Antroplogi
gizi adalah cabang dari
Antropologi kedokteran—suatu bidang yang sejak lama telah didedikasikan untuk dunia kesehatan internasional dan merupakan hubungan timbal balik yang kompleks antara gender dan kesehatan, reproduksi manusia, sejarah
gizi dan etnografi, kedokteran evolusioner, epidemiologi
Antropologi, agama dan penyakit kejiwaan.
Fokus kajian dalam
Antropologi gizi adalah konsumsi makanan sebagai kebutuhan dasar manusia karena dua alasan. Pertama, karakteristik
gizi dan makanan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan dan kesehatan individu. Kedua, gagasan budaya suatu keluarga dan masyarakat, terkait dengan kegiatan berbagi atau masalah moralitas, semuanya dieksplorasi dan ditunjukkan melalui bagaimana makanan diperoleh, disiapkan dan dikonsumsi.
Pola Budaya Terhadap Makanan
Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan ras, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar. Selanjutnya dikatakan juga bahwa wujud dari budaya atau kebudayaan dapat berupa benda-benda fisik, sistim tingkah laku dan tindakan yang terpola/sistim sosial, sistim gagasan atau adat-istiadat serta kepribadian atau nilai-nilai budaya.
Berdasarkan atas batasan demikian maka dapat dikatakan bahwa makanan atau kebiasaan makan merupakan suatu produk budaya yang berhubungan dengan sistim tingkah laku dan tindakan yang terpola (sistim sosial) dari suatu komonitas masyarakat tertentu. Sedangkan makanan yang merupakan produk pangan sangat tergantung dari faktor pertanian di daerah tersebut dan merupakan produk dari budaya juga. Dengan demikian pengaruh budaya terhadap pangan atau makanan sangat tergantung kepada sistim sosial kemasyarakatan dan merupakan hak asasi yang paling dasar, maka pangan/makanan harus berada di dalam kendali kebudayaan itu sendiri.
Beberapa pengaruh budaya terhadap pangan/makanan adalah: Adanya bermacam jenis menu makanan dari setiap komunitas etnis masyarakat dalam mengolah suatu jenis hidangan makanan karena perbedaan bahan dasar/adonan dalam proses pembuatan; contoh: orang Jawa ada jenis menu makanan berasal dari kedelai, orang Timor jenis menu makanan lebih banyak berasal dari jagung dan orang Ambon jenis menu makanan berasal dari sagu.
Demikian juga orang Sulawesi menu makanan beragam yakni berasal dari beras, jagung dan sagu. Adanya perbedaan pola makan/konsumsi/makanan pokok dari setiap suku/etnis; Contoh: orang Timor pola makan lebih kepada jagung, orang Jawa pola makan lebih kepada beras. Adanya perbedaan cita-rasa, aroma, warna dan bentuk fisik makanan dari setiap suku-etnis; Contoh: makanan orang Padang cita rasanya pedas, orang Jawa makananya manis dan orang Timor makanannya selalu yang asin.
Adanya bermacam jenis nama dari makanan tersebut atau makanan khas berbeda untuk setiap daerah; contoh: Soto Makasar berasal dari daerah Makasar, Sulawesi Selatan, Jagung ”Bose” dari daerah Timor-Nusa Tenggara Timur, contoh lain dari daerah Maluku adalah sagu lempe yang biasa digunakan untuk snack dan lebih umum biasa digunakan sebagai bahan oleh-oleh.
Sistem Budaya Terhadap Makanan
Berbagai sistim budaya memberikan peranan dan nilai yang berbeda-beda terhadap makanan, misalnya bahan-bahan makanan tertentu oleh suatu budaya masyarakat dapat dianggap tabu atau bersifat pantangan untuk dikonsumsi karena alasan sakral tertentu atau sistim budaya yang terkait didalamnya.
Disamping itu ada jenis makanan tertentu yang di nilai dari segi ekonomi maupun sosial sangat tinggi eksistensinya tetapi karena mempunyai peranan yang penting dalam hidangan makanan pada sesuatu perayaan yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat tertentu maka hidangan makanan itu tidak diperbolehkan untuk dikonsumsinya bagi golongan masyarakat tersebut.
