- Source: Uyeng Suwargana
Uyeng Suwargana (ejaan asli: Oejeng Soewargana) (12 November 1917 – 7 Mei 1979) adalah seorang pendidik, pengusaha penerbitan, budayawan, tentara, serta politikus. Kedekatannya dengan Abdul Haris Nasution banyak memengaruhi jalan hidupnya, baik dalam bidang pendidikan maupun dalam bidang politik. Walaupun lebih banyak berperan di latar belakang namun peran tersebut memberikan dampak yang besar pada negara, seperti membebaskan Irian Barat dari penjajahan Belanda melalui jalur diplomasi. Ia sukses dalam usaha penerbitannya sementara dalam dunia militer ia termasuk barisan pejuang 45 dan pemegang Bintang Gerilya, Perang Kemerdekaan I dan II, serta Gerakan Operasi Militer II. Dalam bidang budaya, ia pun banyak berperan. Ia dekat dengan kakaknya Daeng Soetigna, seorang maestro angklung, dan dengan Mang Koko, seorang budayawan Sunda.
Riwayat Hidup
= Kehidupan sebagai pendidik, penulis buku, dan pengusaha penerbitan
=Akibat tidak adanya sekolah lanjutan di Pangandaran pada saat itu, seperti juga saudara-saudaranya, Uyeng dikirim ayahnya bersekolah di luar Pangandaran. Uyeng bersekolah di Holandse Indische Kweekschool (HIK) Bandung, yaitu sekolah untuk menjadi guru. Di sekolah inilah, ia mulai bertemu dan menjadi teman sekelas Abdul Haris Nasution, sosok yang kemudian menjadi pimpinan tentara. Nasution menjadikan Uyeng orang kepercayaannya, bahkan dalam bukunya "Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda" (1990), Nasution menulis bahwa Uyeng tidak hanya sebagai teman sekelas tapi bahkan dianggap sebagai "saudara kandung sendiri sampai akhir hayatnya". Ia lulus dari sekolah tersebut tahun 1938. Namun kedekatannya dengan Nasution tidak berakhir. Mereka pernah menulis buku bersama, mendirikan partai bersama yaitu Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), bahkan bekerja sama dalam menjalankan tugas negara. Mereka berdua juga merupakan tokoh-tokoh anti Partai Komunis Indonesia (PKI).
Setelah lulus dari HIK, Uyeng melanjutkan ke sekolah militer dan menjadi tentara. Namun itu tidak berlangsung lama karena kemudian ia mengundurkan diri. Setelah berhenti dari dinas ketentaraan, Uyeng lalu bekerja di percetakan A.C. Nix yang saat itu berada di Jalan Gereja No. 3 Bandung. Di situ Uyeng banyak menulis buku teks untuk sekolah-sekolah yang diterbitkan oleh A.C. Nix. Di antara buku-bukunya adalah "Metode Menulis Indah dan Mudah" dan "Berhitung". Buku-buku tersebut sukses karena dibeli oleh pemerintah untuk dijadikan buku pegangan di Sekolah Dasar. Ketika terjadi nasionalisasi semua aset dan perusahaan-perusahaan Belanda oleh TNI AD yang dipimpin Nasution, A.C. Nix dibeli oleh Uyeng dan perusahaan itu diganti namanya menjadi C.V. Ganaco. Perusahaan ini pernah berjaya cukup lama dan dikenal sebagai penerbit buku-buku pelajaran dan umum selain juga mencetak media massa di mana salah satunya adalah majalah anak-anak "Tjenderawasih" yang digawangi oleh S. Rukiah sebagai editor (Rukiah adalah seorang anggota Lekra, suatu organisasi budaya yang berafiliasi dengan PKI, bertentangan dengan sikap Uyeng yang anti PKI). Kakak Uyeng, Daeng Soetigna, punya andil dalam membesarkan Ganaco. Istrinya bahkan tercatat sebagai komisaris utama dan pemegang 40 persen saham. Di samping Ganaco, pada masa itu Uyeng juga mendirikan penerbit Masa Baru, yang bukunya tidak selalu merupakan buku teks, juga mendirikan penerbit Sanggabuana dan yang lainnya.
