Batalyon Infanteri 614/Raja Pandita atau Yonif
614/RJP adalah
Batalyon Infanteri di bawah komando Brigif Raider 24/Bulungan Cakti, Kodam VI/Mulawarman.
Batalyon ini bermarkas di Belayan, Kecamatan Malinau Utara, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara.
Batalyon ini diresmikan oleh Panglima Kodam VI/Mulawarman Mayjen TNI Tono Suratman pada Sabtu 9 Agustus 2008.
Komandan
Batalyon pertama dijabat oleh Letkol Inf Nurkhan. Pembentukan yonif ini dimaksudkan untuk menyikapi dan menyiasati kecenderungan ancaman kedaulatan yang ada di perbatasan. Secara bertahap yonif ini akan diisi oleh 1.039 personel dan menjadikan
Batalyon terbesar di Kodam VI/Mulawarman dan terbagi ke dalam beberapa kompi.
Satuan
Markas
Batalyon
Kompi Bantuan
Kompi Senapan A
Kompi Senapan B
Kompi Senapan C
Kompi Senapan D
Kompi Senapan E
Latar Belakang Pembentukan
1. Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan serta Tragedi Ambalat.
Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) merupakan Negara kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau yang besar maupun pulau-pulau kecil terluar yang berbatasan dengan Negara tetangga yaitu Malaysia, Papua Nugini ( PNG ) dan Timor Lorosae, baik Wilayah Darat maupun laut.
Dengan kekayaan alam yang melimpah namun tidak diikuti dengan penyebaran penduduk yang merata sehingga belum diolah secara maksimal yang seharusnya dapat menunjang kesejahteraan rakyat Indonesia. Dengan adanya kondisi yang demikian itu maka Negara tetangga merasa ingin memiliki atau mengklaim Wilayah kedaulatan NKRI khususnya Pulau terluar dan Wilayah laut.
Pulau Kalimantan yang merupakan bagian wilayah kedaulatan NKRI berbatasan dengan Negara Malaysia. Berdasarkan penegasan batas darat oleh tim teknis penegasan bersama ( Joint Border Democration Team ) yang dilaksanakan sejak tahun 1975 panjang wilayah perbatasan NKRI dengan Malaysia mencapai 2000 KM, untuk Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah berbatasan dengan Negara bagian Serawak ( Malaysia ), sedangkan Provinsi Kalimantan Timur berbatasan dengan sebagian Kerajan Serawak (Malaysia) dan Negara bagian Sabah (Malaysia).
Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari pangkuan Ibu Pertiwi.
Pulau Sipadan dan Ligitan sebelum jatuh ke tangan Malaysia merupakan Pulau terluar yang masuk di Wilayah kedaulatan NKRI. Sejak tahun 1969 kasus P. Sipadan dan P. Ligitan mulai muncul ketika Tim Teknis landas Kontinen Indonesia – Malaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua Negara. Kedua P. Sipadan dan P. Ligitan yang tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari Wilayah NKRI, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia.
Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan P. Sipadan dan P. Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Disaat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Kedua belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “ Status Quo ”.
Dua puluh tahun kemudian ( 1989 ), masalah P. Sipadan dan P. Ligitan baru dibicarakan oleh Presiden Soeharto dan PM. Mahathir Muhamad.
Tiga tahun kemudian ( 1992 ) kedua Negara sepakat penyelesaian masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua Negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua Negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan Kelompok Kerja Bersama ( Joint Commission/JC & Joint Working Groups/JWG ). Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua belah pihak berpegang ( committed ) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuhan. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG. Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan Kualalumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.
Pada pertemuan tanggal 6 s.d 7 Oktober 1996 di Kualalumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tanggal 31 Mei 1997 disepakati “ Spesial Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan “. Special Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses legitasi Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di MI/ICJ mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua Pulau tersebut sepenuhnya berada di tangan NKRI.
Namun demikian kedua Negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui “Written pleading“ kepada Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti “Counter Memorial“ pada 2 Agustus 2000 dan “ reply “ pada Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral hearing“ dari kedua Negara bersengketa pada 3 s.d 12 Juni 2002. Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut Indonesia membentuk satuan tugas khusus ( SATGASUS ) yang terdiri dari berbagai institusi terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI,
Dep. Energi dan SDM, Dishidros, TNI AL, Bupati Nunukan, Pakar kelautan dan Pakar hokum laut International.
Putusan Mahkamah Internasional/MI, International Court Of Justice (ICJ) pada tanggal 17-12-2002 yang telah mengakhiri serangkaian persidangan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dan Malaysia mengejutkan berbagai kalangan. Betapa tidak, karena keputusan ICJ mengatakan kedua pulau tersebut resmi menjadi milik Malaysia. Disebutkan dari 17 juri yang bersidang hanya satu orang yang berpihak kepada Indonesia.
Sengketa Blok Ambalat.
Pada tanggal 21 Februari 2005 di takat unarang (nama resmi karang Unarang) sebanyak 17 pekerja Indonesia ditangkap oleh awak kapal perang Malaysia KD Sri Malaka, Pihak Malaysia memberikan hak menambang ke Shell.
