Zainal Sabaruddin Nasution atau Mayor
Sabaruddin (lahir di Kotaraja, Aceh, Indonesia pada tahun 1922 - meninggal di Madiun, Indonesia pada 24 November 1949) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia yang ditakuti karena terkenal kejam dan bengis. Sabarudin pernah mengeksekusi secara terbuka seorang bernama Suryo yang dituduh sebagai mata-mata Belanda. Padahal, Suryo merupakan sesama bekas anggota PETA. Eksekusi itu ternyata di latar belakangi dendam pribadi terkait asmara. Antara Sabarudin dan Suryo pernah terlibat persaingan memperebutkan putri Bupati Sidoarjo yang terkenal cantik. Meski kejam, Sabarudin memiliki ratusan pendukung fanatik. Dia ditakuti, tetapi sekaligus dihormati dan dipuja anak buahnya
Dari Jurutulis, PETA, Hingga Menjadi Mayor
Zainal Sabaruddin Nasution lahir di Kotaraja, Aceh, pada 1922. Bapaknya seorang jaksa. Ibunya menikah lagi setelah menjanda dengan seorang Belanda bernama Knoop. Mayor
Sabaruddin dengan kakak laki-lakinya yang setahun lebih tua, Djalaluddin, tumbuh bersama bapak tirinya. Sesudah menamatkan sekolah menengah pertama (MULO), dia bekerja sebagai jurutulis di kantor Kabupaten Sidoarjo dan sebagai pemegang buku suatu perkebunan tebu. Ada kesaksian yang mengatakan bahwa sesungguhnya
Sabaruddin muda sebelum perang kemerdekaan adalah sosok yang pemalu dan penakut. Namun saat Jepang menduduki Indonesia, dia sempat mengajukan permohonan untuk mengikuti pendidikan perwira PETA di bogor kepada atasannya, menteri kabupaten Moehammad, tetapi ditolak karena riwayat pendidikannya yang terhitung rendah. Ketika pada akhirnya Mayor
Sabaruddin bergabung dengan PETA, Mayor
Sabaruddin kembali bertemu dengan Soerjo, mantan atasannya ketika masih bekerja sebagai jurutulis di kabupaten Sidoarjo. Soerjo merupakan putra Suwongso, seorang pegawai menengah di Kantor Residen Surabaya zaman Belanda. Mereka berada dalam satu batalyon (daidan) PETA, yaitu daidan III Buduran Sidoarjo, pimpinan Mohamad Mangundiprojo. Soerjo jadi Chudancho (komandan kompi) dan Mayor
Sabaruddin jadi komandan peleton (Shodancho), tetapi beda kompi. Seiring perjalanan waktu, di mana saat itu suasana demikian genting karena terjadi perebutan kekuasaan antara pemuda dan Jepang, nama Mayor
Sabaruddin pun melejit.
Usai proklamasi, Mayor
Sabaruddin ditunjuk menjadi komandan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR) karasidenan Surabaya. Mula-mula berpangkat kapten, kemudian mayor. Dia bertugas mengawasi tawanan Jepang, orang-orang Belanda yang meninggalkan kamp dan datang ke Surabaya, serta orang Indonesia yang jadi tahanan.
Doyan Fitnah dan Awal Kegilaan Mayor Sabaruddin
Disinilah dimulai semuanya. Kekejaman Mayor
Sabaruddin melegenda. Kepada para tawanan yang tak disukainya, Mayor
Sabaruddin berlaku brutal. Para penentangnya disiksa dan dibunuh, bahkan dengan cara eksekusi yang keji. Menurut Jasin, Mayor
Sabaruddin tega “mengikat orang yang ditangkap pada dua ekor kuda yang kemudian dilarikan ke arah berlawanan. Akibatnya, badan orang itu terputus menjadi dua dan mati. Ada pula yang disirami dengan bensin dan dibakar habis.” Hampir semua orang di Surabaya dan Sidoarjo yang hidup pada zaman revolusi pernah mendengar kisah kebengisannya. Dia sewenang-wenang memperlakukan musuh-musuhnya, tawanan perang, bahkan rekan sendiri. Demi menghabisi lawan-lawannya, dia tak ragu melontar fitnah, termasuk kepada Soerjo.