Memasuki tahun 1960, Uyeng telah dikenal sebagai juragan penerbitan. Di dunia perbukuan, Uyeng dikenal sebagai tokoh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). C.V. Ganaco yang dimilikinya sangat terkenal sehingga dapat membuka cabang di Jakarta bahkan Amsterdam. Saat ini, tepatnya sejak tahun 1990, gedung era Belanda tempat penerbit C.V. Ganaco dulu berdiri di Bandung sudah dibongkar karena dianggap menghalangi keindahan gedung baru milik Bank Negara Indonesia yang didirikan di belakangnya. Namun di Jalan Babakan Ciamis, jalan sebelah gedung Ganaco dahulu, masih banyak pedagang menggunakan nama "Assěnik", yang diduga berasal dari A.C. Nix, nama perusahaan penerbitan sebelum berubah menjadi Ganaco.
Sebagai lulusan dari sekolah guru, Uyeng sempat menjadi guru di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Banjarsari Bandung. Salah seorang yang pernah menjadi siswanya saat itu adalah Ali Sadikin, yang kemudian menjadi Gubernur DKI. Uyeng tak selamanya menjadi guru kelas yang berdiri untuk mengajar di hadapan murid-murid, namun keterlibatannya dalam dunia penulisan dan penerbitan yang ditekuninya telah menjadikannya seorang guru bagi ribuan murid yang membaca bahan ajar yang dibuatnya. Berbagai buku telah ditulisnya, dari bidang politik, bahasa, pendidikan, sejarah, dan sebagainya. Sebagai mantan guru kelas, Uyeng dikenal sebagai salah seorang yang menolak matematika modern diajarkan di sekolah tingkat rendah, karena menurutnya anak-anak belum mampu untuk berpikir abstrak. Ia bahkan menulis buku tentang kegagalan matematika modern.
Sebagai penulis buku pelajaran sejarah, Uyeng Soewargana termasuk penulis yang dipinggirkan pada 1960-an. Menurut Harry Poeze dalam buku "Madiun 1948: PKI Bergerak", bukunya dilarang karena ia tidak mau mengubah sebutan "Pemberontakan Madiun" menjadi "Peristiwa" atau "Affair" yang melekat pada Partai Komunis Indonesia (PKI). "Perkataan 'pemberontakan' tidak diperbolehkan. Kata 'pemberontakan' harus diganti dengan 'peristiwa' (affair)," tulis Poeze mengutip pelarangan itu oleh pemerintah. Akibat buku anti komunis yang ditulis Uyeng, Ajip Rosidi melihat bahwa "Ketika para mahasiswa berdemonstrasi untuk menjatuhkan Sukarno, tampak sekali Uyeng sangat antusias memberikan bantuannya. Banyak pemimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang datang menemuinya."
Di tahun 1967, Uyeng telah menjadi dosen di keempat lembaga pendidikan angkatan bersenjata: Seskoad, Seskoal, Seskoau, dan Seskopol. Dia juga pengajar di Pusdiklat Kejaksaan Agung.
= Kehidupan sebagai tentara dan politikus
=Pada tahun 1941, Uyeng mengikuti pendidikan militer di Korps Perwira Cadangan (Corps Opleiding Voor Reserve Officieren [CORO]) Hindia-Belanda. Setelahnya, ia tercatat pernah berkarier di dunia militer. Di tahun 1946, saat Nasution menjabat sebagai Panglima Divisi Siliwangi, Uyeng memegang jabatan sebagai komandan logistik Teritorium III Siliwangi. Kariernya berlanjut hingga Uyeng mengundurkan diri pada tahun 1950 dengan pangkat akhir Mayor. Sementara kompatriotnya, Nasution, tetap bertahan di militer. Pada 1955 Nasution telah menjabat Kepala Staf Angkatan Darat.
Walaupun tidak lagi menjadi tentara, Uyeng tetap bekerja sama dengan Nasution dalam menjalankan tugas negara. Saat berupaya untuk membebaskan Irian Barat dari penjajah Belanda, Nasution memberikan tugas khusus kepada Uyeng sebagai pelaksana utama tugas yang disebutnya sebagai "Operasi C" atau "Diplomasi Senyap" sebagai pelengkap Operasi A dan Operasi B yang dijalankan oleh tentara. Dalam tugas yang dijalankannya, Uyeng berperan sebagai diplomat bersama Frans Seda guna mempengaruhi sikap tokoh penting di Belanda dan negara lainnya di Eropa dan Amerika tentang perlunya pembebasan Irian Barat oleh Indonesia. Para perantaranya yang paling penting adalah para atase militer di London, Paris, dan Bonn.
