Agama di Jepang secara formal didominasi oleh Shinto dan Budha, dengan sisanya kebanyakan tidak beragama.
Jepang menjamin kebebasan beragama untuk masing-masing penduduknya. Hal ini tertuang pada artikel ke-20 dalam Konstitusi
Jepang.
Survei yang dilakukan Gallup pada tahun 2015 menunjukkan bahwa hanya 24% orang
Jepang yang menganggap
Agama sebagai sesuatu yang penting, sedangkan 75% sisanya menganggap
Agama tidak penting, 1% abstain atau tidak memberikan jawaban.
Survei dari NHK pada tahun 2018 tentang keagamaan orang
Jepang menunjukkan bahwa 62% orang
Jepang tidak beragama, 31% Budha, 3% Shinto, 1% Kristen, 1% Lainnya, dan sisanya tidak menjawab.
Sedangkan Badan Urusan Kebudayaan
Jepang dalam surveinya pada tahun 2018 yang tidak memasukkan tidak beragama sebagai salah satu kategori surveinya, mengklaim bahwa
di Jepang terdapat 69% yang menjalankan ritual Shinto, 66,7% menjalankan ritual Budha, 1,5% Kristen, 6,2%
Agama lain. Ini menjadikan totalnya melebihi total populasi penduduk
Jepang itu sendiri. Hal ini beberapanya dikarenakan:
Statistik disusun berdasarkan angket yang diisi secara sukarela oleh organisasi keagamaan yang dengan sengaja mengisi jumlah penganut yang dimiliki masing-masing organisasi secara berlebih-lebihan.
Banyak orang
Jepang yang meskipun agnostik namun tetap menjalankan praktek ritual dan perayaan dari lebih dari satu
Agama sepanjang tahunnya sebagai bentuk tradisi dan apa yang mereka anggap sebagai kegiatan mengasyikkan. Orang
Jepang merayakan Shichi-Go-San, Hatsumōde, dan Matsuri
di kuil Shinto. Namun pada tanggal 25 Desember tiap tahunnya orang-orang yang sama juga merayakan Natal, dan ketika menikah, sebagian
di antaranya menikah dalam upacara pernikahan Kristen. Mereka juga merayakan Obon sebagai penghormatan bagi arwah leluhur yang merupakan berasal dari tradisi Budha-Konghucu, dan ketika meninggal dunia mereka dimakamkan dengan upacara pemakaman
Agama Budha.
Lihat pula
Referensi