- Source: Akasius dari Konstantinopel
Akasius (bahasa Yunani: Ἀκάκιος, Akakios) menjabat sebagai Batrik Oikumene Konstantinopel dari tahun 472 sampai 489. Secara de facto ia adalah prelatus nomor satu di Timur, dan tersohor lantaran keterlibatannya yang sarat dengan ambisi di dalam kontroversi Kalsedon. Ikhtiar kontroversialnya untuk merekatkan perpecahan teologis justru menjadi biang keladi Skisma Akasius, dan membuatnya dilaknat Gereja-Gereja yang mengamini ketetapan-ketetapan Konsili Kalsedon. Ia dihormati sebagai orang kudus di lingkungan Kristen Ortodoks Oriental.
Atas nasihat Akasius, Kaisar Zeno mengundangkan Henotikon tahun 482 yang membidatkan Nestorius maupun Etikes, mengamini Dua Belas Pokok Pikiran Sirilus dari Aleksandria, dan mengabaikan Takrif Kalsedon. Kendati dimaksudkan sebagai jalan keluar untuk mengatasi konflik seputar ortodoksi Konsili Kalsedon, pengundangan Henotikon tersebut terbukti sia-sia. Paus Feliks III menganggap ketidakacuhan Akasius terhadap Konsili Kalsedon maupun amanat pendahulunya, Paus Leo I, sebagai rongrongan terhadap kewibawaan takhta keuskupannya. Paus Feliks III pun memutuskan untuk melaknat dan memakzulkan Akasius, tetapi keputusan tersebut dilawan Akasius secara terbuka, sehingga menimbulkan skisma di antara Takhta Keuskupan Roma dan Takhta Keuskupan Konstantinopel yang berlarut-larut sampai Akasius tutup usia. Skisma ini berlanjut sepanjang masa pemerintahan Kaisar Anastasius I yang penuh pergolakan, dan baru diakhiri oleh Kaisar Yustinus I pada tahun 519, yakni pada masa jabatan Paus Hormisdas.
Gereja Ortodoks Kubti memperingati berpulangnya Santo Akasius Batrik Konstantinopel ke haribaan ilahi setiap tanggal 30 Hatur.
Masa muda dan masa jabatan selaku uskup
Akasius pertama kali tampil di panggung sejarah sebagai orfanotrofos, pejabat urusan yatim-piatu, di Gereja Konstantinopel. Keberhasilannya dalam menunaikan tanggung jawab inilah yang mengharumkan namanya. Di dalam pustaka Suda, ia disifatkan sebagai orang yang berwibawa, dermawan, jatmika, mahardika, bertata krama istana, dan berpenampilan menarik.
Kecakapannya membuat Akasius mendapatkan perhatian dari Kaisar Leo I, dan dengan kelihaian seorang istanawan berpengalaman, Akasius berhasil menjadi orang yang cukup mampu mempengaruhi kaisar. Kedekatannya dengan kaisar mempermulus jalan bagi dirinya untuk terpilih menjadi Batrik Konstantinopel sepeninggal Batrik Genadius pada tahun 471. Akasius berkiprah dengan gemilang selama lima-enam tahun pertama masa jabatannya, tetapi selanjutnya terperosok ke dalam berbagai kontroversi yang berpuncak pada skisma 35 tahun antara Gereja Timur dan Gereja Barat.
Mulanya Akasius berikhtiar untuk memulihkan kesatuan Gereja yang retak akibat silang pendapat seputar ajaran Etikes, serta meningkatkan marwah takhta keuskupannya dengan mencanangkan kemandirian dari Roma sembari melebarkan pengaruh ke Aleksandria dan Antiokhia. Ditilik dari tindakan-tindakannya, Akasius lebih tampak sebagai seorang negarawan ketimbang seorang teolog.