Uyeng mempunyai jaringan yang sangat luas. Di kalangan beberapa jurnalis Belanda, Uyeng cukup dikenal baik. Mereka menggambarkan Uyeng Suwargana sebagai sosok yang ramah, banyak tersenyum, seorang pendengar yang baik, serta menguasai bahasa Belanda yang sangat baik. Tak heran mengapa Uyeng piawai dalam mengadakan lobi dan mendekati orang penting. Dalam melaksanakan diplomasi senyap, Uyeng mengadakan kontak-kontak di Belanda dengan pengusaha-pengusaha Belanda, kaum universitas seperti Prof. Duynstee, dan kawan-kawan, kaum politisi seperti bekas PM Drees, tokoh-tokoh gereja, dan tokoh-tokoh pers serta pemuda-pemuda Irian yang sekolah di Belanda. Para atase di Eropa Barat seperti Rachmat Kartakusumah di Paris, S. Parman di London, dan D.I. Panjaitan di Bonn merupakan pendukung usaha ini. Diplomasi senyap ini juga ikut berhasil mengadakan kontak-kontak pribadi dengan tokoh-tokoh di Washington dimana yang terpenting adalah dengan Prof. Rostov, seorang penasihat utama dari Presiden Kennedy. Pembicaraan inilah yang telah mengubah sikap Amerika yang semula berpihak kepada Belanda menjadi berpihak kepada Indonesia. Dengan adanya campur tangan pemerintah Amerika ini, puncaknya terjadi perundingan RI-Belanda yang dimediasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York pada 15 Agustus 1962. Pada tanggal 1 Januari 1963, bendera merah putih berkibar di Irian berdampingan dengan bendera PBB sedangkan bendera Belanda diturunkan. Sampai akhirnya 1 Mei 1963, secara resmi PBB menyerahkan wilayah Irian Barat kepada Indonesia.
Barangkali akibat tugasnya sebagai diplomat, Uyeng juga pernah dituding sebagai agen CIA. Ajip Rosidi dalam otobiografinya "Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan" (2008) menyatakan bahwa, "Dia mempunyai hubungan yang erat dengan pihak Amerika, mungkin dengan sepengetahuan sahabatnya, Kepala Staf Angkatan Darat (Abdul Haris Nasution), sehingga beredar desas-desus yang mengatakan bahwa Uyeng mempunyai hubungan dengan CIA." Penjelasan lain tentang hal tersebut ada dalam buku karya Willem Oltmans berjudul "Mijn Vriend Sukarno" yang yang dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia berjudul "Bung Karno Sahabatku" (2001). Oltmans, wartawan investigasi Belanda, menyebutkan bahwa Nasution berhubungan dengan CIA melalui Uyeng. “Sejak 1961 saya tahu betul mengenai hubungannya dengan CIA lewat Uyeng Suwargana dalam persiapannya mengadakan perebutan kekuasaan terhadap Bung Karno,” tulis Oltmans. Di halaman lain, Oltmans mengingat bagaimana Uyeng sering berkeliling ke Eropa Barat dan Amerika Serikat menginformasikan mengenai suatu perebutan kekuasaan negara di Jakarta. Oltmans pun menulis bahwa Uyeng pernah berkata dalam pertemuan mereka, "Kami akan mengisolasi Sukarno dan membiarkannya mati seperti sekuntum bunga yang tidak diberi air." Dalam pertemuan dengan Oltmans, Uyeng menyiratkan telah dibentuknya Dewan Jenderal dengan tujuan khusus: menjatuhkan Bung Karno. Sementara itu, Jenderal Nasution direncanakan akan melenggang naik kursi kepresidenan menggantikan Sukarno. Tak diketahui persis apa motif Uyeng menyampaikan hal tersebut. Asumsi Oltmans agak terpatahkan ketika gejolak politik yang terjadi adalah Gerakan 30 September 1965. Peristiwa itu menjadi tonggak runtuhnya kekuasaan Presiden Sukarno. Namun aksi yang dilancarkan komandan pasukan pengawal presiden, Letkol Untung itu juga menyasar Nasution, sosok yang digadang-gadang Uyeng mendongkel posisi Sukarno, sebagai korban. Beruntung, Nasution luput dari operasi penangkapan dan hanya mengalami luka ringan. Berbeda halnya dengan Jenderal Ahmad Yani dan rekan-rekan perwiranya yang gugur secara tragis.
