Sri Maharaja
Balaputradewa merupakan Maharaja Sriwijaya ke-11 yang berasal dari Wangsa Sailendra.
Namanya dikenal dalam Prasasti Nalanda dan juga Naskah Wangsakerta.
Asal-Usul
Menurut prasasti Nalanda,
Balaputradewa adalah cucu seorang raja Jawa yang dijuluki Wirawairimathana (penumpas musuh perwira). Julukan kakeknya ini mirip dengan Wairiwarawimardana alias Dharanindra dalam prasasti Kelurak. Dengan kata lain,
Balaputradewa merupakan cucu Dharanindra.
Ayah
Balaputradewa bernama Samaragrawira, sedangkan ibunya bernama Dewi Tara putri Sri Dharmasetu dari Wangsa Soma. Prasasti Nalanda sendiri menunjukkan adanya persahabatan antara
Balaputradewa dengan Dewapaladewa raja dari India, yaitu dengan ditandai pembangunan wihara yang diprakarsai oleh
Balaputradewa di wilayah Benggala.
Perpindahan Ibukota Sriwijaya
= Menurut Casparis
=
Teori yang sangat populer, yang dikembangkan oleh De Casparis, menyebutkan bahwa Samaragrawira identik dengan Samaratungga raja Jawa. Sepeninggal Samaratungga terjadi perebutan takhta di antara kedua anaknya, yaitu
Balaputradewa melawan Pramodawardhani. Pada tahun 856
Balaputradewa dikalahkan oleh Rakai Pikatan suami Pramodawardhani sehingga menyingkir ke pulau Sumatra.
(Pendapat Casparis terbantahkan oleh penemuan prasasti Wukiran dan kajian ulang prasasti Wantil oleh Boechari)
= Menurut Slamet Muljana
=
Teori ini dibantah oleh Slamet Muljana karena menurut prasasti malang, Samaratungga hanya memiliki seorang anak perempuan bernama Pramodawardhani. Menurutnya,
Balaputradewa lebih tepat disebut sebagai adik Samaratungga. Dengan kata lain, Samaratungga adalah putra sulung Samaragrawira, sedangkan
Balaputradewa adalah putra bungsunya.
Pengusiran
Balaputradewa umumnya didasarkan pada prasasti Wantil bahwa telah terjadi perang antara Rakai Mamrati Sang Jatiningrat (alias Rakai Pikatan) melawan seorang musuh yang membangun benteng pertahanan berupa timbunan batu. Dalam prasasti itu ditemukan istilah Walaputra yang dianggap identik dengan
Balaputradewa.
(Pendapat Slamet Muljana terbantahkan oleh Naskah Wangsakerta karya Pangeran Wangsakerta)
= Menurut Boechari
=
Benteng timbunan batu yang menjadi markas
Balaputradewa identik dengan Situs Ratu Boko. Drs. Boechari menemukan beberapa prasasti di sekitar situs tersebut, namun bukan atas nama
Balaputradewa, melainkan atas nama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni yang mengaku sebagai keturunan pendiri kerajaan (yaitu Sanjaya).
Boechari berpendapat bahwa, musuh Rakai Pikatan bukan
Balaputradewa, melainkan Rakai Walaing. Istilah Walaputra dalam prasasti Wantil menurutnya bukan bermakna
Balaputradewa, melainkan bermakna “anak bungsu”, yaitu julukan untuk Rakai Kayuwangi selaku pahlawan penumpas Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni.
Bukti lain menunjukkan adanya kerusakan pada sebagian prasasti yang mencatat urutan silsilah Rakai Walaing. Kerusakan ini seolah sengaja dilakukan oleh Rakai Pikatan sebagai sesama keturunan Sanjaya yang bersaing memperebutkan takhta Medang.
Dengan demikian, teori yang menyatakan terjadi perang saudara antara Rakai Pikatan melawan iparnya, yaitu
Balaputradewa mungkin keliru. Karena
Balaputradewa mewarisi tahta Sriwijaya dari Ibunya, sedangkan alasan ia pindah ke Sumatera kemungkinan besar untuk menjaga stabilitas politik agar tetap kondusif dengan meneruskan memerintah di Ibukota Sriwijaya di Sumatera.
Menjadi Raja Sriwijaya
Prasasti Nalanda menyebut
Balaputradewa sebagai raja Suwarnadwipa, yaitu nama kuno untuk pulau Sumatra. Karena pada zaman itu pulau Sumatra identik dengan Kerajaan Sriwijaya, maka para sejarawan sepakat bahwa
Balaputradewa adalah raja Sriwijaya.
Berdasarkan analisis prasasti Nalanda, dapat diketahui kalau
Balaputradewa menjadi Raja Sriwijaya karena mewarisi tahta dari Ibunya yang bernama Tara sekaligus sebagai penerus Wangsa Sailendra dari ayahnya yang bernama Samaragrawira.
Referensi
Ayatrohaedi. 2005. SUNDAKALA Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Bandung: Pustaka Jaya
Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS