Bengkulu-Inggris (bahasa Inggris: British Bencoolen) adalah wilayah keresidenan milik Perusahaan Hindia Timur
Britania (EIC) yang membentang sekitar 300 mil di sepanjang pantai barat daya Sumatera dan berpusat di daerah yang sekarang menjadi Kota
Bengkulu. EIC hadir di sana pada tahun 1685, dan pada tahun 1714 EIC membangun Benteng Marlborough di sana, karena datuk lokal mengizinkan EIC membangun benteng untuk melindungi mereka dari Belanda.
Hubungan yang terjalin antara rakyat provinsi
Bengkulu dengan Inggris sudah berjalan sejak lama, yakni sejak abad ke-17. Pada tahun 1682, Belanda (VOC) mampu mengungguli East India Company (EIC), khususnya setelah tercapai kesepakatan antara VOC dengan kerajaan Banten mengenai monopoli perdagangan rempah-rempah. Hal ini memaksa EIC keluar dari Jawa dan harus mencari tempat pangkalan baru yang secara politik dan militer dapat menguntungkan mereka dalam perdagangan rempah-rempah.
Pada awalnya mereka berkeinginan untuk mendirikan perusahaan dagang di Aceh, tetapi keinginan ini ditolak oleh Ratu Aceh, Sultana Zaqiyat -ud-udin Inayat Shah. Penolakan ini membuat EIC berpaling ke wilayah lain yang bersedia untuk menerima mereka, yakni Pariaman dan Barus di Sumatera Barat. Keinginan kedua wilayah ini untuk menerima EIC didorong oleh ketakutan terhadap kekuatan Belanda yang sangat agresif. Namun pada akhirnya pilihan EIC jatuh kepada
Bengkulu, ada dua versi catatan sejarah yang menyebabkan terjadinya perubahan pilihan ini, yakni:
Menurut buku Bencoolen: A History of the Honourable East India Company’s Garrison on the West Coast of Sumatra (1685 – 1825), yang ditulis oleh Alan Harfield (1995), perubahan ini disebabkan adanya surat permintaan dari para penguasa di
Bengkulu yang mereka terima dua hari menjelang keberangkatan utusan EIC (Ord dan Cawley) dari Madras menuju Pariaman.
Menurut buku
Bengkulu dalam Sejarah, yang ditulis oleh Firdaus Burhan (1988), perubahan ini disebabkan oleh kesalahan navigasi dalam pelayaran dari Madras menuju Pariaman dan adanya permintaan dari para penguasa
Bengkulu setelah utusan EIC tersebut mendarat di
Bengkulu.
Terlepas dari adanya perbedaan di atas, sejarah mencatat bahwa Inggris (EIC) pada akhirnya bercokol di
Bengkulu dan rakyat
Bengkulu menerima kehadiran mereka. Setibanya mereka di
Bengkulu pada tahun 1685, pihak Inggris disambut oleh petinggi
Bengkulu pada masa itu, yakni Orang Kaya Lela dan Patih Setia Raja Muda. Dalam beberapa pertemuan selanjutnya pihak Inggris memperoleh izin untuk mendirikan faktori di
Bengkulu dan menjalin hubungan dagang dengan para penguasa
Bengkulu. Pangkalan pertama yang didirikan oleh Inggris di
Bengkulu adalah Fort York. Sejak saat itu Inggris menamakan faktori dagang mereka di
Bengkulu sebagai Garnizun EIC di Pantai Barat pulau Sumatra (The Honourable East India Company’s Garrison on the West Coast of Sumatra).
Kehadiran Inggris di
Bengkulu berlangsung selama 140 tahun, yaitu dari tahun 1685 sampai dengan bulan Maret 1825, ketika seluruh kekuatan Inggris meninggalkan
Bengkulu. Berakhirnya kehadiran Inggris di
Bengkulu adalah disebabkan adanya perjanjian antara Raja Inggris dan Raja Belanda, yang ditanda-tangani pada tanggal 17 Maret 1824. Perjanjian ini oleh pihak Inggris disebut The Anglo-Dutch Treaty of 1824, sedangkan pihak Belanda menyebutnya sebagai Traktat London. Perjanjian ini mengatur pertukaran kekuasaan Inggris di
Bengkulu dengan kekuasaan Belanda di Melaka dan Singapura (Singapura pada masa itu merupakan bagian dari kerajaan Malaka).
Pembangunan benteng Marlborough
Pada tahun 1714 kondisi Fort York menjadi kritis. Bangunan benteng dan barak-barak telah semakin rapuh, dan air hujan secara terus-menerus membasahi ruangan-ruangan tempat tinggal para penghuni. Selain itu, kondisi bahan makanan yang dikonsumsi oleh tentara Inggris sangat buruk sehingga disiplin para prajurit dan pegawai benteng menjadi turun. Berbagai macam penyakit, umumnya disentri dan malaria, telah menyebabkan sebagian besar prajurit garnizun tidak dapat melaksanakan tugas mereka. Joseph Collet yang menjadi pimpinan Garnizun di
Bengkulu pada tahun 1712 menarik kesimpulan bahwa Fort York membutuhkan perbaikan-perbaikan besar dan lokasi benteng itu sebenarnya tidak tepat. Oleh sebab itu pada tanggal 27 Februari 1712, Joseph Collet menulis surat kepada Dewan Direksi EIC yang mengusulkan agar membangun benteng baru di tempat yang disebut Carrang. Lokasi Carrang yang diusulkan oleh Joseph Collet terletak sekitar dua mil dari Fort York (orang
Bengkulu menyebutnya Ujung Karang). Usul Joseph Collet untuk membangun benteng baru disetujui oleh Dewan Direktur EIC dan pembangunan benteng baru tersebut dimulai pada tahun 1714.
