Umar bin Abdul Aziz (bahasa Arab: عُمَر بْن عَبْد الْعَزِيز بْن مَرْوَان, translit. ʿ
Umar ibn ʿAbd al-ʿAzīz ibn Marwān; ca 680 – Februari 720), juga dikenal dengan nama
Umar II (bahasa Arab: عمر الثاني, translit. ʿ
Umar ats-Tsānī), adalah khalifah Kekhalifahan Umayyah kedelapan, yang memerintah dari tahun 717 hingga kematiannya pada tahun 720. Ia dianggap telah melakukan reformasi yang signifikan terhadap pemerintahan pusat Umayyah, dengan menjadikannya jauh lebih efisien dan egaliter. Pemerintahannya ditandai dengan pengumpulan hadis resmi pertama dan mandat pendidikan universal kepada masyarakat.
Dia mengirim utusan ke Tiongkok dan Tibet, mengundang penguasa mereka untuk menerima Islam. Selama tiga tahun pemerintahannya, Islam diterima oleh sebagian besar penduduk Persia dan Mesir. Ia juga memerintahkan penarikan pasukan Muslim di berbagai front seperti di Konstantinopel, Asia Tengah dan Septimania. Meskipun selama pemerintahannya, Bani Umayyah telah memperoleh banyak wilayah taklukan baru di Semenanjung Iberia.
Umar dianggap oleh banyak Muslim sebagai mujaddid pertama dan Khulafaur Rasyidin kelima, selain Hasan
bin Ali menurut beberapa cendekiawan Muslim. Ia dihormati sebagai "
Umar II" karena kemiripan karakternya dengan kakek buyutnya dari pihak ibu, khalifah
Umar bin Khattab.
Kehidupan awal
Umar kemungkinan lahir di Madinah sekitar tahun 680. Ayahnya,
Abdul Aziz bin Marwan, berasal dari klan kaya Bani Umayyah yang tinggal di kota, sedangkan ibunya, Laila binti Ashim, adalah cucu dari Khalifah kedua,
Umar bin Khattab (m. 634–644). Silsilahnya dari Khalifah
Umar yang sangat dihormati nantinya akan banyak ditekankan oleh para sejarawan untuk membedakannya dari penguasa Bani Umayyah lainnya.
Pada saat kelahirannya, cabang Bani Umayyah lainnya, Sufyaniyah, memerintah Kekhalifahan dari ibu kota Damaskus. Ketika Khalifah yang berkuasa Yazid I (m. 680–683) dan putra serta penerusnya, Muawiyah II (m. 683–684), meninggal dalam waktu singkat berturut-turut pada tahun 683 dan 684, otoritas Umayyah runtuh di seluruh Kekhalifahan dan Bani Umayyah di Hijaz, termasuk Madinah, diusir oleh para pendukung khalifah saingannya, Abdullah
bin Zubair (m. 683–692). Orang-orang Umayyah yang diusir dari Hijaz berlindung di Suriah, tempat suku-suku Arab yang loyal mendukung dinasti tersebut. Kakek
Umar dari pihak ayah, Marwan I (m. 684–685), akhirnya diakui oleh suku-suku ini sebagai khalifah dan dengan dukungan mereka, menegaskan kembali kekuasaan Umayyah di Suriah.
Pada tahun 685, Marwan menggulingkan gubernur Ibnu Zubair dari Mesir dan mengangkat ayah
Umar sebagai gubernur Mesir yang baru.
Umar menghabiskan sebagian masa kecilnya di Mesir, khususnya di Hulwan, yang menjadi pusat pemerintahan ayahnya antara tahun 686 dan kematiannya pada tahun 705. Kemudian,
Umar menempuh pendidikannya di Madinah, yang telah direbut kembali oleh Bani Umayyah di bawah pimpinan paman
Umar, Khalifah
Abdul Malik (m. 685–705) pada tahun 692. Setelah menghabiskan sebagian besar masa mudanya di Madinah,
Umar mengembangkan hubungan dengan para ulama, orang-orang saleh, serta para perawi hadis di kota itu. Setelah kematian ayah
Umar,
Abdul Malik memanggil
Umar ke Damaskus untuk mengatur pernikahan
Umar dengan putrinya, Fatimah.
