Anak Agung Bagus Sutedja (lahir 1923 – menghilang 27 Juli 1966) adalah Kepala Daerah Bali yang pernah dua kali memimpin Bali.
Pertama kali menjabat pada tahun 1950 sampai 1958, diangkat berdasarkan keputusan Dewan Pemerintahan Daerah sebagai pemimpin badan eksekutif Bali, sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS) menggantikan wewenang Paruman
Agung yang terdiri dari wakil-wakil delapan kerajaan di Bali sebagai badan legislatif.
Setelah diselingi oleh I Gusti
Bagus Oka sebagai Pejabat Sementara Kepala Daerah Bali pada tahun 1958 sampai 1959, ia kembali terpilih pada bulan Desember 1959 sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali. Masa jabatannya yang kedua berakhir beberapa bulan setelah terjadinya G30S/PKI tahun 1965. Selanjutnya ia digantikan oleh I Gusti Putu Martha.
Anak Agung Bagus Sutedja menghilang pada tanggal 29 Juli 1966 di Jakarta. Ia diperkirakan menjadi korban penculikan politik yang terjadi pada masa itu.
Riwayat hidup
= Awal karier menjadi Gubernur
=
Sutedja mengawali karier dalam birokrasi pemerintahan Bali ketika daerah tersebut sedang mengalami transisi sistem politik dari era aristokrasi-kerajaan menuju integrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pasca proklamasi dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS) Bali terbentuk sebagai lembaga legislatif terbentuk di awal tahun 1950-an. DPRDS ini bersifat menggantikan Dewan Paruman
Agung yang merepresentasikan persekutuan delapan kerajaan di Bali.
Sementara di ranah eksekutif, sebuah lembaga pemerintahan daerah dibentuk untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan di daerah Bali sebagai bagian dari Provinsi Sunda Kecil. Pada saat itulah Soekarno menunjuk
Sutedja, yang ketika itu sedang meniti karier sebagai pegawai negeri sipil dengan usia relatif muda (27 tahun), sebagai pimpinan lembaga eksekutif di Bali.
Sejak 1958, Bali memperoleh status provinsi otonom. Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR) Daerah Tingkat I (Dati I) Bali dibentuk sebagai lembaga representasi rakyat tingkat provinsi. Pemilihan gubernur pun diselenggarakan oleh DPR-GR Bali guna memilih kepala daerah Bali yang telah berubah menjadi Provinsi. Namun, ajang pemilihan gubernur inilah yang menjadi awal dari pertikaian politik berkepanjangan di Bali antara dua kubu yang sebenarnya sama-sama berafiliasi pada partainya Soekarno, Partai Nasional Indonesia (PNI). Kedua kubu itu adalah I Nyoman Mantik dan
Anak Agung Bagus Sutedja. Pilihan Soekarno sendiri tetap jatuh pada
Sutedja dikarenakan faktor kedekatan politik dan kemampuan
Sutedja menjalankan tugas pemerintahan yang sesuai dengan kebijakan pemerintahan pusat selama
Sutedja menjadi kepala daerah Bali sepanjang dekade 1950-an. Pada tahun 1959, Presiden Soekarno melantik
Anak Agung Bagus Sutedja sebagai Gubernur Bali.
= Kisah penculikan pasca G 30 S
=
Korban pembantaian massal pasca Gerakan 30 September 1965 (G30S) tidak hanya anggota dan simpatisan PKI, tetapi juga orang-orang nasionalis atau Sukarnois seperti Gubernur Bali
Anak Agung Bagus Sutedja yang dihilangkan dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. “Ayah saya bukan anggota atau simpatisan PKI. Ini dibuktikan dengan surat keterangan nomor 351 tahun 1989 yang menyatakan tidak terlibat Gerakan 30 September,” kata
Anak Agung Gede
Agung Bagus Sutedja,
Anak sang gubernur, dalam bedah buku Nasib Para Soekarnois: Penculikan Gubernur Bali
Sutedja, 1966 di LBH Jakarta, 1 Oktober 2015.
Bagus Suteja menyebut ayahnya yang lahir tahun 1923 sebagai pejuang kemerdekaan sejak tahun 1942 sehingga tercatat sebagai veteran sejak 29 Juli 1964.
Menurut Aju, penulis buku, menghilangnya Gubernur
Sutedja berlatar belakang konflik Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bali.
Sutedja yang dekat dengan Sukarno dituduh masuk PKI. “Ada perseteruan internal di tubuh PNI antara kubu
Sutedja dan kubu I Nyoman Mantik serta Wedastera Sujasa”, kata Aju.
Dalam buku Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik, sejarawan Geoffrey Robinson menyebutkan bahwa Nyoman Mantik adalah seorang anti-komunis yang kukuh. Sejak tahun 1957, dia melancarkan serangan gencar terhadap PKI, mengingatkan bahaya kudeta komunis dan menyerukan kepada Presiden Sukarno agar melarang partai ini. Pada tahun 1958, ketika upayanya untuk menjadi gubernur dimentahkan oleh pilihan Sukarno kepada
Sutedja, Mantik mulai menuduh
Sutedja sebagai simpatisan komunis. Dalam kampanyenya, Mantik dibantu oleh sosok antikomunis yang ganas, Wedastera Suyasa. “Lebih daripada tokoh PNI lokal manapun, kedua eks pemuda inilah –Mantik dan Wedastera– yang bertanggung jawab atas meningkatnya polarisasi politik di Bali sesudah tahun 1958. Sesudah kudeta 1965, Mantik bekerja keras untuk ′meng-Golkar-kan′ PNI Bali, yang pada hakikatnya berarti membersihkan organisasi elemen-elemen Sukarnois yang berafilias dengan PNI,” tulis Geoffrey Robinson.
Setelah G30S, konflik semakin berkembang, apalagi setelah
Sutedja pergi ke Jakarta. “Pada 9 Desember 1965,
Anak Agung diisukan oleh lawan-lawan politik melarikan diri ke Jakarta. Itu tidak benar, karena ada undangan resmi dari ketua MPRS Chairul Saleh untuk hadir di Bandung dalam rangka sidang gabungan ke-10 MPRS. Juga menghadiri sidang-sidang akhir tahun dari Dewan Harian Nasional Angkatan 45,” kata
Bagus Sutedja. Selain itu,
Bagus Sutedja mengatakan bahwa ayahnya dipanggil oleh Presiden Sukarno ke Istana Negara pada 10 Desember 1965. Presiden membutuhkan bantuannya. Sukarno pun mempercayai bahwa dia tidak terlibat G30S. Setelah pertemuan itu, dia tinggal di Jakarta. “Kemudian pada tanggal 29 Juli 1966, saksinya adik saya yang perempuan bersama almarhumah ibu saya, didatangi empat orang militer berseragam membawa senjata laras panjang dan pistol, membawa mobil Nissan warna abu-abu. Sejak saat itu, tidak tahu lagi bagaimana nasib Gubernur
Sutedja,” kata
Bagus Sutedja.
Referensi
Pranala luar
Gubernur Bali dari Masa ke Masa Diarsipkan 2007-10-21 di Wayback Machine., Situs Resmi Pemerintah Provinsi Bali.
Hingga Dipelebon, Kematian Mantan Gubernur Itu Tetap Misterius, Koran Warta Bali online, edisi Minggu, 23 Juli 2006.