Anggapan lain yang muncul dari sistim budaya seperti dalam mengkonsumsi hidangan makanan didalam keluarga, biasanya sang ayah sebagai kepala keluarga akan diprioritaskan mengkonsumsi lebih banyak dan pada bagian-bagian makanan yang mengandung nilai cita rasa tinggi. Sedangkan anggota keluarga lainnya seperti sang ibu dan anak-anak mengkonsumsi pada bagian-bagian hidangan makanan yang secara cita-rasa maupun fisiknya rendah.
Sebagai contoh pada sistim budaya masyarakat di Timor yaitu: apabila dihidangkan makanan daging ayam, maka sang ayah akan mendapat bagian paha atau dada sedangkan sang ibu dan anak-anak akan mendapat bagian sayap atau lainnya. Hal ini menurut dapat menimbulkan distribusi konsumsi pangan yang tidak baik atau maldistribution diantara keluarga apalagi pengetahuan
gizi belum dipahami oleh keluarga. Kasus lain yang berhubungan dengan sistim budaya adalah sering terjadi juga pada masyarakat di perkotaan yang mempunyai gaya hidup budaya dengan tingkat kesibukan yang tinggi karena alasan pekerjaan. Contohnya; pada ibu-ibu di daerah perkotaan yang kurang dan tidak sering menyusui bayinya dengan Air Susu Ibu (ASI) setelah melahirkan tetapi hanya diberikan formula susu bayi instant.
Padahal kita tahu bahwa ASI sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik bayi. Selanjutnya gaya hidup mereka yang berasal dari golongan ekonomi atas (masyarakat elite kota) ,dalam hal makanan sering mengkonsumsi makanan yang berasal dari produk luar negeri atau makanan instant lainnya karena soal “gengsi”. Sedangkan makanan lokal kita hanya dikonsumsi oleh mereka yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah karena ada anggapan bahwa makanan dari luar negeri kaya akan nilai
gizi protein dan makanan instant lebih praktis untuk dikonsumsi sedangkan makanan lokal kita nilai gizinya lebih kepada karbohidrat.
Sehubungan dengan soal gengsi maka ada kebiasaan masyarakat di Timor jika ada kunjungan tamu ke rumahnya maka tamu tersebut selalu di hidangkan dengan makanan yang berasal dari beras walaupun kesehariannya mereka selalu mengkonsumsi jagung, ubi kayu/singkong dan makanan lokal lainnya sehingga beras atau nasi telah dianggap sebagai suatu citra bahan makanan yang mempunyai nilai prestise” yang tinggi. Citra beras/nasi dibangun sebegitu kuatnya oleh masyarakat di Timor sehingga kondisi ini telah mempengaruhi sendi-sendi sosial budaya sedangkan pandangan mereka terhadap pangan di luar beras di tempatkan sebagai symbol lapisan masyarakat paling rendah.
Masalah Budaya Dan Makanan Terhadap gizi
Mencermati akan adanya budaya, kebiasaan dan sistim sosial masyarakat terhadap makanan seperti pola makan, tabu atau pantangan, gaya hidup, gengsi dalam mengkonsumsi jenis bahan makanan tertentu, ataupun prestise dari bahan makanan tersebut yang sering terjadi di kalangan masyarakat apabila keadaan tersebut berlangsung lama dan mereka juga belum memahami secara baik tentang pentingnya faktor
gizi dalam mengkonsumsi makanan maka tidak mungkin dapat berakibat timbulnya masalah
gizi atau
gizi salah (Malnutrition).
Lebih lanjut dijelaskan oleh bahwa jika kalangan masyarakat yang terkena dampak dari sistim sosial atau budaya makan itu berasal dari golongan individu-individu yang termasuk rawan
gizi seperti ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak balita serta orang lanjut usia maka kondisi ini akan lebih rentan terhadap timbulnya masalah
gizi kurang.
gizi salah (Malnutrition) dapat didefenisikan sebagai keadaan sakit atau penyakit yang disebabkan oleh kekurangan relative atau mutlak dan kelebihan satu atau lebih zat-zat makanan esensial yang berguna dalam tubuh manusia. Menurut bentuknya,
gizi salah diklasifikasikan oleh (Supariasa et al., 2002) sebagai berikut:
= gizi kurang
=
kondisi ini sebagai akibat dari konsumsi makanan yang tidak memadai jumlahnya pada kurun waktu cukup lama. Contoh : Kekurangan Energi Protein (KEP) dapat menyebabkan penyakit marasmus dan kwashiorkor.
