Prof. Dr. Hj.
Djanius Djamin, S.H., M.S. (lahir 22 Desember 1942) adalah seorang ahli hukum dan pengajar Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Negeri Medan (Unimed) periode 2003–2007 dan periode 1998–2003 (ketika masih bernama IKIP Medan). Di kancah politik, ia merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan sejak 1969 sampai 1977, dengan tiga tahun pertama menjadi Ketua DPRD (1969–1971).
Lahir di Batusangkar sebagai anak seorang pedagang,
Djanius sering kali berpindah-pindah tempat karena pekerjaan ayahnya. Setelah lulus dari Universitas Sumatera Utara pada tahun 1965, ia mengajar sebagai dosen di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Medan (IKIP Medan) dan sejumlah perguruan tinggi lainnya. Ia ditunjuk sebagai anggota DPRD Kota Medan sebagai perwakilan golongan wanita pada tahun 1968 dan terpilih sebagai Ketua DPRD Kota Medan pada pertengahan 1969 hingga tahun 1971. Ia kembali terpilih untuk masa jabatan kedua sebagai anggota DPRD Kota Medan dari Golongan Karya (Golkar) dan menjabat hingga tahun 1977. Selama berkiprah di legislatif, ia terlibat dalam penetapan hari jadi Kota Medan.
Setelah mengajar di IKIP Medan selama beberapa dekade,
Djanius terpilih sebagai rektor IKIP pada tahun 1998. Ia kembali terpilih setelah masa jabatan pertamanya berakhir pada tahun 2003 dan menjabat hingga bulan April 2007. Selama memimpin IKIP Medan,
Djanius berhasil meningkatkan status IKIP Medan menjadi sebuah universitas dan mengubah namanya menjadi Universitas Negeri Medan (Unimed) pada tahun 2000. Selain itu, ia juga memprakarsai pembentukan Fakultas Ekonomi dan memberikan kesempatan bagi lulusan Paket C dan penyandang disabilitas untuk mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru. Kendati demikian, sejumlah mahasiswa, dosen, dan akademisi yang tidak puas dengan kinerjanya sebagai rektor sempat mengadakan aksi demonstrasi pada pertengahan masa jabatan pertamanya.
Setelah berkiprah di IKIP-Unimed,
Djanius sempat ditunjuk pemerintah menjadi Penjabat Sementara (Pjs.) Rektor Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) yang ketika itu dalam situasi kisruh. Ia berhasil memperbaiki situasi UISU yang carut-marut dan menyatukan kembali komunitas akademik UISU yang sempat terpecah akibat kekisruhan yang terjadi. Namun, sejumlah mahasiswa menolak kepemimpinannya di UISU karena menganggap penunjukan
Djanius melanggar peraturan yang berlaku.
Riwayat Hidup
= Masa kecil dan pendidikan
=
Djanius lahir pada tanggal 22 Desember 1942 di Batusangkar, Tanah Datar, pada masa pendudukan Jepang di Sumatera Barat, sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai seorang pedagang. Pada saat
Djanius masih balita, ayahnya memboyong dirinya beserta keluarganya ke Pekanbaru. Keluarga ini akhirnya menetap di Pekanbaru dan
Djanius menghabiskan masa kecilnya di kota tersebut.
Selama menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (setingkat sekolah dasar),
Djanius dididik dengan keras oleh ayahnya. Ia diharuskan untuk belajar mengaji pada sore hari setelah pulang sekolah. Karena pendidikan mengajinya,
Djanius berhasil mengkhatamkan Al-Quran pertama kali pada usia 13 tahun. Pada usia yang sama, ia lulus dari Sekolah Rakyat dan meneruskan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Pekanbaru.
Setelah lulus SMP pada tahun 1958,
Djanius merantau ke Jakarta bersama dengan kakaknya yang paling tua. Di Jakarta, ia menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun, beberapa bulan sebelum menamatkan SMA, ia harus pulang ke Pekanbaru untuk menjaga orang tuanya yang sedang sakit. Kendati demikian,
Djanius berhasil menamatkan SMA tepat waktu pada tahun 1961.