Umar juga memiliki dua istri lainnya: yaitu sepupu dari pihak ibu, Ummu Syu'aib atau Ummu Utsman yang merupakan putri Syu'aib atau Sa'id
bin Zabban dari suku Bani Kalb, dan Lamis binti Ali dari Bani al-Harits. Dari istri-istrinya ia diketahui memiliki tujuh anak, serta tujuh anak lainnya dari selir.
Gubernur Madinah
Tak lama setelah aksesinya, putra dan penerus
Abdul Malik, al-Walid I (m. 705–715), menunjuk
Umar sebagai gubernur Madinah. Menurut Julius Wellhausen, niat al-Walid adalah menggunakan
Umar untuk mendamaikan penduduk kota Madinah dengan pemerintahan Umayyah dan "menghilangkan kenangan buruk" dari gubernur Umayyah sebelumnya, yaitu Hisyam
bin Ismail al-Makhzumi, yang memerintah penduduk Madinah dengan sangat keras.
Umar mengambil alih jabatan tersebut pada bulan Februari/Maret 706 dan yurisdiksinya kemudian diperluas ke Makkah dan Tha'if.
Informasi mengenai pemerintahannya sebagai gubernur sangat sedikit, namun sebagian besar catatan tradisional mencatat bahwa ia adalah "gubernur yang adil". Dia sering memimpin ibadah haji tahunan di Makkah dan menunjukkan dukungan terhadap para ulama fikih di Madinah, khususnya Sa'id
bin al-Musayyib.
Umar menoleransi kritik terbuka dari banyak ulama terhadap perilaku pemerintahan Bani Umayyah. Namun, laporan lain menyatakan bahwa
Umar memiliki kekayaan yang cukup signifikan pada awal karirnya sebagai gubernur. Atas perintah al-Walid,
Umar melakukan rekonstruksi dan perluasan Masjid Nabawi di Madinah mulai tahun 707. Di bawah pemerintahan
Umar yang cukup lunak, Hijaz umumnya menjadi tempat perlindungan terbaik bagi orang-orang buangan politik dan agama Irak yang melarikan diri dari penganiayaan al-Hajjaj
bin Yusuf, raja muda al-Walid yang berkuasa di bagian timur Kekhalifahan. Menurut sejarawan Paul M. Cobb, hal ini justru menjadi "kehancuran" bagi
Umar karena al-Hajjaj menekan khalifah untuk memecat
Umar pada bulan Mei/Juni 712.
Punggawa al-Walid dan Sulaiman
Meskipun telah dipecat, namun
Umar tetap mendukung al-Walid. Hal itu dikarenakan saudara perempuannya, Ummul Banin binti
Abdul Aziz, merupakan istri dari khalifah al-Walid. Dia tetap berada di istana al-Walid di Damaskus sampai kematian khalifah pada tahun 715, dan menurut riwayat dari sejarawan abad ke-9 al-Ya'qubi, dia memimpin shalat jenazah untuk al-Walid. Saudara laki-laki al-Walid dan penerusnya, Khalifah Sulaiman
bin Abdul Malik (m. 715–717), menempatkan
Umar pada jabatan yang cukup tinggi. Bersama Raja'
bin Haiwah, seorang tokoh agama berpengaruh di istana Bani Umayyah,
Umar menjabat sebagai penasihat utama Sulaiman. Dia menemani Khalifah ketika memimpin ibadah haji ke Makkah pada tahun 716 dan sekembalinya ke Yerusalem. Demikian pula, ia berada di sisi khalifah di kamp pasukan Muslim di Dabiq di Suriah utara, di mana Sulaiman mengerahkan upaya perang besar-besaran untuk menaklukkan ibu kota Kekaisaran Bizantium, Konstantinopel pada tahun 717.