=
keadaan ini diakibatkan oleh konsumsi makanan yang berlebihan untuk jangka waktu yang cukup lama sebagai contoh kegemukan
= Kurang gizi spesifik
=
Kurang
gizi spesifik diartikan sebagai kekurangan relatif atau mutlak pada zat-zat makanan tertentu. Contohnya kekurangan
gizi spesifik ialah kekurangan vitamin A yang dapat menyebabkan penyakit Xerophtalmia dan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) yang dapat menyebabkan penyakit gondok.
= gizi tak seimbang
=
gizi tak seimbang ialah kondisi ketidakseimbangan jumlah antara zat-zat makanan esensial dengan atau tanpa kekurangan zat makanan tertentu. Gejala yang timbul ketika
gizi tak seimbang antara lain gangguan keseimbangan tubuh dan sering lemas.
Alternatif Mengatasi Masalah Budaya dan Makanan
Masalah budaya dan makanan dapat menyebabkan masalah
gizi yang berdampak pada kesehatan tubuh manusia, sehingga perlu secara cermat untuk memberdayakan masyarakat lokal dengan kearifan dan kecerdasan lokal disamping terus melaksanakan penyuluhan
gizi sebagai alternatif dalam mengatasi masalah budaya dan makanan. Pendekatan yang paling utama adalah melalui perbaikan struktur sosial masyarakat tentang pandangan mereka terhadap bahan makanan walaupun lokal tetapi kaya akan nilai
gizi. Langkah-langkah yang ditempuh seperti: Perbaikan
gizi keluarga dengan melakukan lomba menyiapkan hidangan makanan non beras (kasus budaya Timor), Perbaikan budaya masyarakat dengan pengaruh utama gender terutama di tingkat keluarga. Memperluas areal pertanian dengan menanam berbagai komoditi yang mempunyai nilai
gizi tinggi sebagai bahan pangan/makanan seperti kedelai (kasus budaya Jawa). Pemberian makanan tambahan yang bernilai
gizi bagi anak-anak balita dan orang lanjut usia. Penyuluhan
gizi terpadu dan konsultasi
gizi bagi masyarakat. Melakukan pengkajian/penelitian dan riset untuk melihat pengaruh budaya terhadap makanan itu sendiri dengan berbagai implikasi yang terkait di dalamnya.
Variasi Makanan Suku Bangsa di lndonesia
Negara Indonesia memiliki beragam suku bangsa, perbedaan geografis. Bila dianalisis rasa makanan bisa digunakan untuk menafsirkan, menganalisis dan melihat sifat dan budaya suku bangsa penganutnya, misalnya suku Jawa memiliki selera rasa manis, mencerminkan sifat orang Jawa yang manis, halus, lemah-lembut tapi menyimpan sesuatu dibelakang.
Banyaknya rumah makan padang di seluruh lndonesia menggambarkan bahwa masakan padang dapat diterima lidah secara umum. Selain itu juga menggambarkan penerimaan terhadap suku Minangkabau, dimana suku. Minangkabau relatif dapat bekerjasama dengan baik dan jarang berkonflik dengan suku bangsa lain. Orang Minangkabau yang merantau salah satunya menjadi pengusaha karena dorongan adat dalam budaya Minangkabau yang matrilineal dimana kekuasaan ada pada pihak perempuan, mendorong kaum lelaki untuk pergi keluar daerah. Banyaknya orang Minangkabau yang berdagang termasuk bidang restoran menggambarkan jiwa suku minang yang merdeka, bebas dan legaliter.
