Adnan bin Saidi (Jawi: آدنان بن سيدي; 1915 – 14 Februari 1942) adalah seorang perwira militer Malaya dari Brigade Infanteri Pertama yang melawan Jepang pada Pertempuran Pasir Panjang di Singapura selama Perang Dunia II. Ia dianggap sebagai pahlawan nasional di Singapura dan Malaysia atas tindakannya selama pertempuran. Namanya juga dipakai untuk Kendaraan Tempur Infanteri Malaysia (MIFV).
Kehidupan awal
Adnan lahir dari keturunan Minangkabau di Sungai Ramal dekat Kajang, Selangor, Malaya. Dia adalah anak sulung dari sebuah keluarga keturunan Ampek Angkek, Agam, Sumatera Barat yang awalnya menetap di Klang, Kajang, Selangor. Ayahnya bernama Buyung
Saidi Sutan yang memiliki status marga khas Minang bernama Jambak Puhun, sedangkan ibunya bernama Raibah Rajo Nan Kayo berasal dari marga khas Minang bernama Malayu (berbeda konteks dengan "etnis/suku Melayu"). Karena kedua orang tua
Adnan merantau ke Klang, di kampungnya mereka disebut dengan istilah “Sidi Kolang” dan “Nek Kolang”.
Adnan Saidi merupakan anak sulung. Adek-adeknya, Ahmad
Saidi dan Amarullah
Saidi juga merupakan tentara. Ahmad
Saidi tewas terbunuh dalam pertempuran setelah dia bergabung bersama tentara angkatan laut pada tahun 1939. Kapal yang dia tumpangi, bernama HMS Pelandok, ditenggelamkan oleh Jepang selama dalam pelayaran ke Australia. Adeknya yang bungsu, Amarullah
Saidi, selamat dari peperangan dan sekarang tinggal dan menetap di Kajang, Selangor.
Adnan Saidi menempuh jenjang pendidikan di Pekan Sungai Ramal yang mengikuti tatanan pendidikan khas Britania Raya. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia terpilih sebagai guru pelatih dan mengajar selama lebih dari satu tahun.
Adnan Saidi kemudian memutuskan untuk memasuki dunia militer.
Pada tahun 1933, ketika berusia 18 tahun,
Adnan Saidi bergabung dengan Resimen Tentara Kerajaan Melayu. Setahun kemudian, ia terpilih sebagai anggota terbaik. Pada tahun 1936,
Adnan dilantik dengan memperoleh pangkat sersan, kenaikan pangkat yang terhormat bagi seorang tentara muda. Pada tahun 1937,
Adnan Saidi terpilih mewakili peletonnya dalam defile penghormatan di London untuk menyambut penobatan Raja George VI. Tak lama kemudian,
Adnan Saidi kembali mendapatkan kenaikan pangkat menjadi Mayor-Sersan-Kompeni dan ditugaskan ke Singapura untuk mengikuti kursus latihan pegawai. Setelah menamatkan kursus sebagai letnan kedua,
Adnan Saidi dilantik sebagai komandan Peleton Ketujuh, ‘C’ Coy.
Sebagai kepala keluarga
Sekembalinya Letnan
Adnan Saidi dari London, ia menikah dengan seorang guru di kampungnya, Puan Sophia Pakih Muda. Dari pernikahan tersebut, mereka memilki tiga orang anak: dua laki-laki, Mokhtar dan Zainudin (yang tinggal di Seremban dan Johor), dan seorang anak perempuan. Namun, putri
Adnan meninggal tak lama setelah kejatuhan Singapura.
Pada akhir 1941,
Adnan Saidi ditempatkan di Singapura dan membawa keluarganya. Mereka tinggal di rumah besar di Pasir Panjang, dalam kawasan yang diperuntukan untuk keluarga Resimen Melayu. Ketika berita bahwa Perang Dunia II telah ada di depan mata, dan pihak Jepang bersiap untuk menjajah Singapura,
Adnan membawa keluarganya kembali ke kampung mereka di Kajang. Ini merupakan masa yang genting bagi
Adnan, karena istrinya Sophia sedang mengandung anak mereka yang ketiga. Inilah terakhir kalinya mereka bersama.
