Zhao Tuo (Hanzi: 赵佗, Zhào Tuó, 230 SM – 137 SM) atau Triệu Đà dalam ejaan Vietnam adalah seorang jenderal Dinasti Qin yang kelak mendirikan kerajaan Nan Yue (Hanzi: 南越, bahasa Viet: Nam Việt) yang merupakan sebuah kerajaan kuno, terletak di perbatasan antara Tiongkok selatan dan Vietnam utara. Di tempat itu juga dia mendirikan Dinasti
Zhao/ Trieu.
Zhao dilahirkan di Zhending (真定), bagian utara Tiongkok. Dinasti Qin mengirimnya dalam ekspedisi ke selatan. Tahun 206 SM,
Zhao mengalahkan kerajaan Au Lac di An Dương Vương dan menyatukan wilayah itu dengan Guangdong dan Guangxi yang berada di bawah komando militernya pada masa Dinasti Qin. Dia menikahi seorang wanita Yue.
Menjelang berakhirnya Dinasti Qin,
Zhao mengambil alih kekuasaan di daerah yang meliputi sekarang meliputi Guangdong dan Guangxi. Disana dia membangun kekutannya melalui persekutuan dengan para bangsawan dan kepala suku lokal, dia lalu mendeklarasikan dirinya sebagai Raja Nanyue dan mendirikan ibu kotanya di Panyu (番禺, sekarang daerah Guangzhou). Keadaan saat itu belum benar-benar damai. Di bagian utara ada Changsha (长沙) yang telah dilanda konflik berkepanjangan, di timur ada negara Minyue yang suka berperang, di selatan ada negara Yi Barat Daya (西南夷) yang tidak menerima budaya Han. Selain itu di dalam Nanyue sendiri ada Ou Barat (西甌) dan Luo Yue (駱越) yang belum sepenuhnya tunduk. Namun ancaman terbesar bagi Nanyue adalah Dinasti Han yang mengincarnya. Sejak awal, Kaisar Han Gaozu (Liu Bang) telah menempatkan Raja Changsha, Wu Rui (吴芮), mengangkat Yao Wuyu sebagai Adipati Haiyang dan Zhi sebagai Raja Nanhai. Kaisar Gaozu juga menempatkan tentaranya di negara bagian Changsha untuk mengawasi Nanyue sehingga hal ini sangat mengkhawatirkan
Zhao.
Dinasti Han mengirim utusannya, Lu Gu (陆贾) untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Nanyue. Ketika Lu Gu sampai di Nanyue,
Zhao Tuo menyambutnya dengan dingin dan tidak sopan. Namun setelah Lu Gu mengeluarkan argumen-argumennya yang brilian mengenai pentingnya menjalin persekutuan dengan Han,
Zhao sangat terkesan dan sikapnya terhadap Lu Gu berubah 180 derajat.
Zhao menjamunya dengan sangat terhormat dan mereka bahkan menjadi sahabat sejak itu.
Zhao menjalin hubungan dagang dan mengimpor barang-barang lokal ke daratan tengah (Tiongkok), selain itu
Zhao juga membayar upeti tahunan kepada Tiongkok. Setelah Kaisar Gaozu mangkat, anaknya, Kaisar Han Hui (Liu Ying) menggantikannya. Kaisar baru ini tetap menghormati perjanjian antara Nanyue dengan ayahnya, dan
Zhao Tuo pun tetap berpegang pada perjanjian ini.
Setelah tujuh tahun bertahta, Kaisar Hui yang lemah akhirnya kehilangan kekuasaannya karena direbut oleh Ibusuri Lü Zhi (呂雉) yang ambisius. Pada tahun 183 SM, Ibusuri Lü tiba-tiba melarang perdagangan antara Dinasti Han dengan negara lain termasuk alat-alat besi dan kuda untuk Nanyue. Ini adalah karena Wu Rui, Raja Changsha yang merupakan satu-satunya raja muda yang tidak bermarga Liu dalam wilayah Han diperlakukan baik oleh Ibusuri Lü. Sebelumnya Kaisar Gaozu menyingkirkan para raja muda yang bukan marga Liu kecuali Wu Rui karena negara bagiannya tidak terlalu kuat. Blokade ini berdampak besar terhadap Nanyue karena Nanyue membutuhkan alat-alat dari besi dari Han, rakyat sangat sengsara akibat blokade ini.
