William Godwin (Lahir: 3 Maret 1756 – Meninggal: 7 April 1836) adalah seorang penulis ilmu politik dan juga seorang novelis asal Inggris.
Tak ada yang bisa lebih menyedihkan... Hanya ada satu keberatan cukup besar yang tampaknya menentang segala keutamaan ini (menentang suatu pendidikan libertarian). Si pengajar ketakutan sejak awal, dan berkata: Bagaimana mungkin saya bisa membuat kerja literatur menjadi suatu objek yang menyenangkan, lagi pula, bagaimana mungkin saya bisa menjaga kesenangan ini dengan segala daya kekuatannya kendati ada kemerosotan semangat yang akan terjadi setiap hari, dan kendati ada perubahan kualitas yang terjadi pada hampir segala gairah manusia, bahwa semangatnya sirna seiring surutnya kebaruan objek itu?
Tak ada yang bisa lebih menyedihkan daripada kondisi guru dalam corak-corak pendidikan masa kini. Dia adalah yang terburuk dari para budak. Dia diasingkan ke pemenjaraan yang paling buruk... Seperti orang malang yang ditimpa nasib sial di sebuah kota yang hancur-lebur, dia dihancurkan agar yang lain bisa hidup... Dia dipandang sebagai seorang tiran oleh orang-orang yang berada di bawah wilayah hukumnya, dan dia memang seorang tiran. Dia merusak kesenangan-kesenangan mereka. Dia memberi kepada masing-masing siswa sebagian dari kerjanya yang tidak dia senangi. Dia memantau ketidakberesan dan kesalahan mereka. Dia terbiasa berbicara kepada mereka dengan nada mendikte dan mengecam. Dia adalah sang pesuruh untuk menghukum kebodohan mereka. Dia hidup sendirian di tengah kumpulan banyak orang. (“Tentang Komunikasi Pengetahuan”, Enquirer, IX.)
Bagaimana sebenarnya kita belajar?
Belajar dengan gairah adalah aktivitas yang sesungguhnya; tanpa gairah, belajar tak lain hanyalah aktivitas semu dan sekadar olok-olok. (“Tentang Komunikasi Pengetahuan”, Enquirer, IX.)
Manusia adalah mahluk yang senang bertindak dari dirinya sendiri; dan tindakan yang dilakukan dengan cara ini mengandung kesehatan dan tenaga yang jauh lebih besar ketimbang tindakan yang kepada itu dia digerakkan secara kuat oleh kehendak yang asing bagi kehendaknya sendiri. (“Tentang Pilihan dalam Membaca”, Enquirer, XV.)
...Saya ingin sekali merangsang seorang individu tertentu untuk mencapai pengetahuan. Satu-satunya metode yang mungkin dimana saya bisa membangkitkan gairah seorang mahluk yang peka agar melakukan suatu tindakan sukarela, adalah dengan memunculkan motif. Motif itu ada dua macam, intrinsik dan ekstrinsik. Motif intrinsik adalah motif yang muncul dari sifat yang inheren dari hal yang direkomendasikan. Motif ekstrinsik adalah motif yang tidak memiliki hubungan konstan dan permanen dengan hal yang direkomendasikan, namun tergabung ke dalamnya secara kebetulan atau karena kesenangan individu tertentu.
Jadi, saya bisa merekomendasikan suatu jenis pengetahuan tertentu dengan menunjukkan keunggulan-keunggulan yang niscaya akan hadir saat pengetahuan itu didapat, atau akan mengalir dari penguasaan pengetahuan itu. Atau, di sisi lain, saya bisa merekomendasikannya secara despotis, dengan rayuan atau ancaman, dengan menunjukkan bahwa upaya gigih untuk mempelajarinya akan saya sambut dengan senang hati, dan pengabaiannya akan saya tanggapi dengan rasa tidak senang.
Yang pertama dari kelas-kelas motif ini tak ragu lagi adalah yang terbaik. Digerakkan oleh motif seperti itu adalah kondisi yang murni dan sejati dari seorang mahluk rasional. Dengan mempraktikkannya, niscaya memperkuat penilaian/pertimbangan. Ia mengangkat kita dengan suatu rasa kemandirian. Ia menyebabkan orang bisa berdiri di atas kaki sendiri, dan merupakan satu-satunya metode yang dengan itu orang bisa dibuat benar-benar menjadi seorang individu, mahluk, bukan dari keyakinan yang implisit, melainkan dari pemahamannya sendiri. (“Tentang Komunikasi Pengetahuan”, Enquirer, IX.)