Kontroversi Kalsedon
= Perlawanan bersama terhadap Basiliskus dan Timotius Elerus
=Akasius mendapatkan dukungan berapi-api dari masyarakat dan dipuji-puji Paus Simplisius karena berani menentang Kaisar Basiliskus si penyerobot takhta. Bersama sang rahib penunggu tiang, Daniel Stilites, Akasius mengobarkan perlawanan terhadap Kaisar Basiliskus. Timotius Elerus, Batrik Aleksandria penentang Konsili Kalsedon yang dilindungi Basiliskus sejak tahun 476, sudah membujuk kaisar untuk mengeluarkan sepucuk surat edaran atau maklumat (egkiklios) yang membidatkan ajaran Konsili Kalsedon. Mula-mula Akasius sempat bimbang dan berniat mencantumkan namanya di dalam daftar uskup Asia yang sudah lebih dulu menandatangani surat edaran tersebut, tetapi akhirnya membulatkan pilihannya dan giat terlibat di dalam perdebatan sesudah menerima sepucuk surat dari Paus Simplisius. Sri Paus sudah mendengar kabar tentang sikap ragu-ragu Akasius dari para rahib yang selalu waspada. Perubahan keberpihakan yang mendadak ini melambungkan citra Akasius di mata masyarakat dan membuatnya disenangi kubu pendukung Konsili Kalsedon, khususnya berbagai kelompok rahib di Timur, lantaran terang-terangan mengusung ajaran yang sehat. Ia bahkan menerima sepucuk surat dukungan dari Paus Simplisius.
Sebab utama di balik melambungnya nama baik Akasius di mata masyarakat adalah kepiawaiannya dalam memimpin pergerakan yang dipelopori Daniel Stilites. Tidak diragukan lagi bahwa suara penentangan memang muncul secara spontan dari para pendukung Konsili Kalsedon di lingkungan biara dan masyarakat umum yang sungguh-sungguh muak dengan pandangan-pandangan Etikus tentang inkarnasi. Meskipun demikian, tidak dapat dipastikan apakah Akasius, yang saat itu sudah sekubu dengan golongan pendukung Konsili Kalsedon, atau kemudian hari lewat usaha-usahanya untuk berkompromi, sesungguhnya tidak lebih dari sekadar seorang politikus yang sedang berusaha mencapai tujuan-tujuan pribadinya. Ia tidak memiliki pemahaman yang konsisten akan asas-asas teologi dan berpola pikir penjudi, semata-mata bermain demi mendapatkan pengaruh. Kaisar Basiliskus pada akhirnya dapat ditundukkan.
Kaisar Basiliskus membatalkan maklumatnya dengan mengeluarkan maklumat tandingan, tetapi langkah ini tidak mampu menyelamatkannya. Kaisar Zeno, yang hidup di pengasingan sampai Akasius bangkit menentang, akhirnya kembali naik takhta. Sementara itu, Basiliskus, yang gagal mengemis dukungan dengan menuruti kemauan pihak Gereja, akhirnya diserahkan kepada Zeno (menurut tradisi) oleh Akasius sesudah berlindung di gerejanya pada tahun 477. Pada waktu itu, hubungan Zeno, Akasius, dan Simplisius tampaknya terjalin baik. Mereka sama-sama setuju bahwa perlu diambil langkah-langkah tegas untuk mengukuhkan ketetapan-ketetapan Konsili Kalsedon, dan untuk sementara waktu bertindak selaras satu sama lain.
= Silang pendapat mengenai Petrus Mongus dan Yohanes Talaya
=Pada tahun 479, Akasius menahbiskan Batrik Antiokhia, dan dengan demikian melebarkan pengaruh melampaui batas-batas yurisdiksinya. Meskipun demikian, Paus Simplisius membenarkan penahbisan tersebut dengan alasan desakan keadaan.
Kemelut muncul ketika golongan penentang Konsili Kalsedon di Aleksandria mencalonkan Petrus Monggus menjadi batrik, alih-alih Yohanes Talaya, pada tahun 482. Paus Simplisius berkeberatan dengan pencalonan Petrus Monggus lantaran kedekatannya dengan kubu penentang Konsili Kalsedon di Aleksandria, lantas menyatakan dukungannya terhadap Yohanes Talaya.
Kedua calon diketahui memiliki ganjalannya masing-masing. Petrus Monggus adalah seorang penentang ketetapan Konsili Kalsedon, sementara Yohanes Talaya sudah berjanji kepada kaisar untuk tidak berusaha menjadi atau (tampaknya) menurut saja dijadikan batrik. Yohanes Talaya buru-buru meminta dan mendapatkan dukungan dari Paus Simplisius, sehingga membuat Akasius tersinggung. Petrus Monggus meyakinkan Akasius bahwa jika sudah menjadi batrik, ia akan sanggup merekatkan perpecahan akibat perdebatan terkait Konsili Kalsedon.