Ketika itu, Mayor
Sabaruddin menuduhnya dengan bukti selembar foto yang menampilkan Soerjo bersanding dengan Ratu Wilhelmina, sebagai spion Belanda. Tetapi, Soerjo kemudian dibebaskan lantaran pernah membantu perjuangan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pimpinan Moestopo mengambil mitraliur berat kaliber 12,7 mm dan mitraliur kaliber 7,7/303 LE. Namun demikian, selang dua hari, Mayor
Sabaruddin kembali menangkap Soerjo dan tanpa proses hukum ia mengeksekusi musuhnya pada saat itu juga. Ia menggelandang Soerjo ke alun-alun Sidoarjo, lantas mengikatnya ke tiang. Tanpa proses pemeriksaan lebih lanjut, Mayor
Sabaruddin menembaknya dari jarak dekat dengan pistol. Tembakan itu tak mengakhiri hidup Soerjo. “Mayor
Sabaruddin mengambil samurai Jepang dan menebas leher pemuda itu hingga tewas,” tulis Moehammad Jasin dalam Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang.
Soerjo memang pernah berfoto bersama Ratu Wilhelmina. Namun foto itu diambil semasa dia sebagai anggota Kelompok Kepanduan Hindia Belanda atau Vereeniging Nederlandsch Indische Padvinders (NIPV) yang turut dalam jambore ke Negeri Belanda. Menurut Suhario Patmodiwiryo yang akrab disebut Hario Kecik dalam Si Pemburu, volume 2, alasan pembunuhan itu ialah “rivalisme antara Mayor
Sabaruddin dan Soerjo pribadi dalam masalah memperebutkan seorang puteri Bupati Sidoarjo.” Bukti foto hanyalah alat untuk menggeret Soerjo memuaskan rasa sakit hati Mayor
Sabaruddin. Puteri Bupati tersebut ternyata lebih memilih Soerjo karena dia lulusan OSVIA dan punya pengalaman pergi ke Belanda.
Kembali dengan alasan mata-mata, Mayor
Sabaruddin pernah menangkap sejumlah tokoh pejuang, di antaranya terhadap Basuki, kepala Biro Polisi Surabaya, yang ketika terjadi pertempuran di Surabaya mengungsikan keluarganya dengan menaiki sebuah mobil mewah ke Kediri. Dalam perjalanan kembali ke Surabaya, secara kebetulan mobilnya melewati markas Mayor
Sabaruddin yang kemudian memerintahkan anak buahnya untuk merampas mobil tersebut, dan menangkap Basuki beserta Soeprapto, Asisten Wedana Prambon. Mereka dituduh sebagai mata-mata NICA dan dijebloskan ke penjara Sidoarjo.
Semua ini secara tidak sengaja terungkap oleh Inspektur Polisi M. Jasin, komandan Pasukan Polisi Perjuangan (P3) cikal bakal Brigade Mobil (Brimob). Sekitar akhir November 1945, dia ketika itu sedang memindahkan markas P3 ke Sidoarjo di gedung kepatihan. Ketika itu dia sedang berkunjung ke penjara Sidoarjo untuk meminta bantuan beras, dan terkejut ketika mendapati Kepala Biro Polisi Surabaya tersebut berada dalam tahanan. Di bawah peringatan untuk tidak mencampuri urusan PTKR, Inspektur M. Jasin akhirnya diizinkan untuk menemui Basuki dan Soeprapto, yang dengan gemetar menjelaskan duduk persoalannya. Kembali ke markas, Inspektur M. Jasin langsung membuat nota kepada Mayor
Sabaruddin untuk meminta pembebasan keduanya, tetapi dimentahkan. Merasa direndahkan, Inspektur M. Jasin melayangkan nota kedua, tetapi kali ini diiringi dengan unjuk kekuatan Mobil-mobil lapis baja dan pasukan P3 disekitar markas Mayor
Sabaruddin. Mayor
Sabaruddin melunak. Keduanya akhirnya berhasil dibebaskan, walaupun sempat kucing-kucingan karena ternyata tanpa sepengetahuan Inspektur M. Jasin, keduanya telah dipindahkan ke penjara Mojokerto, sebagai titipan dari penjara Sidoarjo. Entah karena Mayor
Sabaruddin “jiper” atau apa, setelah kejadian itu dia memindahkan markas PTKR ke Pacet, Mojokerto.