Djanius kembali merantau ke Medan, ibu kota provinsi Sumatera Utara, untuk menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Di Medan, ia tinggal di rumah Djalizir, seorang pegawai negeri sipil di Dinas Pekerjaan Umum Sumatera Utara. Ia menamatkan kuliahnya pada tahun 1965 setelah menjalani studi selama 4,5 tahun dan memperoleh gelar sarjana hukum dengan predikat cum laude.
Djanius melanjutkan pendidikan tingginya pada akhir tahun 1980-an di Program Pascasarjana Sosial Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Ia lulus dengan gelar magister sains pada tahun 1992. Selanjutnya, ia meneruskan belajar di Universitas Sains Malaysia (USM) dan memperoleh gelar doktor dari universitas tersebut pada tahun 2005. Tesis yang ia tulis di USM diterbitkan menjadi buku pada tahun 2007 dengan judul Pengawasan dan Pelaksanaan Undang-Undang Lingkungan Hidup: Suatu Analisis Sosial.
= Aktivisme dan organisasi
=
Selama berkuliah di USU,
Djanius aktif dalam organisasi pergerakan mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia awalnya menjadi Pengurus HMI Komisariat Fakultas Hukum USU dari 1961 hingga 1963. Setelah itu, ia masuk dalam kepengurusan Departemen Keputrian HMI (kini Korps HMI-Wati) Medan dan menjadi ketua pertama departemen tersebut dari 1966 hingga 1968.
Ketika HMI Medan terlibat dalam aksi-aksi penolakan Gerakan 30 September (G30S)/Partai Komunis Indonesia (PKI),
Djanius ikut turun ke jalan untuk berdemonstrasi melawan PKI. Karena sikapnya yang sangat keras terhadap PKI,
Djanius menjadi salah satu sasaran utama PKI. Menurut
Djanius, ketika ia dan anggota HMI lainnya sedang berdemonstrasi di Lapangan Merdeka, seorang anggota PKI berusaha menikam perutnya, tetapi gagal lantaran sebuah tali pinggang bekas pengikat drum menempel pada perutnya.
Djanius pun dipindahkan dari posisi depan ke posisi belakang barisan demonstrasi oleh demonstran lainnya guna menjaga keselamatannya.
Sebagai seorang pemuka masyarakat dari etnis Minangkabau,
Djanius aktif berperan dalam menggerakkan organisasi Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3). Kiprahnya di BM3 diawali sebagai Sekretaris BM3 Sumatera Utara pada tahun 1987 hingga 1990. Selanjutnya, ia terpilih sebagai Ketua Umum BM3 Sumatera Utara selama tiga periode mulai dari tahun 1994 hingga tahun 2011. Selama memimpin BM3,
Djanius memprakarsai pembangunan Rumah Gadang Minang di Jalan Adinegoro, yang kini menjadi gedung Sekretariat BM3 Sumatera Utara. Selain itu, BM3 semasa kepemimpinan
Djanius juga aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, seperti pengiriman tim relawan untuk membantu menangani bencana alam. Setelah masa jabatannya di BM3 habis,
Djanius didapuk sebagai Komisaris Utama Bank Pembiayaan Rakyat (BPR) Syariah Gebu Prima, sebuah bank milik BM3 yang bertujuan untuk membantu ekonomi dari masyarakat lemah.
Pada November 2018,
Djanius didapuk sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Eka Medan, sebuah yayasan yang mengelola gedung kantor HMI dan Korps Alumni HMI.
= Mengajar dan mengelola yayasan pendidikan
=
Setelah meraih gelar sarjana hukum dari USU pada tahun 1965, ia sempat melamar pekerjaan ke berbagai tempat: Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Medan (IKIP Medan), dan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Ketika mendapat kabar bahwa semua lamarannya diterima,
Djanius meminta saran ke orang tuanya. Orang tuanya menolak
Djanius bekerja di Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri. Mereka hanya merestuinya bekerja di IKIP Medan dan BDNI.