Pekerjaan orang Madura banyak yang berjualan sate, dimana sate adalah makanan yang dibakar sehingga tidak terlalu matang, menggambarkan suku madura yang cenderung keras dan tidak terlalu berpikir panjang dalam mela. Makanan berkaitan erat dengan suku bangsa atau etnik, setiap etnik memiliki makanan khas. Indonesia memiliki beragam etnis, setiap etnis memiliki makanan khas.
Beberapa makanan etnik cukup terkenal. Tidak semua makanan khas populer dan familiar, bahkan bagi etniknya sendiri. Yogyakarta menjadi tujuan berbagai suku bangsa yang ada di lndonesia. Oleh karena itu banyak rumah makan yang menggunakan ciri khas daerah, seperti Aceh, Banjar, Makasar, Manado, Betawi, Cina, Bangka, dll. Rumah makan itu menggunakan ciri khas etnik, suku bangsa atau kedaerahan sebagai referensial, kekhasan dan sebagai cara menarik pengunjung.
Pengunjung rumah makan beridentitas suku atau etnik ada yang berasal dari daerahnya sebagai nostalgia terhadap daerah asalnya dan ada juga yang ingin mencoba makanan dari etnik lain. Rumah makan etnik itu juga melakukan penyesuaian dimana bumbu dan resepnya tidak sebagaimana aslinya namun menyesuaikan dengan ketersediaan yang ada di Yogyakarta.
Kajian Makanan Dalam Perspektif Antropologi
Penelitian yang dilakukan oleh Audrey Richards pada orang Bantu, Afrika Selatan, boleh dikatakan penelitian awal yang cukup populer. Hasil penelitian yang telah dipublikasikan dalam bukunya berjudul Hunger and Work in a Savage Society (1932) tersebut dimulai dengan pernyataan Richards bahwa nutrisi sebagai suatu proses biologis dalam sebuah kebudayaan diatur jauh lebih mendasar daripada urusan seks (bandingkan dengan Bates (1958) dan Fox, 1994.
Studi klasik Audrey Richards tentang Bemba (sekarang Zambia) di Rhodesia Utara menyimpulkan bahwa alasan masyarakat Bemba tidak mau menjadi pekerja keras (terutama perhatian terhadap pertambangan British (Inggris) dan minat ekonomi lainnya) bukanlah sebuah pertanyaan yang berkaitan dengan kemalasan namun berkaitan dengan persoalan kurang
gizi. Semenjak laki-laki bekerja keras di tambang, perempuan- perempuan merasa sangat sulit melakukan tugas pembukaan hutan yang berat yang secara tradisional biasanya dilakukan oleh laki-laki. Selama masa itu bertahun-tahun ketika perempuan lebih membutuhkan makanan bergizi untuk mendukung tenaga dalam membersihkan dan menanam di lahan, supplai makanan amat sedikit.
Kemudian, akhirnya mereka terlibat dalam siklus yang terus menerus dalam kondisi kurang produksi dan kurang
gizi (Messer, 1984). Studi-studi awal tentang makanan lebih banyak menyorot masalah kebiasaan makan sebagai suatu bentuk tingkah laku berpola yang sangat terkait dengan kebudayaan, yang mencakup juga kepercayaan dan pantangan makan yang berkembang dalam sekelompok masyarakat, dan juga berkaitan dengan faktor lingkungan sebagai sumber perolehan bahan pangan yang utama.
Kebiasaan makan sebagai kompleks kegiatan masak memasak (kulinari) terkait dengan bahan makanan, proses pengolahan, serta tekhnologi yang digunakan. Walaupun kebudayaan menen tukan apa yang bisa dimakan dan tidak, ketersediaan bahan makanan dan makanan dipengaruhi juga oleh komponen ekologis dan fisiologis manusia (Harris dalam Hartog, 1985).