Meskipun kejam, Mayor
Sabaruddin tetap memiliki ratusan pendukung fanatik. Dia ditakuti, tetapi sekaligus dihormati dan dipuja anak buahnya, sehingga menjadikan pasukannya kompak dan sangat efektif. Rahasia kepemimpinannya adalah, dia mampu menghadapi dan memenuhi kebutuhan anak buahnya, meskipun untuk itu bila perlu ditempuh lewat cara yang ilegal.
Penculikan Mayjen Mohammad Mangundiprojo, Bendahara BKR Jawa Timur
Disinilah dia makin menjadi. Di antara para komandan pasukan di Surabaya, hanya Mayor
Sabaruddin yang paling sering datang ke Markas BKR Jawa Timur untuk meminta dana perjuangan. Bendahara BKR Jawa Timur, Mayor Jenderal Mohamad Mangundiprojo, sudah sejak lama tidak suka dengan sepak terjang Mayor
Sabaruddin yang brutal dan ditakuti rakyat. Dia pernah mendapat laporan dari salah satu staf nya, bahwa Mayor
Sabaruddin diindikasi menggunakan dana perjuangan tersebut untuk kepentingan pribadinya sendiri. Suatu hari, Mayor Jenderal Mohammad Mangundiprojo menolak memberi dana lagi, sebelum Mayor
Sabaruddin dapat mempertanggung jawabkan uang yang telah diterima sebelumnya. Mayor
Sabaruddin marah, dan mengancamnya. Mulai saat itu, Mayor
Sabaruddin menyebar fitnah bahwa Mayor Jenderal Mohamad Mangundiprojo adalah orang yang korup dan dituduhnya sebagai mata-mata Belanda.
Pada awalnya Mayor Jenderal Mohamad Mangundiprojo diam saja. Namun, begitu mendengar Bupati Sidoarjo dan Mojokerto juga ikut disekap oleh Mayor
Sabaruddin, kesabarannya pun habis. Dia menilai tingkah laku Mayor
Sabaruddin itu sudah kelewat batas dan berbahaya. Bukan saja berbahaya bagi dirinya, melainkan juga berbahaya bagi ketahanan pertahanan garis depan. Sebagai ketua DPRI (Dewan Pertahanan Rakyat Indonesia), Mayor Jenderal Mohamad Mangundiprojo membuat surat perintah penangkapan Mayor
Sabaruddin. Alih-alih, Oleh Mayor
Sabaruddin Surat Perintah itu lalu dibawa ke MBT untuk dilaporkan kepada Letjen Oerip Soemohardjo, yang kemudian menelepon Mayjen Mohamad, meminta agar mencabut kembali perintah penangkapannya. Namun Mayjen Mohammad menjawab, selaku tentara ia memang wajib menaati perintah Pak Oerip selaku atasan, tetapi sebagai ketua DPRI yang bertanggung jawab atas pertahanan Surabaya, ia terpaksa menolak perintah tersebut. Pak Oerip kemudian memerintahkan Mohamad dan Mayor
Sabaruddin agar segera datang ke Yogyakarta guna menjelaskan dan mempertanggungjawabkan tindakannya. Merasa gemas, Mayjen Mohammad langsung berangkat ke Yogyakarta hari itu juga.
Namun, ternyata Mayor
Sabaruddin lebih dulu tiba di markas MBT dengan membawa 11 truk pasukan lengkap. Dengan cerdik, cepat dan rapi, Mayor
Sabaruddin langsung menyebar pasukannya di markas MBT, dan melucuti para penjaganya. Saking hebat dan kompaknya pasukan Mayor
Sabaruddin, Jenderal Soedirman dan Letjen Oerip Soemohardjo yang sedang mengikuti rapat dengan para staff nya tidak menyadari kalau markas MBT sedang di take over oleh pasukan Mayor
Sabaruddin. Mayjen Mohammad yang baru datang dan sedang menunggu giliran untuk menghadap, dihampiri oleh 3 anak buah Mayor
Sabaruddin. Sempat menolak untuk angkat tangan ketika ditodong anak buah Mayor
Sabaruddin, Mayjen Mohammad dikeroyok serta dipukuli. Ketika sudah tidak berdaya, dia dimasukkan kedalam salah satu truk, dan dengan rapi pasukan Mayor
Sabaruddin meninggalkan markas MBT, disaksikan ajudan dan para pengawal Mayjen Mohammad yang tidak berdaya karena sudah dilucuti juga.
