A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia (bahasa Indonesia: Sebuah Uraian Awal Terhadap Kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia), atau yang lebih umum dikenal dengan
Cornell Paper (bahasa Indonesia: Kajian
Cornell) adalah sebuah publikasi ilmiah yang merinci peristiwa Gerakan 30 September, diterbitkan pada 10 Januari 1966. Kajian ini ditulis oleh Benedict Anderson dan Ruth McVey, dua orang akademisi spesialis Asia Tenggara dari Universitas
Cornell di Ithaca, Amerika Serikat, dan dibantu oleh Frederick Burnell.
Dalam kajian ini, Anderson dan McVey mengusulkan bahwa baik Presiden Soekarno maupun Partai Komunis Indonesia tidak terlibat dalam merencanakan Gerakan 30 September; malahan, mereka adalah korban. Menggunakan sumber yang tersedia, mereka menyatakan bahwa upaya kudeta yang gagal tersebut bersumber dari konflik internal di dalam tubuh TNI Angkatan Darat; seperti yang diklaim oleh beberapa anggota gerakan itu sendiri, yang bertujuan untuk menyingkirkan para petinggi di lembaga Staf Umum yang diduga bekerja sama secara rahasia dengan Central Intelligence Agency (CIA), dinas intelijen luar negeri Amerika Serikat. Tak lama setelah peristiwa tersebut pecah, para pemimpin Gerakan 30 September ditumpas habis oleh Panglima Komando Cadangan Strategis Mayor Jenderal Soeharto, salah satu dari sedikit perwira tinggi yang tidak disasar. Beberapa teori alternatif dipaparkan dan diuji keabsahannya, termasuk versi resmi dari pemerintah Orde Baru bahwa PKI terlibat secara langsung sebagai dalang gerakan itu.
Meskipun kajian ini awalnya dimaksudkan untuk bersifat rahasia, keberadaannya dibocorkan oleh Joseph Kraft, seorang wartawan The Washington Post, dalam laporannya yang bertanggal 5 Maret 1966. Pada awalnya, Universitas
Cornell menolak menerbitkan dokumen aslinya, sehingga membuat isi kajian tersebut banyak menjadi bahan spekulasi dan pemalsuan. Permintaan Anderson dan McVey kepada pemerintah Indonesia untuk memberikan dokumen-dokumen penunjang dalam rangka melengkapi kajian itu tidak ditanggapi, sehingga mereka menerbitkannya pada tahun 1971 dalam bentuk aslinya tanpa ada tambahan bahan apa pun. Sejak diterbitkan secara resmi,
Cornell Paper telah banyak diuraikan dan dikritisi oleh berbagai pihak.
Latar belakang
Sekitar pukul 07.15 WIB pada 1 Oktober 1965, tersiar sebuah pengumuman dari Radio Republik Indonesia yang mengumumkan bahwa Gerakan 30 September telah berhasil mencegah sebuah percobaan kudeta yang dilakukan oleh "Dewan Djenderal", sebuah "pergerakan subversif" yang diduga didukung oleh CIA. Dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung Syamsuri dari Resimen Tjakrabirawa, Gerakan mengumumkan penangkapan para jenderal yang merupakan anggota Dewan tersebut dan mengambil alih kendali atas RRI dan jalur-jalur komunikasi lainnya. Mereka juga mengklaim bahwa Presiden Soekarno telah aman dalam penjagaan mereka. Untung kemudian mengumumkan pembentukan sebuah "Dewan Revolusi Indonesia", yang beranggotakan perwira-perwira militer dan beberapa tokoh sipil untuk "menjaga Republik Indonesia dari kejahatan Dewan Jenderal dan antek-anteknya".