Benteng baru yang dibangun di Carrang diberi nama Marlborough. Nama ini dipilih oleh Joseph Collet untuk menghormati John Churchill, seorang komandan ternama Inggris yang pernah memenangkan pertempuran di Blenheim pada tahun 1704, Rammilies pada tahun 1706, Oudenarde pada tahun 1708, dan Malplaquet pada tahun 1709. Atas jasa-jasanya ini John Churchill kemudian diberi gelar Duke of Marlborough. Benteng baru yang dibangun oleh Joseph Collet ini kemudian dikenal dengan nama Fort Marlborough. Pembangunan Fort Marlborough selesai seluruhnya pada tahun 1741.
Pemakaman Inggris dan monumen Thomas Parr
Selama 140 tahun berada di
Bengkulu, orang-orang Inggris banyak yang meninggal dunia. Kematian orang-orang Inggris tersebut kebanyakan disebabkan oleh serangan penyakit malaria dan disentri, dan tewas dalam konflik-konflik dengan rakyat
Bengkulu. Orang-orang Inggris yang meninggal di
Bengkulu pada masa itu tercatat sebanyak 709 orang. Apabila diambil angka rata-rata maka selama 140 tahun 5 orang Inggris yang meninggal setiap tahunnya. Sebagian dari orang-orang Inggris tersebut dimakamkan di pemakaman Inggris di Jitra,
Bengkulu.
Di
Bengkulu pada tahun 1808 dibangun sebuah monumen atau tugu peringatan bagi bangsa Inggris dalam zaman kompeni dulu. Monumen ini disebut oleh orang-orang
Bengkulu dengan istilah Kuburan Bulek (kuburan Bulat). Nama sebenarnya dari Kuburan Bulek ini adalah monumen Parr (Parr Monument). Monumen ini dibuat oleh Inggris untuk mengenang pengalaman pahit bangsa Inggris karena di tempat itu dikuburnya Thomas Parr bersama seorang asistennya yang terbunuh dalam satu insiden dengan rakyat
Bengkulu pada malam tanggal 27 Desember 1807. Pembunuhan terhadap Thomas Parr ini disebabkan oleh akumulasi rasa tidak puas rakyat
Bengkulu terhadap kebijaksanaan yang ditempuh oleh penguasa Inggris. Kebijaksanaan Parr yang menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pribumi, antara lain pemberlakuan tanam paksa kopi dan pengubahan yang besar dalam peradilan pribumi tanpa persetujuan dan tanpa meminta nasihat dari para Kepala Adat Rakyat
Bengkulu.
Bunga Rafflesia Arnoldi
Sir Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi Gubernur
Bengkulu pada tahun 1818. Dia tiba di
Bengkulu pada bulan Maret 1818 didampingi oleh istrinya Lady Sophia Raffles dan seorang Kepala Adat Jawa Raden Rana Dipura. Dalam perjalanan dari Inggris ke
Bengkulu, Lady Sophia Raffles melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Charlotte Sophia Tanjung Segara Raffles. Ketika Raffles tiba di
Bengkulu dia menemukan
Bengkulu yang luluh lantak akibat gempa bumi, oleh karena itu kota
Bengkulu disebut dengan istilah “Tanah Mati”. Namun setelah itu, Raffles bersama-sama dengan rakyat
Bengkulu membangun dan membangkitkan kembali Kota
Bengkulu dari puing-puing Tanah Mati.
Gubernur Raffles bertugas di
Bengkulu selama 6 tahun, yaitu dari tahun 1818 sampai tahun 1824. Selama bertugas di
Bengkulu Raffles banyak melakukan perjalanan ke daerah-daerah pedalaman. Dalam salah satu perjalanannya, Raffles dengan didampingi istri dan Dr. Arnold (pakar Botani), singgah di desa Pulau Lebar, Lubuk Tapi (
Bengkulu Selatan). Di desa inilah Raffles menemukan bunga yang berukuran sangat besar dan indah. Penduduk setempat menamakan bunga ini Petimun Sikinlili atau Sirih Hantu. Bunga tersebut kemudian diberi nama Rafflesia Arnoldy, diambil dari nama Raffles dan Dr. Arnold. Bunga Rafflesia Arnoldi saat ini sudah menjadi simbol Provinsi
Bengkulu yang dikenal dengan nama Bumi Rafflesia. Bunga Rafflesia pada masa kini masih sering ditemukan di Kawasan Hutan Lindung Rejang Lebong dan desa Talang Tais di kecamatan Kaur Utara (
Bengkulu Selatan).
Referensi
Bibliografi
Wilkinson, R. J. (1938). "BENCOOLEN". Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society. Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society. 16, No. 1 (130).
Bowen, H. V.; Lincoln, Margarette; Rigby, Nigel (2002). The Worlds of the East India Company (edisi ke-illustrated, reprint, revised). Boydell & Brewer. ISBN 1-84383-073-6, 9781843830733.