Djanius memulai kariernya di bidang akademik sebagai asisten dosen di IKIP Medan pada tahun 1965, dengan pekerjaannya di BDNI sebagai pekerjaan sambilan. Selain di IKIP Medan,
Djanius juga mengajar di Akademi Asuransi dan Perbankan dari tahun 1968 hingga 1972, Institut Teknologi Sumatera Utara dari tahun 1965 hingga 1976, dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Medan dari tahun 1970 hingga 1974. Di IAIN Medan, ia merupakan salah seorang dosen terawal.
Pada 1976,
Djanius menjabat sebagai Ketua Yayasan Perbankan Nasional Swasta yang menaungi Akademi Perbankan Nasional Swasta. Dalam perjalannya, Akademi Perbankan Nasional Swasta berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Trikarya dan Universitas Tri Karya, sedangkan nama yayasannya berubah menjadi Yayasan Pendidikan Tri Karya yang tetap dipimpin oleh
Djanius. Di bawah pengelolaanya, Universitas Tri Karya menjadi tempat kerja bagi perantau Minangkabau di Sumatera Utara. Hampir semua pegawai dan tenaga pengajar Universitas Trikarya beretnis Minang.
Setelah berdiri selama beberapa tahun, Universitas Tri Karya beserta Yayasan Pendidikan Tri Karya diserahterimakan kepada Yayasan Pendidikan Tanah Seribu dan Universitas Tri Karya berubah nama menjadi Universitas Kaltara. Lokasi yayasan dan universitas dipindahkan dari Medan ke Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Kendati demikian, proses serah terima dan pemindahan universitas ini tidak berjalan lancar, sehingga yayasan dan universitas harus menanggung utang yang besar dan mahasiswa yang sedang berkuliah harus dikeluarkan.
= Karier politik
=
Djanius bergabung dengan Golkar (waktu itu masih bernama Sekretariat Bersama Golkar) saat mengajar di Medan.
Djanius turut aktif dalam perekrutan kader-kader baru Golkar dan ia ditunjuk sebagai salah satu penatar untuk kader Golkar di tingkat desa.
Djanius juga turut serta dalam upaya memenangkan Golkar di pemilihan umum tahun 1977. Selama masa kampanye pemilu tersebut,
Djanius bertindak sebagai pengurus Pekan Cendekiawan Golkar dan sebagai Wakil Ketua Seksi Hukum dan Dokumentasi di Badan Pemenangan Pemilu Golkar.
Pada tahun 1968, terjadi perombakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan (DPRD Medan).
Djanius ditunjuk menjadi anggota DPRD Medan dalam perombakan tersebut, mewakili golongan wanita dalam Golkar. Beberapa bulan setelahnya, pada pertengahan tahun 1969,
Djanius ditunjuk menjadi Ketua DPRD Medan, menggantikan M. Alwi St. Sinaro yang sudah menjabat semenjak 1966. Penunjukannya sebagai Ketua DPRD Kota Medan pada usia yang muda, 25 tahun, menjadikan dirinya sebagai ketua DPRD wanita pertama di Sumatera sekaligus salah satu ketua DPRD termuda di Indonesia pada masa itu.
Selama masa kepemimpinannya, suku Minangkabau mendominasi DPRD Medan, kendati suku Minangkabau merupakan suku minoritas di kota tersebut.
Djanius — yang beretnis Minang — harus bekerja sama dengan Sjoerkani, Wali Kota Medan, yang juga beretnis Minangkabau.
Djanius mengakhiri masa jabatannya sebagai Ketua DPRD pada tahun 1971 dan digantikan oleh Nas Sebayang. Kendati demikian, ia tetap mempertahankan keanggotaannya di dalam DPRD Medan hingga tahun 1977.
Pada awal masa jabatan keduanya di DPRD,
Djanius ditunjuk sebagai anggota dari panitia khusus (pansus) penentuan hari jadi Kota Medan. Panitia tersebut meneliti hasil kerja panitia perumus yang dibentuk oleh pemerintah Kota Medan pada tahun 1971.