Kekhalifahan (717–720)
= Aksesi
=
Menurut sumber-sumber Muslim tradisional, ketika Sulaiman sakit keras di Dabiq, dia dibujuk oleh Raja' untuk menunjuk
Umar sebagai penggantinya. Putra Sulaiman, Ayyub, adalah calon pertamanya, namun Ayyub telah meninggal dunia sebelum dirinya, sementara putra-putranya yang lain masih terlalu muda atau sedang berperang di front Bizantium. Pencalonan
Umar membatalkan keinginan
Abdul Malik, yang berusaha membatasi jabatan hanya pada keturunan langsungnya. Pengangkatan
Umar, seorang anggota cabang kadet dinasti, dibandingkan keturunan langsung
Abdul Malik lain yang mungkin lebih berpengaruh, telah mengejutkan para pangeran Sulaiman. Menurut Wellhausen, "tidak ada seorang pun yang memimpikan hal ini, terutama dirinya sendiri [
Umar]". Pada awalnya, Raja' memanggil para pangeran Umayyah ke masjid Dabiq dan menanyakan apakah mereka bersedia untuk mengakui wasiat dari Sulaiman, sementara Raja' sendiri masih menyembunyikan nama pengganti yang telah ditunjuk kepada para pangeran. Setelah para pangeran Bani Umayyah menerima dan mengakui wasiat Sulaiman, barulah Raja mengungkapkan bahwa
Umar adalah calon khalifah yang telah ditunjuk oleh Sulaiman. Hisyam
bin Abdul Malik pada awalnya menentang penunjukan
Umar, namun ia akhirnya mengalah setelah diancam dengan kekerasan. Potensi konflik intra-dinasti ini kemudian dapat dicegah dengan penunjukan putra
Abdul Malik, Yazid II, sebagai penerus
Umar.
Menurut sejarawan Reinhard Eisener, peran Raja' dalam aksesi
Umar kemungkinan besar telah "dilebih-lebihkan." Kejadian yang mungkin "lebih masuk akal" adalah bahwa suksesi
Umar merupakan hasil dari "pola tradisional, seperti senioritas dan klaim yang beralasan" yang berasal dari penunjukan ayah
Umar sebelumnya,
Abdul Aziz, sebagai penerus
Abdul Malik oleh Khalifah Marwan I, yang tidak terwujud karena
Abdul Aziz meninggal dunia mendahului
Abdul Malik.
Umar menyetujuinya tanpa perlawanan berarti pada tanggal 22 September 717, dan kemudian dilantik sebagai khalifah beberapa hari kemudian.
= Reformasi
=
Reformasi paling signifikan yang dilakukan
Umar adalah memberikan kesetaraan antara orang Arab dan mawālī (Muslim non-Arab). Hal ini terutama berlaku bagi pasukan non-Arab dalam pasukan Muslim, yang pada awalnya tidak memiliki hak atas bagian rampasan, tanah, dan gaji yang sama dengan yang diberikan kepada tentara Arab. Kebijakan tersebut juga berlaku bagi masyarakat Muslim secara luas. Di bawah pemerintahan Bani Umayyah sebelumnya, Muslim Arab mempunyai keistimewaan finansial tertentu dibandingkan Muslim non-Arab. Orang non-Arab yang masuk Islam tetap diharuskan membayar jizyah yang mereka bayarkan sebelum menjadi Muslim.
Umar menerapkan sistem baru yang membebaskan seluruh umat Islam, apapun asal usul mereka, dari pajak jizyah. Dia juga menambahkan beberapa pengamanan pada sistem untuk memastikan bahwa perpindahan agama secara massal ke Islam tidak akan menyebabkan runtuhnya keuangan pemerintahan Bani Umayyah. Berdasarkan kebijakan pajak yang baru, mawālī yang berpindah agama tidak akan membayar jizyah (atau pajak dzimmi lainnya). Namun, setelah mereka masuk Islam, tanah milik mereka akan menjadi milik desa dan mereka tetap bertanggung jawab atas tarif penuh kharaj (pajak tanah). Hal ini mengkompensasi hilangnya pendapatan karena berkurangnya basis pajak jizyah.
Dia mengeluarkan dekrit perpajakan yang menyatakan:
Barangsiapa masuk Islam, baik Nasrani, Yahudi atau Majusi, di antara mereka yang sekarang dikenai pajak dan yang bergabung dengan Muslim [masuk Islam] di tempat tinggalnya, meninggalkan tempat tinggal sebelumnya [sic], maka ia mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti yang mereka [orang-orang Muslim] miliki, dan mereka [orang-orang Muslim] wajib bergaul dengannya dan memperlakukannya sebagai salah satu dari mereka.