Kajian lain menekankan pada pengaruh atau dampak makanan sebagai klasifikasi budaya tersebut terhadap kesehatan atau
gizi masyarakat pendu kungnya. Jerome, Kandel & Pelto (1980) menyebut istilah ini dengan klasifikasi non- makanan yang juga berkontribusi terhadap kasus kurang
gizi. Misalnya kajian yang dilakukan Gerlach (1964) tentang etiologi spritual atau supernatural yang diapplikasikan terhadap penyakit yang kita kenal sebagai penyebab kurang
gizi. Ketidakcukupan makanan, dengan trauma psikologis karena dipisahkan dengan ibunya, seringkali memperburuk kondisi (Burgess dan Dean, 1962; Cravioto, 1966; Amann et al. 1972, Jerome, Kandel & Pelto, 1980). Kwashiorkor yang terjadi akibat perpisahan anak dengan ibunya diistilahkan dengan omusana, di mana diyakini disebabkan oleh malam-malam yang “dingin” yang dilewati seorang anak yang jauh dari ibunya (Burgess & Dean, 1962:25, Jerome, Kandel & Pelto, 1980).
Larangan-larangan makan dapat dipandang sebagai sebuah ekspresi dari hukum moral Tuhan (seperti kashrut, larangan Islam terhadap babi, larangan sebelum paskah untuk makan daging, dan tabu totem dari beberapa wilayah). Kadang-kadang, kepercayaan terpusat pada hakekat nilai dari makanan yang dikaitkan dengan masa- masa kritis dalam life cycle, seperti: kehamilan, menyusui, penyakit, dsbnya. Seringkali, kepercayaan-kepercayaan seper ti ini berpengaruh netral terhadap
gizi mereka, misalnya, orang Papago melarang makan garam dan gula pada ibu sampai tali pusar bayi lepas (Gonzalez, 1972), atau larangan terhadap binatang menjijikkan atau makanan yang kelihatan menjijikkan untuk melindungi bayi dari pertumbuhan yang jelek (Hughes, 1963).
Namun, beberapa tabu makanan juga telah membuang zat-zat
gizi yang dibutuhkan, khususnya masa- masa kritis. Misalnya larangan terhadap telur dalam makanan wanita usia produktif untuk menghindari sterilitas dan komplikasi kelahiran (HEW, 1973); larangan minum susu bagi ibu menyusui; orang Burma mengurangi daging dan unggas selama masa kehamilan (Mead, 1955), dan lain sebagainya.
Penelitian lainnya menekankan pada fungsi dan peranan makanan dalam masyarakat. Seperti yang ditemukan oleh Kahn, et al (1988) di wilayah Melanesia, Mikronesia dan Polinesia, bahwa makanan mempunyai peranan sosial sebagai sarana adat komunikasi, standar kekayaan, sebuah barometer status sosial, dan sebagai mediator simbolik dalam mendefinisikan dan memanipulasi kekerabatan dan hubungan sosial. Penelitian Davis (1995) di Minangkabau menemukan bahwa makanan bagi orang Minangkabau berfungsi sebagai sesuatu yang bermakna dalam komunikasi antar kelompok, ekspresi yang penting dalam hubungan-hubungan sosial seperti kepercayaan-kepercayaan, kecurigaan, konflik, keselarasan, status, dan simbol hubungan baru dan berkelanjutan. Pola-pola seleksi makanan, distribusi, dan konsumsi bervariasi dalam tipe-tipe masyarakat yang berbeda.
Pada komunitas petani dan pada ekonomi- ekonomi yang ditandai dengan pertanian subsistensi, anggota-anggota keluarga yang secara ekonomi sangat produktif sering diberikan pilihan pertama memilih lauk yang berkualitas tinggi. Begitu juga dengan peran ibu dalam keluarga, karena ibu merupakan aktor kunci dalam proses produksi dan konsumsi makanan dalam keluarga. Seperti hasil penelitian yang ditunjukkan Marchione (1980:263) di Jamaica bahwa faktor sosial- ekonomi dan faktor sosial budaya merupakan penyebab terjadinya
gizi buruk dikalangan anak-anak.
Kebiasaan makan juga berkaitan dengan teknologi, organisasi sosial, dan kepercayaan masyarakat. Penelitian Rappaport pada tahun 1968 pada masyarakat Tsembaga, merupakan satu contoh yang baik bagaimana kebiasaan makan berkaitan dengan teknologi, organisasi sosial, dan kepercayaan masyarakat (Rappaport dalam Bryant et al, 1985: 231-232). Kajian Rappaport (1968) pada masyarakat Tsembaga juga dapat menjadi contoh bagaimana lingkungan (termasuk lingkungan fisik dan sosial) mempengaruhi perkembangan kebudayaan. Kajian ini juga menunjukkan bagaimana teknologi, organisasi sosial, dan ideologi bersinergi mempengaruhi pola-pola makan.