Djanius beserta anggota pansus lainnya menetapkan pada tanggal 15 Maret 1975 bahwa hari lahir kota Medan adalah 1 Juli 1590, menggantikan tanggal 1 April — tanggal pembentukan dewan kota Medan — oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Usai berkarier dalam dunia politik,
Djanius tetap terlibat dalam aktivitas politik di Medan. Dalam pemilihan umum Wali Kota Medan 2020,
Djanius Djamin menyatakan dukungannya kepada calon wakil walikota Salman Alfarisi yang beretnis Minang dan berpasangan dengan Akhyar Nasution. Terkait dengan dukungan tersebut, ia menyatakan, "Jika ada orang Minang yang tidak mendukung orang Minang, bolehlah kita sebut pengkhianat."
= Rektor Universitas Negeri Medan
=
Periode pertama
Setelah beberapa tahun mengajar di IKIP Medan dan memegang jabatan pembantu rektor sejak 1994,
Djanius ditunjuk sebagai Rektor IKIP Medan pada hari terakhir tahun 1998. Penunjukan tersebut membuat dirinya menjadi satu dari tiga perempuan yang menjabat sebagai rektor perguruan tinggi pada masa itu. Beberapa bulan setelah penunjukannya sebagai rektor, pada tanggal 7 Oktober 1999, Presiden B. J. Habibie menetapkan peningkatan status IKIP Medan dari sebuah perguruan tinggi menjadi sebuah universitas. Bersamaan dengan itu, nama IKIP Medan diubah menjadi Universitas Negeri Medan (Unimed). Perubahan tersebut disahkan dengan peresmian yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), Satrio Soemantri Brodjonegoro, pada tanggal 26 Januari 2000.
Hanya beberapa bulan setelah Unimed berdiri, pada tanggal 18 April, sejumlah dosen dan pegawai Unimed berdemonstrasi di depan gedung DPRD Sumatera Utara dan meminta agar
Djanius diturunkan dari jabatannya. Para demonstran, yang diwakili oleh Dekan Fakultas Teknik Dr. Gino Hartono, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Prof. Drs. Burhanuddin, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, Dr. Belfrik Manulang, dan dosen Ida Karnasih PhD., diberikan kesempatan untuk beraudiensi dengan Komisi V DPRD Sumatera Utara. Gino menyatakan bahwa
Djanius tidak kompeten dalam memimpin Unimed dan bahwa kepemimpinan
Djanius "lebih menonjolkan mempertahankan kekuasaan bersama kroninya dalam mengambil kebijakan akademis". Gino memaparkan sejumlah tindakan
Djanius yang dianggapnya tidak patut, seperti mengintervensi proses pemilihan Dekan Fakultas Teknik Unimed dan menghambat kenaikan pangkat sejumlah dosen.
Djanius menyanggah tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh Gino dan menyatakan bahwa semua tindakannya sebagai rektor dilakukan "berdasarkan keputusan dan persetujuan senat universitas". Permasalahan tersebut akhirnya selesai beberapa hari kemudian dan
Djanius tetap menduduki jabatan rektornya.
Periode kedua
Setelah lima tahun menjabat sebagai rektor,
Djanius kembali terpilih untuk masa jabatan lima tahun dan dilantik pada tanggal 21 Maret 2003. Pada masa kepemimpinannya ini,
Djanius Djamin meningkatkan status Jurusan Pendidikan Ekonomi dalam Fakultas Ilmu Sosial menjadi suatu fakultas tersendiri, Fakultas Ekonomi. Perubahan yang ditetapkan pada akhir bulan Agustus 2005 mengakibatkan pengalihan status 3.000 mahasiswa dari mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial menjadi Fakultas Ekonomi. Sebanyak 2.000 mahasiswa berkuliah di Jurusan Pendidikan Ekonomi, sedangkan 1.000 lainnya berkuliah di Jurusan Manajemen dan Akuntansi.