Mungkin untuk mencegah potensi pukulan balik dari penentang langkah-langkah pemerataan,
Umar memperluas upaya Islamisasi yang terus menguat di bawah pemerintahan pendahulu Marwaniyah. Upaya tersebut mencakup langkah-langkah untuk membedakan Muslim dari non-Muslim dan pengukuhan ikonoklasme Islam. Menurut Khalid Yahya Blankinship, Dia menghentikan ritual untuk mengutuk Khalifah Ali
bin Abi Thalib (m. 656–661), sepupu dan menantu Muhammad, dalam khotbah sholat Jumat yang sudah menjadi tradisi bagi Bani Umayyah. Berdasarkan keadaan umat Islam saat itu,
Umar kemudian memerintahkan pengumpulan hadis (perkataan dan tindakan yang dikaitkan dengan nabi Islam Muhammad) pertama secara resmi, karena khawatir sebagian di antaranya akan hilang.
= Pemerintahan provinsi
=
Tak lama setelah aksesinya,
Umar merombak pemerintahan provinsi. Dia menunjuk orang-orang kompeten yang bisa dia kendalikan, menunjukkan niatnya "untuk mengawasi pemerintahan provinsi". Wellhausen mencatat bahwa khalifah tidak membiarkan para gubernur bertindak sendiri sebagai imbalan atas penerusan pendapatan provinsi; sebaliknya, ia secara aktif mengawasi pemerintahan gubernurnya dan kepentingan utamanya adalah "bukan pada peningkatan kekuasaan melainkan pada penegakan hak."
Dia membagi lagi jabatan gubernur besar yang didirikan di Irak dan Kekhalifahan timur di bawah raja muda
Abdul Malik, al-Hajjaj
bin Yusuf. Orang yang ditunjuk Sulaiman untuk provinsi super ini, Yazid
bin al-Muhallab, dipecat dan dipenjarakan oleh
Umar karena gagal meneruskan rampasan dari penaklukan sebelumnya atas Tabaristan di sepanjang Kaspia bagian selatan pantai ke perbendaharaan khalifah. Sebagai pengganti Ibnul Muhallab, ia menunjuk
Abdul Hamid
bin Abdurrahman
bin Zaid
bin Khattab, anggota keluarga Khalifah
Umar bin Khattab, sebagai gubernur Kufah, Adi
bin Artah al-Fazari sebagai gubernur Basra, al-Jarrah
bin Abdullah sebagai gubernur Khorasan dan Amr
bin Muslim al-Bahili, saudara sang penakluk Qutaibah
bin Muslim, sebagai gubernur Sind. Dia juga menunjuk
Umar bin Hubairah al-Fazari sebagai gubernur baru al-Jazira (Mesopotamia Atas). Meskipun banyak dari orang-orang yang ditunjuk ini adalah murid al-Hajjaj atau berafiliasi dengan faksi Qais 'Ailan,
Umar memilih mereka berdasarkan keandalan dan integritas mereka, bukan karena oposisi terhadap pemerintahan Sulaiman.
Umar mengangkat as-Samah
bin Malik al-Khaulani ke al-Andalus (Semenanjung Iberia) dan Ismail
bin Ubaidillah
bin Abi al-Muhajir ke Ifriqiyah. Dia memilih gubernur-gubernur ini karena mereka dianggap netral dalam faksionalisme suku antara Qays dan Yaman dan keadilan mereka terhadap kaum tertindas.
= Kebijakan militer
=
Setelah aksesinya pada akhir tahun 717,
Umar memerintahkan penarikan pasukan Muslim yang dipimpin oleh sepupunya Maslamah
bin Abdul Malik dari pengepungan mereka yang gagal terhadap Konstantinopel ke wilayah Antiokhia dan Malatya, lebih dekat ke perbatasan Suriah. Dia menugaskan ekspedisi pada musim panas tahun 718 untuk memfasilitasi penarikan mereka.
Umar terus melakukan serangan musim panas tahunan terhadap perbatasan Bizantium, yang kemudian dianggap di luar dari kewajiban jihad. Dia tetap tinggal di Suriah utara, sering kali tinggal di tanah miliknya di Khunasirah, di mana dia membangun markas besar yang dibentengi.
Suatu saat pada tahun 717, dia mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Ibnu Hatim
bin an-Nu'man al-Bahili ke Adharbayjan untuk membubarkan sekelompok orang Turki yang telah melancarkan serangan yang merusak terhadap provinsi tersebut. Pada tahun 718, ia berturut-turut mengerahkan pasukan Irak dan Suriah untuk menekan pemberontakan Khawarij di Irak, meskipun beberapa sumber mengatakan pemberontakan tersebut berhasil diselesaikan secara diplomatis.