George McTurnan Kahin, seorang pakar kajian Asia Tenggara dan direktur Modern Indonesia Project di
Cornell, mengingat kembali bagaimana ia mendengar pengumuman tersebut:
Saya bersiap-siap untuk diwawancarai oleh sebuah stasiun radio di Boston pada bulan September 1965, dan ketika itu saya sedang terfokus dengan Perang Vietnam. Saya tiba-tiba tertarik kembali ke pusaran Indonesia [...] saya terkejut ketika seorang pegawai radio tersebut memberitahukan bahwa sebelum ia meninggalkan kantor, [...] sebuah laporan masuk memberitahukan bahwa telah terjadi sebuah kudeta militer di Indonesia [...] saya saat itu tidak sedang mengikuti perkembangan terakhir di Indonesia, namun, andai saja saya mengikuti, saya akan benar-benar terkejut dengan kejadian di negeri yang saya pikir saya kenal dengan baik.
Sekembalinya Kahin ke kampus, dua mahasiswa pascasarjananya yang khusus mengkaji Indonesia, Benedict Anderson dan Frederick Burnell, telah mulai bekerja dengan Ruth McVey, seorang peneliti di Center for International Studies dan lulusan
Cornell tahun 1961, unutk menghimpun informasi tentang kudeta tersebut. Menggunakan koleksi surat kabar daerah dan nasional milik McVey dan mendengarkan siaran radio dari Indonesia, Anderson dan McVey mulai menuliskan temuan dan menguraikannya. Sebuah "ringkasan yang setengah matang" sepanjang 162 halaman selesai ditulis pada 10 Januari 1966 dan diberi judul A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia.
Ulasan dan ringkasan
Menurut Anderson, kajian ini menitikberatkan dua aspek perpolitikan Indonesia yang pada saat itu belum benar-benar tersentuh oleh para peneliti yang mengkaji negara itu. Yang pertama adalah keterlibatan Angkatan Bersenjata dalam dunia politik, senada dengan transformasi mereka dari sebuah angkatan gerilya yang terdesentralisasi dan mengandalkan dukungan rakyat, menjadi sebuah kelompok militer modern yang lebih profesional dan terpusat. Sebelumnya, cekcok internal dalam tubuh militer menyebabkan banyak konflik dan krisis yang mengganggu stabilitas negara, seperti pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia pada tahun 1958. Kajian ini juga mengembangkan perspektif yang baru mengenai "hubungan yang antagonistik" antara kaum elit metropolitan Jakarta dan penguasa-penguasa daerah yang lebih terisolir. Anderson mengakui bahwa ia dan McVey dengan sengaja mengambil berat peristiwa-peristiwa yang terjadi di Jawa Tengah tanpa terlalu memerdulikan provinsi-provinsi lain, bahkan ibu kota Jakarta sendiri. Selain itu, mereka juga tidak memahami secara baik dinamika di dalam tubuh Kepolisian Republik dan cabang-cabang militer lain yang ikut turut serta dalam upaya kudeta tersebut.
Kahin "menyatakan tak setuju dengan beberapa pandangan yang dipaparkan oleh kajian ini"; walau bagaimanapun, ia menyebutnya sebagai sebuah "tour de force" karena upayanya untuk menyajikan sebuah "uraian yang mengagumkan" dari peristiwa yang terjadi, meskipun harus bergantung pada sumber informasi yang terbatas. Dalam pandangan Kahin, kajian Anderson dan McVey "mengandung pandangan-pandangan yang penting dan data-data yang lumayan signifikan, tidak seperti kajian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti lain".
Dalam perenggan pembuka ringkasan kajiannya, Anderson dan McVey menyebutkan kesimpulan sementara yang mereka capai:
Bukti-bukti yang telah ada sejauh ini, bersama kemungkinan-kemungkinan logis (yang harus diakui senantiasa rapuh), mengindikasikan bahwa percobaan kudeta pada tanggal 1 Oktober 1965 tidak dilakukan oleh PKI ataupun Soekarno sendiri. Keduanya baru terlibat setelah percobaan tersebut berlangsung. Mereka lebih tepat disebut korban daripada dalang peristiwa ini. PKI terjerat sebelum mereka tahu apa yang terjadi; Soekarno tanpa sadar mencoba untuk mengaut keuntungan dari keadaan yang gawat, dimana enam jenderal-jenderal pucuk pimpinan militernya tewas. Dalang-dalang utama kudeta ini tidak akan dapat ditemukan di Djakarta, namun di Jawa Tengah, di jajaran perwira menengah Angkatan Darat di Semarang, di markas besar Divisi Teritorial ke-7 (Diponegoro).