Letjen Oerip Soemohardjo dan para perwira yang lain baru menyadari akan kejadian penculikan ini, ketika ada letusan senjata beberapa kali, yang bahkan salah satunya nyaris mengenai Jenderal Soedirman, yang secara sigap langsung tiarap. Ketika situasi reda, para perwira berlarian menuju halaman depan MBT, tetapi pasukan Mayor
Sabaruddin sudah keburu pergi.
Operasi Pembebasan
Berita penculikan di markas MBT ini sampai di telinga Presiden Soekarno, dia langsung menugaskan TKR Divisi VI pimpinan Kolonel Soediro, yang kebetulan kawan karib Mayjen Mohammad, untuk memimpin operasi pembebasannya. Kolonel Soediro memerintahkan Resimen Madiun (pimpinan Letkol Sumantri) dan Resimen Kediri (pimpinan Letkol Surachmad) mencegat konvoi Mayor
Sabaruddin. Sumantri di Madiun memerintahkan Kapten Rukminto, kepala staf resimen, untuk melakukan pencegatan di Ngawi. Pencegatan pertama di Ngawi gagal. Mayor
Sabaruddin tidak mau distop, sedang Kapten Rukminto yang hanya membawa pasukan kawal kecil tidak mau mengambil risiko berkonfrontasi langsung dengan Mayor
Sabaruddin. Memperoleh laporan kegagalan tadi, Letkol Sumantri kemudian menelepon peleton yang bertugas menjaga gudang mesiu di Saradan, agar melakukan pencegatan. Tetapi ketika mereka menghadang, ternyata konvoi Mayor
Sabaruddin telah lewat. Soemarsono yang memperoleh berita serupa juga menyiap-siagakan pasukan Pesindo dan bermaksud mencegat Mayor
Sabaruddin di Madiun, tetapi mereka kecele, karena Mayor
Sabaruddin tak lewat Madiun. Resimen Surachmad memperoleh tugas melakukan pencegatan di Kediri dan Kertosono, masing-masing dengan kekuatan 1 kompi. Mereka menyusun stelling di sekitar jembatan Kali Brantas di kedua kota tersebut. Pasukan Letkol Surachmad lah yang pada akhirnya berhasil mencegat konvoi Mayor
Sabaruddin di jembatan Kertosono. Pasukan Surachmad yang melakukan pencegatan itu adalah kompi Polisi Tentara pimpinan Kapten Heri Harsono. Kolonel Soediro juga turut terjun langsung dalam operasi penghadangan tersebut.
Sadar telah masuk perangkap, mau tak mau Mayor
Sabaruddin beserta pasukannya berhenti, dan diajak dialog oleh Kolonel Soediro beserta staff nya. Dalam perundingan itu semula Mayor
Sabaruddin bersikeras tidak mau menyerahkan Mohamad, dengan alasan, katanya, Mayjen Mohamad telah meninggal. Kolonel Soediro menegaskan bahwa dia ditugaskan MBT membebaskan Mohamad baik hidup ataupun mati. Melihat situasi yang tidak menguntungkan pasukannya, Mayor
Sabaruddin akhirnya terpaksa menyerahkan Mohamad. Tetapi ia tetap mengancam, bahwa suatu hari nanti, dia akan menangkapnya lagi. Akhirnya rombongan pasukan pembebasan balik kanan menuju Kediri, membawa Mayjen Mohammad ke Kediri untuk diobati, sedangkan Mayor
Sabaruddin dan pasukannya kembali ke markasnya.