Beberapa penelitian lainnya menekankan pada makanan dan perubahan makan, walaupun beberapa ahli percaya bahwa kebiasaan makan sangat sulit diubah karena berkaitan dengan fungsi dan peranan sosialnya dan merupakan ekspresi diri. Beberapa faktor yang dapat mengubah kebiasaan makan dan akhirnya mempengaruhi kondisi
gizi tergambar dalam tulisan DeWalt (1993), yang menunjukkan bahwa perubahan pertanian subsistensi kepada komersialisasi telah menyebabkan terjadinya perubahan pada konsumsi makan dan status
gizi. Kajian yang dilakukan Eide & Steady (1980) di daerah rural Afrika tentang perubahan kebiasaan makan yang disebabkan oleh perubahan peranan ibu turut memperkaya kajian perubahan kebiasaan makan ini.
Penelitian yang dilakukan Kahn, et al (1988) memperlihatkan bagaimana masyarakat di wilayah Melanesia dan Polinesia memilih makanan sebagai akibat beragamnya jenis makanan baru yang masuk ke wilayah tersebut. Agaknya, kajian mengenai “Food Habit” lama terhenti dan mulai kembali dengan tuntutan persoalan yang lebih luas dan kompleks.
Kajian-kajian tentang nutrisi dan makanan mulai mengarah lebih luas ke dalam hal politik dan kebijakan pangan. Misalnya tulisan Susan George dalam bukunya Food for Beginners (1982, 2007), jelas-jelas menolak alasan klise yang menyesatkan tentang penyebab kelaparan di dunia ketiga seperti populasi yang terlalu padat, iklim dan sistem pertanian yang tidak efisien, dan sebagainya. Yang dibahas dalam buku tersebut justru mengetengahkan permainan kejam agribisnis multinasional, metode neo-Malthusian, dan neo- Kolonialisme, sekaligus membuka topeng pemberi dana yang sok suci sekaligus membongkar akar eksploitasi. Sebagai salah satu contohnya, George (2007) mencatat bencana kelaparan yang terjadi di Irlandia pada tahun 1846-1850 sebagai salah satu bencana kelaparan terparah yang pernah terjadi di Eropa.
Kajian Makanan Sebagai Simbol
Memasak dan memakan diilhami dengan makna-makna khusus. Memasak dan makan berhubungan dengan banyak identitas individual, dan idiom-idiom serta ideologi-ideologi tersebut akan mempengaruhi pilihan makan. Simbol- simbol diciptakan dan diciptakan kembali kapan saja, dengan sebuah pola makna dan signifikansi. Banyak objek, tindakan, peristiwa, ungkapan/upacara, konsep atau citra yang mengacu sebagai material mentah untuk menciptakan simbol, pada banyak tempat, dan waktu. Misalnya, karakteristik fisik dari bahan makanan dapat menjadi lambang. Sebagai contoh, tahun 1972-1973 pemerintah Amerika dalam Program Perdamaian mengirim jagung kuning ke Boeswana untuk didistribusikan ke sekolah-sekolah sebagai bantuan selama masa kekeringan. Memalukan dan dihina dengan ber ton-ton jagung kuning yang diberikan pada mereka, pelajar-pelajar di sekolah di Serowe, membakar mobil kepala sekolah dan menghancurkan tumpukan jagung kuning tersebut. Ini disebabkan karena mereka menganggap hanya jagung putih yang dikonsumsi manusia, sedangkan jagung kuning adalah makanan hewan (Jones, 2007). Orang-orang mendefinisikan peristiwa melalui makanan, sepotong hot dog di pantai, coklat panas di rink ice skating, dan popcorn di bioskop. Makanan juga memperkenalkan tempat, dari wilayah kota ke kota kecil atau lingkungan, misalnya bubur Peninsula Upper Michigan, cabe Cincinnati Ohio. Makanan juga “membuat” tempat, seperti orang-orang Jepang Amerika di camp-camp selama PD II yang membangun batas teritorial mereka dengan menggunakan kantin/ruang makan, kebun, wajan panas, tofu – membuat fasilitas dan memori-memori makanan sebagai “ruang” untuk memperluas aktivitas politik dan menciptakan identitas kolektif. Seringkali makanan disimpan dengan emosi. “Saya merasa baik jika saya makan banyak jenis makanan pada