= Penafsiran umum
=
Menurut Anderson dan McVey, Divisi Diponegoro memiliki jumlah anggota bersuku Jawa yang lebih besar daripada divisi-divisi lain di Angkatan Darat. Mereka bermarkas di Jawa Tengah, dimana kebudayaan tradisional masih lebih kental dibanding provinsi-provinsi tetangga seperti Jawa Barat dan Jawa Timur. Sebagian besar penduduk Jawa Tengah percaya bahwa wilayah mereka, yang merupakan pusat kekuasaan politik di Pulau Jawa selama berabad-abad lamanya, "telah dilangkahi oleh Djakarta". Kondisi yang senjang ini menyebabkan hubungan yang panas antara para perwira Diponegoro yang masih kental menganut kepercayaan tradisional Jawa dan nilai-nilai nasionalis warisan Revolusi Nasional di satu sisi, dan para perwira di Markas Besar dan Staf Umum yang lebih berorientasi intelektual ala Eropa yang "asing", karena dididik dengan cara-cara dan tradisi Belanda.
Anderson dan McVey memerhatikan bahwa para "perwira penjaga tradisi" percaya bahwa "pekerjaan sebagai seorang tentara tidaklah mengenai teknik dan kemampuan, melainkan lebih kepada pembangunan nilai moral dan spiritual melalui semacam asketisme modern". Para perwira ini memiliki pandangan yang sama dengan para perwira yang bertugas di beberapa divisi dan unit militer yang berada di luar Jakarta, termasuk Letkol Untung Syamsuri yang bertugas di Tjakrabirawa, resimen pengawal Presiden. Mendengar kabar bahwa para perwira Markas Besar sedang bekerja sama dengan CIA, sekelompok perwira Diponegoro merencanakan serangkaian penculikan terhadap beberapa jenderal di struktur pimpinan Angkatan Darat yang kemudian akan disandera atau dibunuh. Mereka percaya bahwa Presiden Soekarno, yang telah diperingatkan oleh Untung sendiri akan sebuah percobaan kudeta oleh pimpinan Angkatan Darat, akan teryakinkan untuk mendukung kelompok mereka sementara Markas Besar akan "terlalu banyak kehilangan pemimpinnya untuk melakukan apapun selain menyerah".
Para perwira ini paham bahwa kesempatan mereka akan tiba pada pawai tahunan untuk memperingati ulang tahun Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober di Jakarta, dimana peragaan-peragaan militer akan dipertunjukkan oleh para prajurit terjun payung, unit-unit kavaleri, dan pasukan-pasukan lapis baja. Setelah mengamankan dukungan dari beberapa perwira Angkatan Udara, kelompok ini memutuskan untuk menjadikan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma sebagai tempat evakuasi Presiden Soekarno. Selain itu, mereka juga mendapatkan bantuan dari kelompok-kelompok pemuda PKI untuk mengamankan fasilitas-fasilitas militer di sekitar ibu kota Anderson dan McVey berteori pada malam Kamis, 30 September dipilih sebagai "hari-H" karena "dalam kepercayaan tradisional Jawa, kekuatan-kekuatan magis sedang jauh, dan kekuatan-kekuataan spiritual dapat dengan mudah terkumpul untuk mendukung". Mereka menemukan bukti bahwa setidaknya dua orang pemimpin senior selain Soekarno dievakuasi ke Halim: Marsekal Omar Dani, Panglima Angkatan Udara, dan D.N. Aidit, Ketua Umum CC PKI. Kehadiran Aidit diusulkan oleh Anderson dan McVey sebagai "bukti kepada Presiden bahwa PKI secara langsung terlibat dan tersangkut dalam urusan ini, sehingga jika ia ingin tetap melanjutkan kebijakan-kebijakannya yang "pro-kiri" dan kedekatannya dengan PKI, [...] ia tak akan punya pilihan lain selain mengumumkan ketidaksetujuannya terhadap Dewan Djenderal".