Pada tahun 2006, Unimed melakukan perombakan dalam sistem penerimaan siswa baru. Universitas tersebut mulai menerima lulusan Paket C dan penyandang disabilitas sebagai calon mahasiswa. Penyelenggaraan seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) yang melibatkan lulusan Paket C dan penyandang disabilitas tersebut dimulai pada bulan Juli 2006.
Djanius menyatakan bahwa proses SPMB tersebut berhasil terlaksana dengan baik. SPMB ini kembali dilaksanakan pada tahun 2007, dengan
Djanius Djamin memimpin langsung proses seleksi sebagai Ketua Panitia Lokal.
Djanius mengakhiri masa jabatan keduanya di Unimed beberapa saat setelah penyelenggaraan SPMB pada tanggal 16 April 2007.
= Pjs. Rektor Universitas Islam Sumatera Utara
=
Latar belakang
Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), salah satu universitas tertua di Sumatera Utara, mengalami pergolakan pada bulan Mei 2007. Dua petinggi yayasan yang menaungi UISU, Helmi Nasution dan Sariani Amiraden Siregar, mengklaim diri mereka masing-masing sebagai pemilik yayasan yang sah. Pergolakan tersebut berpuncak pada bentrokan antara kedua kubu pada tanggal 9 Mei. Anggota DPR, Yasonna Laoly, menyatakan bahwa bentrokan tersebut terjadi karena Kapolda Sumatera Utara lalai dalam melakukan pengamanan dan meminta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia menindak Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Dirjen Dikti menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan evaluasi terhadap UISU dan akan menutup universitas tersebut jika kemelut antara kedua kubu tidak dapat diselesaikan. Kepolisian lalu melakukan investigasi atas perseteruan ini dan Helmi Nasution ditangkap atas tuduhan pemalsuan akta Yayasan UISU.
Penunjukan
Pasca terjadinya bentrokan tersebut, pemerintah pusat mengambilalih kepengurusan UISU. Dua hari setelah masa jabatannya di Unimed selesai,
Djanius menerima surat penunjukannya sebagai penjabat sementara Rektor UISU oleh Dirjen Dikti. Satrio menyatakan bahwa ia menunjuk
Djanius sebagai jalan tengah antara kedua kubu yang bertikai dan bahwa
Djanius merupakan tokoh yang netral dan tidak berpihak pada kubu manapun.
Djanius memulai masa jabatannya sebagai Pjs. Rektor Universitas Islam Sumatera Utara pada tanggal 21 Mei. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah membuka kembali UISU untuk umum. Ia juga melakukan peninjauan terhadap gedung kampus. Selain itu,
Djanius melakukan upaya konsolidasi komunitas akademik dengan cara bertemu dengan seluruh dekan dan dosen di UISU dan membahas mengenai pelaksanaan perkuliahan di UISU. Pembenahan yang dilakukan
Djanius berhasil mengembalikan ke keadaan normal dan ujian-ujian yang tertunda akibat kerusuhan tersebut dapat diadakan kembali.
Meskipun sejumlah dosen dan dekan mendukung tindakan yang diambil oleh
Djanius, kubu Sariani A. Siregar mengkritik tindakan tersebut. Kubu Sariani menganggap bahwa pemerintah melanggar peraturan dengan melakukan intervensi terhadap Yayasan UISU. Beberapa bulan kemudian, sejumlah mahasiswa melakukan unjuk rasa di halaman Kantor Gubernur Sumatera Utara dan menuntut pemerintah menyatakan penunjukan
Djanius sebagai pelanggaran terhadap undang-undang dan peraturan yang berlaku. Kelompok mahasiswa tersebut berpendapat bahwa intervensi pemerintah tidak menyelesaikan masalah dan malah memperuncing konflik yang terjadi.
Kehidupan pribadi
Djanius menikah dengan Syahbuddin Harahap, yang merupakan seniornya di HMI Medan. Pasangan tersebut memiliki seorang anak yang bernama Haikal Rahman. Syahbuddin wafat pada tahun 1991.
Referensi