Budaya Aceh merupakan kumpulan
Budaya dari berbagai suku di
Aceh, Indonesia. Provinsi
Aceh terdiri atas 11 suku, yaitu:
Suku
Aceh (76% dari populasi provinsi
Aceh sensus tahun 2010)
Suku Tamiang (Di Kabupaten
Aceh Tamiang sekitar 35%).
Suku Haloban (Di Kabupaten
Aceh Tenggara).
Suku Singkil (Di Kabupaten
Aceh Singkil dan Kota Subulussalam sekitar 40%)
Suku Jamèë dan Suku Kluet (Di Kabupaten
Aceh Selatan sekitar 35%).
Suku Gayo (di Kabupaten
Aceh Tengah 20%, Kabupaten Bener Meriah 20% dan Kabupaten gayo Lues sekitar 40%)
Suku Simeulue, Suku Devayan, Suku Sigulai (di Kabupaten Simeulue)
Masing-masing suku mempunyai
Budaya, bahasa dan pola pikir masing-masing. Bahasa yang umum digunakan adalah Bahasa
Aceh (76%) selain Bahasa Indonesia.
Di sana hidup adat istiadat Melayu, yang mengatur segala kegiatan dan tingkah laku warga masyarakat bersendikan hukum Syariat Islam. Penerapan syariat Islam di provinsi ini bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, tepatnya sejak masa kesultanan, syariat Islam sudah meresap ke dalam diri masyarakat
Aceh.
Sejarah
Sejarah menunjukkan bagaimana rakyat
Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman dan ulama pun mendapat tempat yang terhormat. Penghargaan atas keistimewaan
Aceh dengan syariat Islamnya itu kemudian diperjelas dengan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 menggenai Penyelenggaraan Keistimewaan
Aceh. Dalam UU No.11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan
Aceh, tercantum bahwa bidang al-syakhsiyah (masalah kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian, warisan, perwalian, nafkah, pengasuh anak dan harta bersama), mu`amalah (masalah tatacara hidup sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam), dan jinayah (kriminalitas) yang didasarkan atas syariat Islam diatur dengan qanun (peraturan daerah).
Undang-undang memberikan keleluasaan bagi
Aceh untuk mengatur kehidupan masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Sekalipun begitu, pemeluk agama lain dijamin untuk beribadah sesuai dengan kenyakinan masing-masing. Inilah corak sosial
Budaya masyarakat
Aceh, dengan Islam agama mayoritas di sana tapi provinsi ini pun memiliki keragaman agama.
Keanekaragaman seni dan
Budaya menjadikan provinsi ini mempunyai daya tarik tersendiri. Dalam seni sastra, provinsi ini memiliki 80 cerita rakyat yang terdapat dalam Bahasa
Aceh, Jamèë, Tamiang, Gayo, Alas, Haloban, Kluet. Bentuk sastra lainnya adalah puisi yang dikenal dengan hikayat, dengan salah satu hikayat yang terkenal adalah Hikayat Prang Sabi (Perang Sabil).
Seni tari
Aceh juga mempunyai keistimewaan dan keunikan tersendiri, dengan ciri-ciri antara lain pada mulanya hanya dilakukan dalam upacara-upacara tertentu yang bersifat ritual bukan tontonan, kombinasinya serasi antara tari, musik dan sastra, ditarikan secara massal dengan arena yang terbatas, pengulangan gerakan monoton dalam pola gerak yang sederhana dan dilakukan secara berulang-ulang, serta waktu penyajian relatif panjang.
Tari-tarian yang ada antara lain Seudati, Saman, Rampak, Rapai, dan Rapai Geleng. Tarian terakhir ini paling terkenal dan merupakan perpaduan antara tari Rapai dan Tari Saman.
Dalam bidang seni rupa, Rumoh
Aceh merupakan karya arsitektur yang dibakukan sesuai dengan tuntutan
Budaya waktu itu. Karya seni rupa lain adalah seni ukir yang berciri kaligrafi. Senjata khas
Aceh adalah Rencong. Pada dasarnya perpaduan kebudayaan antara mengolah besi (metalurgi) dengan seni penempaan dan bentuk. Jenis rencong yang paling terkenal adalah siwah.
Suku bangsa
Aceh menyenangi hiasan manik-manik seperti kipas, tudung saji, hiasan baju dan sebagainya. Kemudian seni ukir dengan motif dapat dilihat pada hiasan-hiasan yang terdapat pada tikar, kopiah, pakaian adat, dan sebagainya.