Kedua peneliti itu menitikberatkan fakta bahwa pada pengumuman pada 1 Oktober pagi, Untung berulang kali menyatakan bahwa Gerakan 30 September hanyalah suatu urusan "rumah tangga" Angkatan Darat, sehingga mereka tidak menemukan alasan yang sahih untuk memberlakukan pengetatan kendali terhadap pers, ataupun mobilisasi besar-besaran. Pada pengumuman itu sendiri, Untung meyakinkan para pendengarnya bahwa "semua partai politik, organisasi massa, surat kabar, dan majalah dapat terus berfungsi seperti biasa" sampai tiba masanya untuk mereka "mengumumkan kesetiaan mereka pada Dewan Revolusi Indonesia".
Takut melepaskan kartu-kartu politiknya, Soekarno menolak untuk memutuskan apapun sampai ia dapat mengontak sekutu-sekutu politik dan penasihat-penasihatnya. Tanpa alasan yang terang untuk meragukan Presiden atau kendalinya terhadap ibu kota, Untung dan anak buahnya memperbolehkan Soekarno untuk berkomunikasi lewat para pembawa pesan. Salah satu pembawa pesan tersebut menyampaikan pesan yang dibacakan lewat Radio Republik Indonesia (RRI) pada pukul 13.15 WIB, berisi pesan bahwa Soekarno bukanlah sandera dari gerakan Untung. Pesan ini dianggap "lebih sarat maknanya daripada apapun yang dapat dikatakan oleh Untung langsung", karena ditandatangani oleh panglima pasukan pengamanan presiden. Pesan-pesan juga disampaikan pada Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro, yang menjabat jabatan lama Jenderal Ahmad Yani sebagai Kepala Staf Angkatan Darat dan Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, Panglima Daerah Militer Jayakarta sekaligus perwira militer yang bertanggungjawab atas garnisun ibu kota, untuk datang ke Halim dan merundingkan struktur kepemimpinan Angkatan Darat yang baru.
Seorang lagi pembawa pesan menemui Panglima Cadangan Strategis Mayor Jenderal Soeharto, yang telah mengambil alih kendali atas Angkatan Darat dan orang yang diduga berusaha dihindari oleh Presiden Soekarno karena "pemikirannya yang independen dan kepribadiannya yang mengesankan". Soeharto kemudian memerintahkan baik Pranoto maupun Umar untuk tidak pergi ke Halim, dan para peneliti percaya bahwa Soekarno kemudian menyadari Soeharto akan mencurigainya sebagai dalang di balik peristiwa ini. Setelah mengambil alih kantor pusat RRI dan mengamankan ibu kota Jakarta, Soeharto mengeluarkan ultimatum kepada kelompok Untung di Halim. Soekarno memutuskan untuk menuju Istana Bogor setelah menolak saran Untung untuk mengikuti kelompoknya ke markas Divisi Diponegoro di Semarang; di Bogor, Presiden diletakkan di bawah penjagaan ketat Angkatan Darat. Meskipun ia sendiri tak diperbolehkan untuk melakukan siaran secara langsung, Soeharto mengumumkan bahwa Angkatan Darat bersumpah setia kepada sang Presiden. Soekarno sendiri pada akhirnya sepakat untuk memberikan Soeharto "kewenangan dan tanggung jawab untuk mengembalikan ketertiban dan keamanan". Menjelang 5 Oktober, Angkatan Darat telah berhasil menumpas seluruh sisa-sisa perlawanan di Jawa Tengah.