Sebagai orang dekat Nasution, Uyeng memang mengetahui banyak seluk dalam Angkatan Darat. Pakar politik militer Universitas Nasional Australia, Harold Crouch pernah mewawancarai Uyeng pada 15 Agustus 1973 untuk studi disertasinya. Kepada Crouch, Uyeng menuturkan tentang konflik di tingkat elite Angkatan Darat seperti perseteruan antara Nasution dengan suksesornya, Jenderal Yani; adanya segelintir perwira senior yang tak menyenangi gaya hidup mewah Yani; beberapa tipikal para jenderal TNI AD. "Uyeng adalah seorang warga sipil yang bekerja di dinas intelijen angkatan bersenjata," tulis Harold Crouch dalam disertasinya yang dibukukan berjudul The Army and Politics in Indonesia (Militer dan Politik di Indonesia).
Tentang cerita apakah Uyeng agen CIA dan akan membunuh Bung Karno, Ajip Rosidi menyatakan bahwa, "Hal demikian sulit dibuktikan kebenarannya atau ketidakbenarannya." Sementara sejarawan Asvi Warman Adam menyatakan, “Tidak jelas apa status Uyeng dan apakah benar ia seorang intel. Namun, yang terang, ia adalah orang dekat Jenderal Nasution." Sementara wartawan Rosihan Anwar, yang menjuluki Uyeng sebagai "Spion Melayu", menyatakan bahwa "Anggap sajalah cerita mengenai Uyeng Suwargana ini sebagai sejarah kecil, petite histori. Habis cerita."
Kehidupan pribadi dan keluarga
Uyeng lahir pada hari Senin tanggal 12 November 1917 di pesisir Pangandaran (saat itu masih bagian Kabupaten Ciamis), Jawa Barat. Uyeng adalah putera dari ayah bernama Mas Kanduruan Kartaatmaja alias "Ama", seorang mantri guru yang merupakan perintis pendidikan di pesisir Pangandaran, dan ibu bernama Raden Ratna Soerasti alias "Endah". Banyak yang menyangkanya berasal dari etnis Tionghoa. Apalagi dengan mata yang sipit dan nama Oey Eng Soe yang sering digunakannya sebagai nama samaran dalam beberapa tulisan karyanya. Namun orang-orang yang dekat dengannya mengetahui bahwa ia adalah orang Sunda asli dan lahir dari kedua orang tua yang juga orang Sunda.
Di keluarganya, Uyeng adalah ayah dari 7 orang anak, 5 dari istri kedua dan 2 dari istri ketiga. Meski tidak tinggal di Pangandaran, Uyeng bersama keluarga dan saudara-saudaranya rutin pulang kampung dan berkumpul di Pangandaran. Di kampung halamannya, ada sebuah rumah di Desa Babakan, Pangandaran yang disebut "Gedung Uyeng". Rumah itu tak lain adalah peninggalan sang ayah, Mas Kanduruan Kartaatmadja. Uyeng juga diketahui pernah menghibahkan buku-buku untuk sekolah di Pangandaran. Sebagian buku-buku tersebut rupanya masih tersimpan hingga kini di Perpustakaan SMP Negeri 1 Desa Pananjung, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Pangandaran. Dari beberapa buku terbitan C. V. Ganaco (perusahaan penerbitan milik Uyeng) yang ditemukan di sekolah tersebut, beberapa di antaranya ditempeli pesan sebagai kenang-kenangan 20 tahun wafatnya sang ayah.
Akhir kehidupan
Uyeng meninggal dunia pada Senin dini hari tanggal 7 Mei 1979 di RSCM Jakarta akibat serangan jantung. Saat itu, turut melayat A. H. Nasution, bekas Kapolri Drs. Hoegeng Imam Santoso, Ajip Rosidi, dan lain-lain. Saat memberikan kesan dan kenangan terakhir, Nasution menyatakan "Dengan biaya sendiri Uyeng membuat buku-buku kecil dalam bahasa Inggris yang menjelaskan perjuangan Irian Barat. Hingga akhir hayatnya, pemerintah belum pernah memberikan tanda penghargaan atas jasa-jasa Uyeng." Jenazahnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.