Mayor
Sabaruddin dan pihak yang berdiri di belakang peristiwa penculikan Mayjen Mohamad, mungkin tidak menyadari dan tidak membayangkan bahwa kasus penculikan tersebut akan berekor panjang dan berakibat buruk bagi mereka semua.
Operasi penangkapan dan Pengadilan Mayor Sabaruddin
Akibat peristiwa penculikan ini, pusat tidak tinggal diam. DPRI mengerahkan pasukan gabungan untuk menyerang markas Mayor
Sabaruddin di Mojokerto. Pasukan gabungan ini terdiri dari Pasukan Perjuangan Polisi (P3) yang langsung mendapat perintah dari Jenderal Soedirman, Pesindo, Hizbullah dan Laskar Minyak. Walaupun sempat terkepung, Mayor
Sabaruddin sempat lolos dengan wakilnya, Ali Umar menggunakan mobil, tetapi akhirnya disergap di simpang empat Mojosari, di antara Mojokerto dan Porong.
Inspektur M. Jasin yang dalam penyergapannya tersebut, menemukan 8 wanita eropa dan indo-belanda yang ternyata sedang hamil di bungalow indah yang terletak di lereng utara Gunung Arjuno, bekas peninggalan Belanda. Mayor
Sabaruddin ternyata doyan mengumpulkan wanita-wanita eropa untuk dijadikan harem. Selain itu ditemukan juga sejumlah empat karung/besek penuh yang berisi emas batangan, perhiasan, dan berlian. Benda-benda tersebut diperkirakan dirampas oleh Mayor
Sabaruddin dari kamp-kamp tahanan Eropa yang masih tersisa sejak ditinggalkan oleh Jepang. Menurut cerita, tidak ada satupun di antara benda-benda berharga tadi yang dikutip oleh Inspektur M. Jasin. Padahal perintah Jenderal Soedirman hanya meminta untuk melucuti persenjataan dan menangkap komplotan
Sabaruddin, bukan termasuk mengumpulkan barang-barang bukti hasil kejahatan.
Sejalan dengan reorganisasi TRI menjadi tentara yang lebih teratur maka tata disiplin tentara dan hukum tentara mulai ditegakkan. Senapas dengan usaha pembaharuan itulah maka MBT dalam menangani kasus Mayor
Sabaruddin menindaknya melalui jalur hukum. PTKR Mayor
Sabaruddin dibubarkan, bekas anak buahnya dilebur dalam batalyon Darbi
Nasution di Gombong, sedang para perwiranya yang terlibat, diajukan ke Mahkamah Tentara. Mayor
Sabaruddin sebagai pelaku utama dalam kasus penculikan itu dipecat dari dinas ketentaraan dan dijatuhi hukuman penjara 7 tahun. Sedang anak buahnya yang perwira, sejumlah 6 orang ditahan di penjara Wirogunan Yogya selama 100 hari. Setelah dibebaskan, mereka dikembalikan menjadi TRI, tetapi hanya diberi pangkat prajurit.Dari penjara di Wirogunan, Yogyakarta, Mayor
Sabaruddin dipindah ke penjara Ambarawa, disana dia berkenalan dengan Tan Malaka, yang di akhir cerita nanti, akan menjadi menjadi petualangan terakhirnya.
Semasa dia di penjara, pada 21 Juli 1947, Belanda melakukan Agresi Militer yang pertama, dan menduduki Ambarawa. Mayor
Sabaruddin memanfaatkan situasi gawat ini dengan membujuk Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta supaya dibebaskan, dan dikabulkan. Dia bahkan ditugaskan membentuk laskar dengan syarat mau ditempatkan di Jawa Barat. Dalam waktu tak lama dia berhasil mengumpulkan kembali sekira 1 kompi yang sebagian besar bekas anak buahnya. Tapi bukannya pergi ke Jawa Barat, Mayor
Sabaruddin malah kembali ke Jawa Timur dan mendirikan Laskar Rencong. Dinamakan Laskar Rencong, karena saat dibentuk, persenjataan mereka hanyalah senjata tajam, dan satu buah pistol yang dipegang langsung oleh Mayor
Sabaruddin.