Pada 2 Oktober, surat kabar Harian Rakjat yang berafiliasi pada PKI menerbitkan sebuah editorial yang kelak akan digunakan sebagai bukti bahwa PKI berada di balik upaya kudeta yang dilakukan oleh Untung dan anak buahnya. Anderson dan McVey menyatakan bahwa Harian Rakjat "membanggakan editorial-editorial mereka yang ditulis dengan baik dan disusun dengan rapi", namun yang satu ini "tidak memiliki gaya maupun sentuhan khas sedikitpun". Para peneliti itu percaya bahwa editorial yang "begitu ragu-ragu sehingga tampak bodoh" itu ditulis dan disediakan langsung oleh Angkatan Darat sebagai wadah untuk menyalahkan PKI atas Gerakan 30 September. Sejak upaya kudeta tersebut, Anderson dan McVey menyatakan bahwa Angkatan Darat cukup berhasil mengambinghitamkan PKI karena "pucuk pimpinan PKI yang benar-benar terlibat, betapapun runyam, dan karena pihak yang berkuasa pada saat itu benar-benar ingin memercayainya, karena pada masa yang lampau, mereka amat menakuti kemungkinan PKI berkuasa".
Sebagai kesimpulannya, Anderson dan McVey menulis, "(kajian ini) bukanlah wadah yang tepat untuk menyigi detail pembantaian komunis yang kelak terjadi setelah kudeta Angkatan Darat pada 1 Oktober." Walau begitu, mereka percaya bahwa Gerakan 30 September menjadi dasar dari munculnya "fenomena politik yang terpisah" meskipun "berkelindan erat". Tesis ini dipaparkan karena terjadinya vakum kekerasan secara tiba-tiba pada Oktober 21, ketika elemen-elemen pemuda PKI bentrok dengan Resimen Para Komando Angkatan Darat di Kabupaten Boyolali.
= Teori-teori alternatif
=
Teori alternaif pertama tentang Gerakan 30 September adalah "kudeta komunis". Istilah ini digunakan oleh Angkatan Darat untuk mengambinghitamkan PKI (dan dalam beberapa kasus, Menteri Luar Negeri Soebandrio) yang dikatakan berusaha untuk membentuk satu pemerintahan boneka yang akan dikendalikan oleh PKI. Meski begitu, Anderson dan McVey meragukan gagasan bahwa PKI akan menggunakan jalan kekerasan untuk mengambil alih kendali kekuasaan, karena akan "mempertembungkan mereka dengan Angkatan Bersenjata yang lebih kuat dan akan menyebabkan Presiden (Soekarno) bersekutu dengan militernya". Menurut dua peneliti itu, mereka mempertimbangkan tiga motif utama jika teori ini benar:
PKI telah mendapatkan informasi bahwa kesehatan Soekarno mulai menurut dan takut bahwa angkatan bersenjata akan "membersihkan" mereka setelah kematiannya. Anderson dan McVey berpendapat bahwa langkah-langkah ini hanya akan berjalan jika informasi awal tersebut benar-benar akurat. Jika Soekarno tidak mundur atau meninggal dunia langsung setelah terjadinya perebutan kekuasaan, persekutuan antara sang Presiden dan angkatan bersenjata akan menjadi sebuah bencana pada PKI.
Partai Komunis Tiongkok dikatakan telah menekan PKI untuk mendalangi sebuah perebutan kekuasaan setelah merasa tak puas dengan cara-cara damai partai itu dalam merebut simpati rakyat. Anderson dan McVey berpendapat bahwa Tiongkok "tidak dikenal sebagai pengambil risiko besar, apalagi dengan cara mengorbankan hubungan yang menjanjikan dengan sebuah kekuatan non-Komunis demi sebuah revolusi lokal dengan prospek keberhasilan yang kecil.
Terakhir, ideologi komunis yang dianut oleh PKI didasari akan "ambisi yang berlebihan dan kebutuhan untuk menunjukkan jati diri mereka lewat kekerasan", yang menurut kedua peneliti lebih bersifat "mistis" alih-alih "analitis".
Mereka berpendapat bahwa PKI, di bawah pimpinan Aidit, tidak akan mempertaruhkan reputasi mereka untuk sebuah upaya yang bisa jadi akan gagal total.