...Pendidikan publik selama ini selalu mencurahkan energinya dalam mendukung prasangka; ia bukan mengajarkan kepada murid-muridnya kegigihan yang akan membawa setiap dalil kepada pembuktiannya, melainkan mengajarkan seni untuk mensucikan ajaran-ajaran seperti itu karena berpeluang untuk dimapankan. Kita mempelajari Aristoteles, atau Thomas Aquinas, atau Bellarmine, atau hakim ketua Coke, bukan agar kita bisa mendeteksi kesalahan-kesalahan mereka, tetapi agar pikiran kita bisa dipenuhi dengan absurditas-absurditas mereka. Ciri ini tampak di setiap spesies kemapanan publik... pelajaran-pelajaran utama yang diajarkan adalah pemujaan yang bersifat tahayul kepada gereja Inggris, dan membungkuk hormat kepada setiap orang yang mengenakan jas necis. Semua ini bertentangan dengan kepentingan umat manusia yang sesungguhnya. (Keadilan Politik, VI, viii.)
Milton telah menulis sebuah puisi sublim tentang cerita konyol perihal memakan sebuah apel, dan tentang dendam abadi yang dideklarasikan oleh Sang Maha Kuasa terhadap seluruh umat manusia, karena nenek moyang mereka bersalah atas pelanggaran yang kelam dan menjijikkan ini. Tujuan puisi ini, sebagaimana dikatakan Milton kepada kita, adalah untuk menjustifikasi cara-cara Tuhan kepada manusia. (B. I, ver. 25). Namun, salah satu hal paling mengesankan yang dengan sendirinya terlihat dari topik ini ialah, bahwa moral yang sesungguhnya dan kesimpulan jelas dari sebuah karangan sering kali tersembunyi selama berabad-abad dari para pembacanya yang paling giat. Kitab-kitab telah diturunkan dari generasi ke generasi sebagai guru sejati yang suci dan perwujudan cinta Tuhan, yang mewakili dia sebagai sesosok despot[1] yang bersifat tirani dan tanpa belas kasihan, sehingga apabila kitab tersebut dipertimbangkan dengan cara-cara selain lewat medium prasangka, maka kitab tersebut tidak bisa mengilhamkan apapun selain kebencian. Tampak bahwa kesan yang kita peroleh dari sebuah buku bergantung kurang-lebih pada isi sebenarnya, ketimbang pada situasi pikiran dan persiapan yang dengan itu kita membacanya. (“Tentang Pilihan dalam Membaca”, Enquirer, XV.)
Apa yang sebaiknya dipelajari anak-anak?
Apakah benar-benar perlu bagi seorang anak untuk mempelajari sesuatu sebelum dia bisa memiliki ide tentang nilai dari sesuatu itu? Adalah mungkin bahwa tidak ada sesuatu pun yang sungguh penting bagi seorang anak untuk dipelajari. Tujuan sesungguhnya dari pendidikan remaja adalah untuk menyediakan, bagi remaja usia lima sampai dua puluh tahun, suatu pikiran yang teratur rapi, aktif, dan siap untuk belajar. Apapun yang akan mengilhami kebiasaan-kebiasaan industri dan observasi, akan bisa menjawab tujuan ini secara memadai. (“Tentang Komunikasi Pengetahuan”, Enquirer, IX.)
...Kalau prinsip-prinsip yang kita baca melulu menumpuk dalam pikiran kita, tak berkembang dan tak berubah, tak ragu lagi bahwa prinsip-prinsip itu hanya akan membuyarkan pikiran kita. Namun, kalau kita membaca dengan semangat yang wajar, barangkali kita tidak bisa membaca terlalu banyak: dengan kata lain, kalau kita memadukan refleksi-refleksi kita sendiri dengan apa yang kita baca; kalau kita membedah ide-ide dan argumen-argumen penulis kita; kalau dengan mencari sumber-sumber tambahan, kita berupaya keras untuk menjernihkan ingatan akan dia dalam pikiran kita; kalau kita membandingkan bagian dengan bagian, mendeteksi kesalahan-kesalahannya, mengembangkan model-model baru dari prinsip-prinsipnya, mengambil darinya bagian-bagian yang memang sangat bagus, dan menjelaskan di dalam diri kita alasan ketidaksepakatan maupun kesepakatan kita, maka seorang pembaca yang bijak akan memiliki ide yang jumlahnya jauh lebih banyak, yang lalu-lalang di pikirannya, ketimbang ide-ide yang disajikan kepadanya oleh si penulis. (“Tentang Belajar”, Enquirer, XI.)
Belajar adalah sekutu, bukan lawan, dari jenius... orang yang membaca dengan semangat yang wajar, jarang sekali akan bisa membaca terlalu banyak. (“Tentang Belajar”, Enquirer, XI.)
Kebebasan dan pengetahuan
Dengan cara apa nalar, yang bebas dari corak-corak dan praktik-praktik dunia yang umum diterima, mengajari kita untuk mengkomunikasikan pengetahuan? Kebebasan adalah salah satu yang terbaik dari semua keunggulan duniawi. Karena itu, saya akan mau mengkomunikasikan pengetahuan tanpa melanggar—atau dengan sesedikit mungkin kekerasan terhadap—kemauan dan penilaian individu orang yang akan diajar. (“Tentang Komunikasi Pengetahuan”, Enquirer, IX.)
