Wayang Kêdhu
Wonosaban (Diakritik: Wayaṅ Kĕḍu Wånåsaban, Aksara Jawa: ꦮꦪꦁꦑꦼꦣꦸꦮꦤꦱꦧꦤ꧀, Abjad Pegon: واياڠ كٓڎو واناسابان, diperkirakan berkembang dari induk
Wayang Kedu pada tahun 1650-1700 M) adalah salah satu varian
Wayang gaya
Kedu yang berkembang di wilayah Kabupaten Wonosobo. Dulu
Wayang Kedu Wonosaban terbagi menjadi beberapa sub-gaya Pakeliran, diantaranya yaitu:
Kedu Mendolo (berkembang di Mendolo, Bumireso, Wonosobo, Wonosobo)
Kedu Selokromo (berkembang di Selokromo, Leksono, Wonosobo)
Yang paling baru munculnya:
Kedu Tosari (berkembang di Tosari Rejo, Jaraksari, Wonosobo, Wonosobo)
Pakeliran gaya
Kedu Wonosaban terpecah menjadi beberapa sub-gaya karena dipengaruhi tingkat keseringan seorang Dalang dalam pentas/mendalang & ciri khas dari masing - masing Dalang. Seperti pada
Kedu Mendolo yang dipengaruhi oleh Dalang Kiai Gondo Karjo Mijoyo dengan Sanggit & Jam terbang yang luar biasa,
Kedu Selokromo yang dipengaruhi oleh Mbah Karto Miyo dengan iringan Othok Obrol, dan
Kedu Tosari yang digaungkan oleh Ki Kuat Sugiono yang merupakan anak Kiai Gondo Karjo Mijoyo dan adik Ki Anom Suroso.
Dalang yang Pernah Terkenal di Wonosobo
Kiai Dalang Singasana
Kiai Dalang Singgahsana
Kiai Gondo Wirya
Kiai Gondo Wiryasana / Simbah Mirombo (Th. 1800an)
Kiai Gondo Wiryasana (bertempat di Banaran, Selomerto, Wonosobo)
Kiai Gondo Karjo Wijoyo (bertempat di Mendolo, Bumireso, Wonosobo, Wonosobo)
Kiai Gondo Karjo Mijoyo (ayah Ki Anom Suroso)
Ki Anom Suroso
Lakon Carangan adalah lakon yang keluar dari Lakon Baku karena hasil kreasi seorang Dalang. Lakon Carangan
Wayang Kedu Wonosaban, selain mengadopsi dari Epos Ramayana dan Mahabharata juga sering mengadopsi dari daerah asal sendiri. Beberapa Contoh Lakon Carangan Gagrag
Kedu Wonosaban (serta pranala rekamannya) diantaranya:
Mutiserat
Babat Alas Mandala Giri
Irawan Sendang
Sinomperdapa
Berjongganom
Sutarengga Takon Bapa
Rabine Kunteya / Sunggen
Babad Medhangkamulan (Ruwat Bumi)
Lahire Mandratmaja
Jakatawa
Babad Dieng
Semar Supit
Semar Cukur
Raja Kengsi
Anjali Retna
Pagelaran
Wayang Kedu Wonosaban berlangsung selama 11 atau 12 jam (Pukul 19.00-06.00 / 07.00 WIB). Bahkan, bisa saja sampai 15 jam (Pukul 19.00-10.00 WIB). Dalam waktu sepanjang ini, Sang Dalang harus mengelola waktu supaya terbagi runtut dan tidak membosankan. Perpindahan Pathet dalam
Kedu Wonosaban tidak tergantung pada jam, namun pada alur ceritanya.