Pencalonan Batrik Aleksandria membuka peluang yang sudah lama ditunggu-tunggu Akasius, yaitu peluang untuk mengklaim kehormatan dan yurisdiksi atas seantero wilayah Timur, yang akan membuat uskup-uskup ibu kota tidak perlu lagi bertanggung jawab kepada Takhta Keuskupan Aleksandria, Takhta Keuskupan Antiokhia, Takhta Keuskupan Yerusalem, dan Uskup Roma. Lantaran sudah sepenuhnya dapat ia pengaruhi, Kaisar Zeno dinasihatinya untuk mendukung Petrus Monggus tanpa mengindahkan keberatan Sri Paus. Akasius selanjutnya memberangkatkan utusan-utusan untuk merembukkan syarat-syarat persatuan kembali segenap jemaat Kristen di Timur.
= Henotikon dan Skisma Akasius
=Tidak lama kemudian, Akasius menyiapkan dokumen, atau serangkaian makalah, yang merupakan pernyataan keimanan sekaligus sarana penyatuan umat, sebagai caranya untuk mengklaim yurisdiksi atas seantero wilayah Timur. Dokumen yang dikenal di kalangan teolog dengan nama Henotikon ini mula-mula menyasar kubu-kubu yang berseberangan di Mesir, dan merupakan semacam imbauan untuk bersatu kembali dengan berlandaskan pengendalian diri dan kompromi.
Henotikon tahun 482 ini mengamini Syahadat Nikea-Konstantinopel (yaitu Syahadat Nikea yang disempurnakan di Konstantinopel) sebagai simbolon atau ungkapan iman bersama, definitif, dan pemersatu. Semua simbolon atau matematon lain ditolak; Etikes dan Nestorius dibidatkan sepenuhnya dengan anatema, sementara Dua Belas Pokok Pikiran Sirilus dari Aleksandria diakui kebenarannya. Ajaran-ajaran Konsili Kalsedon tidak disanggah, tetapi diabaikan begitu saja; Yesus Kristus disifatkan sebagai "Putra Tunggal Allah ... satu dan bukan dua", dan tidak secara eksplisit menyinggung ihwal dwikodrat.
Petrus Monggus menerima Henotikon dan dikukuhkan menjadi batrik, sementara Yohanes Talaya menolak dan hengkang ke Roma. Sri Paus gigih membela Yohanes Talaya dengan cara berulang kali menyurati Akasius, mengimbaunya untuk membendung penyebaran bidat di Aleksandria maupun di tempat-tempat lain. Semua surat itu tidak berdampak apa-apa, dan tidak lama kemudian Paus Simplisius tutup usia.
Penggantinya, Paus Feliks III, membela Yohanes Talaya dengan berapi-api. Ia mengutus dua orang uskup, Vitalis dan Misenus, ke Konstantinopel, membawa surat-surat darinya untuk Kaisar Zeno dan Akasius, berisi tuntutan kepada Akasius untuk segera menghadap ke Roma, menjawab dakwaan-dakwaan Yohanes Talaya terhadap dirinya (Feliks, Epp. 1, 2). Misi itu gagal total. Vitalis dan Misenus malah berhasil dibujuk untuk berkomuni (bersama-sama menyantap Komuni Kudus) di muka umum dengan Akasius dan wakil-wakil Petrus Monggus. Dengan jengah keduanya pulang ke Italia pada tahun 484.
Begitu keduanya tiba di Roma, sebuah sinode digelar dan tindakan-tindakan mereka dikecam. Keduanya dimakzulkan dan diekskomunikasi. Selain itu, dikeluarkan pula anatema baru terhadap Petrus Monggus, dan ekskomunikasi terhadap Akasius lantaran bekerjasama dengan Petrus Monggus, melangkahi batas-batas yurisdiksinya, dan menolak menjawab dakwaan-dakwaan Yohanes Talaya di Roma; tetapi tidak ada pembuktian kesesatan fatwa-fatwanya. Paus Feliks III melaknat Akasius lantaran sudah berdosa melawan Roh Kudus dan wewenang rasuli (Habe ergo cum his ... portionem S. Spiritus judicio et apostolica auctoritate damnatus), dan oleh karena itu diekskomunikasi untuk selama-lamanya (nunquamque anathematis vinculis exuendus).