Pada koordinat: 4°6′03.59″N 118°37′43.52″E / 4.1009972°LU 118.6287556°BT terjadi ketegangan yang melibatkan kapal perang pihak Malaysia KD Sri Johor, KD Buang dan Kota Baharu berikut dua kapal patroli sedangkan kapal perang dari pihak Indonesia melibatkan KRI Wiratno, KRI Tongkol, KRI Tedong Naga KRI K.S. Tubun, KRI Nuku dan KRI Singa yang kemudian terjadi Insiden Penyerempetan Kapal RI dan Malaysia 2005, yaitu peristiwa pada tanggal 8 April 2005 Kapal Republik Indonesia Tedong Naga (Indonesia) yang menyerempet Kapal Diraja Rencong (Malaysia) sebanyak tiga kali, akan tetapi tidak pernah terjadi tembak-menembak karena adanya Surat Keputusan Panglima TNI Nomor: Skep/158/IV/2005 tanggal 21 April 2005
bahwa pada masa damai, unsur TNI AL di wilayah perbatasan RI-Malaysia harus bersikap kedepankan perdamaian dan TNI AL hanya diperbolehkan melepaskan tembakan bilamana setelah diawali adanya tembakan dari pihak Malaysia terlebih dahulu.
Pihak Indonesia mengklaim adanya 35 kali pelanggaran perbatasan oleh Malaysia.
Tanggal 24 Februari 2007 pukul 10.00 WITA, yakni kapal perang Malaysia KD Budiman dengan kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh satu mil laut, pada sore harinya, pukul 15.00 WITA, kapal perang KD Sri Perlis melintas dengan kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh dua mil laut yang setelah itu dibayang-bayangi KRI Welang, kedua kapal berhasil diusir keluar wilayah Republik Indonesia.
Tanggal 25 Februari 2007 pukul 09.00 WITA KD Sri Perlis memasuki wilayah RI sejauh 3.000 yard yang akhirnya diusir keluar oleh KRI Untung Suropati, kembali sekitar pukul 11.00, satu pesawat udara patroli maritim Malaysia jenis Beech Craft B 200 T Superking melintas memasuki wilayah RI sejauh 3.000 yard.
2. Berdirinya
Batalyon 614/Rjp.
Malaysia juga memperkuat Tentera Darat Malaysia di wilayah Negara bagian Serawak dan Sabah disamping itu juga menyusun laskar Wataniah. Dengan semakin bertambahnya jumlah personel militer Malaysia khususnya Tentera Darat yang dislokasinya berbatasan langsung dengan NKRI di Pulau Kalimantan dan guna mengantisipasi Negara Malaysia yang selalu berupaya untuk mengambil alih Pulau terluar dan menggeser patok perbatasan dan guna menjaga kedaulatan wilayah NKRI maka dari pimpinan Angkatan Darat membangun dua
Batalyon Infanteri diperkuat yang salah satunya adalah Yonif
614/Rjp.
Personel yang pertama masuk Yonif
614/Rjp berdasarkan surat perintah Danrem 091/Asn Nomor sprint 123/IV/2008 tanggal 17 April 2008 didahului oleh 1 Peleton pengamanan dari Yonif 613/Rja sebanyak 48 orang dipimpin oleh Lettu Inf Bayu Kriswandito dilanjutkan penambahan personel dari Korem 091/Asn dan Yonif 611/Awl sebanyak 70 orang dipimpin oleh Wakil Komandan
Batalyon Infanteri 614/Rjp yang pertama Kapten Inf Boyke Sukanta.
Peresmian Yonif
614/Rjp oleh Pangdam VI/Tpr.
Berdasarkan Surat Keputusan KASAD Nomor Perkasad /221/XII/2007 tanggal 10 Desember 2007 tentang pembentukan
Batalyon Infanteri 614/ Raja Pandhita Korem 091/ASN Kodam VI/Tanjungpura sebagai Yonif diperkuat yang berkedudukan di Malinau, maka Yonif
614/Rjp diresmikan oleh Pangdam VI/Tanjungpura Mayor Jenderal TNI Tono Suratman pada hari Sabtu tanggal 9 Agustus 2008 pukul 11.15 Wita dengan jumlah personel awal 119 orang, terdiri dari 8 Perwira, 17 Bintara, 94 Tamtama, dengan Danyonif
614/Rjp yang pertama adalah Letnan Kolonel Inf Nurkhan dan Wadanyonif
614/Rjp Kapten Inf Boyke Sukanta.
Tanggal 9 Agustus 2008 Tunggul Yonif
614/Rjp disahkan dengan nama “RAJA PANDHITA“ Sejak saat itu lengkaplah sudah sejarah terbentuknya Yonif
614/Rjp.