Terdapat beberapa jenis dan lakon Ruwatan yang berbeda pada Pakeliran
Wayang Kedu Wonosaban, yaitu:
= Lakon Makukuhan
=
Lakon ini untuk Ruwat Bumi. Jika umumnya Ruwat Bumi memakai lakon Sri Mulih (Dewi Sri), di Gaya
Kedu memakai Lakon Makukuhan / Babad Medhangkamulan. Walaupun ada lakon ini di daerah lain, di Gagrag
Kedu memiliki ciri khas tersendiri karena menyesuaikan kearifan lokal budaya eks-Karesidenan
Kedu. Secara garis besar menyeritakan tentang konflik Prabu Sengkan dan mitranya penguasa hama dan penyakit Prabu Kala Gumarang dengan kedua adiknya Dewi Sri/Srigati dan Raden Turunan/Nurunan. Kedua adik Prabu Sengkan tadi menolak kesewenang-wenangan kakaknya sehingga mereka memulai kehidupan baru di luar kerajaan Prabu Sengkan. Dalam perjalanan Dewi Sri dan Turunan mereka menyebarkan ilmu pertanian dan menyejahterakan masyarakat sekitar. Pada dasarnya banyak kesamaan dengan versi Temanggung, tetapi versi Wonosobo terdapat beberapa peristiwa, tokoh, dan penokohan yang tidak ada di Temanggung sehingga versi Wonosobo menjadi lebih panjang. Sebagai contoh ada tokoh Tundhagan Citrawangsa bersama anak-anaknya Mahapunggung, Gadhingmanukir, Mundhigadhing, dan Petung Laras dari Purwacarita yang bekerjasama dengan Dewi Sri dan Turunan. Akhirnya mereka menurunkan profesi jagal (Mahapunggung), pandai emas (Gadhingmanukir), tukang kayu (Mundhigadhing), dan pemeras aren (Petung Laras). Sedangkan Tundhagan Citrawangsa diangkat sebagai penasihat dengan gelar Kyai Makukuhan.
= Lakon Murwakala
=
Lakon ini untuk Ruwat Sukerta. Terdapat perbedaan sedikit di Gaya
Kedu Wonosaban. Umumnya menyebut tokoh Batara Kala dengan tambahan "Bhatara", di gaya
Kedu menyebutnya menjadi "Sang Kala". Ada kesamaan dengan Murwakala versi Cirebon maupun
Kedu Temanggungan, di mana Sang Kala adalah anak Bathara Guru dengan Dewi Tanana. Setelah kejadian kama Bathara Guru jatuh di samudera setelah melihat wujud Dewi Tanana, Tanana diambil sukmanya hingga pecah menjadi tiga sosok perempuan; Bathari Tanana/Durga, Bathari Uma, dan Bathari Alauma (kelak dipersunting Bathara Narada). Perbedaan dengan versi Temanggung terletak pada siapa yang menjadi Dhalang Kandhabuwana dan istrinya yakni Penggender Sruni, bila Wonosobo adalah Bathara Guru dan Bathari Uma, maka Temanggung adalah Sang Hyang Wenang dan Bathari Sahoti.
= Lakon Jagal Bilawa/Wirataparwa
=
Lakon ini untuk Ruwat Jagal. Ruwat Jagal adalah ruwatan yang dilakukan untuk ucapan bersyukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa karena jagal atau orang yang memotong hewan besar seperti kerbau atau sapi telah mencapai 1000 ekor.
Bahasa atau kata yang tidak dimiliki gaya lain adalah:
"Maḍiḍík ånå lawaṅ paṅglèḍègan sayåkå, kadyå tĕlik sanḍi dĕrpåmåyå, satru jåyå dalĕm, blĕndok minḍå mĕñan, kawulå minḍa gusti (Madhidhik ana lawang panggledhegan sayaka, kadya telik sandhi derpamaya, blendok mindha menyan, kawula mindha gusti)."
Kata ini diucapkan ketika Raja saat jejeran akan berbicara. Untuk makna pastinya belum ada literasi maupun pendapat dalang sepuh yang menjabarkan. Adapun terjemahan bebasnya kurang lebih demikian:
"Ketukan pada pintu (tuasnya) berputar (bagai) roda, seperti mata-mata berpura-pura galak, (melawan) musuh bebuyutan raja, getah seolah-olah (menjadi) kemenyan, rakyat seolah-olah (menjadi) bangsawan."