Zhao Tuo menyadari bahwa Dinasti Han sangat kuat dan negaranya bukanlah tandingannya, maka dia mengirimkan utusan ke Han untuk menegosiasikan pembatalan blokade. Namun Wu Rui menahan utusan itu di Chang’an, dia juga menjelek-jelekkan
Zhao Tuo sehingga hal ini membuat Ibusuri Lü marah dan memerintahkan kerabat
Zhao yang tinggal di Tiongkok dihabisi dan makam leluhurnya dirusak.
Perusakan makam leluhur ini menjadi masalah serius dan membangkitkan amarah
Zhao. Merasa sudah tidak ada harapan menggunakan jalur diplomasi, pada tahun yang sama
Zhao mendeklarasikan dirinya sebagai Kaisar Wu dari Nanyue (南越武帝). Dia lalu menyerang Wu Rui yang telah lama memiliki konflik dengannya, Changsha diduduki dan dijarah. Ibusuri memerintahkan ekspedisi balasan terhadap Nanyue, tetapi hampir seluruh pasukan tewas karena wabah penyakit dan dihalau oleh Nanyue. Konflik militer terus berlanjut hingga kematian Ibusuri Lu.
Zhao Tuo terus memperluas daerahnya dengan menaklukkan kota-kota di perbatasan. Dia juga menjalin persekutuan dengan negara-negara tetangganya Min Yue, Ou Barat, dan Luo Yue. Perang ini hampir meluluhlantakkan hubungan dagang antara Tiongkok dan Nanyue.
Tahun 179 SM, Kaisar Han Wen naik tahta. Dia berusaha memulihkan hubungan antara Han dan Nanyue yang telah rusak. Melihat itikad baik Kaisar Wen,
Zhao menulis surat proposal perdamaian dengan syarat dua jenderal yang ditempatkan di Changsha ditarik dan kerabatnya di Tiongkok yang ditahan dibebaskan dan dipulihkan statusnya. Kaisar Wen menyanggupinya dan segera mengambil tindakan, makam leluhur
Zhao diperbaiki dan kerabat
Zhao yang selamat dari pembersihan dulu diberi ganti rugi serta ditawarkan kedudukan dalam pemerintahan, tentara Han yang ditempatkan di Changsha juga ditarik mundur. Lu Gu yang berusia 70-an dan telah pensiun kembali dikirim untuk misi diplomatik untuk kedua kalinya. Kedua sahabat dari negara yang saling berperang ini kembali bertemu dalam usia senja.
Zhao menerima surat yang secara pribadi ditulis oleh Kaisar Wen. Setelah membaca surat itu dia sangat tersentuh oleh kemurahan hati sang kaisar yang bersedia mengampuni pemberontakannya. Digantungkannya surat itu pada sisi balairung istana menghadap ke utara. Dia mundur beberapa langkah, berlutut, membungkuk sebagai tanda maaf pada kaisar. Selain itu dia menanggalkan gelarnya sebagai kaisar dan menyatakan secara tertulis bahwa ia akan selamanya setia sebagai negara vassal Dinasti Han. Pada surat itu dia menuliskan delapan huruf “自今以后永为汉藩” (sejak saat ini selamanya adalah negara protektorat Han).
Zhao hidup hingga mencapai usia 93 tahun, dia wafat tahun 137 SM. Setelah kematiannya, keturunannya dibawah kendali Kaisar Han Wu yang menganeksasi kerajaan Nanyue tahun 111 SM dan dijadikan prefektur Jiaozhi (交趾) atau Giao Chỉ dalam dialek Vietnam.
Referensi
Ren Changhong, “Famous Chinese Diplomats Through the Ages”, Singapore: Asiapac Books, 2001