Berbicaralah dengan bahasa kebenaran dan nalar kepada anakmu, dan tak usah khawatir akan hasilnya. Tunjukkanlah kepadanya bahwa apa yang anda rekomendasikan itu berharga dan dikehendaki, dan tak usah cemaskan apapun, melainkan bahwa dia akan menghendakinya. (Keadilan Politik, I, iv.)
Kalau sesuatu itu benar-benar bagus, ia bisa ditunjukkan sebagai benar-benar bagus. (“Tentang Komunikasi Pengetahuan”, Enquirer, IX.)
...Karena tujuan sebenarnya dari pendidikan bukanlah untuk membuat murid hanya menjadi duplikat dari pengajarnya, maka justru harus disambut dengan sukacita, bukan diratapi, bahwa beragam bacaan akan membawanya kepada latihan-latihan pemikiran baru... (“Tentang Pilihan dalam Membaca”, Enquirer, XV.)
Kalau kita menginginkan anak-anak kita untuk terus-terang dan tulus dalam perilakunya, kita harus menjaga agar keterus-terangan dan ketulusan tidak menjadi sumber keburukan bagi mereka... penghukuman tidak akan mendapat tempat dalam sebuah sistem pendidikan yang benar-benar bagus; bahkan raut marah dan kata-kata omelan akan sepenuhnya dijauhkan. (“Tentang Penipuan dan Keterus-terangan”, Enquirer, XII.)
Telah ditunjukkan bahwa kesan yang kita peroleh dari sebuah buku, sedikit-banyak tergantung pada isi sesungguhnya dari buku itu ketimbang pada sifat pikiran dan persiapan yang dengan itu kita membacanya. Karena itu, tampaknya ini harus dilanjutkan dengan prinsip bahwa, seorang pengajar yang terampil tidak perlu terlalu cemas untuk menghargai buku-buku yang akan dipilih muridnya sebagai bahan bacaan. Dalam hal ini, ungkapan terkenal dari rasul Paulus dapat diakui kebenarannya: Bagi orang yang murni, segala sesuatu itu murni. (“Tentang Pilihan dalam Membaca”, Enquirer, XV.)
Percayakanlah [siswa itu] sampai tingkat tertentu pada dirinya sendiri. Perkenankan dia dalam beberapa hal untuk memilih bahan bacaannya sendiri. Akan ada bahaya kalau harus ada sesuatu yang harus dipelajari dan monoton dalam pemilihan yang harus kita lakukan bagi siswa itu. Perkenankan dia untuk menjelajahi rimba literatur. (“Tentang Pilihan dalam Membaca”, Enquirer, XV.)
...Anak-anak haruslah diajak ke diskusi yang sesungguhnya, bukan ke kancah diskusi olok-olok yang memalukan. (“Tentang Penalaran dan Perdebatan”, Enquirer, XI.)
Pengetahuan dan kekuasaan
Tidak ada kesenjangan di antara umat manusia yang memungkinkan seorang manusia untuk mencengkeram beberapa manusia lainnya dalam ketertundukan, kecuali sejauh mereka memang mau ditundukkan. Semua pemerintahan didirikan berdasarkan opini. Orang-orang pada masa kini hidup dalam suatu bentuk tertentu, karena mereka menganggap sebagai kepentingan mereka untuk melakukan hal sedemikian itu. Satu bagian sesungguhnya dari sebuah komunitas atau imperium dapat dicengkeram dalam ketertundukan dengan paksaan; tetapi ia tidak bisa berupa paksaan personal dari sang despot mereka; ini pastilah paksaan dari satu bagian lainnya dari komunitas tersebut, yang memegang pendapat bahwa adalah kepentingan mereka untuk mendukung kekuasaannya. Hancurkanlah opini ini dan sistem yang dibangun berdasarkan opini ini, hingga runtuh ke tanah. (Keadilan Politik, II,iii.).
[1] Orang yang memerintah dengan sewenang-wenang
William Godwin, adalah salah seorang tokoh politik penting di Inggris yang banyak menulis mengenai banyak hal.
Godwin dipertimbangkan sebagai pemikir anarkis mula-mula. Ia menikah dengan Mary Wollstonecraft, seorang penulis feminis pada tahun 1797, dan bersamanya melahirkan seorang anak yang diberi nama Mary. Anak ini dikemudian hari dikenal dengan nama Mary Shelley si penulis karya sastra terkenal dan banyak diolah menjadi bahan film yaitu cerita "Frankenstein". Mary
Godwin menikahi Penyair Era romantis Percy Bysshe Shelley yang juga seorang anarkis. Percy Shelly pernah menjadi kawan diskusi
William Godwin.
Judul Asli:
William Godwin on Education
Versi Inggris: [1]