Umar sering dianggap sebagai seorang pasifis oleh sumber-sumber tersebut dan Cobb mengaitkan kelelahan khalifah dengan perang karena kekhawatiran akan berkurangnya dana perbendaharaan kekhalifahan. Wellhausen menegaskan bahwa
Umar "tidak menyukai perang penaklukan, karena dia tahu betul bahwa perang tersebut dilakukan bukan demi Tuhan, melainkan demi rampasan". Meskipun begitu, Blankinship menganggap alasan ini "tidak cukup". Ia berpendapat bahwa bangsa Arab menghadapi kerugian besar dalam pengepungan mereka yang gagal terhadap Konstantinopel, termasuk penghancuran angkatan laut mereka, yang menyebabkan
Umar melihat posisinya di Andalusia, dipisahkan oleh wilayah Kekhalifahan lainnya melalui laut, terutama Kilikia yang sangat rentan terhadap serangan Bizantium. Oleh karena itu, dia memilih untuk menarik pasukan Muslim dari kedua wilayah tersebut. Perhitungan yang sama menyebabkan dia mempertimbangkan penarikan pasukan Muslim dari Transoxiana untuk menopang pertahanan Suriah. Shaban memandang upaya
Umar untuk mengekang serangan terkait dengan kebencian elemen tentara Yamani, yang menurut Shaban dominan secara politik di bawah pemerintahan
Umar, dikarenakan penempatan posisi mereka yang berlebihan di ketentaraan.
Meskipun ia menghentikan ekspansi lebih lanjut ke arah timur, masuknya Islam di sejumlah kota di Transoxiana menghalangi penarikan pasukan Arab dari sana oleh
Umar. Selama masa pemerintahannya, pasukan Muslim di Andalusia menaklukkan dan membentengi kota pesisir Mediterania Narbonne di Prancis modern.
Kematian
Dalam perjalanan kembali dari Damaskus ke Aleppo atau mungkin ke tanah miliknya di Khunasirah,
Umar jatuh sakit. Ia meninggal antara tanggal 5 Februari dan 10 Februari 720, pada usia 37 tahun, di desa Dayr Sim'an (juga disebut Dayr al-Naqira) dekat Ma'arrat an-Nu'man.
Umar telah membeli sebidang tanah di sana dengan dananya sendiri dan dimakamkan di desa tersebut, di mana reruntuhan makamnya, yang dibangun pada tanggal yang tidak diketahui, masih terlihat. Setelah kematian
Umar, Yazid II dinominasikan sebagai khalifah kesembilan.
Warisan
Sumber-sumber tradisional Muslim sepakat bahwa
Umar adalah orang yang saleh dan memerintah seperti seorang Muslim sejati yang bertentangan dengan khalifah Umayyah lainnya, yang umumnya dianggap sebagai "perampas kekuasaan, tiran, dan pemimpin zalim yang [seolah] tidak bertuhan". Tradisi tersebut mengakui
Umar sebagai khalifah otentik, sedangkan Bani Umayyah lainnya hanya dipandang sebagai raja. Dalam pandangan Hawting, hal ini antara lain didasarkan pada fakta sejarah dan watak serta tindakan
Umar. Ia berpendapat bahwa
Umar "benar-benar seperti yang ditunjukkan oleh semua bukti, dia adalah orang yang terhormat, bermartabat, dan seorang penguasa yang patut dihormati." Karena masa jabatannya yang terbilang singkat, sulit untuk menilai pencapaian kekhalifahan dan motifnya. Memang benar, Kennedy menyebut
Umar sebagai "karakter paling membingungkan di antara para penguasa Marwaniyah." Sejarawan modern sepakat bahwa
Umar "adalah seorang individu saleh yang berusaha memecahkan masalah-masalah pada zamannya dengan cara yang dapat mendamaikan kebutuhan dinasti dan negaranya dengan tuntutan Islam". Dalam penilaian H.A.R. Gibb,
Umar bertindak mencegah runtuhnya kekhalifahan dengan "menjaga persatuan bangsa Arab; menghilangkan keluhan dari para mawālī"; dan mendamaikan kehidupan politik dengan klaim agama."