Sri Paus mengirim surat keputusannya kepada Akasius, dan pada waktu yang sama mengirim surat kepada Kaisar Zeno dan Gereja Konstantinopel, memerintahkan semua orang untuk menjauhi Akasius si batrik termakzul dengan ancaman hukuman ekskomunikasi. Sementara itu, seorang utusan tambahan bernama Tutus secara khusus ditunjuk untuk mengantar langsung maklumat ekskomunikasi ganda itu kepada Akasius. Akasius menolak menerima dokumen-dokumen yang diserahkan Tutus, dan menunjukkan perlawanannya terhadap kewenangan Takhta Keuskupan Roma maupun sinode yang sudah melaknatnya dengan cara menghapus nama Paus Feliks III dari diptika. Meskipun ada ancaman ekskomunikasi dari Sri Paus, tidak ada konsekuensi praktis apapun, karena mayoritas umat Kristen Timur tidak memutuskan hubungan dengan Acacius.
Yohanes Talaya bersedia menjadi Uskup Nola, dan dengan demikian efektif sudah mengaku kalah; sementara Kaisar Zeno dan Akasius giat mengupayakan pemberlakuan Henotikon di seluruh kawasan Timur. Sejumlah sumber (yang mungkin berat sebelah) menyebutkan bahwa bersama Kaisar Zeno, Akasius menjalankan kebijakan kejam berupa tindak kekerasan dan aniaya, terutama terhadap lawan-lawan lamanya, yakni para rahib, supaya Henotikon berterima-umum. Akasius dilaknat atas nama Sri Paus, kemudian dilaknat sekali lagi atas nama Konsili Kalsedon, dan skisma menjadi paripurna pada tahun 485. Akasius tidak menghiraukan hukuman tersebut sampai tutup usia pada tahun 489, disusul Petrus Monggus pada tahun 490, dan Kaisar Zeno pada tahun 491.
Penggantinya, Batrik Fravitas (Flavitas atau Flavianus), mengupayakan perundingan dengan Paus Felix III dalam masa jabatannya yang sangat singkat, kendati tidak membuahkan hasil. Kebijakan Akasius gagal begitu ia tidak lagi mampu menjalankannya. Hanya dalam hitungan beberapa tahun, semua hasil jerih payahnya hilang begitu saja. Henotikon gagal menyatukan kembali umat Kristen di Timur, dan pada tahun 519, Kaisar Yustinus I menuruti kemauan Paus Hormisdas, dan pelaknatan Akasius diakui Gereja Konstantinopel.
Rujukan
Atribusi:
Artikel ini menyertakan teks dari suatu terbitan yang sekarang berada pada ranah publik: Chisholm, Hugh, ed. (1911). "Monophysites". Encyclopædia Britannica. 18 (edisi ke-11). Cambridge University Press. hlm. 732–733.
This article incorporates text from a publication now in the public domain: Westcott, B. F. (1911). "Acacius, patriarch of Constantinople". Dalam Wace, Henry; Piercy, William C. Dictionary of Christian Biography and Literature to the End of the Sixth Century (edisi ke-third). London: John Murray.
Artikel ini memuat teks dari suatu penerbitan yang sekarang berada dalam ranah publik: Clifford, Cornelius (1907). "Acacius, Patriarch of Constantinople". Dalam Herbermann, Charles. Catholic Encyclopedia. 1. New York: Robert Appleton.
Kepustakaan
Meyendorff, John (1989). Imperial unity and Christian divisions: The Church 450–680 A.D. The Church in history. 2. Crestwood, NY: St. Vladimir's Seminary Press. ISBN 978-0-88-141056-3.
Dietmar W. Winkler: Acacius of Constantinople, in: David G. Hunter, Paul J.J. van Geest, Bert Jan Lietaert Peerbolte (eds.): Brill Encyclopedia of Early Christianity Online. Acacius of Constantinople
Kata Kunci Pencarian:
- Akasius dari Konstantinopel
- Antimus I dari Konstantinopel
- Yohanes VII dari Konstantinopel
- Samuel dari Konstantinopel
- Attikos dari Konstantinopel
- Akakios
- Bartolomeus I dari Konstantinopel
- Basiliskus
- Konsili Kalsedon
- Leo II (kaisar)