Menumpas Gerombolan PKI Madiun 1948
Pecahnya peristiwa pemberontakan PKI 1948 di Madiun membuat pemerintahan pusat memperkuat militernya, dan membutuhkan semua sumber yang ada. Adalah Kabinet Hatta yang mencoba memberi Mayor
Sabaruddin untuk mendapat peluang baru. Mengetahui Mayor
Sabaruddin adalah kawan karib Tan Malaka dan sama-sama membenci PKI, Laskar Rencong Mayor
Sabaruddin termasuk yang ikut direhabilitasi. Kesatuannya diakui sebagai Batalyon 38 di dalam sebuah brigade yang dipimpin Letkol Surachmad, dia diangkat menjadi komandan Batalyon 38 dan kembali mendapatkan pangkat Mayor nya. Dalam kedudukan itu bersama kesatuan TNI lainnya mereka aktif beroperasi menumpas pemberontakan PKI di Madiun dari sebelah timur, menjepit salah satu kekuatan PKI, Brigade 29 pimpinan Letkol Dachlan, yang pada saat itu mulai frustasi menghadapi tekanan pasukan Siliwangi dari arah barat.
Termakan gertakan Mayor
Sabaruddin, Brigade 29 akhirnya menyerah bulat-bulat kepada pasukan Mayor
Sabaruddin, lebih dikarenakan karena merasa lebih baik menyerah kepada pasukan yang dia kenal, daripada menyerah kepada pasukan Siliwangi yang dia tidak kenal sama sekali. Ratusan senjata dan perlengkapannya, mereka serahkan pada Mayor
Sabaruddin. Sedang Letkol Dachlan sendiri bersama perwira stafnya seperti Mayor Koesnandar dan Mayor Mustafa ditawan Mayor
Sabaruddin. Sejak itu persenjataan pasukan Mayor
Sabaruddin pulih kembali kekuatannya. Muncul rumor bahwa pada akhirnya Letkol Dachlan dan staff nya dieksekusi mati di Ngantang, Kediri, tetapi Mayor
Sabaruddin menolak untuk bertanggung jawab, dan melemparnya kepada Letkol Surachmad, atasannya sendiri.
Selesai operasi penumpasan PKI 1948, Mayor
Sabaruddin menjalin hubungan yang lebih akrab dengan Tan Malaka, sahabat barunya yang dia kenal sewaktu mereka berdua sama-sama dipenjara di Ambarawa. Tan Malaka membutuhkan dukungan di kalangan militer sehingga mengira mampu memperoleh peluang pula melalui tokoh Mayor
Sabaruddin. Begitu pula Mayor
Sabaruddin, Perasaan senasib dalam penjara, menyebabkan dia dengan mudah jatuh di bawah pengaruh Tan Malaka. Sejak itu ia bukan hanya menjadi pengikut, tetapi juga menjadi pengagum Tan Malaka yang fanatik, selalu hadir disetiap pertemuan-pertemuan rahasianya, dan menjadi pengawal pribadinya.
Kembali membuat onar
Ketika Agresi Militer Belanda yang kedua pecah, Yogyakarta diduduki, dan Soekarno Hatta ditawan. Tan Malaka mencoba untuk mengambil kesempatan untuk mengambil alih pimpinan perjuangan melawan Belanda dengan mencoba menyiarkan kampanye anti Soekarno Hatta melalui radio diwaktu bergerilya bersama Mayor
Sabaruddin didaerah Gunung Wilis. Mayor Yonosewoyo, salah satu perwira yang terlibat penculikan Mayjen Mohammad yang ikut ditangkap dan diadili sewaktu peristiwa tersebut, mengaku pernah diajak oleh Mayor
Sabaruddin untuk mengikuti rapat rahasia dengan Tan Malaka di Belimbing, dan dijanjikan posisi Menteri Pertahanan, sedangkan Mayor
Sabaruddin sebagai Panglima besarnya. Yonosewoyo yang sudah insyaf, menganggap rencana ini sebagai makar, dan secara diam-diam mengadukan rencana tersebut kepada Letkol Surachmad yang langsung diteruskan kepada Komandan Divisi dan Gubernur Militer, Kolonel Sungkono. Walaupun para pendukung Tan Malaka menuduh rencana itu hanyalah hasil rekayasa Yonosewoyo dan Surachmad, tanggal 17 Februari 1949 Kolonel Sungkono selaku Gubernur Militer memutuskan untuk membubarkan Batalyon 38 dan membebaskan Mayor
Sabaruddin dari tanggung jawab komandan Batalyon.