Budaya Bercocok Tanam
Bercocok tanam yang dimulai sejak pembukaan lahan. Dalam hal ini, ada lembaga/instansi adat yang berwenang, yakni Panglima Uteuën yang dibawahi beberapa struktur adat lainnya seperti Petua Seuneubôk, Keujruën Blang, Pawang Glé, dan sebagainya.
Sistem pengelolaan hutan sebagai lahan bercocok tanam, fungsi Petua Seuneubôk tak dapat dinafikan. Seuneubôk sendiri maknanya adalah suatu wilayah baru di luar gampông yang pada mulanya berupa hutan. Hutan tersebut kemudian dijadikan ladang. Karena itu, pembukaan lahan seuneubôk harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi anggota seuneubôk dan lingkungan hidup itu sendiri. Maka fungsi Petua Seuneubôk menjadi penting dalam menata bercocok tanam, di samping kebutuhan terhadap Keujruën Blang.
Budaya Membuka Lahan Perkebunan
Bagi masyarakat
Aceh terdapat sejumlah aturan yang sudah hidup dan berkembang sejak zaman dahulu. Kearifan masyarakat
Aceh juga terdapat dalam larangan menebang pohon pada radius sekitar 500 meter dari tepi danau, 200 meter dari tepi mata air dan kiri-kanan sungai pada daerah rawa, sekitar 100 meter dari tepi kiri-kanan sungai, sekitar 50 meter dari tepi anak sungai (alue).
Pamali atau Pantangan
Selain itu, dalam adat
Aceh dikenal pula sejumlah pantangan saat membuka lahan di wilayah seuneubôk. Pantangan itu seperti peudöng jambô (mendirikan gubuk). Jambô atau gubuk tempat persinggahan melepas lelah sudah tentu ada di setiap lahan. Dalam adat meublang (bercocok tanam), jambô tidak boleh didirikan di tempat lintasan binatang buas atau tempat-tempat yang diyakini ada makhluk halus penghuni rimba. Bahan yang digunakan untuk penyangga gubuk juga tidak boleh menggunakan kayu bekas lilitan akar (uröt), karena ditakutkan akan mengundang ular masuk ke jambô tersebut.
Ada pula pantang daruet yang maksudnya anggota seuneubôk dilarang menggantung kain pada pohon, mematok parang pada tunggul pohon, dan menebas (ceumeucah) dalam suasana hujan. Hal ini karena ditakutkan dapat mendatangkan hama belalang (daruet).
Selain itu, di dalam kebun (hutan) juga dilarang berteriak-teriak atau memanggil-manggil seseorang saat berada di hutan/kebun. Hal ini ditakutkan berakibat mendatangkan hama atau hewan yang dapat merusak tanaman, seperti tikus, rusa, babi, monyet, gajah, dan sebagainya.
Disebutkan pula bahwa dalam adat
Aceh terdapat pantangan masuk hutan atau hari-hari yang dilarang. Karena orang
Aceh kental keislamannya, hari yang dilarang itu biasanya berkaitan dengan “hari-hari agama”.
Aceh juga mencatat sejumlah larangan atau pantangan dalam perilaku. Hal ini seperti memanjat atau melempar durian muda, meracun ikan di sungai atau alue, berkelahi sesama orang dewasa dalam kawasan seuneubôk, mengambil hasil tanaman orang lain semisal buah rambutan, durian, mangga, dll., walaupun tidak diketahui pemiliknya, kecuali buah yang jatuh. Larangan tersebut tentunya menjadi cerminan sikap kejujuran dalam kehidupan di bumi yang mahaluas ini.
Adat Bersawah
Dalam bersawah (meupadé), juga terdapat sejumlah ketentuan demi keberlangsungan kenyamanan dan keamanan bercocok tanam. Hal ini seperti hanjeut teumeubang watèë padé mirah. Maksudnya adalah tidak boleh memotong kayu saat padi hendak dipanen. Kalau ini dilanggar, dipercaya akan mendatangkan hama wereng (geusong). Demi menghindari sawah sekitar ikut imbas hama wereng, bagi si pelanggar ketentuan itu dikenakan denda oleh Keujruën Blang.
Referensi
(Indonesia) Ensiklopedia
Aceh Terlengkap
(Indonesia) Kesenian Daerah
Aceh
(Indonesia) Portal Negara RI Tentang Sosial
Budaya Aceh
(Indonesia) Seni Dan
Budaya Aceh