Pertempuran di Bukit Candu
Pertempuran di Pasir Panjang lebih dikenali sebagai Pertempuran Bukit Candu. Bukit Candu dinamakan karena dahulu ada kilang memproses candu yang terletak di kaki bukit tersebut. Pertempuran sengit telah berlangsung beberapa hari sebelumnya. Tentara Darat Ke-25 Jepang berhasil menduduki sejumlah pertahanan strategis di Singapura dan Bukit Candu merupakan pertahanan terakhir. Tempat ini merupakan kedudukan pertahanan penting di Singapura berdasarkan dua alasan strategik; yaitu bisa melihat ke bagian utara Singapura dan apabila pihak Jepang mengepung benteng, tempat ini dapat memberikan jalan langsung ke kawasan Alexandra. Kawasan Alexandra mengandung gudang peluru, gudang makanan utama, dan rumah sakit tentara yang menjadikannya sebuah tempat strategis bagi pasukan Inggris. Dengan itu, pertahanan benteng tersebut menjadi krusial.
Pertahanan benteng tersebut ditugaskan kepada ‘C’ Coy. ‘C’ Coy merupakan bagian dari Resimen Melayu 1 dan 2 yang membentuk Brigade Infantri Melayu 1, Resimen British 2nd Loyals dan Brigade 44th Indian. Pada 13 Februari 1942, Divisi Chrysanthemum Tentara Imperium Jepang di bawah pemerintahan Letnan Jendral Renya Mutaguchi memperhatikan pesisiran selatan Singapura - Benteng Pasir Panjang. Pada pagi hari, benteng tersebut ditembak dengan bantuan dari udara, mortar berat, dan meriam. ‘C’ Coy dan
Adnan Saidi yang ditempatkan di perkampungan Pasir Panjang memberikan perlawanan sengit yang berhasil memaksa mundur pasukan Jepang.
Adnan dan pasukannya telah membina benteng pertahanan resimen di kawasan tanah tinggi, yang dikenal sebagai Celah (Gap). Walaupun memiliki jumlah pasukan yang lebih banyak, pasukan Jepang di bawah Major Kimura gagal menembus barisan pertahanan di Celah (Gap).
Pada tengah malam 14 Februari 1942, ‘C’ Coy menerima perintah untuk bergerak ke tapak pertahanan baru - Pt. 226, Bukit Candu. Resimen
Adnan mendapatkan penambahan prajurit sehingga keseluruhan pasukannya menjadi berjumlah 42. Setelah meninjau persekitaran,
Adnan Saidi memerintahkan pasukannya untuk memperkokoh benteng pertahanan mereka dengan cara mengelilingi kawasan dengan karung pasir.
Pada awal petang 14 Februari, pasukan Jepang melancarkan serangan tipuan. Dari Jalan Pepys Road mendaki Pt.226,
Adnan Saidi memantau kontingen tentara Sikh dari Tentara British-India. Namun,
Adnan merasakan ada sesuatu yang tidak beres ketika menyadari para tentera berturban bergerak dalam kumpulan berempat dan bukan bertiga seperti biasanya. Menyedari tipuan tersebut,
Adnan Saidi dan anak buahnya melepaskan tembakan dan berhasil membunuh sekitar 20 musuh pada jarak dekat yang memaksa pasukan Jepang untuk mundur.
Dua jam kemudian, tentera Jepang telah melancarkan serangan besar-besaran dalam bilangan yang besar. Serangan tersebut menumpaskan Lt.
Adnan Saidi dan tenteranya. Dengan bilangan yang jauh lebih kecil dan kekurangan peluru, Regiment Melayu bertempur dalam pertempuran sehingga ke mati.