Dengan berkembangnya gelar kekuatan Kodam VI/Tpr yang ditandai dengan pembentukan Brigif baru yaitu Brigade
Infanteri 24/BC, maka sejak tanggal 8 Maret 2010 berdasarkan Surat Perintah Pangdam VI/Tpr Nomor Sprin/274/III/2010,Yonif
614/Rjp dialih kodalkan dari Korem 091/ASN ke Brigif 24/BC dengan Danbrigif 24/BC Letnan Kolonel Inf Joppye Onesimus Wayangkau sebagai Danbrigif pertama. Dengan pengembangan gelar kekuatan Kompartemen Strategis pertahanan NKRI dihadapkan pada kondisi wilayah dan hakekat ancaman khususnya di Kalimantan semula terdiri dari satu Kotama yakni Kodam VI/Tanjungpura, likuidasi Kodam VI/Tanjungpura berdasarkan ST Pangdam VI/Tpr Nomor ST 537/2010 Tanggal 10 Juni 2010 tentang Peresmian Kodam VI/Mulawarman dan Kodam XII/Tanjungpura.
3. Arti Dan Makna Lambang Kesatuan
Nama Raja Pandhita, diambil dari sosok seorang pemimpin yang arif dan bijaksana dalam menjalankan ritual agamanya namun demikian beliau tidak mengabaikan dan tetap menghargai penganut kepercayaan lain yang ada disekitarnya yang masih percaya pada roh nenek moyang dan kekuatan gaib lainnya, sehingga Muhamad Sapu yang dilahirkan pada 1817 M dari seorang Raja bernama Hanapiah atau Panambahan Raja Tua diberi gelar “Raja Pandhita” yang artinya Raja yang Alim. Sehingga tidak disangsikan lagi kerajaan Tidung berdiri dengan kokohnya sejak kepemimpinan Raja Pandhita pada tahun 1886 M yang berpusat di “ Long Kabiran ” kabupaten Malinau.
Karena ketatnya dan kekompakan Raja Pandhita dengan semua suku di wilayah kekuasaannya Tanah Tidung sehingga penjajah Belanda tidak berani menginjakkan kakinya dibumi tanah Tidung dan juga tercatat dalam sejarah nasional dari 350 tahun Indonesia dijajah Belanda, Tanah Tidung semenjak kekuasaan “Raja Pandhita” hanya + 53 tahun dijajah, karena letak geografisnya yang sulit dijangkau dan ketatnya pertahanan dibawah pemerintahan Raja Pandhita, sehingga berlandaskan sifat kepemimpinan “Raja Pandhita” yang solid kompak dengan semua suku/masyarakatnya dan ketatnya pertahanan yang dibentuk untuk mencegah Belanda masuk ke wilayah Tanah Tidung maka
Batalyon Infanteri 614/Raja Pandhita diberi nama dengan “RAJA PANDHITA”.
Burung Enggang, melambangkan keagungan dan kewibawaan dan hampir setiap suku di Kabupaten Malinau menganggap Burung Enggang merupakan Raja dan burung yang sangat berwibawa sehingga mencerminkan bahwa Kami Prajurit
Batalyon Infanteri 614/Rjp merupakan sosok yang sangat berwibawa dan disegani oleh siapapun juga.
Sayap yang berjumlah 7 helai, melambangkan bahwa Prajurit
Batalyon Infanteri 614/Rjp selalu bersemangat, berjiwa dan berpedoman Sapta Marga dalam berbuat dan bertingkah laku dalam kehidupan sehari-harinya maupun dimanapun bertugas demi menjaga persada bumi pertiwi.
Bulu ekor yang berjumlah 6 helai dan bulu sayap masing-masing 7 helai, apabila digabungkan maka akan menyebutkan nama Satuan
Batalyon Infanteri 614/Rjp.
Cakar kaki burung yang mencengkram erat mandau/alat perang tradisional suku Dayak, yang mengartikan bahwa Prajurit
Batalyon Infanteri 614/Rjp selalu sigap dan siap siaga dalam menjaga keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila serta tidak pantang menyerah sampai dengan titik darah penghabisan.
Mandau (senjata/alat perang tradisional suku Dayak), yang melambangkan bahwa kami Prajurit
Batalyon Infanteri 614/Rjp setajam dan seampuh mata mandau yang dapat menghancurkan setiap musuh yang datang dan merongrong keutuhan NKRI.
Gerigi mandau yang berjumlah 5 (lima), mengartikan bahwa kami prajurit
Batalyon Infanteri 614/Rjp adalah prajurit yang selalu berjiwa Pancasila.
Komandan
Letkol Inf Nurkhan, S.E., M.M. (2008–2009)
Letkol Inf Muhammad Nasrullah Nasution (2009–2010)
Letkol Inf Hendri Sembiring (2010–2012)
Letkol Inf Ahmad Hadi Al Jufri (2012–2014)
Letkol Inf Dannie Hendra (2014–2015)
Letkol Inf Rudi Setiawan, S.E. (2015–2017)
Letkol Inf Dharmawan Setyo Nugroho, S.Ip. (2017–2018)
Letkol Inf Andi Sinrang (2018–2020)
Letkol Inf Indar Irawan, S.E., M.Han. (2020–2022)
Letkol Inf Fery Perbawa, S.Hub.Int., M.Han. (2022–2023)
Mayor Inf Ardiansyah (2023 - Sekarang)
Referensi