Dapat diamati ungkapan tersebut merupakan suatu peribahasa atau kiasan. Sampai ada informasi lanjut, makna peribahasa tersebut masih misteri dan perlu sikap hati-hati sebelum mengambil kesimpulan. Dalam istilah seni pedalangan ungkapan tersebut termasuk gunem blangkon atau sebuah kalimat klise dan paten sebagai pendukung suasana suatu adegan.
= Sanggit Suluhan / Gatutkaca Gugur
=
Saat Adipati Karna memanah Gatotkaca, panah itu mengenai jubah Batara Yamadipati, Yamadipati turun menghampiri Karna. Yamadipati mengingatkan untuk tidak membunuh Gatotkaca, Karena dulu Gatotkaca sudah meninggal saat masih bayi berperang melawan Patih Sekipu (saat menjadi jago Dewa, lakon Gatutkaca Lahir). Akhirnya Karna tidak jadi membunuh Gatotkaca, dan Gatotkaca menjadi Dewa dengan nama Batara Guru Putra.
Sanggit Jagal Bilawa/Wirataparwa
Sanggit lakon ini di Pakeliran
Kedu Wonosaban adalah tokoh Kencaka, Prakenca, Rupakenca, dan Rajamala yang menjadi lawan tanding dari Jagal Bilawa (dalam pakem pakeliran lain hanya Kencaka, Rupakenca, dan Rajamala yang menjadi lawan Jagal Bilawa).
Bentuk & Sunggingan (Pewarnaan) khas Wayang Kedu
Bentuk
Wayang Kedu jika dilihat agak gemuk, kancing gelung agak belakang, menunduk, lebih tinggi &besar. Arti bentuk
Wayang Kedu adalah:
= Gemuk
=
Mungkin hal ini menyatakan bahwa daerah
Kedu adalah tanah yang subur, maka dari itu digambarkan
Wayang Kedu berbadan gemuk.
= Tinggi Besar
=
Mungkin hal ini menyatakan bahwa Orang di daerah
Kedu berpostur tinggi besar
= Menunduk
=
Mungkin hal ini menyatakan bahwa Budi pekerti masyarakat wilayah
Kedu yang kental dengan rasa sopan santun yang tinggi. Tidak tinggi hati dan selalu ingin merendahkan diri dan selalu melihat ke bawah menyadari akan dirinya sebagai mahluk yang lemah dan senantiasa ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Wayang Kedu Wonosaban cenderung dibuat lebih tebal, mengingat suhu Wonosobo yang dingin. Pewarnaan / Sunggingan
Wayang Kedu cenderung lebih sederhana, dan alami. Namun jangan salah, justru dengan sunggingan alami menjadikan
Wayang Kedu menjadi lebih unik, Semu, Awet dan khas. Karena belum tercampur bahan kimia. Berikut daftar bahan yang digunakan untuk mewarnai
Wayang Kedu:
Cepengan atau Pemegangan Wayang Kedu
Cepengan / Pemegangan
Wayang Kedu berbeda dengan Cepengan gaya lain. Jika dasar Cepengan di gaya lain memegang di Cempurit, Cepengan Gaya
Kedu terletak di Siten-Siten / Kaki
Wayang. Maka dari itu tidak heran, jika
Wayang Jaman Dahulu banyak yang sobek kakinya.