kesempatan khusus”, pernyataan seseorang. Makanan juga sebagai teman, penghibur, dan hobby. Makanan digunakan orang juga sebagai suatu hadiah. Makanan juga sebagai suatu ekspresi simpati dan dukungan ketika seorang teman sakit atau ada anggota keluarga yang meninggal. Dalam interaksi sosial yang melibatkan makanan, individu sering membuat keputusan tentang dengan siapa dia ingin makan, dengan siapa dia tidak ingin makan. Beberapa studi memperlihatkan orang-orang yang makan dengan teman mengkonsumsi lebih banyak makanan dibanding makan dengan orang asing (Jones, 2007). Makanan sebagai simbol-simbol tertentu akan memiliki makna-makna tertentu dalam banyak aktivitas sosial. Misalnya dalam makanan yang digunakan dalam perayaan adat, upacara adat atau upacara perkawinan. Makanan tidak hanya sesuatu untuk dimakan, atau sesuatu untuk disuguhkan kepada tamu atau anggota kerabat yang sedang mengikuti perayaan, tetapi makanan, jenis makanan, serta tatacara penyajiannya menjadi simbol simbol budaya tertentu. Misalnya kajian Mohamed, dkk (2010), tentang makanan hantaran dalam perkawinan Melayu Kelantan. Kajiannya menunjukkan bahwa makanan-makanan hantaran dalam upacara perkawinan pada masyarakat Melayu Kelantan merupakan simbol-simbol yang sarat dengan makna yang diyakini oleh masyarakat sampai sekarang. Pesan-pesan yang disampaikan melalui makanan dan perilaku makanan ini pada akhirnya memperluas kajian makanan sebagai simbol.
Makanan Sebagai Pembentuk Identitas Etnis
Makanan juga sebagai pembentuk identitas etnis, yang dapat dikenali dari jenis masakannya yang memiliki karakterisitik rasa yang khusus. Misalnya, masakan Minahasa ditandai dengan penggunaan cabai (rica) dalam jumlah yang banyak dalam mengolah daging, begitu kuatnya rasa cabai sampai- sampai menghilangkan rasa daging itu sendiri. Begitu juga masakan Minangkabau, cabai, santan, dan bumbu rempah-rempah menjadikan makanannya khas sebagai makanan Minangkabau. Makanan juga sebagai pembentuk identitas individual yang berkaitan dengan klas dan gender. Goody (1982) menyebutkan bahwa sebetulnya hirarki klass, kasta, ras dan gender terbentuk melalui differensiasi kontrol terhadap akses terhadap makanan. Pola-pola konsumsi yang berbeda adalah satu dari banyak cara yang membedakan diri mereka sendiri dengan orang miskin dan membedakan laki-laki dengan perempuan. Makanan juga mempunyai peranan sosial sebagai sarana adat komunikasi, standar kekayaan, sebuah barometer status sosial, dan sebagai mediator simbolik dalam mendefinisikan dan memanipulasi kekerabatan dan hubungan sosial.
Makanan dan Perubahan
Dalam beberapa tahun terakhir, kajian makanan menyangkut perubahan- perubahan yang terjadi akibat masuknya berbagai jenis makanan dari luar, sebagai akibat perubahan yang disebut globalisasi. Di seluruh dunia, barang-barang seperti makanan dan pakaian digunakan dengan cara yang berbeda oleh kelompok- kelompok sosial dan klass sosial yang berbeda (misalnya Bourdieu, 1984). Bahkan para ahli
Antropologi ekonomi telah menjadi semakin tertarik pada hubungan antara konsumsi dan pengalaman sosial, terutama dalam kaitannya dengan konsumsi komoditas global (misalnya tulisan Friedman 1994; Miller 1995). Dengan menekankan pada komponen konsumsi, para ahli telah membawa perhatian pada berbagai variasi motivasi untuk mengkonsumsi barang- barang tertentu dan kontestasi makna yang muncul akibat perilaku mengkonsumsi ini. Dan, karena adanya makna-makna budaya lokal yang terus menerus melekat pada konsumsi barang-barang dari luar, mereka berpendapat bahwa konsumsi tidak menandakan persaingan dengan budaya Barat atau dengan kata lain keaslian budaya lokal tidak akan menghilang (Miller 1995; Wilk 1994).