Teori kedua adalah bahwa alih-alih mendalangi Gerakan 30 September secara langsung, "PKI berperan dalam meyakinkan Presiden Soekarno, langsung maupun tidak, untuk menyingkirkan secara massal musuh-musuhnya (dan mereka) di tubuh angkatan bersenjata". Gerakan itu kemudian akan didalangi oleh sang Presiden secara langsung, berdasarkan motif menyingkirkan para petinggi Angkatan Darat yang menolak gagasannya tentang sebuah negara berdasar Nasakom. Anderson dan McVey meragukan teori ini dengan cara menguraikan ancaman-ancaman yang telah diketahui terhadap kekuasan Soekarno sebelum meletusnya Gerakan 30 September, dan menemukan hawa asumsi utamanya, "bahwa kegagalan Soekarno untuk mengendalikan kepemimpinan angkatan bersenjata secara penuh dalam beberapa tahun terakhir", hanyalah sebuah simpulan yang samar-samar. Mereka kemudian mempertanyakan mengapa sang Presiden akan memutuskan untuk menculik dan membunuh para jenderal "dengan begitu kentara dalam sudut pandang politis" jika ia berwenang memecat mereka secara langsung. Dalam pendapat Anderson dan McVey, "Soekarno menempatkan dirinya dalam posisi luar biasa sulit di Halim dan menghabiskan sehari penuh di sana, kebingungan tanpa arah".
Setelah menyingkirkan gagasan bahwa Soekarno dan/atau PKI terlibat mendalangi Gerakan 30 September, Anderson dan McVey mempertimbangkan pula dua pandangan alternatif lain. Yang pertama menyatakan G30S sebagai pergerakan liar Untung dan anak buahnya untuk mengambil alih kendali atas Angkatan Darat dan menyingkirkan para petinggi yang "beraliran Barat", "bermental Menteng", dan "menghalang-halangi kebijakan Presiden Soekarno" tanpa ingin mendengarkan suara dari bawah hierarki militer. Jika Untung dan anak buahnya tidak ingin untuk melibatkan unsur-unsur sipil dalam menghalangi Angkatan Darat menggagalkan plotnya, Anderson dan McVey percaya bahwa Presiden sendiri haruslah menjadi tokoh kuncinya. Yang kedua dan terakhir adalah gagasan bahwa Soekarno bertindak spontan setelah ditodong oleh Untung dan anak buahnya untuk bertindak menyingkirkan pucuk pimpinan Angkatan Darat, tanpa mengetahui bahwa rumor persiapan kudeta oleh Dewan Jenderal tersebut tidak benar. Lagi-lagi, kedua peneliti itu meragukan teori ini karena jika pun skenario tersebut benar, "tentu saja lebih banyak jenderal yang akan 'disingkirkan', terutama Soeharto dan Umar".
Tanggapan
= Penyebaran
=
Kami berpendapat bahwa penafsiran ini penting untuk disebarluaskan, meskipun dalam bentuknya yang masih belum lengkap. Kami merisaukan jika harus menunggu sampai sebuah tinjauan sejarah yang lengkap dapat dibuat, kelompok ini dan mereka yang terlibat dengannya dapat saja telah terhapus dari buku-buku sejarah
Anderson dan McVey mencetak dua puluh salinan menggunakan mimeograf dan menyebarkannya kepada para sarjana dan pejabat penting, baik di
Cornell maupun di luar
Cornell, untu meminta pendapat dan kritikan mereka. Karena dokumen ini bersifat rahasia, kedua peneliti itu meminta agar isinya tidak disebarluaskan. Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan keselamatan rekan-rekan sekerja dan mantan-mantan mahasiswa mereka yang masih meneliti di Indonesia, merisaukan kemungkinan mereka dapat diminta pertanggungjawaban oleh yang berwenang karena pendapat yang disiarkan oleh kajian ini. Meskipun permintaan khusus itu telah dibuat, setidaknya satu salinan disalin ulang dan disebarkan secara luas, dengan julukan
Cornell Paper.
