggunakan alat musik yang dibuat dari kulit bia (kerang laut) sebagai pengiring tarian, yaitu triton. Alat musik ini dalam bahasa Hattam disebut dengan funa. Pada masa lalu, funa diperoleh masyarakat Arfak di sekitar Teluk Doreh melalui proses barter apabila mereka kesulitan mencari kulit kerang laut. Funa juga dimainkan dengan cara ditiup. Menurut Kondologit dan Sawaki, alat-alat musik tersebut juga digunakan untuk mengumpulkan kerabat yang berada di dalam rumah agar menyaksikan Tari Tumbu Tanah. Dalam Tari Tumbu Tanah, ketika sedang bernyanyi dan menari terkadang ada orang yang memukulkan panah dan busur yang dipegang. Bunyi dari panah maupun busur tersebut turut membuat irama lagu semakin hidup.Aksesoris
Tari Tumbu Tanah diwariskan secara turun-temurun. Sampai saat ini, ragam busana dan aksesorisnya tidak banyak berubah, baik penari laki-laki maupun perempuan. Aksesoris tersebut meliputi maya (cawat), sre-a (kain dada), miep (manik-manik), nakwai atau nsien (kalung), lia (gelang), ayoba (mahkota), minya (noken), ampiaba (busur), tebor (panah), dan hamboya (parang). Maya Maya (cawat) merupakan pakaian tradisional pengganti celana penari laki-laki Tari Tumbu Tanah. Pada umumnya, maya terbuat dari kulit kayu yang telah dikeringkan. Adapun cara pemasangannya yaitu dengan cara melilitkan kain tersebut di pinggang penari. Seorang penari akan dibantu penari laki-laki lain dalam proses pelilitannya, yang dimulai dari bagian depan hingga belakang sampai berbentuk seperti celana. Panjang kain maya + 1–1,5 meter, sedangkan lebarnya + 1 meter. Sre-a Sre-a adalah kain yang digunakan oleh penari perempuan. Sama halnya seperti noken, kain yang digunakan oleh penari perempuan Arfak untuk menarikan Tari Tumbu Tanah pada masa lalu terbuat dari kulit kayu dan anyaman rumput. Setelah masuknya modernisasi, penari perempuan saat ini menggunakan kain panjang yang akan diikat di tubuh mereka untuk menutup bagian dada sampai kaki. Hal inilah yang menyebabkan kain ini disebut dengan kain dada. Miep dan mieya Miep adalah manik-manik yang digunakan oleh penari laki-laki, sedangkan mieya adalah manik-manik yang digunakan oleh penari perempuan. Pada masa lalu miep terbuat dari biji-bijian, tetapi saat ini miep banyak terbuat dari keramik ataupun plastik. Miep memiliki banyak variasi warna, sedangkan panjangnya antara 45 sentimeter sampai dengan 1 meter. Miep berfungsi sebagai hiasan bagian dada penari laki-laki. Adapun cara memasang miep yaitu dilipat menjadi dua bagian, lalu dipasangkan di tubuh penari laki-laki secara menyilang. Berbeda dengan miep yang digunakan oleh penari laki-laki, mieya yang digunakan oleh penari perempuan umumnya bentuknya lebih halus dan hanya terdiri atas satu warna saja. Mieya penari perempuan berfungsi sebagai kalung atau hiasan di leher. Nakwai dan nsien Secara umum, aksesoris ini dikenal sebagai kalung atau hiasan leher yang dipakai oleh penari laki-laki. Adapun perbedaan antara nakwai dan nsien terletak pada bahan yang digunakan. Nakwai berasal dari gigi atau taring babi, sedangkan nsien berasal dari gigi atau taring anjing. Lia Lia adalah gelang yang digunakan oleh penari laki-laki maupun perempuan. Pada masa lalu, ila yang digunakan oleh penari laki-laki maupun perempuan terbuat dari batang pohon anggrek yang dianyam sesuai ukuran tangan maupun lengan. Setelah mendapatkan pengaruh dari luar, khususnya orang Biak, masyarakat Arfak telah menggunakan lia yang terbuat dari kerang laut yang dikenal dengan nama paseda. Paseda digunakan oleh penari laki-laki, sedangkan penari perempuan tetap menggunakan lia yang terbuat dari batang pohon anggrek. Ayoba Ayoba merupakan hiasan kepala atau mahkota penari laki-laki maupun perempuan. Ayoba terbuat dari anyaman kulit kayu yang dihiasi dengan bulu-bulu burung kasuari dan ayam hutan. Perbedaan ayoba penari laki-laki dan perempuan terletak pada hiasan bulunya. Bulu ayoba penari laki-laki lebih tinggi dibadingkan dengan bulu ayoba penari perempuan. Minya Minya atau