Namun bukan Mayor
Sabaruddin namanya, kalau dia menerima perintah tersebut. Ditolak mentah-mentahnya keputusan tersebut. Sehingga tidak ada jalan lain, jalan kekerasan untuk meringkus Mayor
Sabaruddin dimulai. Dipagi hari tanggal 19 Februari 1949, kompi 45 “Macan Kerah” pimpinan Kapten Sampurno mengepung markas Mayor
Sabaruddin di Belimbing, Kediri arah utara, dari 4 penjuru. Pengepungan mendadak itu berhasil mengunci dan menjebak pasukan Mayor
Sabaruddin. Tan Malaka dan sekitar kurang lebih 100 pasukannya berhasil dilucuti.
Dalam perjalanan menggiring para tawanan, Kompi 45 mendadak diserang oleh pasukan Mayor
Sabaruddin yang lain, pimpinan Kapten Achmad Ismail didaerah Nganjuk. Akibat serangan itu, para tawanan berhasil meloloskan diri, mereka terbagi dalam 3 rombongan, dua rombongan bersama Mayor
Sabaruddin bergerak ke timur menyeberangi Kali Brantas, sedang rombongan yang lain termasuk Tan Malaka bergerak ke selatan menuju ke Trenggalek. Waktu rombongan Tan Malaka tiba di desa Mojo, kurang lebih 10 km di selatan Kediri di tepi Kali Brantas, mereka kepergok pasukan TNI dan di tempat inilah Tan Malaka ditembak hingga tewas. Rombongan Mayor
Sabaruddin di sebelah timur Kali Brantas bertemu dengan Mayor Banuredjo, komandan Batalyon 22 beserta dua perwira stafnya Kapten Rustamandji dan Letnan Pamudji. Mayor
Sabaruddin menangkap dan menawan ketiga perwira tersebut dan selanjutnya membunuhnya di Malang Selatan.
Akhir Petualangan
Kematian Banuredjo menambah murka Surachmad dan para komandan brigade di Jawa Timur lainnya. Dan Mayor
Sabaruddin, meski berhasil meloloskan diri, makin terdesak oleh tentara yang terus mengejarnya. November 1949 pasukannya terjepit di Kawi Selatan, Malang. Kolonel Soengkono, panglima dan gubernur militer di Jawa Timur, membujuk Mayor
Sabaruddin lewat surat. Isi surat tersebut ialah perintah supaya Mayor
Sabaruddin menghadap Soengkono di Surabaya, hendak diajak membahas upaya perundingan gencatan senjata antara TNI-Belanda. Kali ini Mayor
Sabaruddin melunak. Dengan menunggang kuda, Mayor
Sabaruddin turun gunung menuju Surabaya. Tapi sesampainya di Surabaya, Soengkono sudah bertolak ke Nganjuk, tempat dilangsungkannya perundingan gencatan senjata itu.
Mayor
Sabaruddin bertemu dengan tentara-tentara Belanda yang juga akan berangkat ke Nganjuk untuk perundingan. Mengingat pangkatnya yang lumayan tinggi, dia diperlakukan dengan hormat oleh Belanda. Bahkan dia difasilitasi mobil dan berbarengan dengan delegasi Belanda berangkat ke Nganjuk.
Di Nganjuk, pada saat para komandan sedang rapat, tiba-tiba datang Mayor Mayor
Sabaruddin hendak turut serta menghadiri rapat tersebut. Kehadiran Mayor
Sabaruddin yang tak diundang itu cukup mengejutkan dan menggelisahkan para perwira yang hadir, terutama bagi perwira pasukan yang pernah ditugaskan menangkap, bertempur melawannya. Mayor
Sabaruddin yang berkali-kali telah bikin onar dan bertanggung jawab atas tewasnya sejumlah orang, dinilai tidak bisa lagi diampuni.