Keberadaan kajian ini menjadi pengetahuan umum setelah diterbitkannya laporan Joseph Kraft di surat kabar The Washington Post pada 5 Maret 1966. Berita tersebut menyebutkannya sebagai "sebuah kajian atas peristiwa terkini yang berlangsung di Indonesia oleh sekelompok sarjana di Universitas
Cornell". Beberapa hari kemudian, Post menerbitkan sebuah surat dari Kahin yang mengkritik Kraft karena "berangkat jauh dari sebuah diskusi tentang kejadian-kejadian pada bulan Oktober yang sudah kedaluwarsa untuk berspekulasi mengenai perkemabngan-perkembangan terbaru." Ia menjelaskan bahwa kajian tersebut adalah sebuah "upaya setengah matang [...] untuk merunut ulang peristiwa-peristiwa yang membingungkan di sekitar upaya kudeta itu", dan "tidak dapat dikatakan mempengaruhi kejadian terkini manapun". Pada pendapat Kahin, surat kabar tersebut sering kali "salah mengutip, gemar memalsukan, dan keliru dalam mewakili (fakta-fakta yang tersedia)".
Pihak
Cornell menolak permintaan salinan dokumen dari para akademisi dari wartawan, namun beberapa dari mereka menerima sebuah dokumen sepanjang empat lembar yang berjudul Hypothesis on the Origin of the Coup Analysis (Pandangan-Pandangan Awal Tentang Asal-Muasal Uraian Mengenai Kudeta), dan ada pula yang menyangka bahwa itulah dokumen yang asli. Versi-versi alternatif mengenai tesis kajian tersebut diterbitkan pula oleh Daniel S. Lev, seorang lulusan
Cornell, pada terbitan Asian Survey bulan Februari 1966 dan oleh "Lucien Rey" pada terbitan jurnal Inggris New Left Review bulan Maret 1966. Dalam bukunya The Communist Collapse in Indonesia (1969), Arnold Brackman berpendapat bahwa melihat dari isi komentarnya, "Lucien Rey" adalah pseudonim dari seseorang yang memiliki akses pada paling tidak satu salinan dokumen aslinya.
Sampai tahun 1969 di Boston, pada pertemuan Association of Asian Studies (Perkumpulan Kajian Asia) dan Committee of Concerned Asian Scholars (Komite Sarjana Kajian Asia yang Peduli) yang baru terbentuk, panel-panel diskusi mengenai Gerakan 30 September sama sekali tidak mendiskusikan atau merujuk pada
Cornell Paper, walaupun kita dapat berasumsi bahwa mereka semua paling tidak menyadari keberadaannya. Kegagalan mereka untuk membawa hal ini pada khalayak yang lebih luas dapat dikatakan suatu ketidakadilan bagi para mahasiswa generasi baru, para peneliti yang sedang mendaki jenjang keilmuan, dan para mahasiswa yang tergabung dalam Modern Indonesia Project namun sama sekali tidak terlibat dengan (persiapan dan penerbitan)nya.
Untuk menerangkan seluruh kekaburan dan memberi para pembaca peluang untuk menilai kajian tersebut, Modern Indonesia Project akhirnya menerbitkan dokumen kajian itu pada tahun 1971. Memerhatikan transisi ke Orde Baru yang sedang berjalan dengan goyah, Kahin menulis di kata pengantarnya bahwa "mungkin kita harus menunggu beberapa lama lagi sebelum sebuah uraian yang lengkap dapat ditulis dengan baik."
= Tanggapan pemerintah Indonesia
=
Dinas Sejarah Angkatan Darat, dibawah pimpinan Nugroho Notosusanto, menerbitkan kajian pertama pemerintah tentang Gerakan 30 September pada tahun 1966. Sebagian besar dari isinya merupakan "kumpulan propaganda Angkatan Darat yang dipadukan dengan "bukti-bukti" bahwa percobaan kudeta tersebut adalah pekerjaan PKI." Pada tahun 1967, Guy Pauker, seorang analis Indonesia di RAND Corporation, memberitahukan Angkatan Darat tentang keberadaan
Cornell Paper. Menurut Katharine E. McGregor dari Universitas Melbourne, RAND yang disponsori oleh pemerintah Amerika Serikat "dengan terang bertindak membantu pemerintahan Orde Baru untuk melegitimasi dan mempertahankan versinya sendiri tentang Gerakan 30 September". Dibantu oleh Pauker dan Letnan Kolonel Ismail Saleh, Nugroho menerbitkan versi bahasa Inggrisnya dalam kunjungannya ke California, tempat RAND bermarkas, pada tahun 1967. Dalam versi ini, gagasan bahwa G30S merupakan urusan internal Angkatan Darat ditolak setelah mempertimbangkan kesaksian para anggota PKI yang diadili oleh Mahkamah Militer Luar Biasa.