Silsilah
Referensi
Daftar pustaka
Biesterfeldt, Hinrich; Günther, Sebastian (2018). The Works of Ibn Wāḍiḥ al-Yaʿqūbī (Volume 3): An English Translation. Leiden: Brill. ISBN 978-90-04-35621-4.
Blankinship, Khalid Yahya (1994). The End of the Jihâd State: The Reign of Hishām ibn ʻAbd al-Malik and the Collapse of the Umayyads. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-1827-7.
Cobb, P. M. (2000). "ʿ
Umar (II) b. ʿAbd al-ʿAzīz". Dalam Bearman, P. J.; Bianquis, Th.; Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P. Encyclopaedia of Islam. Volume X: T–U (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 821–822. ISBN 978-90-04-11211-7.
Crone, Patricia (1994). "Were the Qays and Yemen of the Umayyad Period Political Parties?". Der Islam. Walter de Gruyter and Co. 71 (1): 1–57. doi:10.1515/islm.1994.71.1.1. ISSN 0021-1818.
Eisener, R. (1997). "Sulaymān b. ʿAbd al-Malik". Dalam Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P.; Lecomte, G. Encyclopaedia of Islam. Volume IX: San–Sze (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 821–822. ISBN 978-90-04-10422-8.
Fishbein, Michael, ed. (1990). The History of al-Ṭabarī, Volume XXI: The Victory of the Marwānids, A.D. 685–693/A.H. 66–73. Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-0221-4.
Gibb, H. A. R. (January 1955). "The Fiscal Rescript of ʿ
Umar II". Arabica. Brill. 2 (1): 1–16. doi:10.1163/157005855X00158. JSTOR 4055283.
Hawting, Gerald R. (2000). The First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661–750 (edisi ke-Second). London and New York: Routledge. ISBN 0-415-24072-7.
Hoyland, Robert G. (2015). In God's Path: the Arab Conquests and the Creation of an Islamic Empire. Oxford University Press.
Kennedy, Hugh (2004). The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the 6th to the 11th Century (edisi ke-Second). Harlow: Longman. ISBN 978-0-582-40525-7.
Marsham, Andrew (2022). "Kinship, Dynasty, and the Umayyads". The Historian of Islam at Work: Essays in Honor of Hugh N. Kennedy. Leiden: Brill. hlm. 12–45. ISBN 978-90-04-52523-8.
Mourad, Suleiman Ali (2006). Early Islam Between Myth and History: Al-Ḥaṣan Al-Baṣrī (d. 110H/728CE) and the Formation of His Legacy in Classical Islamic Scholarship. Leiden: Brill. ISBN 90-04-14829-9.
Powers, Stephan, ed. (1989). The History of al-Ṭabarī, Volume XXIV: The Empire in Transition: The Caliphates of Sulaymān, ʿ
Umar, and Yazīd, A.D. 715–724/A.H. 96–105. Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-0072-2.
bin Sa'ad, Muḥammad (1997). The Men of Madina. Dua. Diterjemahkan oleh Aisha Bewley. Ta-Ha. ISBN 978-1-897940-90-7.
Tillier, Mathieu. (2014). Califes, émirs et cadis : le droit califal et l'articulation de l'autorité judiciaire à l'époque umayyade, Bulletin d’Études Orientales, 63 (2014), p. 147–190.
Wellhausen, Julius (1927). The Arab Kingdom and its Fall. Diterjemahkan oleh Margaret Graham Weir. Calcutta: University of Calcutta. OCLC 752790641.
Yarshater, Ehsan, ed. (1985–2007). Sejarah Para Nabi dan Raja (40 vol). Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-7249-1.
Al-Ya'qubi, Ahmad ibn Abu Ya'qub (1883). Houtsma, M. Th., ed. Historiae, Vol. 2. Leiden: E. J. Brill.
Khalifah ibn Khayyat (1985). al-Umari, Akram Diya', ed. Tarikh Khalifah ibn Khayyat, 3rd ed (dalam bahasa Arab). Al-Riyadh: Dar Taybah.
McMillan, M.E. (2011). The Meaning of Mecca: The Politics of Pilgrimage in Early Islam. London: Saqi. ISBN 978-0-86356-437-6.
Al-Baladhuri, Ahmad ibn Jabir (1916). The Origins of the Islamic State, Part I. Trans. Philip Khuri Hitti. New York: Columbia University.
Encyclopaedia of Islam (12 vols.) (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. 1960–2005.