Kematian Pejuang
Pertempuran sengit berlanjut di Bukit Candu yang menggunakan semua jenis senjata, termasuk granat dan senjata automatik.
Adnan sendiri mengoperasikan senapan mesin Lewis. Dalam kebanyakan kasus, pasukan
Adnan bertempur menggunakan bayonet, tetapi mereka tetap mampu bertahan melawan musuh. Dalam pertempuran berikutnya,
Adnan mengalami cedera parah, tetapi enggan mundur dan sebaliknya menyuruh pasukannya untuk berjuang hingga akhir. Keberaniannya berhasil menaikkan semangat juang pasukannya untuk bertahan bersungguh-sungguh.
Kopral Yaakob, yang dianugerahi Pingat Keberanian Medal of Gallant, merupakan salah satu prajurit yang selamat dalam pertempuran Bukit Candu. Dalam kekacauan pertempuran, Yaakob jatuh di atas mayat sesama prajurit. Dia terselamatkan dengan berpura-pura mati di samping mayat dan melihat kematian
Adnan Saidi.
Adnan ditawan oleh pasukan Jepang dan kemudian diserkup dengan guni setelah diseret. Pasukan Jepang menggantungkan kakinya pada pohon ceri dan kemudian menikamnya dengan bayonet berkali-kali. Dalam kejadian lain disebut lehernya telah dikelar. Kejadian ini dilihat oleh Kopral Yaakob. Selepas pertempuran, pasukan Jepang melarang siapapun membawa turun mayatnya untuk dikebumikan, dan tak ada seorangpun yang berani. Bahkan menurut beberapa sumber, mayat
Adnan Saidi dibakar menjadi abu.
Beberapa tahun lalu, Haji Burhan Muslim, yang tinggal dekat Bukit Candu, mengigat telah memanjat bukit dengan sepupunya beberapa hari selepas pertempuran tersebut. Dalam salah satu rumah banglo di Bukit Lorong Pepys, dia melihat mayat tentara Melayu yang dipancung. Dalam salah satu bilik, terdapat mayat seorang tentara Melayu yang lehernya dikelar. Pakaian seragamnya basah dengan darah. Melihat lencana yang melekat pada seragamnya, Haji Burhan percaya bahawa ia merupakan perwira berpangkat. Haji Burhan percaya bahwa ada kemungkinan mayat tersebut merupakan
Adnan Saidi (yang dapat membuktikan bahwa mayat
Adnan Saidi tidak dibakar).
Keberanian Letnan
Adnan Saidi bersama kontingen 42 anggota Batalion Pertama dan Kedua Resimen Melayu yang telah bertempur mati-matian untuk mempertahankan Pasir Panjang menjadi salah satu peristiwa yang kekal dalam sejarah.
Pertempuran sengit itu disebut khusus dalam perutusan Letnan Jendral A.E. Percival berkenaan Pemerintahan Operasi Malaya dari Desember 1941 hingga 15 Februari 1942:
"After two hours of heavy shelling and mortaring, the Japanese attacked the Malay Regiment which was holding Pasir Panjang Ridge. The latter fought magnificently, but suffered heavy casualties, and by afternoon the enemy had reached the Gap (Pasir Panjang Ridge)…"
"Setelah dua jam ditembak dengan meriam dan motar, pasukan Jepang menyerang Resimen Melayu yang mempertahankan Permatang Pasir Panjang. Resimen Melayu bertempur dengan gagah berani tetapi mengalami kehilangan jiwa yang berat dan menjelang petang musuh telah sampai ke Celah (Permatang Pasir Panjang)..."
Pranala luar
Reflections at Bukit Chandu, dari laman Arsip Negara Singapura Diarsipkan 2007-06-05 di Wayback Machine.
Laman Rejimen Askar Melayu DiRaja Diarsipkan 2004-12-26 di Wayback Machine.