Ketika Kahin melawat ke Indonesia pada bulan Juni 1967, ia bertemu dengan seorang perwira intelijen yang bertanggungjawab untuk mengkoordinir interogasi para tahanan politik PKI dan menyusun versi resmi pemerintah mengenai Gerakan 30 September. Ia meminta "dokumen-dokumen yang lebih meyakinkan" untuk membuat sebuah laporan yang "lebih lengkap dan akademis". Ia mengulang permintaan tersebut pada kepala jaksa militer Kabul Arifin, dan kedua perwira tersebut berjanji untuk memberikan bahan-bahan yang diperlukan oleh Kahin. Namun, dokumen-dokumen tersebut tidak pernah sampai ke tangan Kahin meskipun ia telah mengulang permintannya pada tahun 1971, sehingga memaksa Modern Indonesia Project untuk menerbitkan laporan Anderson dan McVey tanpa dokumen penunjang dari pihak yang berwenang. Kahin berpendapat bahwa janji kedua perwira itu kepadanya "dimentahkan oleh atasan mereka". Pemerintah Indonesia juga berusaha untuk menyakinkan Anderson dan McVey untuk memperbaiki kesimpulan yang mereka buat untuk mendekati versi resmi pemerintah; namun, kedua peneliti itu mempertanyakan keakuratan dan keabsahannya.
Pada bulan Oktober 1975, pemerintah Indonesia mengirimkan sebuah rombongan "perwira militer dan intelektual pemerintah", dipimpin oleh Ali Murtopo dan L.B. Moerdani, untuk menyajikan sebuah laporan yang lengkap mengenai percobaan kudeta tersebut dan peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya. Dalam pertemuan tertutup dengan Kahin, Anderson, McVey, dan Bunnell, rombongan tersebut berjanji akan mengirimkan dokumen-dokumen yang diminta oleh para peneliti delapan tahun yang lalu sesampainya mereka di Jakarta. Pada 27 November 1976, sebuah rombongan utusan Moerdani tiba dengan lebih dari 200 pon arsip persidangan Mahmilub, namun tidak menyediakan satu pun dokumen yang diminta. Karena permintaan Kahin yang terus menerus dan Anderson yang tak puas, pemerintah Indonesia melarang mereka masuk ke Indonesia. Meskipun cekal terhadap Kahin dicabut pada 1991, Anderson tidak dapat memasuki Indonesia sampai 1999, ketika Orde Baru telah tumbang.
= Perkembangan selanjutnya
=
Sampai tahun 1971, lima tahun setelah peristiwa percobaan kudeta dan ketika
Cornell Paper akhirnya diterbitkan untuk umum, "belum ada kajian lengkap mengenai peristiwa tersebut yang diterbitkan".
Dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1978, Harold Crouch dari Universitas Nasional Malaysia berpendapat bahwa "kesaksian para pemimpin PKI di persidangan Mahmilub, bersanding dengan pendapat-pendapat para eksil mereka di pengasingan di Eropa, membuat tesis yang diajukan dalam
Cornell Paper amat sulit dipertahankan dalam versi muasalnya". Meninjau kembali kesaksian-kesaksian tersebut, Crouch berpendapat bahwa PKI tidak syak lagi turut serta dalam Gerakan 30 September, namun "jangkauan keterlibatannya masih amat samar".
Lihat pula
Gerakan 30 September
Pembantaian di Indonesia 1965–1966
Transisi ke Orde Baru
Rujukan
= Catatan kaki
=
= Referensi
=
Pranala luar
A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia di katalog Southeast Asia Program, Universitas
Cornell.