Cerita Turun Temurun Dalang Kedu Wonosaban
= Kisah Simbah Mirombo dan KRT Setjonegoro
=
Antara tahun 1825–1832. KRT Setjonegoro atau Raden Ngarpah memesan tokoh
Wayang kepada penatah yang berada di Kabupaten Wonosobo, tepatnya di Dusun Rajahima atau Mirombo. Penatah tersebut adalah Kiai Dalang Ganda Wirya atau sering disebut Simbah Mirombo. Setelah berjalan beberapa bulan, tokoh yang dipesan belum juga selesai dibuat. Dipanggilah Mbah Mirombo ke kabupaten. Sesampainya di sana Beliau dimarahi oleh bupati yang menjabat waktu itu. Karena tersinggung oleh ucapan bupati, muncul kemarahan Mbah Gondo Wiryasana. Kulit kerbau/sapi yang telah dibawa dari rumah kemudian disabetkan ke kursi dan terjadi hal yang istimewa. Kulit tersebut berubah menjadi gebingan
Wayang yang dipesan oleh Bupati Setjonegoro. Setelah kejadian ini, Mbah Wiryasana kembali ke Mirombo dan melanjutkan menatah
Wayang gagrag
Kedu Wonosaban.
Masa Kejayaan dan Keterpurukan Wayang Kedu Gagrag Wonosaban
= Masa Kejayaan
=
Wayang Kedu gagrag
Wonosaban mengalami masa kejayaan di tahun 1940 sampai 1960an. Pada masa itu seorang dalang bisa menerima panggilan mendalang selama 40 kali berturut-turut dalam satu musim panen raya, Dalang pada zaman tersebut memiliki stamina yang luar biasa di samping mampu mendalang selama 40 hari nonstop, hingga pagi setelah pementasan tatkala dalang dan pengrawit melewati sungai atau telaga, dipastikan mereka akan menyempatkan cuci muka dan membilas raga guna mengurangi rasa kantuk.
Pada waktu itu belum ada kendaraan seperti zaman sekarang. Perpindahan tempat selalu dengan berjalan kaki atau naik dokar. Jalan yang ditempuh pun bisa dibilang tidak dekat, bisa mencapai puluhan kilometer. Bisa dibayangkan ketika seorang dalang mendalang selama satu malam penuh kemudian hari berikutnya dihadapkan dengan perpindahan tempat yang cukup jauh.
Menurut kesaksian Ki Anom Suroso hal ini menyebabkan
Wayang milik dalang jarang berada di rumah, melainkan pindah dari satu panggung ke panggung yang lain, dengan dipikul atau menggunakan gerobak sapi. Adapun yang dikirim ke rumah dalang berupa sesaji yang tidak diambil oleh pihak penonton maupun pendukung dalang, ketika dalang sudah pulang sesaji tersebut sudah habis dikonsumsi keluarga dalang atau sudah basi. Ki Anom Suroso mengaskan bahwa kekuatan dan stamina dalang
Kedu pada masa lalu disebabkan oleh pola makan yang teratur dan belum terkontaminasi serta teknik permainan
Wayang yang menghemat energi dalang.
= Masa Keterpurukan dan Kebangkitan
=
Wayang Kedu Gagrag
Wonosaban mengalami masa keterpurukan mendekati kepunahan. Hal ini disebabkan karena Pengrawit, Sinden, Dalang yang telah berusia lanjut bahkan meninggal dunia, dan populernya Pakeliran
Wayang Yogyakarta & Surakarta secara langsung ataupun secara Live streaming. Tinggal beberapa saja Seniman gaya
Kedu Wonosaban yang berusaha menjaga Gaya Asli daerah Wonosobo.
Sejak tahun 2009 telah dikerahkan upaya oleh Agus Suprastya untuk merelevankan kembali
Wayang Kedu Wonosaban. Usaha-usaha ini baru benar-benar membuahkan hasil pada tahun 2021 hingga masa kini. Meskipun tidak sering pentas, tetapi pencatatan pengetahuan, dokumentasi pementasan dan pembangunan relasi dengan kalangan muda lewat pemanfaatan teknologi telah terwadahi dalam YouTube dan Instagram
Wayang Kedu Wonosaban. Upaya pelestarian ini mendapat apresiasi dan menggaungkan eksistensi
Wayang Kedu Wonosaban di kalangan pecinta
Wayang generasi muda, baik dari Wonosobo maupun daerah lain.