Usai perundingan, Kolonel Soengkono mengajak Mayor
Sabaruddin menuju markasnya di Ngluyu, juga di kabupaten yang sama. Pada kesempatan itu beberapa pengikutnya yang masih bersimpati turut memohon kepada Soengkono supaya Mayor
Sabaruddin dimaafkan. Namun, Soengkono sudah mengambil keputusan. Mayor
Sabaruddin ditahan.
Surachmad yang masih menyimpan dendam kepada Mayor
Sabaruddin turut mendengar bahwa Mayor
Sabaruddin hendak dihukum tahanan. Dia menganggap hukuman itu tak tak cukup setimpal. Ketika Letkol Surachmad mendengar kejadian tersebut, ia memerintahkan CPM (Corps Polisi Militer) yang di bawah komandonya untuk mengambil Mayor
Sabaruddin dan membawanya ke Madiun untuk diadili.
Sekitar 24 November 1949, sesuai kehendak Surachmad, anggota CPM menyeret Mayor
Sabaruddin ke Madiun. Dalam perjalanan menuju Madiun, di Wilangan, Mayor
Sabaruddin dieksekusi sesudah pengadilan militer di medan perang menjatuhkan hukuman mati. Berakhirlah petualangan Mayor
Sabaruddin.
Ada versi lain yang mengatakan bahwa sebenarnya Kolonel Sungkono tidak memberikan perintah seperti itu kepada Mayor
Sabaruddin, berdasarkan pernyataan H. Abdul Wahab, salah seorang perwira bawahan Mayor
Sabaruddin. Sewaktu bergerilya di Malang Selatan, ia pernah diperintahkan Mayor
Sabaruddin untuk turun ke Surabaya untuk mengurus sesuatu, dan bertemu dengan seorang perwira utusan Kolonel Sungkono, yang justru membawa pesan untuk Mayor
Sabaruddin agar jangan turun ke kota, apabila dilanggar, tahu sendiri akibatnya. Abdul Wahab segera menemui Mayor
Sabaruddin di Malang Selatan, menyampaikan pesan tadi. Tetapi reaksi Mayor
Sabaruddin justru berbuat sebaliknya. Mula-mula ia turun ke kota Malang terus ke Surabaya. Sebagai seorang “Mayor TNI” ia diperlakukan dengan hormat oleh pihak tentara Belanda, ia ditempatkan di Hotel Oranje dan diberi fasilitas kendaraan mobil sedan segala. Waktu diselenggarakan perundingan gencatan senjata di Gondang Nganjuk, antara militer Belanda dengan TNI, Mayor
Sabaruddin turut datang bersama delegasi militer Belanda. Sungkono yang hadir dalam perundingan tersebut, terkejut melihat kedatangan Mayor
Sabaruddin yang tak diduga-duga itu. Selesai perundingan, Mayor
Sabaruddin mengikuti Sungkono pulang ke Nglayu, Nganjuk markas gerilya Sungkono. Di Nglayu itulah riwayat hidup Mayor
Sabaruddin berakhir seperti telah dikisahkan di depan. Menurut penilaian Abdul Wahab dan Letkol Purn. Suradji, ajudan Sungkono tahun 1946-1952, terjadinya eksekusi terhadap Mayor
Sabaruddin itu rupanya berada di luar kontrol dan kemauan Kolonel Sungkono. Ia memang memerintahkan penangkapan atas diri Mayor
Sabaruddin, tetapi hal itu tak berarti harus mengeksekusinya. Mungkin ia bermaksud menyelesaikannya kasus Mayor
Sabaruddin melalui jalur hukum, sebagaimana mestinya. Tetapi anak buah Sungkono yang mengeksekusi Mayor
Sabaruddin menilai hukuman tersebut sudah setimpal dengan perbuatan dan dosa Mayor
Sabaruddin di masa lampau.
Sumber
http://www.merdeka.com/peristiwa/mayor-sabarudin-dan-noda-hitam-perjuangan-kemerdekaan.html
http://historia.id/persona/berebut-perempuan-berbuntut-kekejaman
http://historia.id/persona/ditakuti-sekaligus-dihormati
https://books.google.com/books?isbn=9792251774