lebih dikenal dengan noken merupakan tas tradisional Papua (termasuk masyarakat Arfak) yang dibawa dengan menggunakan kepala dan terbuat dari serat kulit kayu, rumput, dan anggrek. Pada saat ini, noken lebih banyak menggunakan benang dikarenakan beberapa bahan semakin sulit dicari. Noken dapat diartikan sebagai kerajinan tangan yang sudah bernorma, beradat, berbudaya dan beretika dari masa leluhur hingga sekarang. Tas tradisional tersebut tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang perempuan Papua, seperti halnya para laki-laki yang selalu membawa ampiaba (busur) dan tebor (panah) ke manapun mereka pergi. Selain digunakan untuk upacara adat dan membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari, noken juga digunakan sebagai aksesoris pelengkap penari perempuan Tari Tumbu Tanah. Ampiaba dan tebor Ampiaba adalah sebutan untuk busur dalam bahasa Hattam, sedangkan tebor merupakan panah. Sejak masa lalu, ampiaba dan tebor tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang laki-laki Papua, baik untuk melindungi diri, berburu, maupun menari. Para pemimpin laki-laki dalam Tari Tumbu Tanah membawa ampiaba dan tebor sebagai lambang keperkasaan dan kelincahan. Tebor yang digunakan untuk berburu dan berperang terbuat dari taring binatang liar, sedangkan tebor yang digunakan untuk menari terbuat dari kayu atau bambu. Adapun ampiaba yang digunakan tetap sama, yaitu terbuat dari batang nibung. Hamboya Hamboya adalah parang yang merupakan aksesoris pelengkap, yang dibawa oleh pemimpin penari laki-laki sebagai pengganti ampiaba dan tebor. Gagang hamboya terbuat dari kayu yang dihiasi dengan bulu burung kasuari.Nilai
Masyarakat Arfak memandang Tari Tumbu Tanah sebagai jati diri mereka karena berasal dari nenek moyang. Menurut mereka, gerak, formasi, lagu pengiring, alat musik, dan aksesoris dalam Tari Tumbu Tanah merupakan ciri khas masyarakat Arfak yang membedakannya dengan tarian di daerah Papua lain. Apabila ada seseorang yang melihat atau mendengarkan ada Tari Tumbu Tanah yang sedang dilakukan, dapat dipastikan bahwa tarian tersebut dilakukan oleh masyarakat Arfak. Nilai sosial dalam Tari Tumbu Tanah dapat dilihat ketika tarian ini harus dilakukan oleh banyak orang, yaitu setidaknya dilakukan oleh 10 orang. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Arfak tidak dapat hidup seorang diri. Mereka membutuhkan bantuan orang lain, baik dari keluarga maupun para tetangganya, untuk membantu dalam berbagai aktivitas. Selain itu, salah satu gerak dalam Tari Tumbu Tanah adalah bergandengan tangan. Hal tersebut merupakan simbol kekeluargaan dan persahabatan di antara masyarakat. Secara religius, Tari Tumbu Tanah dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada para leluhur karena atas perlindungan roh-roh tersebut masyarakat Arfak berhasil dalam memperoleh buruan, menang dalam perang, dan mendapatkan hasil panen yang melimpah. Adapun nilai ekonomi dalam Tari Tumbu Tanah dapat dilihat sebelum Tari tersebut dilaksanakan. Masyarakat Arfak akan membuat suatu acara makan bersama yang disebut dengan cintakuek. Kegiatan inilah yang digunakan oleh masyarakat Arfak sebagai ajang untuk menunjukkan kemampuan mereka memberi makan banyak orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dalam jumlah yang banyak serta ajang mencari jodoh.Lihat pula
Noken Pegunungan Arfak Rumah Kaki Seribu Suku Arfak Suku Hattam Suku Moile dan Suku MeyahCatatan
Rujukan
Daftar pustaka
Pranala luar
Destinasi Tersembunyi di Pegunungan Arfak. Pikon, Alat Musik Tradisional Papua. Sejarah Rumah Kaki Seribu. Diarsipkan 2019-04-17 di Wayback Machine. Video Dokumenter Tari Tumbu Tanah Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua (Bagian 1). Video Dokumenter Tari Tumbu Tanah Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua (Bagian 2). Video Tari Tumbu Tanah di Situs Kabar Port Numbai.tumbu
22 Jump Street (2014)
The Curious Case of Benjamin Button (2008)
No More Posts Available.
No more pages to load.