= Pathet Nem Ageng
=
Sang Na-hen- ta
Kang a-neng praja Duwara-ka
O… Prabu Sri Bathara-Kre-sna
O…. O… Ong….
Kang kepareng sini-waka
Kersa Lenggah Dhampar ken-ca-na O…..
= Girisa Kedu Pathet Nem
=
Yata, yata
kang kepareng sini-waka
sang nata Bina-thara
O…
Kinayap sagung pra biyada
O….
kang ngampil u-pa-cara
O…. O
Sigra hangendika
Sang bina-tha-ra
O….
= Ada - Ada Pathet Nem Wetah
=
Kres-na pucang ti-tihan-ira
Ti - tihanira garuda Wi-nan-tya
kala cakra pina-yu-ngan
Pi-na-yungan marang Dé-wa-nira
Déwanira cakra kembang
koma jaya koma ra - tih
= Lagon Mambeng Nem
=
O...
Mengeng sang nara na-ta
Wim-buh petenging na-la
O...
Kadya katempuh wengi
Rem surem da-tan pa-dhang
Sang nata hameminta
Rahar-janing pra-ja
Nugrahaning Hyang Widi Wasa
= Ada - Ada Pathet Nem Jugag
=
Sigra tumandang para Korawa
Tinindhihan sang Swa-ta-ma O….
= Lagon Plencung Wetah Badhe Jejer II
=
Myat langening ka-la-ngyan
A-glar pandam mon-car
Tinon lir ke-ko-nang
Surem soro-té tan pa-dhang
Kasor lan pa-jar-ing
Pur-na-meng ge-ga-na
Dha-saré mangsa ka-tiga
A - naweng tunggang an-cala
Asenen kar-ya wi-gena
Ompak
Miwah sining wana
Wrek-sa gung kang tinu-nu. O…
= Lagon Pathet Nem Jugag
=
Ndah meneng sekaring wang-wang
Ngaras padanta raka
Sumungkem mring de-wa-ni-ra
= Suluk Tlutur Ngaraswangi Pathet Nem
=
Satriya mérang ninggal pra-ja
O…
Nge-lingana trahing kusuma
O….
Pranyata sang Pandu putra
O….
Ngupadi ingkang ra-ka
Jengkar saking kasatriyan
Mengeng jroning war-daya
= Lagon Pathet Sanga Wetah
=
Uncung uncung trempalong
Udan ba-rat kyai temeng-gung
Gumebyar du-du li- dah
Men-co-rong dudu rembulan
Yo iku dede-ling Se-ga-ra
Gunung kidul kenthengana la-wé we-nang
Ki-nar-ya wong
Wayang ke-li-ré ra-ga
Dalangè jati swara
sing nonton para sukma
O….
= Ada - Ada Pathet Sanga Jugag
=
Bumi gonjang ganjing
Langit ken-dho kenceng
Mbludag banyuné samo-dra
O…. O….
= Lagon Pathet Sanga Jugag
=
Semar wina-nang
Winangwong ing Jawata
Ngelingana dewa ka-ma-nung-san
= Lagon Mega Pathet Sanga
=
Nung- sung
Panangise wong wedi mati
O…
Ngen-di nggoné dalané swar- ga
Swarga den éntha-éntha
Surya madhangi ja-gad ra-ya
= Lagon Pathet Manyura
=
Bangun isuk bang-bang wétan
Ju-medhul sang surya mi- ngip
Ing tan-cep-ing cakra-wa-la
Su-mo-rot padhang nelahi
Nrabas méga ing langit
Sri ka-wur-yan yen kadulu
Sa-ya inggil sang hyang sur- ya
Soroté madhangi
Byar terwaca sak i- si- né ja-gad ra- ya
= Ada - Ada Pathet Manyura
=
A-na pandita kinarya wangsit, Susuh angin ngendi nggo- né
Buta dira yeksa sara maruta, Wangirung sang bu-ta pe- ngung O….. O...
Mulat mara sang abagus, Esmunya kamanung-san- ira
Referensi