Makanan dan perubahan budaya makan sebagai akibat masuknya makanan- makanan asing tidak hanya mempengaruhi praktik makan sehari-hari, namun juga pada acara-acara tradisional seperti perkawinan. Seperti dikatakan Miele (1999), makanan- makanan dimodifikasi sesuai dengan trend baru dalam konsumsi, yang oleh Miele digambarkan sebagai munculnya arena baru makanan pasca modern dan budaya konsumsi baru dikalangan konsumen. Pilihan-pilihan terhadap jenis makanan tertentu atau pilihan tatacara terhadap konsumsi tertentu pada akhirnya memunculkan gaya hidup baru, yang dianggap membawa satu kenyamanan dalam mengkonsumsinya. Sheely (2008), mengidentifikasi beberapa hal yang membuat orang menginginkan kenyamanan dalam memilih makanan yang pada akhirnya berkontribusi terhadap perubahan tersebut, seperti misalnya perubahan struktur rumah tangga, tingginya partisipasi perempuan dalam angkatan kerja dan jam kerja yang lebih panjang, kemakmuran konsumen, keinginan untuk pengalaman baru, keterampilan memasak menurun, serta menguatnya nilai uang. Kenyamanan dalam konsumsi makanan ini pada gilirannya mempengaruhi orang untuk beralih dari makanan tradisional, yang dimasak sendiri, yang cenderung dianggap merepotkan, menghabiskan banyak waktu dan tenaga, dan lain sebagainya. Makanan asing telah bekerja untuk membawa perubahan dan kelanjutan preferensi makanan melalui mobilisasi-mobilisasi yang berbeda dari identitas kelas. James (1997) mengkaji isu kelas dan status sosial di Inggris sebagai bentuk perbedaan yang disimbolkan dengan makanan. Selama Abad 19, ada pengembangan peningkatan ketergantungan pada kuliner Perancis seperti kaum elit meninggalkan makanan tradisional dan masakan negaranya dan mengadopsi makanan Perancis dan masakan Perancis. Ini adalah bentuk hegemoni Perancis yang diperluas juga di Eropa dan Amerika Utara, dan mempengaruhi cara dimana makanan, tatacara makan menjadi terstruktur (Caplan, 1997).
Dalam bukunya Distinction (1986, 1979 via Caplan, 1997), Bourdieu mengatakan bahwa kelas-kelas yang lebih tinggi menggunakan makanan, sama seperti mereka menggunakan selera dalam musik, seni atau pakaian, untuk membedakan mereka dengan kelas yang lebih rendah. Kemudian, dalam rangka membedakan status ini, mereka (kelas yang lebih tinggi) mengubah selera, dan terus mengubahnya. Bourdieu lebih melihat selera sebagai putusan estetis, yaitu produk dari adanya perbedaan kelas ketimbang pengakuan atas standar kualitas. Selera adalah sesuatu yang dikonstruksi secara sosial dalam ruang sejarah yang konkrit. Apa yang dibaca, dilihat, dimakan, dan sebagainya bukan merujuk pada rasionalitas selera murni, atau tanpa kepentingan, namun selama itu berlangsung di dalam ranah sosial, putusan estetis, sudah pasti mengusung berbagai kepentingan, walaupun kepentingan itu sejauh pada kepentingan simbolik (Blunden, 2004). Menurut Bourdieu, hal-hal simbolik dalam ranah perjuangan kelas dan kekuasaan sangatlah strategis, karena memiliki legitimasi untuk melakukan dominasi.
Referensi